Makin runyam, entah apa alasan Ikhram menemani Kartika ke dokter kandungan. Yuk baca juga cerita ini: 1. Istriku Minta Cerai Setelah Aku Tagih Hutangnya. 2. Kunci Brangkas Rahasia Suamiku. 3. Maaf, Aku Pantang Cerai 4. Bawa Anak Lelakimu Pulang, Bu. 5. Talak Di Hari Kematian anakku. Happy reading and bantu vote ya guys. terima kasih.
"Mama tidak perduli, dengan masalah mereka. Begitu cucu mama lahir, kita akan memikirkan lagi cara mengusir wanita gila itu." Aku terdiam mendengar ucapan mama Rida. Siapa yang dia sebut wanita gila, apa yang dia maksud itu ... Aku. Dia berencana memisahkan aku dengan anakku? Tidak boleh. Aku harus mencari jalan, agar rencananya tidak terjadi. "Sayang, sedang apa di situ." Aku tersentak mendengar suara Ikhram. Aku segera mengambil gelas dan mengisi dengan air. Begitu mama Rida datang, dia terkejut melihatku. "Sejak kapan kau ada di sini, Amara?" tanyanya dengan tatapan curiga. "Baru saja, Tante. Ini mau ambil air minum," jawabku sambil berusaha menenangkan diri, dari detak jantung yang tak terkendali."Minum air biasa atau air hangat, air dingin tidak bagus untuk kandunganmu," ujarnya pelan namun terdengar sinis. "Iya, ini juga air biasa. Amara, kembali ke kamar lagi, Tante." Tanpa menunggu lama, aku segera berjalan ke kamar. Tanpa memperhatikan tatapan Ikhram dan mamanya. "Sayang,
"Sudah periksa Mbak Ayu, apa kata dokter? Perasaan ini terlalu besar, jika menurut umur kandungan yang Mbak ayu bilang," tanya ibu Aris. Aku tersenyum lalu mengelus perutku yang memang lebih besar dari umumnya. "Tiga anak, Bu. Aku mengandung tiga anak kembar," ujarku senang."Apa, kembar?!" Aku terkejut, melihat ibu Aris jatuh terduduk lalu pingsan. Aku berteriak lalu segera meminta bantuan, untung ada pembeli yang datang. Dia membantu mengangkat ibu Aris dan meletakkan ke tempat tidur. Setelah memberinya mintak kayu putih, baru dia sadar lalu menyentuh perutku. Matanya terlihat berkaca-kaca, aku masih tidak mengerti dengan reaksinya, namun aku segera paham setelah Aris pulang. "Jadi Aris juga punya kembaran, namun meninggal waktu lahir?" tanyaku lirih. "Itu karena saya tidak punya cukup uang untuk periksa, Mbak Ayu. Dengan rajin kontrol, Mbak bisa mengambil keputusan terbaik, untuk menyelamatkan anak-anak Mbak Ayu." Aku kembali tersenyum lalu mengambil keputusan. "Saya akan kembali
"Pak." Setelah diam cukup lama, akhirnya aku memanggil pria yang sangat aku rindukan itu. Tidak ada suara hanya napas yang terdengar tersengal. "Di mana? Pulanglah," suara bapak terdengar gemetar. "Aku akan kembali ke rumah Ikhram. Bapak tidak perlu ke mari tapi temui Aska, dia menunggu bapak di terminal." Aku tidak menjelaskan lebih jauh, bapak bilang sudah mengerti jadi aku tidak melanjutkan bicara dengannya.Lima belas menit kemudian sebuah mobil berhenti di depanku. Setelah memastikan mobil itu pesananku, aku segera naik dengan mengendong seorang bayi. Sopir mungkin mengira bahwa aku baru melahirkan, memang aku melahirkan tapi anak yang aku gendong ini sudah tidak bernyawa. Aku menangis dan menciumi wajah kecil itu. Sopir di depan tersenyum, mungkin mengira aku terlalu bahagia karena memiliki seorang anak. Tanpa mengetahui kalau hatiku sedang hancur, dari tiga anak justru anak bungsuku yang tidak bisa bertahan. Sempat masuk inkubator, tapi tadi pagi dia menghembuskan napas terak
"Sayang, ayo kita pulang?" ajak Ikhram. Aku tertawa mendengarnya, sungguh aku muak melihat wajah tak berdosa pria ini. "Pulang, kemana?" tanyaku pula. "Pulang ke rumah kita," jawabnya pelan. "Rumah? Rumah yang mana? Rumah yang martabatnya diinjak-injak oleh wanita lain," ujarku sinis. "Rumah seperti itu aku tidak menginginkannya, sejak kau membawa wanita itu pulang, sejak itu pula aku tak ingin tinggal lebih lama lagi di sana," ujarku lagi. "Pulanglah, mereka menunggumu. Tinggalkan aku sendiri jangan pedulikan aku seperti biasanya." Aku menunjuk ke arah mama Rida dan Kartika. Mereka menunggu seolah takut aku membawa pria ini pergi, kecewa dan sakit hati membuatku membenci Ikhram."Baiklah, kalau begitu kita menginap di hotel untuk sementara, sampai Denis menemukan rumah yang cocok, mari kita mulai lagi hidup kita dari awal." Ikhram mendekat, lalu mendekap tubuhku dari belakang."Mulai dari awal, yakin bisa memulai dari awal lagi denganku? Sedangkan kau saja tidak bisa melupakan masa
"Sayang, ayo turun," ajak Ikhram setelah kami sampai di rumah. Aku menarik napas saat melihat mama Rida dan Kartika, berdiri di depan pintu utama, seolah sedang menunggu."Untuk apa kau bawa wanita ini kembali? Usir dia mama tidak mau melihat wajah pembunuh cucu mama." Suara mama Rida tidak terlalu tinggi, tapi masih bisa di dengar oleh warga yang masih berada di rumah kami."Mama, sudah cukup membuat keributan. Sekarang mama boleh pulang, tidak perlu datang jika tidak bisa tenang." Mama Rida terdiam setelah mendengar ucapan Ikhram. Aku tidak bersuara karena muak dengan adegan ini. "Am, jangan bicara begitu. Tante Rida mama yang melahirkanmu," ujar Kartika yang terdengar bijaksana."Kartika benar, Mas. Dengarkan dia dan biarkan aku pergi, kita ketemu saat tahlil tiga hari anak kita,"ucapku tenang. "Diamlah, lebih baik kau masuk duluan." Aku mencibir begitu mendengar ucapannya. Kenapa aku juga yang kena marah. Wanita "Begini saja, aku akan keluar sebentar. Kau selesaikan dulu masalah k
"Aku menarik napas panjang, saat melihat Ikhram duduk di sofa dalam kamar kami. Seharian ini dia tidak pergi kemana-mana, dia duduk tenang di depan laptopnya membereskan pekerjaannya. Aku tidak punya banyak waktu lagi, anak-anakku pasti lapar dan haus. Air susuku berlimpah membuat dadaku terus basah, aku tidak bisa membuangnya begitu saja. Untuk menampungnya juga percuma, karena tidak ada yang bisa aku lakukan untuk mengirimnya ke anak buah Aska. "Apa butuh bantuanku?" tanya Ikhram yang tiba-tiba sudah berdiri di depanku. "Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri." Aku berdiri lalu berjalan menuju ke kamar mandi. "Aku akan bertanya pada Kartika, bagaimana cara dia mengeluarkan ASInya, ketika hendak menyimpan untuk anaknya." Mendengar ucapan Ikhram membuatku gemetar, dia bahkan tau masalah seperti ini. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi, aku harus segera pergi dari sini. "Tidak perlu bertanya padanya ikut denganku." Aku mengajaknya keluar dari kamar. Mengambil buku di laci dep
Aku menarik napas panjang, saat melihat dua orang paruh baya, berlarian bersama dua orang anak yang wajahnya hampir sama. Mereka bahkan membawa masing-masing, dua plastik di tangan kanan dan kirinya. "Mereka yang memilih sendiri, tapi tenang saja semua tidak terlalu mahal," ujar bapak setelah melihatku menatap mereka berempat. "Ini bukan soal mahal atau tidak, Pak. Ini soal banyaknya kalian membelikan makanan ringan, mereka sampai susah makan karena sudah makan camilan." Aku mengomel panjang, tapi bapak dan ibu diam-diam membawa kedua anak kecil itu masuk ke rumah. Mengabaikan aku lagi, sepertinya sudah hukum alam anak kalah sama cucu. "Sudah jangan marah-marah melulu, kau sudah menghubungi pengacara kita? Ada yang mau membeli rumah bapak di kampung." Aku terdiam mendengar pertanyaan bapak. Sebenarnya sejak semalam aku ingin bertanya, apa sudah bulat keputusan untuk menjual rumah dan tanah di kampung. "Bapak dan ibu sudah memutuskan untuk bergantung hidup denganmu. Demi anak dan cu
Matahari terik membakar bumi, aku baru keluar dari pesawat. Mataku juga terasa panas karena terharu, setelah lima tahun akhirnya bisa kembali pulang.Setelah melakukan pemeriksaan, aku segera keluar. Merasa sesak buang air, aku melangkah menuju ke toilet. Aku kembali menarik napas lega, saat melihat toilet dalam keadaan sepi. Hanya ada satu pintu yang tertutup, jadi aku bisa lebih santai saat buang air kecil. Setelah selesai aku segera mencuci tangan di wastafel, sampat melirik pintu yang masih tertutup mungkin orangnya belum selesai.Setelah selesai mencuci tangan, aku segera keluar dari toilet. Siapa sangka saat di luar, aku bertemu orang yang tidak terduga sama sekali. 'Sejak kapan pria ini berdiri di sini?' tanyaku dalam hati. Toilet pria memang ada di depan setelah toilet wanita, tapi kenapa pria ini menunggu di bagian ini."Nona Amara," panggilnya. Aku menarik napas lalu menghampirinya, karena kalau mau keluar lorong ini harus melewati. "Jangan memanggilku dengan sebutan itu, ka
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan