Share

Bab 7

Penulis: Nisa Khair
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Awalnya, kupikir Dinar akan rewel sebab beradaptasi dengan suasana baru di desa ini.

Nyatanya, ia justru anteng, lebih anteng dan tidurnya lebih nyenyak.

Sama sepertiku, terbawa suasana tenang di sini, membuat aku bangun dengan badan segar, sebab istirahatku tak terganggu semalaman.

"Dia capek di perjalanan, biar Ibu pijit, ya?" pinta ibu pagi tadi.

Aku mengiyakan, sebab ibu memang biasa memijit bayi tetangga jika diminta.

Ibu dengan telaten memijit seluruh badannya sebelum dimandikan pagi tadi. Setelah itu, ia tidur nyenyak hingga hampir tengah hari.

Silvi sendiri terlihat asyik mengajak adiknya bercanda, meski dijawab dengan bahasa bayi, tak mengurangi tawa di wajah kecil itu.

Ia bahkan mengajak beberapa teman sepermainan ke rumah, demi memamerkan adik kecilnya yang baru datang.

Lewat tengah hari, datang seorang kerabat jauh, membawa sebuah undangan pernikahan.

"Kebetulan ada Karin di rumah. Kakakmu mau nikah, kamu bisa datang, kan, Rin?"

"Insya Allah, Budhe. Kapan ini acaranya?" tanyaku antusias.

Lama tak bertemu dan tak mendengar kabar, tiba-tiba saja dapat kabar bahagia, tentu akan kuusahakan datang, dengan ijin Mas Yudha tentunya.

"Seminggu lagi. Datang, ya, ajak suami kamu juga," pinta beliau kemudian. Diserahkan kertas undangan padaku.

Aku hanya bisa mengiyakan, meski tak yakin kalau Mas Yudha bisa ikut, sebab pekerjaannya tentu tak bisa ditinggal lebih lama.

.

Hari telah gelap. Suara jangkrik dan hewan kecil lain mendominasi indera pendengaran kali ini.

Dua lelaki dewasa, cinta pertamaku beserta menantunya, sedang bertukar kata.

Asap yang mengepul dari bibir tipis mereka, menjadi teman setia sepanjang obrolan berlangsung.

Samar kudengar tawa mereka sesekali. Aku sendiri, terbaring di sisi kedua anakku yang telah terlelap.

Kuraih ponsel, lalu mengambil gambar kami bertiga. Aku tersenyum melihat tangkapan layar.

Tak menunggu lagi, kujadikan story W******p kali ini, selingan di antara deretan dagangan yang kupajang sebelumnya.

Selama ini, aku jarang sekali menjadikan foto keluarga sebagai story W******p. Sekalinya posting, langsung diserbu oleh kerabat yang jarang bertemu.

"Pulang kampung, Rin?"

Sebuah pesan dari Bulek Ratih, adik ibu mertua, masuk ke ponselku, mengomentari foto yang kuunggah beberapa saat tadi.

"Iya, Bulek," jawabku singkat.

"Gimana kabarnya?" tanyaku kemudian.

Di antara banyak saudara ibu, Bulek Ratih yang paling dekat denganku, juga dengan ibu. Tak jarang beliau jadi penengah, jika mengetahui kami berselisih.

Ibu sendiri seringnya patuh pada ucapan Bulek, sebab meski usianya beda jauh, tapi pemikirannya lebih obyektif. Setidaknya, itu menurut penilaianku.

"Yudha dibesarkan oleh orang tuanya dengan kasih sayang, serta air susu yang mengalir menjadi darah di tubuhnya.

Kamu yang baru datang ke hidupnya, kenapa membuat ia menjadi anak durhaka, lalu menjauhkan ia dari ibunya?"

Dahiku mengernyit seketika membaca pesan panjang yang beliau kirimkan. Ada apa ini? Kenapa seolah aku disudutkan begini?

Lalu membuat Mas Yudha durhaka, bagaimana ceritanya?

Apa ibu telah mengadu ke sana, lalu membuat pernyataan yang membuat Bulek menilaiku demikian?

"Maaf, Bulek, maksud Bulek apa?"

Tak bisa kutahan lagi jariku untuk tak bertanya langsung, meski melalui sambungan telepon.

Aku tak mau kepalaku berdenyut nyeri, sebab banyaknya pertanyaan yang tak kutemukan jawabannya saat ini.

"Maaf, Bulek, kalau soal dibesarkan dengan kasih sayang dan air susu, saya rasa tak hanya Mas Yudha, saya pun demikian," ujarku lagi.

"Ya kamu ngapain minta pulang, wong sudah sepakat buat tinggal di sini, menemani ibumu yang nggak ada temannya.

Kamu nggak lihat, ibumu nangis-nangis, sebab cucunya dibawa pergi, di rumah nggak ada temannya. Yudha juga kamu pengaruhi supaya ikut kamu.

Kamu pikir ongkos buat ke sana sedikit? Bisa habis-habisan nanti ponakanku cuma buat bolak-balik antar kamu pulang, lalu ke sini lagi, ongkos lagi."

Bulek bicara tanpa henti, tanpa jeda. Aku sampai kehabisan kata, sebab tak mengerti dengan jalan pikiran orang ini.

Nampaknya beliau telah membuat kesimpulan hanya mendengar dari satu pihak, tanpa konfirmasi ke pihak lain.

Mau kujelaskan, rasanya juga percuma, sebab ia telah meyakini pendapatnya sendiri.

"Kamu sendiri yang menyanggupi untuk tinggal bersama ibumu, kenapa tiba-tiba minta pulang? Apa kamu lupa, kamu direstui untuk menjadi keluarga kami sebab apa?" cecar Bulek lagi.

Ah, sial. Kesepakatan itu lagi yang diungkit. Tiba-tiba saja aku berharap sinyal di sini hilang biar sambungan telepon ini terputus dengan sendirinya.

"Ya, itu kan dulu. Sekarang lain, Bulek.

Tak taukah Bulek, ada banyak hal yang terjadi, tanpa Bulek ketahui, selama aku menjadi menantu di keluarga ibu mertuaku.

Ibu sendiri yang meminta saya pergi, apa Bulek tau? Apa ibu mengatakan ibu pada panjenengan? Rasanya enggak, ya, soalnya kelihatan dari apa yang Bulek katakan tadi."

"Mana mungkin ibumu melakukan itu?"

"Terserah Bulek lah. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya, biar Bulek nggak salah sangka."

"Salah sangka gimana? Jangan mengada-ada kamu!"

"Dan lagi, kenapa bulek ikut campur urusan rumah tanggaku? Apa lagi gabut, kurang kerjaan, apa gimana?"

"Karin! Berani kamu, ya?!"

"Maaf, saya mau istirahat. Assalamu'alaikum."

Kupencet tombol off dengan kekuatan penuh. Huh, ada-ada saja. Kuletakkan ponsel di atas meja kamar dengan hati-hati. Jangan sampai ia jadi korban rasa kesal ini. Bagaimana aku mencari nafkah nanti kalau ia yang jadi sasaran?

Baru juga dua hari Mas Yudha di sini, sudah heboh sekali. Entah mengadu apa ibu sama adiknya, hingga aku dituduh macam-macam.

Lagi pula, apa salahnya mas Yudha mengeluarkan biaya untuk kepulanganku?

Bukankah dia suamiku, bertanggung jawab atasku, termasuk untuk bertemu orang tuaku yang terpisah jarak ratusan kilometer?

Satu tahun kutahankan tak pulang, sekalinya minta pulang, kenapa dipermasalahkan?

Sungguh aku tak bisa mengerti dengan jalan pikiran bulek yang selama ini kuanggap bijak.

.

Sudah jam sepuluh malam, saat Mas Yudha muncul di pintu kamar. Aku sendiri masih bergumul dengan pertanyaan yang berputar-putar di kepala.

"Istri Mas kenapa ini, kok cemberut gini mukanya?" tanyanya, sambil bergerak mendekat.

Aku harap ia tak mendengar obrolanku dengan Bulek Ratih beberapa saat tadi. Bahaya kalau sampai ia mendengar perdebatan kami.

Bukan tak mungkin ia akan meledak-ledak seperti sebelumnya. Ia selalu sensitif kalau sudah menyangkut omongan orang tentangku.

"Mas bau asap, ganti baju dulu sana," ujarku, lantas menutup hidung dan mulut dengan telapak tangan. Bau asap ini, sungguh menggangguku.

"Iya deh, iya. Entah kenapa istriku ini, sampai Mas kena imbasnya," gerutunya.

