Anita tersentak. Ia segera mengklik foto profil Zubaidah. Beranda Zubaidah penuh dengan cacian dan makian. "Ke mana Zubaidah?" desisnya. Anita terus menscroll wall Zubaidah, hingga menemukan berita duka. Bahwa putra Zubaidah meninggal. Itu status terakhir dari Zubaidah. Anita terhenyak. Selama berteman dengan di rumah sakit, Zubaidah terlihat orang baik-baik. Tidak ada sedikitpun kesan kalau Zubaidah orang culas. Anita menduga Zubaidah bersembunyi bukan berarti mau lepas tanggung jawab, melainkan untuk menghindari dari desakan penagih, dengan tetap berupaya mencari dana untuk melunasi hutang. Terngiang di benaknya sewaktu Zubaidah bercerita bahwa mereka bertahan hidup ditopang hutang. Sekarang putranya telah pergi meninggalkan luka, hutang juga cercaan. Anita mendesah. Ia teringat bagaimana Ridwan, ayahnya Izza, mantan suaminya dulu ketika dulu juga terjerat hutang? Kesalahan Ridwan hanyalah tidak menceritakan permasalahan itu kepadanya. Kalaupun Ridwan menceritakan itu, apa y
"Mengapa Izza pergi, Cil? Bukankah kemarin Izza dinyatakan negatif?"Anita melepaskan pelukannya. Memegang pundak Huda. Anak itu masih sesenggukan. Anita mengusap wajah Huda yang basah. "Itu sudah kehendak Allah. Mungkin Allah sangat menyayangi Izza. Di dekat Allah, mungkin itulah tempat yang paling aman dan indah buat Izza." Anita membayangkan, seandainya Izza masih hidup sampai sekarang, bagaimana Izza menjalani harinya tanpa orang tua yang lengkap?"Kita coba ikhlaskan Izza, ya. Supaya dia tenang di sana."Huda mengangguk lamban."Sekarang yang penting bagaimana Huda supaya bisa melewati masa-masa sulit ini. Huda harus sehat. Ya."Huda kembali mengangguk. "Koq, sepi?" Anita melongokkan kepalanya ke samping. "Ibu mana?""Iya. ada yang opname, ada juga yang pulang. Ibu pulang ke Sampit.""Heh? Kenapa?"Huda tersenyum lebar. "Ulun sudah selesai kemo, Cil. Jadi ibu pulang.""Alhamdulillah. Selamat ya. Tapi kenapa kamu masih di sini?""Om Bayu memintaku tinggal di sini. Om Bayu janji
Bayu berdeham. Ia mengambil cangkir kopi. "Tapi bagaimana dengan suamimu? Dia mengizinkan tidak?""Kami sudah bercerai." Gerakan Bayu terhenti. "Maaf "Anita hanya mengedikkan bahunya. "Dalam waktu singkat aku telah kehilangan segalanya. Ironis. Tapi mungkin ini yang terbaik. Oh iya."Anita mengambil sebuah benda tipis di kantongnya, lalu meletakkan di depan Bayu. "Aku tidak memerlukan ini lagi."Bayu mendesah. Ia mendorong kartu ke hadapan Anita. "Kartu ini dan isinya sudah kuberikan padamu pada Izza. Meski Izza tiada, kau bisa menyimpannya buat jaga-jaga. Apalagi sekarang kau sudah bercerai. Otomatis tidak ada masukan untukmu. Ambillah."Anita mengambil kartu itu ragu. Bayu melihat kalau wanita di hadapannya sedang memikirkan sesuatu. "Katakanlah!" Anita menarik napasnya terlebih dahulu. "Bagaimana kalau isinya aku pinjam dulu untuk bayar hutang kepada Rana.""Kau punya hutang?""Ridwan. Saat kami di sini, ia kena tipu. Singkat cerita ia berhutang pada Rana, dan akhirnya sepert
"Justru aku yang minta maaf. Aku tak menyangka kamu mengalami hal seperti itu. Tapi bagaimana kamu bisa sampai menjadi sukses seperti sekarang ini? Padahal saat itu usiamu saat itu masih belia?"**Bayu remaja berjalan pelan memasuki ruang rumahnya yang sudah banyak orang, mengelilingi mayat yang ditutup dengan kain panjang. Tatapan iba langsung menyambutnya. Seorang tetangga langsung berdiri demi melihat kedatangan Bayu. "Sabar ya, Nak."Dada Bayu berdegup semakin kencang. Dibimbing oleh tetangganya, dengan pelan ia membuka kain yang menutupi wajah. "Ibu…." Bayu langsung memeluk jasad ibunya yang dingin. Ia berteriak memanggil-manggil sambil mengguncang badan ibunya. "Bu, bangun! Bangun, Bu. Jangan pergi! Fatimah masih sakit. Bu, jangan tinggalkan kami."Semua perempuan dewasa yang ada di sana menangis tersedu-sedu melihat Bayu yang meraung-raung.Saat ikut memandikan mayat ibunya, ia melihat bekas tali di leher ibunya dan ada memar di wajah, pergelangan dan kaki. Dari sana ia
Biarlah ia mati di kota asing, tanpa sanak saudara. Setidaknya, tidak lagi melihat tatapan iba.Kerasnya kehidupan yang dijalaninya, membuatnya menjadi remaja pemberani dan sensitif. Bayu remaja, ternyata mewarisi bakat berdagang dari ibunya. Tempat pertama kali yang ditujunya adalah pasar. Pengalaman yang dialami ibunya, rupanya memberi bekal yang luar biasa. Ia tidak ingin gegabah menggunakan sisa tabungannya untuk langsung dijadikan modal.Pekerjaan pertama dijalaninya adalah menjadi buruh pasar. Lalu penjaga toko, jika ada kesempatan ia menjadi makelar sampai akhirnya ia berani berdagang sendiri.Hari-hari melihat wajah bengis ayahnya dikiranya sudah cukup sebagai modal untuk berhati-hati. Ternyata tidak. Ia tidak lolos dari korban penipuan. Tabungannya habis. Kembali lagi menjadi buruh, tetapi hati dan mentalnya semakin matang.Di usia awal dua puluh tahunan, ia sudah menjadi pedagang sukses. Meski demikian, ia tidak lupa menyisihkan sedikit uangnya untuk anak-anak kanker. Meli
"Di rumah biasanya memang sama saya kalau ibunya kerjanya, tapi entah kenapa malam ini jadi rewel?" ucap Farhat setengah berbisik. "Mungkin ini pertama kali bagi tanpa ibu. Terlebih lagi dengan kondisinya sekarang ini, ia semakin memerlukan keberadaan ibunya."Farhat mengangguk. Ia menatap iba wajah putrinya di gendongan Anita.Karena terlihat nyenyak, Anita mencoba membaringkan Intan di kasur. Namun, Intan kembali menangis ketika terlepas dari tangannya. Anita langsung meraihnya, Intan langsung diam dan memejamkan mata. Terdengar dengkuran halus dari Intan. Mata Anita berkaca-kaca. Sesak kembali memenuhi ruang kosong di relung hatinya.**Pagi di ruang dapur Rumah Bahagia, Bayu memilih duduk di samping Huda. Sedang Karin berdiri di samping ibunya yang membuat kopi.Bayu tersenyum melihat Huda yang asik membaca komik, sedang mulutnya sibuk mengunyah makanan.Ia mengacak rambut Huda. "Kalau lagi makan, ya makan, selesaikan. kalau sudah selesai, terserah mau apa.""Hoaaah …." Anita ke
Sampai di dalam kafe, Bayu berhenti sejenak, pandangannya mengedar hingga retinanya menangkap lambaian seorang wanita. Anita masih berdiri menunggunya. Anita sengaja memesan untuk orang banyak. Di tempat paling pojok, dengan meja panjang diapit oleh dua belas bangku. "Sudah lama?" tanya Bayu."Tidak. Aku dan Huda juga baru sampai. Oh, ya Bayu, kenalkan ini Isal. Pelopor grup Satu Jiwa." "Hallo, selamat malam, saya Bayu."Bayu mengulurkan tangannya kepada seorang pemuda yang duduk bersisian dengan Huda, berseberangan dengan Anita. "Isal, ini Bayu. Pemilik Rumah Bahagia."Mata Isal mengkilat. "Saya Muhammad Risaldi. Panggil saja Isal. Senang sekali, akhirnya bisa bertemu dengan Bapak."Bayu hanya tersenyum tipis. "Saya juga." "Kalau yang lainnya adalah membernya. Dari mereka inilah biasanya Isal mencari pendonor yang siap menyumbangkan darahnya."Bayu lanjut menyalami tiga orang pemuda di sana. Ia mempersilakan duduk dengan gerakan tangan. Mengabaikan beberapa tiga orang cewek yang
Sampai di kamar, Bayu langsung menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar, tetapi pikiran terjebak dalam teka-teki perasaannya.Memikirkan bagaimana bahagianya saat menerima pesan Anita. Menanti malam rasanya menunggu puluhan hari. Mengapa ia sebahagia ini? Awalnya ia memahami bahwa itu karena Anita sudah menjadi adiknya. Namun, pemikiran itu berubah ketika menyadari ada yang tidak nyaman saat melihat laki-laki lain menatap suka kepada Anita. Ia juga tidak suka Anita memuji laki-laki lain. Malam ini bisa dikatakan durasi yang paling panjang duduk di samping Anita setelah Izza meninggal. Biasanya Anita memilih duduk berseberangan dengannya, kalaupun sangat dekat, pasti ada alasannya. Ia sangat menyukai penampilan Anita malam ini. Perpaduan warna yang dikenakan Anita terasa sempurna di matanya. Ia juga menyukai aroma parfum milik Anita. Lembut, samar, tapi membuat perasaan ingin selalu di samping wanita itu.Malam itu, Bayu menyadari, perasaannya kepa
Mata Anita masih mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. "Kita di mana?" "Di rumah sakit. Syukurlah. Akhirnya kau sudah sadar," ucap sambil menciumi tangan Anita. "Maaf. Aku telah mengganggumu malam pertamamu," lirih Anita.Bayu menggeleng. "Jangan ingatkan aku dengan perkawinan itu! Kau membuatku ketakutan." Bayu terisak. Anita mengelus kepala Bayu. "Maaf. Jangan menangis! Aku sudah tidak apa-apa. Bagaimanapun kau mempunyai dua keluarga, kau harus kuat," ucap Anita tertatih. Entah kenapa ia merasakan kebas rasa. Tak punya tenaga, meski hanya untuk cemburu.Bayu merebahkan kepalanya, menjadikan tangan Anita sebagai alas. "Aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin menjadi bayimu. Selamanya."Anita tersenyum. "Dasar, Baygon. Pulanglah!""Jangan memaksaku!""Aku hanya tidak ingin kau jadi laki-laki tidak adil." "Justru tidak adil, jika aku di sana, sedang di sini kau terkulai lemas di sini.""Bayu, malam ini ….""Ah tunggu, kita panggil dokter dulu."Bayu langsung memence
"Nit! Anit!" Tidak ada jawaban. Bayu mempercepat ketukannya. Senyap. Abbas muncul dari kamar lain dengan wajah kusut. Ketukan dan panggilan Bayu mengusik tidurnya. Karin juga keluar. "Ada apa, Pak?" tanya seorang karyawan."Istri saya ada di dalam, bisa minta kartu kunci duplikat?""Sebentar, ya Pak," ucap karyawan dengan sedikit bingung. Sesaat ia sempat menoleh Karin yang masih berpakaian pengantin. Cahya bergegas melihat Bayu berlalu di depan kamar Anita. Qori dan Huda juga mempercepat langkah mereka. Karyawan datang membawakan cardlock duplikat lalu langsung membukakan pintu. Bayu langsung menerobos. Cahya, Huda dan Qori ingin masuk, tetapi Abbas mencegah mereka. "Biarkan Papa Bayu melihatnya."Di dalam kamar gelap. Bayu membuka lampu. Anita tidak terlihat. Bayu terperanjat ketika melihat telapak kaki Anita tergeletak di lantai. "Nit!" Bayu bergegas meraih kepala Anita lalu mengguncangnya. "Nit!" Tidak ada respon. "Huda, Qori!" teriak Bayu panik. Ia segera mengangkat
"Tapi Kakak yang paling terluka di sini.""Ini takdirku, Cahya. Seberapa besar pun aku berusaha melepaskan diri takdir ini, selalu muncul bagian diriku yang tidak tega meninggalkannya." "Jika itu keputusan Kakak, aku dukung." Cahya meraih bahu Kakaknya. Air mata Anita kembali merembes. "Seberapa pun aku menyiapkan diri, tetap saja hati ini getir. Yang lebih nelangsa, aku tidak boleh menangis di depannya, dan kedua anakku. Aku harus kelihatan lebih tegar agar mereka juga bisa kuat." "Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuan. Jika Allah buka hati Kakak untuk tetap di sisi Kak Bayu, Allah pasti memberikan kekuatan lain pada Kakak yang mungkin saat ini tidak Kakak sadari."Di luar sepasang mata sendu mengalirkan air mata antara haru dan pilu. Ia tidak menyangka memiliki istri setulus Anita. Ia sempat menilai berprasangka buruk pada Anita karena tiba-tiba meminta lebih dari separuh hartanya. Ia tetap memberi Anita, karena perasaannya yang terlanjur mencinta.Beberapa menit
Sesaat Abbas menatap isi cangkir yang masih mengepulkan asap. "Haruskah dia kubawa kembali ke Balikpapan?" Bayu menarik cangkir di tangannya, lalu meletakkan ke atas meja. Ia memilih duduk di sofa satu dudukan."Jika itu pilihannya dan bisa membuatnya bahagia," tantang Bayu.Abbas mengerutkan kening. Menatap wajah Bayu yang terlihat tenang. Diam-diam Abbas mengagumi sikap Bayu. Tenang, tetapi tegas.Dua sifat inilah yang mengantarkan Bayu bisa setinggi sekarang ini. Abbas duduk di sofa panjang. Refleks ia mengambil cangkir yang tadi diletakkan Bayu. "Tapi kau harus berbalik dan memulainya dari awal, sama seperti kau mengambil kopi itu. Tapi Anita bukan cangkir, bukan pula kopi. Ia memiliki pilihannya sendiri." "Aku tidak rela kau menduakannya.""Kau pikir aku rela? Aku pun berpikir keras bagaimana supaya pernikahanku dengan Karin tidak terjadi.""Haruskah aku yang menikahi Karin?" Bayu tertawa. "Dari mana kau mendapatkan kepercayaan diri setinggi ini?"**"Pak!" Karin tersenyum
Hari pernikahan Bayu dengan Karin sudah ditentukan. Undangan sudah disebarkan. Atas permintaan Acil Imah rencana perkawinan mereka diselenggarakan cukup mewah. Karena Karin anak Acil Imah satu-satunya. Baru beberapa hari undangan disebarkan, Anita semakin merasa tertekan. Berbagai pandangan mengarah kepadanya. Tatapan kasihan, meremehkan bahkan menghina menjadi santapannya beberapa hari terakhir. Sedang beberapa gadis lainnya semakin terang-terangan mendekatinya. Sebuah minuman dalam gelas plastik mendarat di atas mejanya. Ia mencermati nama kafe yang tertulis di gelas itu. Lalu menengadahkan kepala, menatap si pemberi. "Kafe baru buka di dekat sini. Kebetulan aku mampir, jadi aku pesan aja dua. Sekalian buat Bu Anita."Anita terdiam. Mengamati perempuan di depannya. Dibanding Adilia, kali ini pakaian dan tutur katanya lebih sopan. Hanya saja, Anita tetap tidak bisa membuang kecurigaan. "Hallo, Nit." Tiba-tiba seorang laki-laki datang. Dengan santainya ia mengambil gelas itu dan
Bayu tersenyum. Ia mengecup sekilas sepasang merah ranum di wajah Anita. "Memangnya apa yang kau inginkan?""Aku ingin 52% saham dan semua harta dari yang kau miliki."Bayu terperanjat. Ia terdiam, mengamati setiap partikel manik hitam istrinya. Ia memang pebisnis handal, tapi bukan sebagai seorang laki-laki. Meski begitu, ia perlu mencerna setiap situasi. Memprediksi berbagai kemungkinan. Satu hal yang harus ia sadari, pemikiran perempuan lebih rumit daripada struktur perusahaan. Ia curiga ini bukan sekadar permintaan materi, melainkan sebuah ujian. Bukan sekadar dipenuhi atau tidak, melainkan bom waktu. Tak peduli memilih kabel yang mana, keduanya berisiko meledak.Mata Anita bergerak-gerak, menunggu keputusan Bayu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia merasa jawaban Bayu adalah hidup matinya. Iya atau tidak, keduanya berisiko tebasan nyawa.Semenit dua menit berlalu. Keduanya masih terdiam. HeningBayu mempertimbangkan banyak hal. Jika tidak dikabulkan, jawabannya s
"Kalian, ngomong apa? Siapa yang menderita? Mama tidak mengerti." Sekuat tenaga Anita menahan bendungan yang hampir jebol di matanya. "Kalau itu bukan penderitaan, Mama tidak akan pisah dengan Ayah Izza," tukas Huda."Itu beda kasus, Huda. Jangan sama Papa dengan Ayah Izza," sahut Anita."Pada akhirnya Mama diduakan 'kan? Huda tahu, ini juga berat buat Papa karena Papa juga mencintai Mama, tetapi Mama tidak perlu berkorban sejauh itu."Lidah Anita kelu. "Jika Mama ingin pergi dari sini, jangan ragu. Kami akan menjaga Mama.""Huda?!""Ma, ada yang nawar lukisan Huda lagi. Mama jangan khawatir! Huda sudah punya tabungan. Huda akan terus bisa menghasilkan uang."Anita tertawa. Air matanya merembes. "Huda, kamu tidak perlu berbuat sejauh itu. Huda punya ibu kandung yang harus dilindungi. Lagi pula Mama bisa menjaga diri, masih bisa bekerja. Jangan khawatir. Mama tetap stay di sini, itu pilihan Mama."Huda terdiam. Ia mencermati manik hitam milik Anita. "Lihatlah, Mama menangis. Jangan p
"Artinya kau tetap bersamaku?"Hatinya remuk melihat mata Anita yang basah. Egois, jika tetap mempertahankan Anita, sementara dirinya akan mendua. Akan tetapi, dalam satu biduk pun ia tidak bisa jauh dari wanita itu.Bagaimana nanti jika biduknya bertambah lagi? Menambah rumah tangga tak semudah menambah perusahaan. Menambah perusahaan berisiko kerugian materi yang tidak sedikit, tetapi menambah biduk berisiko luka yang mungkin tidak akan sembuh dengan seratus perusahaan.Ia semakin membutuhkan Anita.Anita mendesah. "Entahlah. Aku tidak berani berjanji. Memikirkannya hanyalah membuatku lelah. Kenyataannya aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain mundur."Anita menenggelamkan wajahnya ke dada Bayu. Betapa ia sangat menyukai aroma itu, pelukan yang kokoh dan hangat. Betapa ia ingin Bayu selalu di sisinya seumur hidup."Kita nikmati saja hari ini. Biarkan hari ini tanpa memikirkan besok. Hari ini kau milikku, itu sudah lebih dari cukup." Bayu mengecup pucuk kepala istrinya. "Haruskah kit
"Sebaiknya ceraikan saja aku."Bayu tersedak. Anita segera memberikan gelas miliknya. "Pelan-pelan," ucapnya. Bayu menurunkan gelasnya. Susah payahnya ia menelan sisa-sisa cake di mulutnya. Ia meraih tangan Anita. "Kumohon tetap stay di sisiku. Bagiku kamu segala-galanya. Mungkin suatu saat badan ini telah terbagi, tapi percayalah, hati ini hanya untukmu."Anita menggeleng. "Aku percaya padamu. Tapi aku tak percaya pada takdirku.""Nit?!" "Dulu aku berlepas dari Ridwan karena tidak ingin dimadu, ternyata aku mengalami hal serupa denganmu.""Nit, jangan samakan aku dengan Ridwan!" "Aku percaya cintamu. Tapi aku tak percaya pada diriku sendiri." Anita mengangkat wajahnya, menatap Bayu. "Aku sangat mencintaimu. Sangat. … melebihi diri ini. Kau pasti tau, cinta yang berlebihan, akan merasakan sakit yang tidak tertahankan jika terluka.""Nit!" Bayu meremas kedua tangan istrinya. "Aku khawatir nanti akan menyakitimu. Kau tau sifatku yang sewaktu-waktu bisa meledak. Aku tidak ingin bom