Nah ada apa dengan Ikhram kali ini.
Kartika Sanjaya, adalah nama yang akhirnya aku dengar punya hubungan paling dekat dengan Ikhram. Sayangnya aku tidak tau sedekat apa hubungan mereka dan di mana saat ini dia berada, kedua wanita itu terus membicarakan soal Kartika, seolah ingin aku sadar ada wanita itu di hati Ikhram. Rizwan terlihat menarik napas panjang setiap mendengar nama Kartika, tapi dia tidak berusaha menghentikan mereka. Jelas aku tau ada sesuatu yang tak beres di sini. "Sudah cukup belum kalian bicara, tau tidak kalian membuat selera makanku hilang." Ikhram berkata sembari menatap kedua wanita itu dengan sinis.Mendengar apa yang Ikhram katakan membuat Rizwan bereaksi. Dia hendak membawa kedua wanita itu pergi, tapi keduluan Ikhram yang membawaku keluar meninggalkan kafe. "Kita cari tempat lain, aku tidak akan pernah datang kemari lagi," ujar Ikhram dengan cukup kuat. "Eh, jangan begitu dong Ikhram, aku baru saja membuka kafe ini jadi masih butuh bantuanmu, untuk merekomendasikan pada bawahan dan relasimu."
"Amara, sudah datang, ayo masuk, Nak." Aku tersenyum sembari menyambut pelukan mama Ikhram. Ini pertemuan kami yang ketiga dan sambutannya masih terasa hangat, karena itu aku berharap itu tidak berubah.Tadi pagi Ikhram berangkat ke Dubai untuk urusan pekerjaan. Aku tidak mengantar karena tidak enak pada semua orang, lagipula Ikhram juga tidak memintanya. "Duduk dulu sebentar, Tante bereskan pekerjaan dulu baru kita pergi makan siang." Mama Ikhram membawaku duduk di ruang tunggu. Kemudian beliau pergi masuk membereskan pekerjaannya. Yah, saat ini kami janjian di butik miliknya, butik yang sangat besar dengan barang yang harganya luar biasa bagiku. Lima menit, sepuluh menit sampai dua jam mama Ikhram tidak lagi keluar. Aku masih menunggu meski bingung harus berbuat apa, banyak pegawai yang melirik tapi tidak ada yang menyapa sama sekali, ingin bertanya tapi tatapan mereka terlihat aneh.Aku memilih untuk diam dan menunggu, meski tidak ada tanda-tanda mama Ikhram akan kembali. Aku maki
Dua jam setelah keluar dari rumah Ikhram, ponselku berbunyi tanda ada panggilan masuk. Aku melihat siapa yang menghubungi, tapi tidak berniat mengangkatnya. Bapak dan ibu tidak bicara, bapak menggenggam tanganku dan tangan ibu lalu membantu naik ke dalam Bis.Kami memutuskan pulang ke kampung malam itu juga. Sebelum subuh kami sampai, jadi tidak perlu mencari penginapan lagi. "Tidak mau mengangkat panggilan itu?" tanya bapak, saat mendengar lagi suara panggilan dari ponselku. "Besok saja setelah sampai kampung. Takutnya Ikhram atau Rizwan mengejar kita," ujarku pelan."Maafkan ibu, kalau saja tidak gegabah dan memberi harapan pada ikhram," ujar ibu lirih sembari menggenggam tanganku. "Ibu tidak salah, sekarang kita jalani saja pelan-pelan. Kalau jodoh aku dan Ikhram akan bersatu, kalau tidak jodoh percuma dipaksa," ujarku lagi tak kalah lirih."Sudah, kita bicarakan lagi nanti. Sekarang istirahat dulu sudah malam." Aku dan ibu mengangguk lalu mulai memejamkan mata. Ponselku masih teru
"Kau yakin ini bukan karena mama? Aku dengar kemarin kalian bertemu, tapi mama lupa hingga mengabaikan-mu saat di butik." Ikhram masih bertanya membuatku berpikir, apa yang membuatnya mengira aku pergi karena mamanya."Aku dengar dari bibi kau pergi setelah marah-marah. Dia mendengar kau sakit hati karena mama membuatmu menunggu lama, tapi ternyata mama lupa padamu." Aku memejamkan mata setelah mendengar ucapan Ikhram. Aku berpikir apa aku harus mengatakan, apa yang pembantunya bilang sebelum aku pergi meninggalkan rumahnya. Apa dia akan percaya sedangkan wanita itu sudah lama bekerja padanya. Aku takut masalah ini akan menjadi panjang, tapi aku juga tidak mau difitnah begini."Aku tidak tau apa yang terjadi sebenarnya, Mas. Tapi aku memang tak seharusnya berada di rumah itu, rumah yang ternyata kau sediakan untuk nona Kartika." Ikhram tampak terkejut dan aku melihat langsung reaksinya. Jadi aku bisa menduga kalau apa yang aku dengan benar adanya. Soal pembantunya aku tidak mau ambi
