Share

Bab 3

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Ibu?" tanya Naila lirih. "Ibu bertengkar dengan ayah?" sambungnya lagi. Matanya menatapku dengan pandangan penuh tanya.

"Naila? Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil membuang semua ekspresi sedih dan kesal yang semula membalut wajahku. Aku tak mau Naila membenarkan apa yang ia dengar, minimal apa yang ia lihat harus lebih baik dari apa yang ia dengar barusan. Meskipun aku tak tahu apa saja yang sudah ia dengarkan.

"Ibu, Naila mau izin kerja kelompok. Tapi sepertinya Ibu sedang bertengkar dengan ayah jadi aku tunggu di sini." Wajah Naila berubah murung. Ia tidak seperti biasanya yang ceria dan banyak bicara.

Naila melirik ke bagian dalam ruang kamar. Aku pun tak mau ketinggalan dengan apa yang ia lihat. Ekor mataku mengikuti arah pandang matanya yang seperti sedang mencari sesuatu di dalam kamar orang tuanya.

Beberapa baju yang kuhamburkan keluar dari tas masih tergeletak di lantai. Serpihan kertas yang kusobek juga berserakan di lantai dekat ranjang. Sedang Mas Rasyid sedang duduk menunduk, seperti tengah menahan malu pada putrinya karena kepergok dalam keadaan yang tidak baik.

"Boleh, Sayang. Mau kerja kelompok di mana?" jawabku yang langsung membuat arah pandang mata Naila kembali tertuju pada wajahku. Kugeser badanku untuk menutup celah agar ia tak lagi melihat kondisi kamar kami.

"Ke rumah Rara, di gang sebelah."

"Iya, hati-hati ya, Nak," kataku lagi sambil berjalan keluar dari kamar. Satu tanganku menutup pintu kamar agar ia tidak lagi melihat bagaimana kondisi di dalam kamar yang menurutku sangat menyeramkan.

"Apa Naila perlu diantar?" tawarku sambil mengikuti langkahnya. Sebenarnya ini hanya alasanku saja untuk bisa keluar dari rumah, sebab aku butuh udara segar untuk menghilangkan penat dan sakit dalam dada, walau hanya untuk sesaat.

"Tidak, Bu." Naila melirikku sekilas, lalu kembali melangkah menuju pintu ruang tamu.

Aku berdiri dengan pandangan nanar menatap punggung gadis kecilku yang perlahan berjalan menjauh dari tempatku berdiri. Ada ngilu yang merasai hati saat melihat badan kecil itu berdiri tepat di depan pintu ketika kami sedang tidak baik-baik saja.

Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang anak saat melihat orang tuanya berdebat dengan keras. Terlebih jika masalah ini berakhir dengan perceraian. Aku pun tak bisa membayangkan jika aku tetap melanjutkan pernikahan ini. Keduanya sama-sama berat untukku.

Adzan Maghrib berkumandang saat aku duduk di meja makan. Tidak banyak yang kulakukan sore ini. Aku hanya duduk merenung sendirian sambil menunggu Naila kembali ke rumah. Bahkan keberadaan Mas Rasyid selalu kuabaikan. Padahal biasanya ketika ia pulang ke rumah, aku akan menyambutnya dengan penampilan yang bagus dan makanan yang lezat.

Namun kali ini, kubiarkan ia sendirian melayani dirinya sendiri. Bahkan ia juga menyiapkan makanan untukku. Tapi aku sedang tidak ingin berbuat apa-apa. Biar saja, biar dia tahu rasanya ketika hati wanita terluka.

Saat aku terdiam, bayang-bayang gambar dan surat nikah itu kembali berkelindan dalam kepalaku. Aku tak bisa diam saja. Aku pun tak bisa menerima ini semua. Terlebih aku tak mau dimadu. Mas Rasyid harus memilih satu diantara kami untuk mendampingi hidupnya.

"Dek, jangan diam saja," ujarnya mendekatiku. Ia meraih kursi meja makan yang berada tepat di sebelahku.

"Lalu, aku harus bagaimana?" tanyaku datar tanpa berniat membalas tatapannya.

"Maafkan aku sekali lagi," ucap Mas Rasyid lagi.

Namun saat bibirku hendak terbuka untuk menjawab pertanyaannya, ponselnya berdering keras sekali. Benda yang terletak di dalam kamar itu membuat kepala Mas Rasyid seketika menoleh ke sumber suara itu.

Ada kilatan rasa cemas dari sorot mata sembab milik suamiku. Ah suami? Pantaskah gelar itu masih melekat dalam dirinya?

"Kenapa ngga diangkat? Dicariin sama istri mudanya," ujarku menyindir. Dari reaksi wajahnya terlihat sekali bahwa ia pun juga berat untuk mengabaikan panggilan itu, tapi mendengar ucapanku, ia tak berani berdiri.

"Enggak, Dek. Maafkan Mas."

"Memaafkan bukan berarti semuanya harus kembali seperti sediakala kan?" tanyaku dengan sorot mata tajam menatap wajahnya.

Wajah yang dulu sangat kupuja itu, tiba-tiba saja menunduk. Ia menyadari ucapanku benar adanya.

"Sudah kumaafkan," jawabku asal. "Ponselnya masih berdering. Silahkan diangkat," sambungku lagi. Tapi Mas Rasyid masih saja duduk menunduk di depanku tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya duduk.

Duduk bersebelahan bersama Mas Rasyid membuat dadaku makin bergelora. Bukan bergelora karena hasrat, tapi gelora amarah dalam dadaku tak henti membuatku ingin berteriak melampiaskan segala rasa yang membuatku ingin menangis dan mengaduh.

Tak bisa lagi duduk bersamanya, aku harus melakukan sesuatu. Tiba-tiba saja kakiku ingin melangkah keluar.

Biasanya, jika Mas Rasyid pulang, kami akan sama-sama mengunjungi ibunya.

Namun kali ini, aku akan datang sendirian untuk menceritakan semua perbuatan putranya yang sungguh memalukan.

"Dek kemana?" ujarnya saat aku hendak membuka pintu ruang tamu.

"Ke rumah Ibu. Aku akan datang sebagai wanita yang disakiti oleh pasangannya, bukan datang sebagai menantunya. Mas tenang saja."

"Jangan, Dek. Mas mohon jangan bawa masalah ini keluar rumah." Mas Rasyid berjalan mendekatiku. Ia meraih pergelangan tanganku tapi segera kutepis dengan keras.

"Jangan bawa masalah ini keluar? Lalu, aku harus merasakan ini sendirian? Mengapa tidak Mas bunuh saja aku sekalian agar Mas bisa menikah secara sah dengan perempuan itu?"

Tak lagi mau berdebat dengan Mas Rasyid, aku kembali melangkah. Tepat di depan rumah ada beberapa tetangga yang baru saja pulang dari mushalla. Sengaja aku terus berjalan karena aku tahu Mas Rasyid tak mungkin mengejarku lagi.

"Mbak Nita mau kemana? Tumben sendirian?" tanya Bu Laili, tetangga sebelah rumah.

Aku tersenyum saja. Tak mau menanggapi sapaan orang dengan berlebihan karena khawatir aku tak bisa menahan air dari dalam kelopak mataku untuk kembali menangis.

Jarak rumah kami dengan rumah orang tua Mas Rasyid tidak terlalu jauh. Hanya kurang lebih lima ratus meter saja. Sehingga tak susah untukku kabur dari rumah disaat seperti ini.

Dua kali ketukan, tampaklah Ibu mertua keluar dari balik pintu yang baru saja terbuka. Senyum yang lepas dan terlihat sekali bahwa ia sedang bahagia menyambut kedatanganku.

Manik hitam dalam kelopak mata Ibu bergerak ke kanan dan ke kiri. Tampaknya ia mencari seseorang karena tak biasanya aku datang sendirian di weekend begini.

Melihat senyuman yang terbit dari bibir Ibu, sanggupkah aku menggoresnya dengan kabar duka yang dilakukan oleh putranya?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ai Siti Rahmayati
menyimak dulu ceritanya
goodnovel comment avatar
Hansiana Siregar
efek dlm....
goodnovel comment avatar
Hevvy Lisandora Novita
sehdihhh...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 4

    "Mana suamimu? Naila juga mana?" tanya Ibu saat tak mendapati siapapun di sebelahku.Melihat wajah Ibu begitu berbinar, bibirku kelu untuk sekedar mengatakan bahwa Mas Rasyid sedang tidak baik-baik saja. Aku takut melukai hatinya yang selama ini begitu menyayangi kami."Anita," panggil ibu lirih. Mata ibu membingkai wajahku dengan tatapan menelisik. Tangannya yang tak lagi mulus mengusap lenganku pelan.Mataku yang menatap wajah Ibu dengan melamun, seketika tersadar dan mengerjap membuang pikiran buruk dalam kepala. Tidak. Tidak mungkin aku mengatakan ini sekarang. Sebaiknya menunggu waktu yang tepat. Sebab aku tidak mungkin merusak wajah yang sedang tersenyum bahagia itu dengan kabar yang mengejutkan ini."Mas Rasyid ada di rumah, tapi sedang tidak enak badan." Aku menjawab akhirnya. Entah dapat dari mana kalimat itu sehingga bisa lolos dari bibirku begitu saja."Ouwh, lalu mengapa datang kalau suamimu sakit?" balas Ibu dengan dahi penuh lipatan. Tatapan menelisik hadir di matanya s

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 5

    "Yang harusnya jaga mulut itu Mas, bukan aku!" sengitku tak terima. Aku hanya korban, bagaimana mungkin Mas Rasyid mengatakan padaku untuk menjaga mulut jika keadaannya sudah seperti ini.Mas Rasyid hanya diam menunduk saat aku membalas ucapannya. Bahkan sesekali bahunya bergerak turun diiringi dengan helaan napas dalam dan panjang.Melihat wajah Mas Rasyid yang diam itu, membuatku tak bisa lagi menahan diri. "Mas ngga bisa menjaga mulut untuk tidak merayu perempuan lain selain istrimu ini!" Aku menjeda ucapanku sejenak untuk menetralkan debar yang menguasai diri. Debar yang perlahan membuat air kembali keluar dari sudut mataku."Betapa selama ini aku selalu menjaga diri dengan pandangan dan sikap untuk menjaga marwahku sebagai seorang istri. Aku pun tak mau bertindak yang membuat kepercayaan suami terhadapku ternoda.Bahkan Mas ngga bisa jaga hati untuk benar-benar menjaga perasaan Mas untukku. Mas jahat sama aku!" Aku kembali mencecar Mas Rasyid dengan kalimat-kalimat yang masih me

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 6

    "Dek, jangan begini, kita bisa bicara baik-baik dulu," teriak Mas Rasyid dari luar ruangan. Ia terus saja mengetuk pintu dengan kerasnya. Sesekali tangannya menarik hendel pintu yang sudah kukunci dari dalam.Percuma saja berteriak, aku sudah tak ingin lagi bicara soal ini. Sakit hatiku tak akan bisa sembuh hanya dengan mendengar kalimat permintaan maafnya.Beribu kali, bahkan berjuta kali kata maaf terlontar dari bibirnya, tak akan membuat semuanya kembali seperti semula.Pernah saat itu, ada seorang teman dari masa sekolah dulu datang untuk mengantarkan undangan reunian akbar. Ia memintaku untuk turut mengisi acara karena aku termasuk siswa aktif semasa sekolah dulu.Namun aku tak berani asal mengiyakan. Semuanya tergantung Mas Rasyid sebagai suami. Sebab, ketika aku setuju untuk memenuhi permintaannya, otomatis aku akan sibuk untuk berlatih juga menyiapkan segala keperluan acara."Tidak, Dek. Mas tidak kasih izin," ujar Mas Rasyid keras saat aku mencoba meminta izin. Sebagai seoran

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 7

    Naila, ya, Naila. Aku lupa akan dirinya. Gadis kecilku yang kini beranjak remaja itu masih membutuhkan sosok ayah. Tapi, bagaimana pun keadaannya nanti, Mas Rasyid akan tetap menjadi ayahnya.Berpisah atau tidak, hubungan ayah dan anak itu tidak akan terpisahkan. Selama kami masih hidup, Naila tidak akan kehilangan satu pun kasih sayang dari kami."Soal anak bisa dibicarakan baik-baik. Naila pasti ngerti." Aku menyangkal apa yang diucapkan oleh Mas Rasyid."Kasihan Naila, Dek. Dia akan menjalani ujian akhir tahun ini. Apa kamu tega menambah beban pikirannya dengan masalah kita ini?""Mengapa harus aku yang memikirkan, Mas? Mengapa tidak kamu pikirkan sebelumnya?" Aku berdiri dari tempatku duduk, lalu dengan cepat Mas Rasyid menarik tanganku agar aku tidak pergi."Jangan begini, Mas! Jangan berbuat seolah-olah aku yang menjadi penyebab semua ini terjadi. Pikir dengan kepalamu sendiri, siapa yang sebenarnya salah di sini," ucapku lantang. Aku melengos, mengalihkan pandangan dari sosok

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 8

    Urung melangkah, aku menjatuhkan diriku di depan Naila. Tubuhku berdiri bertumpukan lutut yang kutekuk. Aku membuka tanganku lebar-lebar untuk bisa mendekap erat putriku yang tampak terluka itu.Namun, betapa perih kurasa saat putriku melangkah mundur. Kepalanya menggeleng dengan air yang terus bercucuran dari kelopak matanya. "Tidak, Ibu! Tidak mau!" teriak Naila kencang.Dadaku bak dililit dengan tali tambang yang besar lagi kokoh. Tenggorokanku tercekat, bahkan aku pun kesusahan untuk mengirup udara yang sedang menerpa wajahku. Duniaku hancur melihat respon Naila seperti itu."Naila tidak mau melihat Ibu pergi! Naila tidak mau melihat kalian berpisah!" teriaknya kencang. Beruntung tangan kecil putriku itu segera dipegang erat oleh neneknya. Sesaat, setelah berteriak, Ibu mertua meraih badan Naila untuk didekap erat dalam pelukannya."Nak, maafkan Ibu. Ini sudah jadi keputusan Ibu," ujarku lirih. Aku tak bisa jauh dari Naila. Aku pun tak bisa tetap diam saja di rumah ini dengan seg

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 9

    Mas Rasyid membawaku ke kamar tidur kami. Ia memapahku hingga badanku benar-benar terbaring di atas ranjang. Kepala yang terasa berat, ditambah dengan hati yang sedang tak menentu membuatku pasrah menerima bantuannya."Naila mana, Mas! Bawa Naila ke sini, Mas! Jangan biarkan dia pergi bersama Ibu," ujarku lirih sambil menahan nyeri di kepala."Naila ngga akan kemana-mana, Dek. Kamu istirahat dulu." Mas Rasyid berujar sambil duduk di tepi ranjang, tepat di sebelahkuterbaring."Aku ngga butuh istirahat, Mas! Aku mau pergi dari sini! Jangan paksa aku untuk bertahan," racauku sambil mencoba bangkit. Tetapi Mas Rasyid menahan badanku untuk tetap terbaring."Istirahat dulu, Dek. Kamu sedang ngga baik-baik saja." Aku terdiam, kemudian menuruti perintahnya. Sejenak mataku memejam, merasakan bahwa badanku memang tidak baik-baik saja. Aku lantas meringkuk menghindari pandanganku dari wajah Mas Rasyid yang kini makin kutatap makin memperparah nyeri di ulu hati.Beberapa saat kemudian aku tertid

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 10

    "Dia memang laki-laki yang baik, tapi kamu jangan hanya lihat dirinya, lihat nasabnya juga. Bapaknya cerai dengan ibunya karena selingkuh dan ini tidak menutup kemungkinan kalau dia akan melakukan hal yang sama. Berbeda dengan Hasbi yang sama-sama dari keluarga sederhana seperti kita tapi garis keturunannya baik. Agamanya juga baik, pekerja keras pula.""Bagaimana mungkin Bulik memaksa untuk menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak Anita kenal, apalagi Anita cintai? Bagaimana rumah tangga Anita nanti?" elakku membela diri dan berharap Bulik mau menerima penolakanku itu."Ya kalau kamu mau, kalian bisa kenalan dulu. Sama-sama mendalami karakter masing-masing untuk proses pernikahan," papar Bulik tak mau kalah."Tidak, Bulik. Nita sudah terlanjur cinta dengan Mas Rasyid," elakku cepat. Aku tak mau melanjutkan pembahasan ini dan membuat Bulik makin menaruh harap denganku dan hubungan itu nantinya. Lebih baik menyudahi perdebatan ini agar tidak terjadi perdebatan panjang."Kalau me

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 11

    "Dek," panggil Mas Rasyid kaget. Wajahnya seketika berubah panik saat tahu aku turut keluar melihat tamu yang datang.Aku berjalan mendekati mereka bertiga yang berada di teras rumah."Nduk, ini nih, perempuan yang sudah jadi duri dalam rumah tanggamu! Berani-beraninya dia datang ke rumah ini! Sudah kayak ngga punya malu aja mereka berdua ini!" kesal Bulik sambil menunjuk wajah perempuan itu dengan jari telunjuknya.Mataku menatap wajah perempuan yang tampak lebih dewasa dariku itu dengan pandangan menyelidik. Wajah yang sedikit terlihat lebih lembut dari yang di foto kemarin. Melihat wajahnya di depanku dan ingatan tentang foto itu kembali menyelinap dalam kepalaku, membuat bahuku bergidik ngeri. Ngeri bercampur dengan rasa perih di dadaku."Mas memintanya datang kemari?" tanyaku penuh selidik. Seharusnya pagi ini kami berangkat ke kota tempat Mas Rasyid mengajar, tetapi kedatangan perempuan ini membuat rencana kami gagal. Dan luka ini, makin perih saat melihat keberaniannya datang k

Latest chapter

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 105

    "Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 104

    Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 103

    "Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 102

    "Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 101

    Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 100

    Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 99

    Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 98

    Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 97

    Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu

DMCA.com Protection Status