"Boleh nggak, Anita bekerja di kafeku?" Adit mengulang pernikahannya."Aku juga butuh karyawan.""Ayolah, Mbak. Cari pekerja itu susah, mencari yang profesional itu lebih susah, Mbak. Ayolah, Mbak!""Iya … iya … nanti aku bicarakan."Aditya tertawa mendengar gerutuan kakak perempuannya. "Terima kasih, Mbakku Sayang""Kita tanyakan dulu bagaimana kesiapan dia. Jika dia memang bersedia, aku tidak akan menghalanginya.""Oke. Terima kasih. Assalamu 'alaikum."*"Nit, bisa kau buatkan muffin? Aku kemarin belum coba," ucap Lidya. "Baik, Mbak." Anita mengangguk dengan wajah heran.Sumi yang tak jauh dari situ menatap waswas. Ia bertanya-tanya, mengapa Lidya tidak menyuruhnya? Mungkinkah Lidya tahu muffin kemarin itu buatan Anita? Jika iya, siapa yang memberitahu? Mungkinkah Anita atau karyawan lain mengadu pada Lydia?"Awas kau, Nit!"Sumi yang tak jauh dari situ menatap was-was. Ia bertanya-tanya, mengapa Lidya tidak menyuruhnya? Mungkinkah Lidya tahu muffin kemarin itu buatan Anita? Jika
Mata Lidya terbelalak, tak terkecuali Aina dan Mirna. "Kamu sudah punya anak? Kamu memang tidak pernah cerita kehidupanmu pada kami." Lidya tertawa. "Anita … Anita, kenapa kamu tidak kelihatan seperti punya anak? Sekarang anakmu tinggal di mana?""Sudah meninggal."Napas Lidya tertahan. "Maaf.""Tak apa. Itu sudah lama. Sudah hampir setahun." "Kalau boleh tahu, apa sebabnya?""Menderita kanker darah, Mbak." **Anita sangat menikmati pekerjaannya. Membuat kue minat baru dan tidak sesuai dengan basic pendidikannya, tetapi ia merasa bahagia. Meski pekerjaannya hanya di dapur, tetapi sesekali ia mengintip wajah pelanggan untuk melihat bagaimana reaksi mereka saat memakan kue buatannya.Melihat orang bahagia, menyumbang rasa bahagia untuknya. Bos Aditya juga memperlakukannya dengan baik. Jika ada waktu kosong dan sepi, ia belajar membuat kreasi latte.Seperti biasa, Minggu kafe Sebuah Rasa tempat Anita bekerja terlihat rame. Beberapa karyawan terlihat sangat sibuk. Jika Anita tida
"Dasar … cowok saklek," gerutu Anita, lalu langsung memasuki pintu mobil Bayu yang sudah terbuka.Bayu tertawa lepas. "Sepertinya kamu baik-baik saja," ucap Bayu setelah mereka di dalam mobil."Alhamdulillah. Aku menyukai pekerjaanku."Bayu mendesah keras. "Sepertinya dapurku akan kehilangan kokinya."Anita tersenyum. Sesaat ia menoleh, menatap wajah Bayu yang cemerlang. Wajah yang bersih, mata tajam dinaungi dua alis tebal terukir sempurna, hidung mancung dan bibir tipis merah alami. Melihat bibir Bayu, seketika bibirnya melipat ke dalam. "Jangan kamu lakukan lagi!""Hah?"Anita mengangkat tangannya. "Eh … iya ... iya." Bayu melindungi wajahnya dengan kedua lengan. Anita menurunkan tangannya. "Jika kamu memang menyayangiku, kamu juga harus menghargaiku.""Maaf.""Jangan minta maaf, tapi jangan lakukan lagi. Bagaimanapun aku perempuan berkerudung. Meski kerudungku masih belum bisa dibilang sempurna."Bayu menoleh. Menatap setiap inchi kerudung warna krim yang membalut kepala An
Muncul setitik harap di mata Abbas ketika melihat Anita. Ia berbisik kepada Qori yang masih terpejam. "Nak, Tante Anita sudah datang. Buka matamu!"Qori tidak bereaksi. "Nak!"Bayu menyentuh bahu Abbas. Wajah Abbas lesu, lelah dan setengah putus asa."Sebaiknya Bapak istirahat. Biar saya yang jaga Qori." Anita menawarkan diri. "Tidak. Saya ingin terus menemaninya. Saya tidak bisa membuang kecemasan ini.""Sebaiknya kamu istirahat. Mumpung ada Anita yang menjaga. Kamu juga harus jaga kesehatan.""Tapi--"Bayu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Mang Yuni, kemarilah!" Abbas beralih menatap Qori. "Beberapa hari ini Qori selalu menyebut nama Ibu Anita. Bahkan dalam mimpi pun dia sering memanggil nama Ibu.""Maaf ya, Pak."Abbas menggeleng. "Ini bukan salah Ibu. Saya yang salah, masih tidak bisa menggantikan sosok seorang ibu untuknya."Anita hanya diam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tak lama muncul Anang Yuni. "Mang, antar Abbas ke hotel sebelah."Abbas terkesiap. Sesaat ia
Anita juga percaya Bayu. Sangat percaya, tetapi tidak bisa optimis dengan masa depannya. Mungkinkah suatu saat akan datang juga seorang perempuan lain untuk Bayu? "Kamu sudah bangun?" tanya Bayu. Matanya belum sempurna terbuka. Anita bergegas berdiri. Ia mengelus dadanya yang berdebar hebat. Begini rasanya takut kalau ketahuan mencuri, batin Anita. Beberapa orang terlihat tidur di lantai ruangan itu. Hanya ia dan Bayu yang tidur di bangku. "Keluarga Abdullah Qori!" Anita dan Bayu saling bersitatap, lalu bergegas menuju ruang ICU. Jantung Anita berdetak cepat. Kecemasan sempurna menguasainya. Kenangan bersama Izza seketika berkelabat. "Qori? Kamu sudah sadar, Nak?" Anita merasakan matanya menghangat. Sesaat ia menatap Bayu. Bayu memberinya senyuman meyakinkan. "Tante?" lirih Qori. Anita tersenyum haru. Air matanya tumpah. Ia segera menggenggam tangan Qori. "Syukurlah. Kamu sudah sadar."**Setelah dipastikan dalam kondisi aman, Qori dipindah ke ruang rawat inap. Supaya Qori d
"Bos?""Cake buatanmu salah satu khas kafe ini. Kalau diganti, otomatis beda rasa atau jangan-jangan beda menu nanti. Aku tidak mengizinkanmu pergi. Titik.""Permisi … boleh saya masuk?!"**"Akhirnya satu masalahku selesai berkat kamu," ucap Anita lesu ketika mereka keluar dari kafe Sebuah Rasa. Bayu mendesis. "Kenapa sih, kamu alergi banget aku tolong?!" "Bukan begitu." Anita meletak box peralatannya ke dalam mobil Bayu. Sejenak ia menatap kafe yang sempat memberinya angin segar. Betapa ia menyukai menjadi pembuat kue. Kegiatan itu selalu mengingatkannya wajah puas Izza. "Aku cuma tak suka memakai kekuasaan orang lain.""Kekuasaan gimana? Kamu membuatku seperti penguasa yang zalim. Bukankah tadi aku hanya memberi alternatif yang disetujui bosmu?""Sudahlah! kamu tidak akan mengerti." Anita memasuki mobil Bayu. Bayu duduk di sampingnya. Sesaat keduanya sama-sama membisu. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. "Kenapa, aku merasa kamu masih membatasi diri dariku?" ucap Bayu send
"Oh, iya. Apa kamu pernah belajar bikin latte art?" tanya Bayu, berbaur dengan suara mesin kopi. Anita meletak coklat yang sudah leleh di atas meja. "Pernah. Tapi belum mahir banget.""Tapi aku bisa request dong!" Aroma kopi telah memenuhi ruang dapur, berpadu dengan aroma coklat dari Anita. "Bisa, asal sesuai sikon." "Apa aku harus beli mesinnya?" Anita tertawa. "Dasar ya, orang kelebihan duit. Memang mau minum berapa cangkir sehari? Mending beli di kafe deh, daripada beli mesin puluhan juta.""Tapi, aku kan mau buatanmu," sahut Bayu, dengan nada yang membuat Anita mengangkat wajahnya. "Dasar, Baygon," ejek Anita. Bayu sudah sibuk di laptopnya. *"Ma--!" Anita tercengang dengan panggilan itu. "Heh?""Mama. Tante, mau kan jadi mama Qori?!"Bayu yang duduk di dapur terhenti gerakannya. Sambil minum, matanya melirik ke arah Anita.Anita masih kebingungan harus menjawab apa. Dipanggil mama, Apakah artinya itu juga menjadi istri Abbas? Sesaat ia menatap ke arah Abbas yang juga men
"Karin," lirih Bayu. "Kamu kan yang menelpon ibunya Intan dan memfitnah Anita?"Karin tersentak. Bagaimana Bayu tahu hal ini? Padahal tidak ada yang tahu selain dirinya. Mungkinkah ibunya yang memberi tahu? Tidak mungkin. Ibunya memang pernah curiga, tetapi ia mengelak dan berhasil meyakinkan ibunya."Ke--napa … Bapak menuduhku begitu?""Malam sebelum kejadian, saat di dapur, kamu meminjam ponsel ibumu. Kamu menyalin salah satu nomor dari ponsel ibumu. Yang kamu simpan itu nomor mamanya Intan kan?" "Aku menyimpan nomor orang lain.""Siapa?" suara Bayu pelan, tetapi membuat badan Karin gemetaran."Nomooor ….""Jujurlah, Karin! Kenapa kamu lakukan itu?""Karena aku benci dia. Aku benci cara Bapak menatapnya. Aku benci cara Bapak memperlakukannya. Aku benci semua yang Bapak berikan padanya," ucap Karin secara beruntun. Seakan-akan kalimat-kalimat itu telah lama terpendam, dan sekarang meledak berhamburan."Kamu puas setelah melakukan itu?""Aku--"Bayu membuka ponselnya, lalu menyerahk
Mata Anita masih mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. "Kita di mana?" "Di rumah sakit. Syukurlah. Akhirnya kau sudah sadar," ucap sambil menciumi tangan Anita. "Maaf. Aku telah mengganggumu malam pertamamu," lirih Anita.Bayu menggeleng. "Jangan ingatkan aku dengan perkawinan itu! Kau membuatku ketakutan." Bayu terisak. Anita mengelus kepala Bayu. "Maaf. Jangan menangis! Aku sudah tidak apa-apa. Bagaimanapun kau mempunyai dua keluarga, kau harus kuat," ucap Anita tertatih. Entah kenapa ia merasakan kebas rasa. Tak punya tenaga, meski hanya untuk cemburu.Bayu merebahkan kepalanya, menjadikan tangan Anita sebagai alas. "Aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin menjadi bayimu. Selamanya."Anita tersenyum. "Dasar, Baygon. Pulanglah!""Jangan memaksaku!""Aku hanya tidak ingin kau jadi laki-laki tidak adil." "Justru tidak adil, jika aku di sana, sedang di sini kau terkulai lemas di sini.""Bayu, malam ini ….""Ah tunggu, kita panggil dokter dulu."Bayu langsung memence
"Nit! Anit!" Tidak ada jawaban. Bayu mempercepat ketukannya. Senyap. Abbas muncul dari kamar lain dengan wajah kusut. Ketukan dan panggilan Bayu mengusik tidurnya. Karin juga keluar. "Ada apa, Pak?" tanya seorang karyawan."Istri saya ada di dalam, bisa minta kartu kunci duplikat?""Sebentar, ya Pak," ucap karyawan dengan sedikit bingung. Sesaat ia sempat menoleh Karin yang masih berpakaian pengantin. Cahya bergegas melihat Bayu berlalu di depan kamar Anita. Qori dan Huda juga mempercepat langkah mereka. Karyawan datang membawakan cardlock duplikat lalu langsung membukakan pintu. Bayu langsung menerobos. Cahya, Huda dan Qori ingin masuk, tetapi Abbas mencegah mereka. "Biarkan Papa Bayu melihatnya."Di dalam kamar gelap. Bayu membuka lampu. Anita tidak terlihat. Bayu terperanjat ketika melihat telapak kaki Anita tergeletak di lantai. "Nit!" Bayu bergegas meraih kepala Anita lalu mengguncangnya. "Nit!" Tidak ada respon. "Huda, Qori!" teriak Bayu panik. Ia segera mengangkat
"Tapi Kakak yang paling terluka di sini.""Ini takdirku, Cahya. Seberapa besar pun aku berusaha melepaskan diri takdir ini, selalu muncul bagian diriku yang tidak tega meninggalkannya." "Jika itu keputusan Kakak, aku dukung." Cahya meraih bahu Kakaknya. Air mata Anita kembali merembes. "Seberapa pun aku menyiapkan diri, tetap saja hati ini getir. Yang lebih nelangsa, aku tidak boleh menangis di depannya, dan kedua anakku. Aku harus kelihatan lebih tegar agar mereka juga bisa kuat." "Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuan. Jika Allah buka hati Kakak untuk tetap di sisi Kak Bayu, Allah pasti memberikan kekuatan lain pada Kakak yang mungkin saat ini tidak Kakak sadari."Di luar sepasang mata sendu mengalirkan air mata antara haru dan pilu. Ia tidak menyangka memiliki istri setulus Anita. Ia sempat menilai berprasangka buruk pada Anita karena tiba-tiba meminta lebih dari separuh hartanya. Ia tetap memberi Anita, karena perasaannya yang terlanjur mencinta.Beberapa menit
Sesaat Abbas menatap isi cangkir yang masih mengepulkan asap. "Haruskah dia kubawa kembali ke Balikpapan?" Bayu menarik cangkir di tangannya, lalu meletakkan ke atas meja. Ia memilih duduk di sofa satu dudukan."Jika itu pilihannya dan bisa membuatnya bahagia," tantang Bayu.Abbas mengerutkan kening. Menatap wajah Bayu yang terlihat tenang. Diam-diam Abbas mengagumi sikap Bayu. Tenang, tetapi tegas.Dua sifat inilah yang mengantarkan Bayu bisa setinggi sekarang ini. Abbas duduk di sofa panjang. Refleks ia mengambil cangkir yang tadi diletakkan Bayu. "Tapi kau harus berbalik dan memulainya dari awal, sama seperti kau mengambil kopi itu. Tapi Anita bukan cangkir, bukan pula kopi. Ia memiliki pilihannya sendiri." "Aku tidak rela kau menduakannya.""Kau pikir aku rela? Aku pun berpikir keras bagaimana supaya pernikahanku dengan Karin tidak terjadi.""Haruskah aku yang menikahi Karin?" Bayu tertawa. "Dari mana kau mendapatkan kepercayaan diri setinggi ini?"**"Pak!" Karin tersenyum
Hari pernikahan Bayu dengan Karin sudah ditentukan. Undangan sudah disebarkan. Atas permintaan Acil Imah rencana perkawinan mereka diselenggarakan cukup mewah. Karena Karin anak Acil Imah satu-satunya. Baru beberapa hari undangan disebarkan, Anita semakin merasa tertekan. Berbagai pandangan mengarah kepadanya. Tatapan kasihan, meremehkan bahkan menghina menjadi santapannya beberapa hari terakhir. Sedang beberapa gadis lainnya semakin terang-terangan mendekatinya. Sebuah minuman dalam gelas plastik mendarat di atas mejanya. Ia mencermati nama kafe yang tertulis di gelas itu. Lalu menengadahkan kepala, menatap si pemberi. "Kafe baru buka di dekat sini. Kebetulan aku mampir, jadi aku pesan aja dua. Sekalian buat Bu Anita."Anita terdiam. Mengamati perempuan di depannya. Dibanding Adilia, kali ini pakaian dan tutur katanya lebih sopan. Hanya saja, Anita tetap tidak bisa membuang kecurigaan. "Hallo, Nit." Tiba-tiba seorang laki-laki datang. Dengan santainya ia mengambil gelas itu dan
Bayu tersenyum. Ia mengecup sekilas sepasang merah ranum di wajah Anita. "Memangnya apa yang kau inginkan?""Aku ingin 52% saham dan semua harta dari yang kau miliki."Bayu terperanjat. Ia terdiam, mengamati setiap partikel manik hitam istrinya. Ia memang pebisnis handal, tapi bukan sebagai seorang laki-laki. Meski begitu, ia perlu mencerna setiap situasi. Memprediksi berbagai kemungkinan. Satu hal yang harus ia sadari, pemikiran perempuan lebih rumit daripada struktur perusahaan. Ia curiga ini bukan sekadar permintaan materi, melainkan sebuah ujian. Bukan sekadar dipenuhi atau tidak, melainkan bom waktu. Tak peduli memilih kabel yang mana, keduanya berisiko meledak.Mata Anita bergerak-gerak, menunggu keputusan Bayu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia merasa jawaban Bayu adalah hidup matinya. Iya atau tidak, keduanya berisiko tebasan nyawa.Semenit dua menit berlalu. Keduanya masih terdiam. HeningBayu mempertimbangkan banyak hal. Jika tidak dikabulkan, jawabannya s
