Perjalanan kali ini terasa lambat. Tak ada temanku bicara, tak ada yang kuajak bertukar kata.Hanya foto kami bertiga menjadi pelepas rindu. Terlebih pada bayi kecilku, yang kini mulai berceloteh lebih banyak dari sebelumnya.Ibu tak henti menanyaiku, sejak awal perjalanan, hingga saat aku tiba di rumah. Aku pun merasa jengah."Kamu, kok balik sendirian, Yudha? Mana anak kamu? Mana Karin? Mereka berdua baik-baik saja, kan?"Ibu beruntun menanyaiku yang baru saja sampai. Lantas mengikuti langkah panjangku memasuki rumah."Sementara mereka tinggal di sana dulu, Bu," ujarku menyudahi pertanyaan ibu yang tanpa henti."Apa maksudmu dengan tinggal di sana? Apa cucuku tak akan kembali ke rumah ini?" tanya ibu lagi."Ibu, aku baru saja sampai. Tak bisakah ibu biarkan aku istirahat dulu barang sejenak?"Kuserahkan kardus berisi oleh-oleh dari orang tua istriku. Ibu menerima, tapi tak kunjung diletakkan, kardus itu masih menggantung di udara.Kuserahka
Belum sempat kulangkahkan kaki, tangan ibu telah mencekal lenganku. "Yudha."Aku menoleh, menemukan wajah ibu yang memandang tajam ke dalam mataku."Iya, Bu, gimana?""Perempuan itu milik suami dan keluarganya kalau sudah menjadi istri, apa kamu lupa? Kenapa kamu biarkan dia di sana, sedangkan kamu di sini. Rumah tangga macam apa yang kamu jalani, Nak?"Aku terkesiap mendengar penuturan ibu. Tak mengerti, kenapa selalu mempersalahkan rumah tanggaku."Maksud Ibu apa?"Ganti aku yang menatapnya penuh tanya. Tatapan ibu tak setajam tadi. "Asal ibu tau, ya. Semua ini gara-gara ibu! Aku hanya mau anak dan istriku di sini. Tapi ibu telah membuat ia pergi dan tak mau kembali!"Aku bersuara dengan keras, meluapkan isi hati. Tak bisa kukendalikan lidah ini. Tak teringat lagi pinta Karin untuk bersuara pelan di depan wanita ini, wanita yang telah melahirkanku. Ibu tentu saja terperanjat dengan sambutanku.Kondisi fisikku memang sedang lelah,
Aku mulai menjalani hari-hari tanpa Mas Yudha.Tanpa ibu dan bapak juga, sebab sibuk sekali di sawah, meninggalkan aku seorang diri di rumah, mengurus dua orang anakku.Ya, meski Silvi sudah bisa main di luar bersama teman-teman dan sepupu yang tinggal berdekatan. Tetap saja ada ulahnya yang menyita perhatian dan waktuku, seperti pagi menjelang siang ini."Adek cantikk!"Kedua mata yang sempat terpejam, kembali terbuka lebar. Bayi kecil itu mulai menangis, sebab terkejut oleh suara kakaknya. "Astaghfirullah!"Aku pun ikut terlonjak, sebab kedatangan yang tiba-tiba, saat aku hampir ikut terlelap. Tanpa sadar, kedua mata ini melotot ke arah anak sulungku.Sepasang tangan kecil itu menggantung di udara, tepat di samping bayiku yang kini menendang-nendang udara di antara suara tangisnya. Silvi mengkerut di tempat, lalu menundukkan kepala. Bibirnya melengkung ke bawah. Ia pasti ikut terkejut dengan sambutan yang ia dapat."Kakak, maaf ya, a
Melihat sosoknya, seakan menyedotku ke masa itu. Masa kelam di hidupku … .Seperti sebuah kaset yang diputar ulang, semua muncul begitu saja di dalam benak tanpa bisa dicegah lagi."Rin! Karin!"Aku yang sedang membilas cucian, segera menghampiri Mas Firman, suamiku.Ia tengah berkacak pinggang di depan meja makan saat aku sampai."Iya, saya Mas," jawabku takut-takut.Kutundukkan kepalaku, tak berani menatap ke wajahnya yang selalu datar jika berhadapan denganku."Mana sarapanku? Kenapa tak ada apa pun di atas meja ini?!" serunya lagi, membuat aku terjingkat."M-maaf, Mas. Semua persediaan di dapur sudah habis, jadi aku tak bisa memasak pagi ini," jawabku apa adanya. Badanku pun gemetar, sebab tak terisi apa pun sejak semalam.Ia hanya memberiku seratus ribu untuk belanja seminggu, dan itu sudah habis sejak dua hari lalu. Semalam aku meminta tambahan uang belanja, sebab sudah tak ada apa pun lagi di da
"Seharusnya ucapkan itu pada mantan mertuamu. Enyah sekarang juga dari hadapanku."Lelaki itu menurut, lantas pamit pada Mbak Fatma. Ia telah tak terlihat lagi, lalu Mbakku kembali masuk. Ia terperanjat begitu bertemu mata denganku."Karin, kamu ... .""Aku nggak papa, Mbak," ujarku dengan tersenyum."Terima kasih, untuk tak membiarkan ia lebih lama di rumah ini," tambahku lagi."Jangan kuatir. Mbak pastikan ia tak akan menggangu kalian lagi," ujar Mbak Fatma, lalu memelukku erat.Suara tangis Dinar membuat kami melepaskan diri. Lalu kami sibuk dengan kegiatan kami masing-masing.Silvi kembali dengan tiga cup es krim. Ia membagi satu untukku, lalu menyerahkan uang kembalian. Uang yang pertama kali ia terima dari ayah yang selama ini mengabaikannya."Yang ini buat Tante ya, Bu," ujarnya yang segera kuiyakan. Ia pun bergegas ke luar.Dinar telah kenyang, lalu mulai berceloteh bahasa bayi. Kubawa ia ke lua
Kulihat isi kotak dan bapak bergantian. Rasa tak percaya melihatnya."Ini hasil panen satu tahun ini. Saudaramu yang lain sudah bapak kasih, tinggal kamu yang belum. Disimpan, ya, gunakan sewaktu-waktu jika kamu butuh," ujar Bapak lagi."Terima kasih, Pak."Hanya itu yang meluncur dari lisanku. Lalu kubenamkan kepalaku di dada lelaki yang menjadi cinta pertamaku."Maafkan Bapak, maafkan Bapak," ujar bapak berulang kali, sambil menciumi puncak kepalaku.Bapak hampir selalu seperti ini, sejak tau apa yang kualami dalam pernikahan terdahulu. Mau tak mau aku ikut terlarut dalam suasana haru, sebab mendapati riak-riak dalam suara bapak."Pak … . Bapak!"Suara Ibu membuat kami melepaskan pelukan. Tak lama kemudian, ibu sudah muncul di depan pintu kamar."Ini ngapain, kok malah nangis anak ibu?" tanya ibu sambil memindai wajahku."Diapain sama bapakmu, Rin?"
Dapat kulihat senyum Mas Yudha, lalu disambut deheman Mbak Fatma.Mas Yudha lalu mengajak bicara Silvi meski dijawab malu-malu. Lantas berganti pada Dinar, yang hanya memberi jawaban dengan sorot mata bertanya, dan juga senyum lebar sesekali."Ibu titip salam buat kalian semua," ujar Mas Yudha, lalu mengucap salam sebelum mengakhiri sambungan telepon.Wajah ibu melintas lagi. Beliau pasti kangen sama cucunya. Sejak ia lahir, hampir tak pernah lepas dari menggendong meski sebentar. .Setelah hari itu, niatku untuk punya tempat tinggal sendiri semakin besar.Berbekal perhiasan pemberian bapak, aku berniat membuka usaha. Besar harapanku, produk online yang kujual saat ini bisa kubesarkan.Kelak, hasil dari usaha tersebut akan kutabung, hingga cukup untuk membeli tanah, kemudian mendirikan bangunan di atasnya. Atau jika mungkin, membeli sebuah rumah yang siap ditinggali, lalu berempat kami tinggal di sana sebagai keluarga yang bahagia. Aku, Mas Yud
Kami sampai di rumah dua jam kemudian. Kubaringkan Dinar di atas kasur segera, begitu aku memasuki kamar. Sementara Silvi dalam gendongan Mbak Fatma."Mbak, titip anak-anak sebentar," ujarku, lalu segera beranjak ke kamar mandi.Aku merasa perutku tak nyaman, lalu tanpa bisa dicegah, mengeluarkan isinya tanpa ampun.Aku kembali ke kamar dengan badan yang lemas. Mbak Fatma yang masih menekuri ponsel, terkejut melihatku datang lalu berbaring sambil memegangi kepala."Kamu kenapa, Rin?""Pusing, Mbak, habis muntah juga. Masuk angin kayaknya," jawabku apa adanya.Mbak Fatma tak segera menjawab, justru tertawa kecil."Kenapa malah ketawa?""Bukan masuk angin itu, hamil kali!"Lalu tawanya berderai. Kulem parkan bantal yang segera ia tangkap."Sembarangan, anakku baru tiga bulan, masa hamil lagi," ujarku dengan menekuk wajah."Ya mana tau, kan. Namanya rejeki, masa ditolak? Kalau bener kan e
Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern