Pov Sri"Kamu pasti hamil, makanya kamu sakit-sakitan," cecar ibuku yang terus saja mendesakku untuk test pack. Aku menggelengkan kepala. "Percaya Sri, Bu. Sri gak hamil. Ibu gak bisa maksa orang untuk nikahi Sri. Apalagi suami orang. Cukup Ibu yang merusak rumah tangga orang lain, sehingga karma Tuhan terus menghantui kita sampai saat ini. Sri gak mau, Bu. Biar ini jadi ----""Kamu malah menyalahkan Ibu? Ibu itu terpaksa. Nenek kamu miskin dan kami gak punya apa-apa. Gak ada anak bujangan yang mau sama orang miskin seperti Ibu. Untuk itu Ibu terpaksa. Satu-satunya cara agar Ibu gak tersesat jadi wanita malam adalah dengan menjadi simpanan suami or ----""Sudahlah, Bu, kita jangan berdebat terus. Dokter bilang, saya cuma maag dan tadi sudah dapat obat. Jadi cukup istirahat saja. Sri mau tidur ya, Bu, ini sudah malam." Padahal masih jam tujuh, tetapi aku gak mau terus-menerus berdebat dengan ibu. Lambung ini belum lagi pulih dan tubuhku juga masih lemas. Aku tidak hamil, tetapi ibu ga
Asih cemas setelah kepergian Sri. Ibu mana yang tidak khawatir, saat putrinya pergi dari rumah? apalagi sering membawa beban masalah yang berat. Asih jelas sangat cemas, takut Sri berlaku macam-macam di luar sana. Lalu Wanita senja itu memberanikan diri lagi datang ke ibukota sendiri. Semua dia lakukan demi mencari sang buah hati yang pergi meninggalkannya dalam keadaan yang kurang sehat. "Ibu harus ke mana lagi nyari kamu Sri?" gumam Asih, dia sangat mengkhawatirkan keadaan Sang Putri. "Pokoknya aku harus cari kemana pun."Akhirnya asih memutuskan untuk mencari Sri. Langkah kakinya membawa ia mendatangi semua tempat teman-teman Sri, mereka para pekerja rumah tangga di Jakarta. Sudah mendatangi beberapa tempat, tapi sama sekali tidak ada yang mengetahui di mana keberadaan anak gadisnya itu."Rina, kamu bener-bener nggak tahu keberadaan Sri di mana?” Asih bertanya kepada seorang gadis bernama Rina, karena terakhir kali ia tahu sering menghubungi Rina. Rina menggelengkan kepalanya.
David diam saja saat sang adik memberikan bogem mentahnya. Meskipun jujur saja ia merasa kesakitan, kepalanya juga sedikit berputar akibat pukulan yang sangat keras diterimanya. Ia tidak akan membalas pukulan dari Robi. Eva berjalan cepat menghampiri David. “Kamu nggak apa-apa?”David tidak menjawab, ia terdiam mencoba mendapatkan kesadarannya kembali. Tentu saja dirinya tidak baik-baik saja, apa lagi kakinya terantuk kursi, pukulan keras yang diberikan Robi membuat kepalanya benar-benar sakit dan ia terjatuh terjerembab. “Kamu ngapain sih Robi?! Lihat tuh Kakak kamu! Tahan, kalian gak boleh saling mencelakai!" kata Eva cemas. Robi terlihat acuh, menurutnya David memang pantas mendapatkan pukulan seperti itu. Bahkan menurutnya itu masih kurang. “Dia memang pantas digituin. Anak Mama ini umurnya tua, tapi kelakuannya bocah labil!" Robi pun pergi dengan perasaan marah mengendarai vespa maticnya. Lalu Eva melarikan David ke rumah sakit. Lukanya diobati, tidak ada hal yang parah terjad
Mayang mengurai pelukan saat ponselnya berdering."Aku angkat dulu ya, Mas?" David mengangguk. Mayang meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas samping ranjang."Halo, Ma.""Kamu di mana? Jadi nginep di hotel malam ini?""Jadi, Ma. Besok baru Mayang pulang ya. Honeymoon masih kurang sebenarnya, tapi lusa Mayang udah harus masuk kerja. Dapat cuti dua hari saja. Hari ini dan besok.""Oh, oke, selamat bersenang-senang ya, Nak. Suami kamu itu rindu berat sama kamu. Jangan sampai kamu lupakan kewajiban sebagai istri ya.""Siap, Ma, ini lagi ditunaikan he he he ..." Mayang menatap suaminya sambil tersenyum. Test pack garis dua itu masih di tangan David. Mayang sangat tahu bahwa saat ini suaminya sangat senang karena ia hamil.Setelah menutup panggilan dari mamanya, Mayang menonaktifkan ponselnya. Jangan sampai urusan kantor atau yang lainnya menganggu bulan madunya. Ini masih jam lima sore. Mereka baru satu ronde dan masih ada satu ronde atau dua ronde lagi sampai nanti malam atau samp
"Ya ampun, terus gimana pembantu lu? Kok bisa? I-itu kenapa malah lu praktekin ke pembantu lo? Kan kata gue buat referensi. Gimana jadinya, tuh?" cecar Heru masih dengan napas terengah-engah karena kaget. "Makanya ini kepala gue pusing. Mayang hamil dan bisa saja pembantu gue hamil juga. Masa gue langsung jadi ayah dua anak? Gue mumet nih, Her!" David meremas rambutnya dengan kasar. "Tunggu, bukannya waktu itu lu bilang, pembantu lu istri orang udah tua?""Tua dari gue dua tahun doang. Umurnya tiga puluh satu tahun dan ternyata janda ting ting, pernah nikah, pas selesai akad, lakinya meninggal. Nah, berarti dia masih virg!n dan yaah.... ""Apa? Jadi dalam seminggu, lu dapat peraw4n dua orang?!"Plak! "Aww!" David memukul kepala Heru karena sudah berteriak, padahal mereka masih dalam mode kerja. Satu ruangan menoleh, lalu mereka menggelengkan kepala. "Kurang keras suara lo! Udah, jangan bikin gue tambah mumet!" David berusaha fokus pada pekerjaan, meskipun tidak bisa. "Lu minta sa
"Hari ini kita ke rumah mama ya, pasti Mama senang banget dengar kabar ini." David mengajak Mayang untuk memberitahu sang Ibu mengenai kehamilan Mayang. Mayang tentu saja menyambut dengan antusias. "Ayo aku setuju, yang kita siap-siap dulu sebelum berangkat ke rumah mama."Keduanya kemudian segera bersiap untuk segera berangkat ke rumah Eva. Perjalanan memakan waktu yang cukup singkat, keadaan jalanan di ibukota cukup sepi hari ini. Sepertinya banyak yang memilih untuk menghabiskan waktu libur di rumah saja.Setelah tiba di sana Mayang disambut dengan hangat oleh kedua orang tua David, hari libur ini menyebabkan semua anggota keluarga berkumpul. Kemudian David mengajak mereka semua untuk berbicara di ruang keluarga."Hari ini aku datang kemari sama Mayang, karena mau ngasih kabar gembira buat semuanya.""Wah, kabar gembira apa tuh? Mama jadi penasaran. "Eva bertanya antusias. Pertanyaan itu juga diikuti tatapan penasaran dari sang suami dan juga Robi. "David mau ngasih tahu, kalau M
"Siapa di sana? Loh, tadi kayak ada suara di ruangan ini, tapi gak orang ternyata." Matang menghela napas. Merasa bod0h karena sudah mau saja ikut mencari suaminya ke gudang stok makanan. Untuk apa? "Makasih, Mbak, mungkin Mbak salah lihat orang." Mayang segera keluar dari area khusus karyawan tersebut. Tentu saja dengan tatapan terheran-heran dari karyawan resto lainnya. "Sayang, kamu dari mana?" tanya David yang berdiri menyambut istrinya. "Aku yang harusnya tanya, kamu dari mana? Kamu buang air kecil atau buang puing bangunan ke Kalimantan?" Mayang merajuk. Mata wanita itu berkaca-kaca karena menahan tangis. "Maafin aku, Sayang. Aku gak kasih tahu kamu. Aku beli ini tadi. Lebih tepatnya nyari ini." Mayang menatap bunga setangkai mawar di depannya. "Ish, kamu ngagetin aku aja! Aku benar-benar cemas kamu kenapa-napa, David!" Mayang memeluk suaminya setelah mendapatkan setangkai bunga mawar merah. Kedua orang tua David pun ikut bernapas lega. Mereka takut anak dan menantu berteng
"Maaf jadi merepotkan kalian berdua." Sri menatap wajah Ela dan Husni bergantian. Dua teman kos Sri itu hanya bisa mengangguk lemas tanpa berani berkomentar. "Gak papa, Mbak Sri. T-tapi Mbak yakin dengan keputusan Mbak? Apa sebaiknya tidak pulang kampung saja. Kondisi wanita yang sedang hamil itu pasti naik turun. Bagaimana kalau... ""Aku gak papa La. Cuma satu pesanku, jika ada lelaki atau perempuan yang mencariku di restoran. Bilang tidak tahu ya karena aku anak baru. Tolong jangan bilang juga keadaanku yang sebenarnya. Aku masih training, jadi pihak resto gak bakal kerepotan kalau aku gak ada, kecuali kalian yang udah senior di sana. Aku titip surat tidak bisa melanjutkan masa training. Aku juga nanti email ke pihak resto. Meskipun aku cuma tamatan SMP, kalau soal urusan kirim dan buka email, aku bisa he he he.... "Ela dan Husni saling pandang. Mereka berdua kasihan pada Sri, tetapi mereka juga tidak bisa banyak membantu karena mereka juga pekerja yang merantau. Setelah dirasa e
"Maaf ya, Sayang." Lagi dan lagi aku mengecewakan istriku. Sungguh malu rasa hati, tapi mau bagaimana lagi. Aku sudah rajin olahraga raga, sudah makan makanan yang benar, menjauhi junkfood dan juga tidak merokok. Kenapa masih saya terlalu fast respon? "Gak papa, Mas. Adanya emang gitu." Sri tersenyum mafhum. Ia seperti baik-baik saja, tapi aku tidak tahu di dalam hatinya seperti apa. Masa sudah bangun, malah jadi pengangguran. Ya ampun, bikin rusak harga diriku saja! "Iya, Mas minta maaf ya. Mas gak tahu lagi mau gimana?" "Gak papa, Mas. Mungkin olah raganya digencarin lagi. Biar baru bangun, gak langsung pengen rebahan lagi." BT sekali rasanya. Sudah enam bulan berlalu dan aku masih belum sembuh juga. Sudah konsultasi ke dokter, hasilnya masih sama. Apa minum obat kuat? "Sayang, hari ini aku mampir ke dokter Arman ya." Sri menuangkan teh ke dalam cangkirku."Bapak sakit apa?" tanya Aji yang duduknya persis di sampingku. "Bapak pusing, mau minta obat ke dokter. Jadi pulangnya ma
Malam ini rasanya berbeda. Aku menghitung sudah tiga bulan lebih tujuh hari menikah dengan Sri, tetapi kali ini Sri yang akhirnya mau menolongku. Benar kata mama, usaha ini bukan hanya dari aku sendiri saja, tetapi support istriku juga penting. Syukurlah Sri orang yang nurut sama orang tua, sehingga ia patuh. Patuh untuk mencoba saran dari mamaku dan juga mak Yah. "Jika sakit, aku akan berhenti," bisikku di telinga Sri. Wanita itu menggelengkan kepala sambil menutup mata. Sejak awal matanya terus terpejam, bukan karena ia jijik, tapi karena ia malu. Sepanjang aktivitas kami pun, rona merah di pipinya tak lekang. Aku bisa merasakannya karena pipi itu menghangat. Sebagai awalan sudah cukup. Dedeknya bisa bangun, hanya saja tidak bisa lama. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh istriku yang masih polos. "Segitu aja ya, Mas?" aku merasa harga diriku kembali dihempaskan ke got. Tidak ada yang salah dari pertanyaan Sri, aku juga paham. "Iya, untuk saat ini segitu dulu, Bu, soalnya di
"Hati-hati ya.""Iya, Mas, makasih udah anter saya." Sri menciyum punggung tanganku. Aku menghela napas kasar saat harus melepaskan Sri kuliah offline hari ini. Padahal aku gak papa kalau Sri tidak sarjana. Aku tetap menghargainya dan sayang sebagai ibu anak-anakku, tapi Sri tetap ingin kuliah. Ia bahkan sangat semangat. Bagaimana nanti kalau di kampus ada mahasiswa yang naksir Sri? Atau gimana kalau ada dosen yang naksir dia? Bisa saja kan? Ditambah aku belum bisa memberikan nafkah batin untuk istriku, makin takut saja jadinya.Aku memutuskan tidak langsung berangkat ke sekolah milikku, tetapi aku masuk ke area parkir kampus. Ya, aku ingin tahu kelas Sri dan teman-temannya. Ruangan kelasnya ada di lantai dua. Aku pun bergegas ke sana. Namun, langkahku terhenti saat melihat Sri sedang bercakap-cakap dengan lelaki muda berkaca mata. Terlihat tampan dan gagah. Mau apa lelaki itu? Aku mengendap-endap mendekat ke arah keduanya. Sri tersenyum, lelaki itu terpesona. Apa ia tidak tahu Sri i
PoV David"Halo, Her, lu masih nyimpen vide0 yang waktu itu?""Gak tahu deh, kayaknya udah aku hapus. HP juga udah gue ganti, kenapa emang?""Ck, gue perlu nih! Belum ada tanda-tanda gue sembuh.""Ya ampun, kasihan sekali kita.""Ya, elu masih bangun, gue? Lelap banget. Aduh, gue gak enak banget sama istri. Kirimin lagi deh! Cari di gdrive!""Oke, Oke, nanti gue cari.""Jangan nanti, gue perlunya sekarang." "Ih, bawel! Iya, gue cari!"Sambungan itu langsung diputuskan oleh Heru. Sri masih ada di dalam kamar mandi, sedang bersih-bersih sebelum tidur. Untung saja anak-anak sudah mau tidur di kamar berdua, sehingga aku dan Sri tidak harus satu kamar dengan anak-anak. Hanya saja, bila malam tiba, aku bingung mau bicara apa lagi dengan Sri. Mau melakukan apa karena kami sama-sama terbatas. Sri terbatas dengan trauma, lalu aku terkendala sakit dari bagian paling penting dalam hidupku sebagai seorang lelaki. "Mas." Aku menoleh dengan terkejut. Sri rupanya sudah selesai mengganti pakaiannya
"Mas, ada apa? Lagi melamun apa?" tanya sang Istri sambil menggerakkan telapak tangannya di depan wajah David. Pria itu tersentak. Di dalam bayangannya, Sri memakai baju terbuka dan sedang duduk di pangkuannya. Mereka berciyuman dengan sangat bergairah, tapi ternyata.... "Mas, kenapa?" tanya Sri lagi. "Ah, gak papa, Sri. K-kamu sudah selesai di kamar mandi?" Sri mengangguk. Wanita itu langsung naik ke ranjang yang masih dipenuhi kelopak bunga. "Mau langsung tidur?" tanya David lagi. Sri mengangguk, lalu detik kemudian ia menguap lebar. "Sini, Mas! Kita tidur!" Sri menepuk sisi sampingnya. Meminta David untuk berbaring juga. Akhirnya David ikut saja. Jika di dalam hayalannya ia begitu berani menyentuh Sri, sebaliknya Sri pun juga senang dengan sentuhannya, maka di saat nyata seperti ini, nyalinya tidak sebesar gairahnya. Apalagi Sri memakai pakaian lengkap. Pasangan piyama dengan celana panjang. "Kamu beneran udah ngantuk?" tanya David lagi. "Belum terlalu, Mas, cuma capek aja."