"Kalian, ngomong apa? Siapa yang menderita? Mama tidak mengerti." Sekuat tenaga Anita menahan bendungan yang hampir jebol di matanya. "Kalau itu bukan penderitaan, Mama tidak akan pisah dengan Ayah Izza," tukas Huda."Itu beda kasus, Huda. Jangan sama Papa dengan Ayah Izza," sahut Anita."Pada akhirnya Mama diduakan 'kan? Huda tahu, ini juga berat buat Papa karena Papa juga mencintai Mama, tetapi Mama tidak perlu berkorban sejauh itu."Lidah Anita kelu. "Jika Mama ingin pergi dari sini, jangan ragu. Kami akan menjaga Mama.""Huda?!""Ma, ada yang nawar lukisan Huda lagi. Mama jangan khawatir! Huda sudah punya tabungan. Huda akan terus bisa menghasilkan uang."Anita tertawa. Air matanya merembes. "Huda, kamu tidak perlu berbuat sejauh itu. Huda punya ibu kandung yang harus dilindungi. Lagi pula Mama bisa menjaga diri, masih bisa bekerja. Jangan khawatir. Mama tetap stay di sini, itu pilihan Mama."Huda terdiam. Ia mencermati manik hitam milik Anita. "Lihatlah, Mama menangis. Jangan p
"Artinya kau tetap bersamaku?"Hatinya remuk melihat mata Anita yang basah. Egois, jika tetap mempertahankan Anita, sementara dirinya akan mendua. Akan tetapi, dalam satu biduk pun ia tidak bisa jauh dari wanita itu.Bagaimana nanti jika biduknya bertambah lagi? Menambah rumah tangga tak semudah menambah perusahaan. Menambah perusahaan berisiko kerugian materi yang tidak sedikit, tetapi menambah biduk berisiko luka yang mungkin tidak akan sembuh dengan seratus perusahaan.Ia semakin membutuhkan Anita.Anita mendesah. "Entahlah. Aku tidak berani berjanji. Memikirkannya hanyalah membuatku lelah. Kenyataannya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain mundur."Anita menenggelamkan wajahnya ke dada Bayu. Betapa ia sangat menyukai aroma itu, pelukan yang kokoh dan hangat. Betapa ia ingin Bayu selalu di sisinya seumur hidup."Kita nikmati saja hari ini. Biarkan hari ini tanpa memikirkan besok. Hari ini kau milikku, itu sudah lebih dari cukup." Bayu mengecup pucuk kepala istrinya. "Haruskah kit
"Sebaiknya ceraikan saja aku."Bayu tersedak. Anita segera memberikan gelas miliknya. "Pelan-pelan," ucapnya. Bayu menurunkan gelasnya. Susah payahnya ia menelan sisa-sisa cake di mulutnya. Ia meraih tangan Anita. "Kumohon tetap stay di sisiku. Bagiku kamu segala-galanya. Mungkin suatu saat badan ini telah terbagi, tapi percayalah, hati ini hanya untukmu."Anita menggeleng. "Aku percaya padamu. Tapi aku tak percaya pada takdirku.""Nit?!" "Dulu aku berlepas dari Ridwan karena tidak ingin dimadu, ternyata aku mengalami hal serupa denganmu.""Nit, jangan samakan aku dengan Ridwan!" "Aku percaya cintamu. Tapi aku tak percaya pada diriku sendiri." Anita mengangkat wajahnya, menatap Bayu. "Aku sangat mencintaimu. Sangat. … melebihi diri ini. Kau pasti tau, cinta yang berlebihan, akan merasakan sakit yang tidak tertahankan jika terluka.""Nit!" Bayu meremas kedua tangan istrinya. "Aku khawatir nanti akan menyakitimu. Kau tau sifatku yang sewaktu-waktu bisa meledak. Aku tidak ingin bom