Bab terkait

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Bab 8

    Ia segera berbalik arah, lantas menghilang di balik pintu. Tak lama kemudian, ia telah kembali dengan rambut dan wajah yang basah. Kemeja yang ia kenakan tadi, telah ia lepas, hingga menampilkan dada dan tulang rusuk yang seakan berlomba ke luar.Melihat itu, seketika teringat ucapan ibu, bahwa suamiku kian kurus setelah beristri aku. Ya, bagaimana nggak kurus, dia hampir begadang setiap malam, belum lagi kerja dari pagi hingga sore. Waktu istirahatnya hanya sedikit. Makan pun baru tengah hari, itu pun pemilih sekali. Sudah mikir keras mau masak apa, ujungnya milih jajan juga. Bingung sendiri kadang-kadang.Tangannya masih memegang handuk, lalu mengusap kepala hingga aroma harum shampoo menguar dari sana. Kuambilkan kaos untuk ia kenakan."Mas, maaf, ya," pintaku, sambil mendekat ke tempat ia berdiri. Ia telah kembali rapi dan wangi. Kuulurkan tangan yang segera disambut."Iya, dimaafin. Kenapa, sih, sensi amat, tumben. Kangen ya, habis ditinggal

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Bab 9

    Perjalanan kali ini terasa lambat. Tak ada temanku bicara, tak ada yang kuajak bertukar kata.Hanya foto kami bertiga menjadi pelepas rindu. Terlebih pada bayi kecilku, yang kini mulai berceloteh lebih banyak dari sebelumnya.Ibu tak henti menanyaiku, sejak awal perjalanan, hingga saat aku tiba di rumah. Aku pun merasa jengah."Kamu, kok balik sendirian, Yudha? Mana anak kamu? Mana Karin? Mereka berdua baik-baik saja, kan?"Ibu beruntun menanyaiku yang baru saja sampai. Lantas mengikuti langkah panjangku memasuki rumah."Sementara mereka tinggal di sana dulu, Bu," ujarku menyudahi pertanyaan ibu yang tanpa henti."Apa maksudmu dengan tinggal di sana? Apa cucuku tak akan kembali ke rumah ini?" tanya ibu lagi."Ibu, aku baru saja sampai. Tak bisakah ibu biarkan aku istirahat dulu barang sejenak?"Kuserahkan kardus berisi oleh-oleh dari orang tua istriku. Ibu menerima, tapi tak kunjung diletakkan, kardus itu masih menggantung di udara.Kuserahka

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Bab 10

    Belum sempat kulangkahkan kaki, tangan ibu telah mencekal lenganku. "Yudha."Aku menoleh, menemukan wajah ibu yang memandang tajam ke dalam mataku."Iya, Bu, gimana?""Perempuan itu milik suami dan keluarganya kalau sudah menjadi istri, apa kamu lupa? Kenapa kamu biarkan dia di sana, sedangkan kamu di sini. Rumah tangga macam apa yang kamu jalani, Nak?"Aku terkesiap mendengar penuturan ibu. Tak mengerti, kenapa selalu mempersalahkan rumah tanggaku."Maksud Ibu apa?"Ganti aku yang menatapnya penuh tanya. Tatapan ibu tak setajam tadi. "Asal ibu tau, ya. Semua ini gara-gara ibu! Aku hanya mau anak dan istriku di sini. Tapi ibu telah membuat ia pergi dan tak mau kembali!"Aku bersuara dengan keras, meluapkan isi hati. Tak bisa kukendalikan lidah ini. Tak teringat lagi pinta Karin untuk bersuara pelan di depan wanita ini, wanita yang telah melahirkanku. Ibu tentu saja terperanjat dengan sambutanku.Kondisi fisikku memang sedang lelah,

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Bab 11

    Aku mulai menjalani hari-hari tanpa Mas Yudha.Tanpa ibu dan bapak juga, sebab sibuk sekali di sawah, meninggalkan aku seorang diri di rumah, mengurus dua orang anakku.Ya, meski Silvi sudah bisa main di luar bersama teman-teman dan sepupu yang tinggal berdekatan. Tetap saja ada ulahnya yang menyita perhatian dan waktuku, seperti pagi menjelang siang ini."Adek cantikk!"Kedua mata yang sempat terpejam, kembali terbuka lebar. Bayi kecil itu mulai menangis, sebab terkejut oleh suara kakaknya. "Astaghfirullah!"Aku pun ikut terlonjak, sebab kedatangan yang tiba-tiba, saat aku hampir ikut terlelap. Tanpa sadar, kedua mata ini melotot ke arah anak sulungku.Sepasang tangan kecil itu menggantung di udara, tepat di samping bayiku yang kini menendang-nendang udara di antara suara tangisnya. Silvi mengkerut di tempat, lalu menundukkan kepala. Bibirnya melengkung ke bawah. Ia pasti ikut terkejut dengan sambutan yang ia dapat."Kakak, maaf ya, a

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Bab 12

    Melihat sosoknya, seakan menyedotku ke masa itu. Masa kelam di hidupku … .Seperti sebuah kaset yang diputar ulang, semua muncul begitu saja di dalam benak tanpa bisa dicegah lagi."Rin! Karin!"Aku yang sedang membilas cucian, segera menghampiri Mas Firman, suamiku.Ia tengah berkacak pinggang di depan meja makan saat aku sampai."Iya, saya Mas," jawabku takut-takut.Kutundukkan kepalaku, tak berani menatap ke wajahnya yang selalu datar jika berhadapan denganku."Mana sarapanku? Kenapa tak ada apa pun di atas meja ini?!" serunya lagi, membuat aku terjingkat."M-maaf, Mas. Semua persediaan di dapur sudah habis, jadi aku tak bisa memasak pagi ini," jawabku apa adanya. Badanku pun gemetar, sebab tak terisi apa pun sejak semalam.Ia hanya memberiku seratus ribu untuk belanja seminggu, dan itu sudah habis sejak dua hari lalu. Semalam aku meminta tambahan uang belanja, sebab sudah tak ada apa pun lagi di da

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Bab 13

    "Seharusnya ucapkan itu pada mantan mertuamu. Enyah sekarang juga dari hadapanku."Lelaki itu menurut, lantas pamit pada Mbak Fatma. Ia telah tak terlihat lagi, lalu Mbakku kembali masuk. Ia terperanjat begitu bertemu mata denganku."Karin, kamu ... .""Aku nggak papa, Mbak," ujarku dengan tersenyum."Terima kasih, untuk tak membiarkan ia lebih lama di rumah ini," tambahku lagi."Jangan kuatir. Mbak pastikan ia tak akan menggangu kalian lagi," ujar Mbak Fatma, lalu memelukku erat.Suara tangis Dinar membuat kami melepaskan diri. Lalu kami sibuk dengan kegiatan kami masing-masing.Silvi kembali dengan tiga cup es krim. Ia membagi satu untukku, lalu menyerahkan uang kembalian. Uang yang pertama kali ia terima dari ayah yang selama ini mengabaikannya."Yang ini buat Tante ya, Bu," ujarnya yang segera kuiyakan. Ia pun bergegas ke luar.Dinar telah kenyang, lalu mulai berceloteh bahasa bayi. Kubawa ia ke lua

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Bab 14

    Kulihat isi kotak dan bapak bergantian. Rasa tak percaya melihatnya."Ini hasil panen satu tahun ini. Saudaramu yang lain sudah bapak kasih, tinggal kamu yang belum. Disimpan, ya, gunakan sewaktu-waktu jika kamu butuh," ujar Bapak lagi."Terima kasih, Pak."Hanya itu yang meluncur dari lisanku. Lalu kubenamkan kepalaku di dada lelaki yang menjadi cinta pertamaku."Maafkan Bapak, maafkan Bapak," ujar bapak berulang kali, sambil menciumi puncak kepalaku.Bapak hampir selalu seperti ini, sejak tau apa yang kualami dalam pernikahan terdahulu. Mau tak mau aku ikut terlarut dalam suasana haru, sebab mendapati riak-riak dalam suara bapak."Pak … . Bapak!"Suara Ibu membuat kami melepaskan pelukan. Tak lama kemudian, ibu sudah muncul di depan pintu kamar."Ini ngapain, kok malah nangis anak ibu?" tanya ibu sambil memindai wajahku."Diapain sama bapakmu, Rin?"

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Bab 15

    Dapat kulihat senyum Mas Yudha, lalu disambut deheman Mbak Fatma.Mas Yudha lalu mengajak bicara Silvi meski dijawab malu-malu. Lantas berganti pada Dinar, yang hanya memberi jawaban dengan sorot mata bertanya, dan juga senyum lebar sesekali."Ibu titip salam buat kalian semua," ujar Mas Yudha, lalu mengucap salam sebelum mengakhiri sambungan telepon.Wajah ibu melintas lagi. Beliau pasti kangen sama cucunya. Sejak ia lahir, hampir tak pernah lepas dari menggendong meski sebentar. .Setelah hari itu, niatku untuk punya tempat tinggal sendiri semakin besar.Berbekal perhiasan pemberian bapak, aku berniat membuka usaha. Besar harapanku, produk online yang kujual saat ini bisa kubesarkan.Kelak, hasil dari usaha tersebut akan kutabung, hingga cukup untuk membeli tanah, kemudian mendirikan bangunan di atasnya. Atau jika mungkin, membeli sebuah rumah yang siap ditinggali, lalu berempat kami tinggal di sana sebagai keluarga yang bahagia. Aku, Mas Yud

Bab terbaru

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Ending

    Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 3

    Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 2

    Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending

    Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Talak

    Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Hanya Titipan

    Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Terpojok

    "Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Mereka Datang Lagi

    Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Kopi yang Dingin

    Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern

DMCA.com Protection Status