"Kalau suaranya merdu, berarti enak, Mbak. Kalau suaranya serak, berarti enak banget ha ha ha huk! huk! huk!""Kualat sama anak itu namanya! Malah gibah di depan kamar pengantin anak sendiri!" Deni menarik tangan Eva udah segera beranjak dari depan kamar anaknya. "Ayo, pulang! Dasar emak-emak! Kayak gak pernah muda aja! Untung gak dilihat karyawan hotel!" Asih tersenyum melihat besannya yang berjalan masuk ke dalam lift. Ponselnya berdering karena Robi yang menelepon. "Halo, Robi.""Halo, Bu, kembar udah nunggu di mobil sama Robi, Ela, sama bibik. Ibu ikut pulang gak?""Eh, iya, Ibu ikut, Robi. Tungguin ya!""Iya, Robi jemput di lobi ya, Bu. Ibu tunggu di depan aja!" "Iya, makasih ya." Asih segera berjalan cepat untuk masuk ke dalam lift yang kebetulan terbuka. Ia tidak mau sampai ditinggal pulang oleh Robi dan kedua cucunya. Apalagi ia diamanahi Sri untuk mengurus si Kembar kurang lebih tiga hari. "Asih." Wanita itu mengangkat kepalanya saat menyadari siapa yang baru saja masuk k
"Ma, bagaimana? Ampun, deh, ini nanti kitab terlambat, Ma! Emang belum selesai juga?" David terus mengomel karena Sri belum juga siap, sedangkan mereka harus segera berangkat ke tempat acara akad nikah yang disambung dengan acara resepsi. "Sudah, Nak David. Sri sudah selesai. Katanya Nak David duluan, nanti Sri menyusul dengan mobil yang satunya. Malu katanya," jawab Asih sambil tersenyum. "Malu gimana? Orang udah tahu aslinya!" Lelaki itu mendengus. Gara-gara pesan yang tidak pernah dibaca dan dibalas oleh Sri sejak semalam, David benar-benar kesal dan gemas. "Sudah, nanti kalau kamu ngambek, Sri malah kabur." Eva meledek. David akhirnya memutuskan masuk ke dalam mobil sang Mama yang sudah disulap menjadi mobil pengantin. Ia mengira bisa naik mobil bersama Sri menuju tempat akad, tapi ternyata ia harus berdua mamanya duduk di kursi penumpang. Lalu Sri, naik di mobil yang dikendarai oleh Robi. Mereka pun tiba bersamaan. Lagi-lagi Sri tidak mau melihat calon suaminya, sedangkan lel
"Ibu kenapa?" tanya Sri yang memperhatikan ibunya sejak tadi diam saja. Sepulang dari fitting baju, ibunya tidak banyak bicara dan tetap di dalam kamar saja. "Ibu, Ibu kenapa?" tanya Sri lagi sambil menyentuh pundak ibunya. "Eh, gak papa, Sri. Ibu cuma terharu aja, anak Ibu akhirnya menikah juga." Sri memeluk ibunya. "Semua berkat doa Ibu.""Ya sudah, Sri temani anak-anak main dulu." Asih tersenyum sambil mengangguk. Sri pun keluar dari kamarnya.Setelah melewati aneka rangkaian perawatan pra nikah, Sri akhirnya memiliki waktu untuk bermain bersama si Kembar. Ia memperhatikan wajah dan gerak-gerik buah hatinya yang sejak kejadian kelam lima bulan lalu, kini sudah pulih dan semakin membaik. Anak-anak terlihat lebih berisi dan juga sehat. Aktif dan juga baik hati untuk itu oma dan opa si Kembar sangat senang bermain bersama cucu mereka. Ponselnya berdering. Papanya kembar. Itulah nama kontak yang muncul di layar ponselnya. Sri mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di ata
"Apa kata dokter?" tanya Eva pada putranya. David mengulum senyum sambil melirik Sri yang keluar dari ruang periksa dengan santai. "Disuruh praktek langsung, Ma," jawab David. Eva dan Asih tertawa. "Mana masih tiga belas hari lagi. Masih lama dong ya.""Gak papa, Ma, masih ada waktu buat latihan." David kembali mencolek lengan Sri. Wanita itu mengangkat bahunya karena tak paham. Sepulang dari rumah sakit, mereka langsung pulang ke rumah. Sri tidak diizinkan keluar rumah lagi sampai waktu pernikahan tiba. Mungkin terdengar lucu, ada janda yang dipingit, tapi begitulah Eva dan David inginkan pada Sri. Kelakuan Sri yang sering kabur-kaburan membuat ibu dan anak itu khawatir. Sri tetap disibukkan dengan kuliah yang terpaksa ia lakukan secara online. Untung saja ia mengambil kelas ekstensi sehingga waktu kuliah sabtu dan minggu saja. Semua tugas bisa ia kerjakan dari rumah, tentu saja dibantu oleh David yang kapan saja bersedia menolong calon istri. "Jadi cukup tiga ratus undangan saj