Pagi itu, setelah sarapan sederhana bersama, Sarah sedang bersiap untuk pergi menjalani terapi. Udara di kontrakan masih terasa dingin meskipun sinar matahari mulai mengintip dari balik tirai jendela. Raka, dengan wajah yang sudah segar setelah mandi, berdiri di depan pintu dengan jaketnya."Mas antar ya," ucap Raka dengan nada mantap.Sarah menoleh, menatapnya dengan alis yang sedikit terangkat. "Aku bisa sendiri. Lagian Mas harus ngantor ‘kan?""Enggak, Sarah. Aku ingin pastikan kamu aman. Aku akan ambil cuti. Sebentar ya aku hubungi ke kantor dulu," jawab Raka, matanya menatap lembut ke arah Sarah dengan nada bicara yang seolah tidak memberikan ruang untuk bantahan.Namun, sebelum Sarah sempat membalas, suara ketukan pintu membuat mereka berdua menoleh. Ketukan itu keras, seolah si tamu tidak sabar menunggu. Sarah buru-buru membuka pintu dan mendapati sosok Rafly berdiri di sana.Rafly terlihat berbeda pagi itu. Wajahnya tidak seceria biasa,
“Ganti semua, Om bilang?” Rafly menyeringai tipis. “Aku enggak pernah minta gantinya, kok. Lagipula, yang aku kasih itu bukan buat Om, tapi buat Sarah.” Nada suaranya penuh sindiran.Raka mengepalkan tangannya di sisi tubuh, menahan dorongan emosinya. “Aku enggak mau istri aku berutang apa pun sama orang lain. Terutama kamu!!”Rafly tertawa kecil, terdengar hambar di tengah rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. “Kalau gitu pastikan saja, Om. Jangan sampai Ara lebih butuh aku daripada suaminya sendiri.”Raka melangkah mendekat, hingga hanya berjarak beberapa langkah dari Rafly. “Kamu enggak punya hak bicara soal istri aku. Kalau kamu benar peduli sama Sarah, mundurlah. Jangan ganggu hidup kami lagi.”“Ganggu?” balas Rafly, suaranya lebih pelan tetapi penuh arti. “Aku ada di sini karena Ara butuh seseorang yang mengerti dia. Dan sepertinya, itu bukan dari suaminya yang &md
"Aku punya waktu tiga minggu. Tolong di masa ini jangan ganggu hubungan kami. Selebihnya, terserahmu," kata Raka dengan nada tegas, namun matanya menyiratkan harapan.Rafly menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar cangkir teh di tangannya. Ia menatap Raka dengan ekspresi datar, seolah sedang menilai seberapa serius ucapan pria itu. Setelah mengangkat cangkir teh tadi, ia meniupnya perlahan lalu berkata, “Tiga minggu? Om yakin cukup buat memperbaiki semuanya?”“Cukup atau tidak, aku akan coba,” balas Raka tegas.Rafly tertawa kecil, lalu menyesap tehnya. “Baiklah, Om. Aku enggak akan ganggu. Tapi, kalau setelah tiga minggu Om masih gagal... jangan salahkan aku kalau aku yang akan maju.”Raka mengangguk kecil, meski keraguan masih memenuhi pikirannya. Dengan berat hati, ia meninggalkan ruangan tempat mereka bertemu, menuju klinik untuk menjemput Sarah dengan langkah cepat. Namun, perasaan cemas tetap menghantui. Apak
Raka duduk di ruangannya, menatap layar laptop dengan pikiran yang melayang-layang. Ia menyadari hubungan rahasia antara dirinya dan Sarah semakin menjadi beban. Tidak hanya bagi mereka berdua, tetapi juga mulai menarik perhatian yang tidak diinginkan—terutama dari Nadia tentu saja.Sementara di ruangan yang lain Sarah mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan. Namun, bisik-bisik yang terdengar dari meja sebelah terus mengganggunya."Katanya Sarah itu cuma numpang tenar karena deket sama Pak Raka," ujar seorang rekan kerja dengan suara pelan tapi cukup terdengar."Ya, bisa jadi sih. Pak Raka kan bener-bener perhatian sama dia. Padahal dia cuma anak magang."“Mungkin dianya aja sih yang baper. Pak Raka kasihan aja karena dia pincang,” tambah yang lain lagi.Sarah menunduk, pura-pura tidak mendengar. Tapi hatinya bergemuruh. Gadis itu menghela napas jengah begitu melihat kedatangan Nadia dari kejauhan.Beberapa hari terakhir, Nadia semakin terang-terangan menyudutkannya. Mulai dari krit
Setelah kejadian di parkiran, Sarah dan Raka kembali ke kontrakan dengan perasaan berat. Langkah mereka terasa lambat, seolah setiap derap kaki semakin menambah beban pikiran. Sarah berkutat dengan perasaannya yang kacau, sementara Raka diam, jelas tengah menahan amarah yang hampir meluap.Begitu sampai, pintu kontrakan terbuka. Namun belum sempat masuk ke sana, dua sosok familiar menyambut mereka dengan tatapan kaget. Dini dan Lira, yang semula niat untuk bertandang, langsung terperanjat begitu melihat Raka dan Sarah yang tampak dekat sekali."Duh, kalian pulang barengan nih? Wah, romantis amat," celetuk Dini, matanya melirik tangan Raka yang tak sengaja menyentuh bahu Sarah.Sarah langsung mundur selangkah, mencoba menjaga jarak, tetapi Raka dengan tenang tetap berdiri di sisinya."Dini, Lira, kok kalian …di sini?" tanya Sarah, suaranya gemetar. Napasnya terasa tercekat di tenggorokan."Ya ampun, Ra. Jelas aja kami nungguin kamu. Lupa ya k
Setelah mengatakan kalimat itu, Raka menatap Dini dan Lira secara bergantian. Pandangannya tajam, seolah menyampaikan bahwa larangan tadi adalah mutlak dan tak terbantahkan. Kedua sahabat Sarah tersebut saling melirik sebelum mengangguk paham, meski ada kilatan penasaran di mata mereka yang masih tersisa."Kamu mau makan apa, Sarah?" tanya Raka, suaranya kali ini terdengar lembut dan penuh perhatian.Sarah, yang masih mencoba memproses perubahan sikap Raka yang tiba-tiba tegas tadi, menjawab pelan, "Terserah Mas saja."Raka memandangnya sejenak sebelum berkata, "Ya sudah. Aku pesankan soto ayam, ya?"Sarah mengangguk. "Boleh," jawabnya singkat, pandangannya tertunduk untuk menghindari tatapan sahabat-sahabatnya.Raka melangkah keluar, menutup pintu dengan tenang. Suasana hening sejenak, hanya suara langkah kaki Raka yang memudar di kejauhan. Begitu yakin pria itu tak lagi mendengar, Dini langsung mendekat dengan senyum jahilnya."Ra, Ra...,"
Pagi itu, Sarah sedang menyiapkan sarapan ketika langkah kaki Raka terdengar mendekat. Ia tampak sudah rapi dengan kemeja biru berlengan panjang dan celana panjang hitam. Rambutnya yang sedikit basah menunjukkan bahwa ia baru saja selesai mandi.Sarah menoleh sekilas. “Sarapan dulu, Mas.”Raka hanya mengangguk sambil merapikan lengan kemejanya. “Kamu juga siap-siap. Hari ini kita berangkat bareng ke kantor.”Sarah, yang sedang menuangkan teh, berhenti sejenak. “Bareng? Maksudnya… kamu mau aku ikut sama kamu?”Raka menatapnya, nadanya santai tapi tegas. “Ya. Aku enggak mau ada lagi gosip soal kita. Kalau kita datang bareng, semuanya jelas.”Sarah mengerutkan dahi. “Tapi, Mas, bukannya itu malah bikin aku tambah jadi bahan omongan? Apalagi posisi aku ‘kan cuma anak magang.”Raka menghela napas, lalu menghampiri Sarah. “Sarah,” panggilnya dengan nada yang lebih lembut, “aku tahu ini berat buat kamu, tapi aku enggak mau kamu terus-terusan di posisi diserang tanpa bisa membela diri. Kali i
“Ada hal yang harus kami benahi sebelum kembali ke sini lagi.”Raka menjawab dengan nada tegas tapi tetap sopan. Pak Herman mengangguk pelan, menerima jawaban itu dengan sikap yang tenang. Namun, sorot matanya menunjukkan bahwa ia memahami lebih banyak daripada yang diungkapkan oleh kata-kata.“Baiklah,” kata Pak Herman akhirnya. “Oh ya, ayo kita makan. Papa sudah lapar. Tadi Rini masak soto ayam kesukaanmu, Ka.”Ucapan itu membuat Sarah menoleh sejenak. Rini, yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah datar, melirik Sarah sekilas sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. Aura dingin dan sinis wanita itu terasa begitu mencolok. Meski Rini tidak mengatakan apa pun, Sarah dapat merasakan ketidakramahan yang disembunyikan di balik sikap formalnya.Raka menggenggam tangan Sarah dengan lembut, mengisyaratkan agar istrinya mengikutinya ke meja makan. Meski ragu, Sarah mengikuti langkahnya tanpa banyak bicara.Saat hendak
Sarah menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya ke bantal yang menopang tubuhnya. Wajahnya masih tampak pucat meski ia berusaha terlihat tegar di depan Raka. Sesekali, tangannya yang lemah mencoba merapikan helai rambut yang keluar dari kerudungnya.Tatapan Sarah kemudian beralih ke arah suaminya, yang duduk dengan kepala tertunduk, tangan terkepal di atas lututnya. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jarum jam di dinding yang terdengar samar."Maaf, Mas. Aku cuma nggak mau kamu kepikiran dengan kondisi aku," kata Sarah akhirnya, suaranya pelan namun penuh ketulusan. Ia tahu Raka pasti merasa bersalah, meskipun ia tidak mengungkapkan semuanya secara langsung.Sementara di sudut ruangan, Dini berdiri mematung. Ia memandang keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin campuran antara rasa prihatin dan rasa hormat pada Sarah, yang meski dalam kondisi lemah, tetap berusaha menjaga perasaan suaminya. Dini memilih untuk diam, memberikan ruang kep
Pikiran Raka tak tertuju pada suara Dini yang barusan berbicara, melainkan pada sosok istrinya yang tampak berbeda pagi ini. Ia menatap Sarah yang sudah mengenakan pakaian formal hitam putih yang membuatnya tampak begitu anggun.. Ada rasa bangga dan kagum yang bercampur menjadi satu."Sayang, hari ini kamu sidang?" tanyanya dengan suara rendah, nyaris berbisik.Sarah menoleh, sedikit terkejut dengan perhatian Raka. "Iya, Mas. Do'akan ya, semoga semuanya lancar." Senyumnya tersungging, meski gugup terlihat jelas di wajahnya.Raka mengangguk mantap. "Amin. Kalau gitu Mas yang antar kamu ke kampus," ujarnya tegas.Sarah langsung menggeleng cepat. "Enggak usah, Mas. Aku sama Dini aja."Namun, seolah tak mendengar, Raka mengambil buku-buku Sarah dari tangannya dan memasukkannya ke dalam mobil tanpa banyak bicara.Dini yang berada di dekat pintu menghela napas pendek sebelum akhirnya berkata, "Kita jumpa di kampus aja ya, Ra."Sarah menatap
[Sayang, kamu di mana?]Sarah membaca pesan itu dengan hati yang campur aduk. Meski sedih dengan situasi di antara mereka, ia tidak bisa mengabaikan pesan dari Raka. Ia segera mengetik balasan, mencoba tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk.[Aku sudah di rumah, Mas.]Setelah mengirim balasan, Sarah menghela napas panjang. Ia melangkah pelan menuju kamar. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu meja di sudut ruangan. Sarah menghempaskan tubuhnya ke kasur, berharap bisa segera tertidur dan melupakan semua kekacauan ini. Tapi matanya masih terbuka, pikirannya terus berputar-putar memikirkan semua masalah yang ada.Derit pintu kamar yang terbuka tiba-tiba memecah keheningan. Sarah tahu itu pasti Raka. Ia segera memejamkan matanya rapat-rapat, berpura-pura tidur. Langkah kaki Raka terdengar mendekat, semakin lama semakin jelas. Lalu, kasur di sebelahnya bergerak pelan. Sarah merasakan kehangatan tubuh Raka saat pria itu memeluknya dari arah belakang."Sarah," bisik Raka lembut.
Sarah mengangguk. Air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya kini jatuh membasahi pipi. Dengan tangan gemetar, ia berusaha menghapus jejak kesedihan itu. Tapi kata-kata Dini membuyarkan usahanya."Enggak, Ra. Kali ini aku enggak setuju," ujar Dini dengan tegas. Matanya menatap lurus ke arah Sarah, penuh kekhawatiran dan ketegasan yang jarang terlihat dari sahabatnya itu.Sarah menundukkan wajahnya, bahunya bergetar. Air matanya semakin deras mengalir, seolah membebaskan rasa sakit yang sudah lama tertahan di hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isak yang nyaris pecah."Ternyata sakitnya begini ya, Din. Aku enggak sanggup," lirih Sarah akhirnya, suara pelannya nyaris tak terdengar.Dini tidak bisa berkata apa-apa. Ia segera mendekati Sarah dan memeluknya erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan sahabatnya itu. Dalam pelukan, Sarah hanya terisak, tanpa kata-kata, hanya suara tangisnya yang terdengar. Mereka diam cukup lama, membiarkan suasana mendukung proses penyemb
"Biarkan saja. Ini sudah malam. Seharusnya dia tahu diri," kata Raka dengan nada kesal, menatap layar ponselnya yang masih menyala.Namun, Sarah yang berada di sampingnya menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan rasa iba. "Angkat aja, Mas. Siapa tahu penting," ujarnya lembut.Raka mendesah panjang. Ia mengusap wajahnya dengan tangan sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu. "Halo, ada apa?" tanyanya singkat, tanpa menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya.Dari seberang telepon, suara lembut Nadia terdengar. "Aku cuma mau nanya kabarmu, Ka. Kamu kelihatan sibuk banget akhir-akhir ini. Aku khawatir."Raka mengerutkan kening, mencoba menahan emosinya. "Ini sudah malam, Nadia. Kalau nggak ada yang penting, lebih baik kita bicara besok saja."Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia menjawab. "Maaf, aku nggak bermaksud mengganggu. Aku cuma... ya sudah, selamat malam, Ka."Raka memutus panggilan tanpa menambahkan sepatah kata pun. Ia meletakkan ponsel di meja deng
Sarah menarik napas panjang, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang. Tangannya masih memegang erat telepon, dan ia tahu bahwa jawaban yang akan diberikan harus terdengar meyakinkan.“Aku lagi di kafe sama Dini dan Lira, Mas,” katanya, mencoba terdengar santai meskipun perasaan gugup menyelimutinya.“Oh, kalau begitu, share loc aja ya. Biar Mas jemput kamu,” kata Raka dengan nada lembut di ujung telepon.Sarah menelan ludah, pikirannya berputar cepat mencari alasan. Ia melirik ke arah Dini dan Lira, yang hanya bisa memberinya pandangan penuh pengertian.“A-aku nanti dianterin Lira, Mas. Kami dijemput sama pacarnya Lira. Kita ketemuan di rumah sakit aja ya?” usul Sarah, berharap alasan itu cukup masuk akal.Ada jeda di telepon sebelum akhirnya Raka menjawab, “Oke. Kalau begitu, Mas tunggu kamu di sana. Jangan lama-lama ya, Sayang.”Telepon terputus, dan Sarah menghela napas panjang. Ia merasa lega tetapi juga tahu bahwa masalah sebenarnya belum selesai. Ia menatap
Sarah memeluk dirinya sendiri, tangisnya semakin tak tertahankan. “Tolong, Raf!” isaknya sambil memandang Rafly dengan mata memohon. Air mata mengalir deras di pipinya, membuatnya terlihat begitu rapuh.Dini mengangguk pelan, lalu merangkul Sarah. “Udah ya. Aku di sini buat kamu, Ra. Kamu nggak sendirian,” katanya lembut, mencoba menenangkan hati Sarah yang sedang hancur.Namun, Rafly berdiri mematung. Emosinya tak tertahan lagi. Dengan frustrasi, ia menendang angin dan melangkah cepat ke luar ruangan. “Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini,” gumamnya sebelum pergi.Melihat itu, Lira segera mengejar Rafly. Ia menyusulnya di lorong dan menarik lengannya untuk berhenti. “Raf, tolong dengar aku!” katanya setengah memohon.“Apa lagi, Lira?” Rafly menoleh dengan wajah penuh kekesalan. “Dia terus menyiksa dirinya sendiri, dan kita cuma diem aja? Aku udah capek ngeliat dia kayak gitu!”
Sarah membuka matanya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Suara gaduh di sekelilingnya mulai terdengar perlahan, dan rasa sakit di kepala membuatnya sulit menggerakkan tubuh. Pandangannya masih kabur saat ia mencoba mengenali sosok yang ada di dekatnya.“Kamu udah sadar, Ra?” suara itu terdengar tegas dan cemas. Begitu pandangan Sarah mulai fokus, ia terkejut melihat Rafly duduk di sampingnya.“Raf?” gumam Sarah lemah. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terasa begitu lemah hingga Rafly harus membantunya.“Jangan terlalu banyak bergerak dulu. Kamu baru saja pingsan,” kata Rafly sambil menyodorkan segelas air putih.Sarah menerima gelas itu dan meminum seteguk kecil. Setelah meletakkan gelas, ia mencoba mencerna keadaannya. “Aku kenapa?” tanyanya pelan.“Kamu pingsan di koridor kampus. Untung saja ada Dini dan Lira. Mereka langsung cari bantuan,” jawab Rafly dengan nada serius.Sarah hanya mengangguk pelan, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum tubuhnya ambruk. Namun, perkataan Ra
"Kenapa Mas diem aja? Kenapa Mas nggak melawan?" tanya Sarah bertubi-tubi.Namun, Raka hanya diam dan pasrah menerima perawatan luka yang diberikan oleh Sarah. Pria itu tahu bahwa dia pantas mendapatkan serangan dari Rafly."Mas??" gumam Sarah lagi setelah mengakhiri pengobatannya.Raka akhirnya menjawab, "Rafly benar. Seharusnya aku nggak menghadirkan luka baru di pernikahan kita.""Nggak usah dengerin Rafly ya. Dia nggak ngerti keadaannya gimana," balas Sarah, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa perih.