Aku menarik napas panjang, setelah melihat pria itu duduk bersama bapak menikmati ikan bakar buatan ibu. Ikan gemuk berdaging banyak itu, sudah berpindah ke dalam perutnya. Sedangkan aku hanya mendapatkan ikan kurus, kecil pula."Ini tidak adil! Kenapa kau datang tidak bilang-bilang," pekikku dengan kesal. Pria itu hanya terpaku sebentar, setelah itu dia tertawa lebar. "Siapa yang suruh kau kabur gitu aja dari rumah Ikhram. Untung aku ketemu di bodoh Bram, dia terpaksa menyebutkan alamat bapakmu setelah aku paksa." Rizwan menjelaskan dengan santai."Memaksa, cih bilang saja kau membayarnya," ujarku dengan ketus. "Iya sih, tepatnya adik perempuannya yang maksa minta bayaran. meski Bram sudah berusaha menutup mulut adiknya, tapi karena uang adiknya menolak permintaan Bram." Aku sudah menduganya.Bram tidak akan pernah membuka mulut untuk sebuah informasi. Apalagi pada Ikhram ataupun Rizwan, sayangnya uang bisa melakukan apa saja pada adiknya. Mulut usil itu pasti langsung berkicau."Bra
"Berhenti, apa yang kau lakukan perempuan murahan, jalang!" pekikan itu mengema di seluruh ruangan, sedangkan aku masih melotot ke arah wanita yang keadaanya sudah acak-acakan.Siapa sangka kalau dunia ini ternyata sempit. Di kampung ini aku justru bertemu Desi, adik bungsu Bram. Entah apa yang terjadi sampai dia terdampar di kampung ini. Aku marah karena ternyata dia yang telah menyebarkan fitnah tentangku, tentu saja aku tidak terima sekarang dia harus berakhir di lantai dalam keadaan menyedihkannya."Enak banget kau menyebutku murahan, jalang. Apa kau lupa bagaimana bisa kau menikah ... Di tangkap karena berzinah. Apa kau melupakan itu? Wah aku mau melihat, wajah Bu Tuti yang paling anti dengan perzinahan, orang paling kepo di kampung ini." Aku tertawa di ikuti banyak orangKami tidak menyangka kalau orang yang aku sebutkan berdiri tepat di belakangku. Bapak dan ibu memberi tanda tapi aku tidak mengerti, hingga terdengar suara dingin dari belakangku. "Apa benar kau dan Desi, menikah
"Ara, bawa berkas proyek Artama." Aku berlari membawa berkas yang pak Abraham minta. Pria itu tertawa melihatku datang dengan tergesa-gesa."Santai saja, gak secepat itu juga kau berlari datang," ujarnya dengan tersenyum. "Tidak apa-apa Pak, kebetulan berkas ini sudah ada di meja saya," jawabku singkat."Baiklah, letakkan di meja." Aku menuruti perintah pak Abraham, lalu meletakkan berkas di meja. "Sudah dua bulan lebih, tidak rindu bapak dan ibumu? Mau pulang sebentar. Melihat keadaan mereka." Tanya pak Abraham. Aku mengerutkan kening mendengarnya. Tidak di sangka aku sudah dua bulan di Bali, puluhan bahkan ratusan panggilan dan pesan dari Ikhram serta Rizwan, aku terima tapi tidak sekalipun aku sebutkan di mana keberadaan-ku saat ini.Jauh dari mereka membuatku sedikit tenang. Di perusahaan baru pak Abraham, aku bisa belajar menjadi sekretaris beliau. Banyak hal yang aku pelajari sehingga membuatku lupa, dengan masalah yang selama ini membebani otakku.'Belum cukup waktu untuk menen
"Padahal saya juga berniat melamarnya. Sayang, saya terlambat darimu, Am." Aku terkejut sampai tersedak mendengar ucapan pak Abraham. Bagaimana dia berniat melamar-ku jika dia sudah punya anak dan istri. "Bukan untukku, tapi untuk seseorang yang sejak lama memujamu, Ara." Aku terdiam mendengar ucapan pak Abraham. Siapa pula orang itu, perasaan selama di sini aku tidak pernah mengenal pria lain, selain pak Abraham dan Rio. "Dia tidak memiliki kesempatan lagi, saya akan membawanya pulang dan menikahinya," ucap Ikhram dengan nada yang terdengar ketus.Pak Abraham tertawa melihatnya. Aku hanya menundukkan kepala karena malu, bagaimana bisa Ikhram berubah menjadi seperti ini. "Kalian lanjutkan makan siangnya, saya akan pergi ke restoran yang di pesan Amara. Ada seseorang yang menunggu di sana." Pak Abraham terlihat menarik napas panjang, aku tidak tau karena apa dia melakukan itu."Pemuja rahasia, ya?" Ikhram bertanya sembari tersenyum. Entah kenapa senyumnya itu terlihat menakutkan. "Deni
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan