Beranda / Pernikahan / Setelah Istriku Memilih Pergi / 90. AKU ...BAIK-BAIK SAJA

Share

90. AKU ...BAIK-BAIK SAJA

Penulis: A mum to be
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-21 16:32:12

"Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.

Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly.

"Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.

Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita."

"Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   91. SARAH HAMIL

    Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   92. DELAPAN MINGGU

    Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   93. PAK HERMAN AKHIRNYA TAHU

    Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   94. SAKIT TAK BERDARAH

    "Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   95. SIAPA YANG MAU PERGI?

    Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   1. PERNIKAHAN JEBAKAN

    "Mas, kamu pulang terlambat lagi." Suara Sarah terdengar pelan, hampir tenggelam dalam keheningan ruang tamu yang sepi. Dia duduk di sofa dengan tongkat tergeletak di samping. Wajahnya tampak lelah, matanya sayu menatap pintu yang baru saja terbuka. Di meja, hidangan makan malam yang sudah mulai dingin tersusun rapi dan masih tak tersentuh. Raka masuk tanpa menoleh, hanya melemparkan tas kerjanya ke sofa. "Aku capek, Sarah. Jangan mulai lagi," katanya singkat, suaranya kering dan dingin, seolah dinding yang tebal memisahkan mereka berdua. Sarah menggigit bibir, menahan perasaan yang terus mengusik hati. Matanya menatap punggung Raka yang bergerak menuju dapur, tak mempedulikan kehadirannya. Dia menarik napas panjang, berusaha meredakan sesak yang kembali menyeruak di dalam dada. "Aku hanya ingin tahu bagaimana harimu, Mas Raka," katanya pelan, hampir berbisik, seolah takut suara itu akan pecah jika dikeluarkan terlalu keras. Langkah Raka terhenti sejenak, tetapi dia tidak berbalik

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   2. BUKAN KARENA CINTA

    Sarah merasakan tubuhnya melemas. Setiap kata di pesan itu terasa menghantam ulu hati. Ini lebih dari sekadar kecurigaan. Ia tahu Nadia adalah bagian dari masa lalu Raka, namun ia tak pernah menyangka Raka akan kembali bertemu dengannya setelah pernikahan mereka. Ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat, Sarah buru-buru meletakkan ponsel itu kembali. Namun, pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa sakit dan ketidakpastian. Sudah hampir seminggu Raka kembali pulang larut malam. Kali ini Sarah tidak lagi bertanya. Ada sesuatu yang sudah diputuskan dalam dirinya. Sebuah kerinduan, dan mungkin rasa sakit, yang kini ia simpan sendiri. Raka tampak tidak peduli. Bahkan ketika melihat meja makan yang kembali tertata rapi dengan hidangan yang belum disentuh, ia hanya melirik sekilas, lalu beranjak ke kamar. Sarah melangkah keluar rumah untuk mencari udara segar. Namun, begitu melihat ke luar halaman, ia melihat sebuah mobil berhenti tidak jauh dari rumah mereka. Ada seorang wanita duduk di

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06
  • Setelah Istriku Memilih Pergi   3. HARUSKAH BERHENTI?

    Hari-hari berlalu, dan Raka semakin sering pulang hampir dini hari. Setiap malam, Sarah menunggu dengan sabar, berharap suaminya itu setidaknya akan menyapa, atau bahkan sekadar bertanya. Namun, seiring waktu, rumah terasa semakin sunyi, hanya dihiasi langkah-langkah Raka yang langsung menuju kamar tanpa satu kata pun untuknya.Malam itu, Raka lagi-lagi tiba lewat tengah malam. Sarah duduk di ruang tamu, wajahnya tertunduk lesu menunggu suaminya yang tampak sibuk menanggalkan jas dan tas kerjanya tanpa menoleh.“Mas, bisa bicara sebentar?” tanya Sarah pelan, mencoba menguatkan suaranya yang hampir tenggelam.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh dengan wajah lelah. “Apa lagi, Sarah?”“Aku cuma mau kita bisa ngobrol, Mas. Setidaknya aku ingin tahu apa yang sedang kamu rasakan. Ini sudah terlalu lama...” Sarah menelan ludah, mencoba menenangkan perasaannya.Raka mendesah, mengusap wajahnya. “Sarah, aku bekerja seharian. Jujur saja, aku lelah kalau tiap malam harus ngobrolin hal yang sama.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-06

Bab terbaru

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   95. SIAPA YANG MAU PERGI?

    Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   94. SAKIT TAK BERDARAH

    "Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   93. PAK HERMAN AKHIRNYA TAHU

    Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   92. DELAPAN MINGGU

    Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   91. SARAH HAMIL

    Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   90. AKU ...BAIK-BAIK SAJA

    "Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   89. KEMARAHAN RAFLY

    Sarah duduk di bangku taman kampus, memandangi deretan pepohonan yang bergoyang lembut tertiup angin. Buku catatan skripsi tergeletak di pangkuannya, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia tidak menyangka bahwa pernikahannya yang dulu terasa seperti dongeng kini berubah menjadi mimpi buruk. Poligami? Kata itu terus terngiang di telinganya, membuat dadanya sesak."Ra, kamu baik-baik saja?" suara Dini membuyarkan lamunannya. Sahabatnya itu datang bersama Lira, membawa sebotol air mineral dan sekotak camilan. Wajah mereka penuh kekhawatiran.Sarah tersenyum tipis. "Aku baik-baik aja kok," jawabnya singkat, meski suaranya terdengar jauh dari meyakinkan."Jangan bohong! Kami tahu kamu sedang banyak pikiran," timpal Lira seraya duduk di sampingnya. "Apa benar yang kami dengar? Soal... Pak Raka yang mau nikah sama Bu Nadia?"Sarah hanya diam. Ia menunduk, menggenggam erat buku catatannya seolah itu bisa memberinya kekuatan. Dini dan Lira saling pandang, tetapi memi

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   88. KEPUTUSAN YANG BERAT

    “Aku senang dengarnya, Mas."Sarah berkata sambil mengulum senyum. Namun, Raka tahu bahwa istrinya itu hanya bersandiwara. Senyumnya tampak manis, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesakitan yang mendalam.Raka menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, ia melangkah mendekati Sarah dan memeluknya erat. "Aku tahu ini berat untukmu, Sayang," bisiknya. "Tapi aku terpaksa mengambil keputusan ini demi menyelamatkan perusahaan dan keluarga kita. Aku sangat mencintaimu, Sarah. Jangan pernah ragukan itu."Pelukan itu seolah menjadi tameng terakhir yang ia miliki untuk melindungi perasaan Sarah. Tapi istrinya tersebut hanya berdiri kaku di pelukannya, tidak membalas sama sekali. Di dalam hatinya, ia merasa dihantam badai. Kata-kata Raka tidak mampu mengobati luka yang ia rasakan.Setelah beberapa saat, Sarah perlahan melepaskan diri dari pelukan Raka. "Aku akan mencoba menerima, Mas," katanya pelan. "Asalkan kamu bahagia dan semua ini memang demi kebaikan bersama

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   87. TIDAK ADA LAGI RUANG UNTUKMU

    Pagi ini matahari bersinar dengan cerah. Namun, keadaan sungguh berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh Sarah dan Raka sekarang. Keduanya makan dalam diam dengan pikiran yang penuh di dalam kepala."Kamu enggak ke kampus?" tanya Raka memecah keheningan yang tericipta di antara mereka. Matanya melihat sang istri masih belum juga bersiap-siap."Aku berangkat jam sepuluh. Masih lama. Mas duluan aja nemuin Mbak Nadia," jawab Sarah, berusaha terdengar biasa saja meskipun hatinya terasa berat.Raka memandang Sarah dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Sayang?"Sarah mencoba tersenyum, meski senyumnya tidak mencapai matanya. "Aku enggak apa-apa, Mas. Aku mau beresin rumah dulu. Ntar siang kita ketemu di rumah sakit aja ya."Setelah berkata demikian, Sarah bangkit lalu berjalan menuju dapur. Ia menyibukkan diri dengan mencuci piring, namun pikirannya melayang ke percakapan tadi malam. Hatinya terasa semakin berat. Ia tahu bahwa keputusan yang mer

DMCA.com Protection Status