Derap langkah kaki bergerak mendekat, membuat pandangan teralihkan.
Senyum tersungging di bibir, melihat Mbak Andin kembali memasuki rumah ini. Dani berada dalam gendongannya."Kenapa dia, Mbak?" tegurku, lalu mendekat hendak mencium keponakanku. Ia malam menyembunyikan wajah, membuat diri ini tergelak."Mau pipis katanya, bentar ya, Te," jawab Mbak Andin, lantas berlalu ke belakang.Melihat mereka berdua menghilang di ujung pintu dapur, membuat aku membayangkan jika ibu punya kamar mandi sendiri di belakang toko.Beliau tentu tak akan sering di rumah ini, sebab sudah punya kamar mandi dan kamar tidur sendiri. Aku juga lebih bisa punya privasi.Pun bisa menata isi rumah ini sesuai mauku. Tak seperti sekarang, benda besar tersebar di seluruh penjuru rumah.Menggelengkan kepala, membulatkan tekad bahwa lebih baik tinggal terpisah dan tak saling terlihat dengan ibu dari suamiku.Sebaiknya kubujuk saja Mbak AndinSuara lalu lalang kendaraan masih ramai terdengar. Mas Angga muncul di depan pintu."Bu, ayo siap-siap," titahnya."Sekarang?" tanya Mbak Andin.Mas Angga mengangguk, lalu kembali ke depan."Mbak harus pulang," ujar Mbak Andin, beralih padaku. "Kamu yang sabar, ya. Mbak do'akan semoga semua lancar. Banyak berdo'a semoga ibu sama Masmu dilembutkan hatinya. Percayalah, Allah Maha membolak-balikkan hati hambaNya."Kuaminkan ucapannya. Kadang aku berpikir kalau kakak iparku ini sok alim, sebab kalau pakai jilbab pasti kebesaran, menyerupai mukena. Namun, kadang bener juga yang diomongin. Ingin kubalikkan kata-kata barusan, supaya ia mau tinggal di sini,tapi, apa sopan berbuat demikian?Mengambil sebungkus makanan khas daerahku yang kusiapkan untuknya."Mbak, ini, maaf cuma sedikit. Kemarin mendadak soalnya, jadi nggak sempat buat apa-apa," ujarku penuh sesal."Nggak apa-apa. Terima kasih, Dek," ujarnya, la
Langkah panjang segera kuambil, ingin segera tau, apa sebab suara ibu terdengar hingga ke rumah Budhe Harti.Mendapati ibu berusaha bangun dari duduk saat aku kembali. Air telah membanjir di depan pintu dapur, dimana beliau berada. Telapak tangan beliau penuh tanah, sedangkan wajah ibu meringis menahan sakit.Dahiku mengernyit melihat pemandangan di depanku. "Ibu, kenapa? Habis jatuh?" tanyaku ingin tau.Meski beliau tak mau menyapa semenjak aku kembali, tapi tak tega juga hati ini melihat beliau terlihat kesakitan seperti sekarang."Bukan urusanmu!" cetus ibu setelah melirikku sekilas.Oke, baiklah ... sabar, Karin. Sebentar lagi akan pergi dari sini, ini hanya sebentar, gumamku dalam hati.Beliau berusaha bangkit, meski terlihat sulit. Roknya telah penuh dengan tanah basah. Tetesan air masih turun satu-satu dari bak penampung air. Rupanya dari sana banjir ini berasal. Ibu pasti lupa mematikan sakla
"Habis ini kita cari isi dapur. Apa kamu setuju?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya.Aku menjawab dengan anggukan. Kuhirup napas dalam. Lega sekali rasanya, setelah banyak drama, akhirnya hati Mas Yudha terketuk juga untuk secepatnya menempati rumah ini.Tak sia-sia semalaman aku meratap di atas sajadah sesuai saran Kakak iparku. Aku harus mengucapkan terima kasih padanya setelah ini.Kalimat hamdalah terucap dari bibir ini. Semoga saja suamiku tak berubah pikiran, juga hati ibu, semoga meloloskan keinginan kami untuk belajar hidup mandiri."Mau di sini dulu, apa mau belanja sekarang?" tanya Mas Yudha menyadarkanku."Boleh di sini dulu, Mas?" pintaku penuh harap. Biar anakku juga beradaptasi pada rumah ini. Aku pun telah nyaman di sini. Tenang sekali rasanya, tak lagi melihat tatapan tajam dari ibu mertua. Tak ada lengking suara yang mengagetkan telinga."Tunggu di sini, Mas ke depan sebentar," pamitnya, lalu bera
"Ya udah, kalau mau ngontrak ya nggak apa-apa."Ibu menghela napas panjang lalu menyentaknya. Tak dapat disembunyikan raut wajah kecewa.Aku pun merasa lega, sebab berhasil membujuk suamiku supaya minta ijin pada Ibu dan pamit malam ini juga.Rumah juga sudah siap, sudah nyicil bawa pakaian juga sore tadi, mau nunggu apa lagi, kan? Aku dan Mas Yudha masih duduk dan menyimak wejangan ibu yang belum berhenti juga sejak beberapa saat tadi."Ibu pikir mau nambah kamar tidur sama kamar mandi di belakang toko itu, terus nanti ibu tinggal di sana, kalian tetap menempati rumah ini. Eh ... nggak taunya kalian milih ngontrak."Aku saling lirik dengan Mas Yudha. Inginku segera berangkat sebelum udara malam semakin dingin. Tak sabar hendak menempati rumah itu."Saya minta maaf, ya, Bu. Mungkin selama tinggal di sini ada hal yang membuat ibu tak senang," ujarku. Biar bagaimana pun, sedikit banyak aku pernah cek-cok d
"Mas, ini ibu nelpon!"Kuberikan ponsel tersebut. Kebetulan Mas Yudha sudah muncul di pintu kamar. Ia segera keluar, sebab tak mau mengganggu Dinar."Iya, Bu?"Aku tak mendengar lagi obrolan mereka. Lebih baik aku ke dapur lalu menata isinya.Ini semua seperti mimpi bagiku. Bisa keluar dari rumah ibu dengan kerelaan beliau, tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti yang kurencanakan sebelumnya. Tak mau membuang waktu, segera saja kuisi ember besar yang dibeli sore tadi. Tak ada bak mandi di sini, jadi mau tak mau harus menampung air.Pun tak ada wastafel seperti di rumah ibu. Semua kegiatan yang bersangkutan dengan air hanya bisa dikerjakan di kamar mandi ini.Perabotan segera kubawa ke kamar mandi untuk dicuci. Tak banyak memang, tapi, setidaknya sudah bersih nanti jika mau memakai.."Mas, airnya nggak ngalir!"Aku berniat memasak air untuk menyeduh kopi, juga untuk mandi Dinar. Namun apa daya, air t
Tawa kami pecah berderai-derai. Dinar terlihat bengong melihat ayahnya yang tertawa-tawa di depannya.Kami memang membeli kompor satu tungku kemarin, tapi tabungnya belum dapat. Sudah kuusulkan supaya beli sama ibu, tapi Mas Yudha nggak mau. Kebiasaan di rumah ibu apa-apa tinggal pakai, nggak mikir beli gas, apalagi masang. Ini pagi-pagi sudah panik nggak ada air, nggak kepikiran ngecek kompor juga."Maaf, Mas. Kenapa bisa lupa, ya?" tanyaku setelah tawaku berkurang."Ya bisa, namanya juga manusia, Dek.""Lagian kamu, Mas, belum ada tabung main pasang aja selang sama regulatornya. Kirain semalam pamit itu udah dapet.""Ya maaf, kirain Mas biar tinggal masang kalau dapat tabung, nggak taunya nggak boleh dibeli, jadi mesti cari ke tempat lain.""Aku juga kenapa nggak ngecek dulu, ya. Duh, kenapa jadi oleng begini, Mas."Mas Yudha menggerak-gerakkan lengan Dinar, yang disambut kekehan berulang. Aku masih menyeracau, tak habis pikir dengan drama pagi pertama di kontrakan ini."Itu kalau m
Setengah jam kemudian ia kembali dengan nasi brekat selamatan dari tetangga. Beberapa kue tradisional melengkapi brekat kali ini. Memang hampir setiap hari ada saja yang mengadakan selamatan. Entah selamatan orang meninggal, syukuran kelahiran, sampai arisan. Aku sendiri pun kadang bingung jika ibu yang mengundang tetangga mengaji di rumah untuk selamatan. Hal ini sebab terlalu seringnya diadakan.Nasi-nasi brekat yang didapat dari tetangga itu biasanya justru terbuang, sebab saking banyaknya. Pun sebab sudah masak terlebih dahulu, jadi memilih menyantap masakan sendiri.Sering merasa bersalah juga saat terpaksa membungkus nasi ke dalam kantong kresek lalu memasukkan ke dalam tong sampah. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat menjemur nasi, apalagi ayam yang berkeliaran bebas seperti di rumah orang tua Mas Yudha.Ketika masih di rumah ibu, mudah saja menghabiskan nasi itu, tinggal kasih ayam, beres. Atau taruh di tampah, biarkan kering, maka bisa menjadi nasi aking. .Kondisi keuangan
Melihat Mas Angga bergantian melaksanakan ibadah dengan Mbak Andin, entah kenapa ada yang tercubit di sini, di sudut hati.Kembali hati didera iri pada Mbak Andin, lalu berandai jika yang jadi suamiku itu Mas Angga. Ingin rasanya suamiku pun demikian, mau melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.Mbak Andin menatap dengan sorot yang sulit diartikan. Aku sendiri mengalihkan pembicaraan pada perkembangan anak-anak dan lingkungan baruku.Ia memang tak bertanya lagi, tapi kuyakin dalam hatinya ingin tau bagaimana aku menjalani satu bulanku di sini tanpa mukena.Ya, memang telah selama itu, aku hampir tak melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Kecuali saat berkunjung ke rumah ibu mertua. Begitu juga dengan Mas Yudha. Mukena itu memang tertinggal di sana. Entah bagaimana, aku tak terpikirkan untuk membawanya serta saat kembali ke rumah ini.Mas Yudha pun, tak beda jauh denganku. Sesungguhnya aku terkejut saat ia berkata a
Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern