Malam itu akhirnya Raka dan Sarah sepakat untuk tetap bertahan tingga di rumah. berharap ke depan nanti tidak akan ada masalah yang menimpa mereka."Mas, kita berangkat yuk," ucap Sarah sambil melirik Raka yang sedang membaca koran di ruang tamu. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Bu Rini memanggilnya dengan nada tinggi."Sarah! Malam ini jangan lembur lagi. Ibu capek harus nyiapin makan malam sendirian. Ratna lagi banyak tugas jadinya enggak bisa diganggu," katanya, membuat suasana pagi itu langsung berubah tegang. “Kamu juga, Raka. Jangan lupa jemput Ratna ya. Tadi pagi dia sudah belain berangkat sendirian.”Sarah hanya bisa mengangguk kecil. Ia tahu membantah tidak akan menyelesaikan masalah. Sementara Raka yang mendengar itu hanya menghela napas panjang. "Iya, Bu," katanya mencoba meredakan ketegangan.Namun, saat siang hari tiba, situasi di kantor semakin sulit bagi Sarah. Jeno memanggilnya ke ruangannya untuk membahas laporan yang baru saja ia kerjakan."Sar
"Minggu ini aku dan Sarah akan pindah ke apartemen yang dekat dari kantor. Kehamilan Sarah makin besar, jadi aku ingin menjaganya," kata Raka saat sarapan di ruang makan. Suaranya tegas, tetapi tetap tenang. Namun, pernyataan itu langsung memicu reaksi keras dari Bu Rini."Kalian apa-apaan sih? Kamu lagi, Raka. Istri jangan dimanjain. Nanti lahirannya susah," ucap Bu Rini dengan nada tinggi, membuat suasana ruang makan mendadak tegang.Raka menatap ibu tirinya itu dengan tatapan jengah. "Aku hanya mau yang terbaik untuk Sarah, Bu. Aku suaminya. Lagian, apa yang buat Ibu kepikiran? Pilih saja ART dan untuk masalah Ratna gampang. Belikan dia motor atau mobil."Ucapan Raka membuat Bu Rini terdiam sejenak. Dia tampak mencari-cari argumen untuk membantah, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Pak Herman yang duduk di ujung meja hanya geleng-geleng kepala."Aku sudah pernah usulkan itu, kamu saja yang keras kepala," ucap Pak Herman dengan nada datar, teta
Diamnya sang istri membuat Raka menghentikan langkah sejenak. Otaknya tak perlu lama untuk berpikir siapa sang pemilik suara barusan. Kenangan masa lalu yang berkesan jelas tak membuat suami Sarah itu lupa dengan mudah.Raka kemudian mempercepat langkahnya hingga bisa melihat langsung Sarah yang masih mengupingi gawainya. Perempuan berkerudung hijau daun itu menatapnya lembut, tetapi ia malah berbanding terbalik. Terlebih melihat sosok yang sudah ada di depan mata sekarang."Jangan salah paham. Aku hanya ingin memastikan Sarah datang ke sini dengan selamat," kata Jeno sambil tersenyum tipis. Dia kemudian melirik Sarah lalu berkata, "Kalau begitu saya permisi ya."Sarah mengangguk kaku. "Terima kasih, Pak."Jeno bergumam pelan dengan kedua tangan yang masih tersimpan di dalam saku celana. Pria itu lantas segera pamit undur diri kepada mereka. Suasana pun berubah menjadi menegangkan. Sebelum Sarah berbicara, namanya dipanggil oleh seorang perawat."Ibu Sarah Aulia, silakan masuk," kata
"Mas, emangnya bisa masak?"Sarah bertanya dengan nada meragukan. Dia tergelak begitu melihat Raka yang sudah mengikat tali apron di pinggang mengangguk mantap."Kenapa nanya lagi sih, Sayang? Waktu di kontrakan kamu itu ‘kan aku pernah masak. Lupa ya?" gumam Raka yang kini menatapnya dengan penuh cinta. Sarah tertawa kecil lalu mengangguk pelan. "Pokoknya kamu diam dan habisin susunya aja ya.""Oke, Papa," kata Sarah, seolah mewakili sang anak yang berada di perutnya itu.Mendengar panggila barusan, Raka menaikkan satu alisnya lalu terkekeh pelan. Tanpa banyak bicara lagi, ia mulai melakukan persiapan alat dan bahan memasak. Dengan gerakan yang terampil, ia memecahkan telur, mencampurnya dengan bumbu, dan memotong brokoli. Aroma harum mulai mengisi dapur kecil mereka, membuat Sarah yang duduk di kursi makan memandanginya dengan tatapan penuh rasa kagum.Dalam waktu dua puluh menit, menu omelet dan tumis brokoli sudah terhidang di meja. Merek
Kalau saja tidak ada Raka, pastilah Bu Rini akan memaki Sarah habis-habisan. Melihat sang menantu berbaring dengan kondisi yang tampak kesenangan membuat hatinya memanas.Bu Rini hanya bisa mengumpat di dalam hati. Sekarang yang bisa ia lakukan hanya berdecak kesal lalu berbalik badan tanpa berkata apa-apa lagi. Setelah kepergiannya, Raka mengembuskan napas kasar lalu menutup pintu dengan cepat. Dirinya kembali bergabung bersama Sarah di bawah selimut.“Tiduran lagi yuk?” ajak Raka sambil menarik Sarah kembali ke pelukannya. Menganggap bahwa kejadian barusan hanyalah iklan semata dan tak perlu diambil pusing.“Mas?” rengek Sarah manja, mencoba melawan, tetapi pertahanannya runtuh karena sang suami sudah mengendusi leher jenjangnya. “Ibu pasti marah deh,” tambahnya lagi dengan nada cemas.“Biarin,” ucap Raka enteng. “Dia harus sadar bahwa besok kita akan pindah. Jadi harus bisa ngatur rumah sendiri. Lagian siapa suruh tidak mempekerjakan ART?”“Ibu trauma, Mas.”Mendengar penuturan ist
“Iya. Ini ‘kan ikan gurame asem manis. Ada nenasnya loh. Orang hamil enggak boleh makan,” kata Bu Rini dengan gaya mencibirnya yang khas. “Terus itu sate ayamnya juga jangan. Bahaya untuk orang hamil. Harusnya kamu tahu dong. Enggak peka ya jadi calon ibu.”Sarah mengangguk pelan. Matanya menatap seluruh menu yang tersaji. Hanya ada telur mata sapi yang bisa dimakan. Perasaan Sarah campur aduk, tetapi ia berusaha tetap tenang di hadapan Bu Rini.Namun, Raka yang sudah kesal dengan keadaan itu lantas berkata, “Ibu sengaja ya biar istriku enggak bisa makan ini semua, hah??”“Jangan nuduh sembarangan kamu, Ka!” sergah Bu Rini tak terima. Matanya melotot tajam, tetapi Raka tak memperdulikannya.“Ini ruang makan. Tolong jangan ada keributan,” Pak Herman pun menengahi dengan suara rendah, mencoba mencairkan suasana yang memanas.Sayangnya Raka tidak bisa menahan emosinya lagi. “Tolon
Sarah hanya duduk manis di atas ranjang. Sesekali dia mengelus perut buncitnya sembari menyaksikan Raka yang sibuk bergerak kian kemari memindahkan pakaian mereka ke lemari.Tawa kecilnya sesekali pecah ketika Raka malah salah menempatkan barang, atau saat suaminya itu berceloteh ringan tentang kebiasaannya yang ceroboh. Candaan pun terlontar begitu saja hingga membuat pasangan suami istri itu tergelak. Begitulah keadaan rumah tangga yang diimpikan oleh Sarah. Jauh dari keresahan yang selama ini menghantui di rumah mertuanya.“Sekarang apa lagi?” tanya Sarah sambil melirik jam yang menunjukkan pukul lima sore. Matahari mulai turun, menyisakan langit jingga yang menerobos melalui jendela apartemen kecil mereka.Raka mendekat sambil membawa katalog di tangan. Dia duduk di tepi ranjang, membuka halaman demi halaman yang dipenuhi gambar makanan menarik. “Kita bahas menu catering ya, Sayang. Nih, aku nemu yang bagus buat gizi kamu dan bayi kita.&rdq
“Seharusnya aku yang bertanya karena minimarket ini hanya beberapa langkah dari apartemenku.”Pria itu tersenyum tipis, namun nadanya tak kalah tajam. Dia kemudian tersenyum pada Sarah yang masih memandangnya hampir tak berkedip lalu kembali menatap Raka yang tak sudah mengeras rahang.Baik Raka maupun Sarah kini saling pandang, merasa terkejut dengan apa yang mereka dengar barusan. Situasi yang semula damai dalam sekejap berubah menjadi tegang.“Maumu apa sebenarnya, hah?! Sengaja ingin membuntuti kami ya?” sergah Raka, emosinya mulai memuncak. Kedua tangannya terkepal erat, menunjukkan ketidaksabaran. Sarah, yang berdiri di sampingnya, mencoba meremas lengan suaminya itu agar bisa mengendalikan amarahnya.“Mas, sudah...” bisik Sarah dengan nada lembut.Namun, usahanya sia-sia. Raka sudah menarik kerah pria di hadapannya itu, memaksa jarak di antara mereka semakin dekat. “Omong kosong apa lagi yang mau kamu katakan?!” bentak Raka.Pria itu tetap tenang meski posisi tubuhnya terkunci.
Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat
Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak
Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la
Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be
Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be
"NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen
Aula pengadilan dipenuhi dengan desas-desus dan tatapan tajam dari berbagai pihak. Sidang gugatan terhadap Ratna akhirnya dimulai, menjadi momen yang akan menentukan nasib keluarga Raka. Dengan bukti yang hilang, mereka harus mencari celah lain untuk melawan Ratna di hadapan hakim.Raka dan Sarah duduk di barisan penggugat, didampingi oleh pengacara mereka, Pak Rendy. Di seberang, Ratna tampak percaya diri dengan pengacara handalnya, seorang pria berpenampilan rapi dengan senyum yang mengintimidasi. Sorot matanya penuh dengan kesombongan, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai. "Sidang gugatan keluarga Raka Prasetya terhadap Ratna Wijayanti dibuka. Penggugat, silakan sampaikan tuntutan Anda."Pak Rendy berdiri. "Yang Mulia, kami memiliki bukti kuat bahwa tergugat telah memindahkan aset keluarga secara ilegal ke rekening pribadinya, tanpa persetujuan dari pewaris sah, yang menyebabkan kerugian besar bagi kel
Kehidupan Raka dan Sarah dalam beberapa minggu terakhir terasa seperti berjalan di atas bara api. Terlebih saat Jeno diserang oleh beberapa orang tak dikenal.Saat ini gugatan hukum terhadap Ratna telah menjadi berita utama di keluarga besar dan di luar sana. Ratna, seperti yang diperkirakan, tidak tinggal diam. Ia menggunakan segala cara, dari intimidasi hingga permainan kotor untuk menggagalkan perjuangan Raka dan Sarah.Hari itu, Raka dan Sarah sedang mengatur dokumen-dokumen penting di ruang kerja kecil di rumah mereka. Flash drive yang berisi dokumen-dokumen penting, termasuk bukti transfer aset ilegal Ratna, menjadi inti dari rencana mereka. Raka memastikan semua file telah dicadangkan dengan baik.“Sayang, aku rasa kita harus menyimpan salinan file ini di tempat yang lebih aman. Flash drive ini terlalu berisiko kalau hanya kita simpan di sini,” kata Raka sambil memegang benda kecil itu.Sarah mengangguk, setuju dengan saran suaminya. &l
Raka masih memikirkan ancaman terselubung Ratna saat sidang sementara Sarah merasa tertekan setelah mengetahui kondisi Pak Herman kembali memburuk. Beban dari kasus ini mulai menyusup ke dalam hubungan mereka.“Mas, kamu yakin bukti itu aman di tangan Jeno?” tanya Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkir.Raka yang duduk di kursi makan, hanya mengangguk tanpa menatap Sarah. “Jeno sudah buktikan dia bisa dipercaya, Sayang. Aku rasa kita nggak punya pilihan lain.”Sarah menghela napas panjang. “Tapi kita juga harus waspada. Ratna mungkin akan bertindak lebih gila kalau dia tahu Jeno berpihak pada kita.”Raka menatap istrinya dengan mata yang penuh beban. “Aku tahu kamu khawatir, Sayang. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Kalau kita goyah sekarang, Ratna yang menang.”Sarah menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal. “Aku bukan goyah, Mas. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan apa yang sudah kita perjuangkan.”Raka berdiri dan berjalan mendekati Sarah, menyentuh pundaknya lemb