~••°••~Febi bukanlah aku, dia punya privilege sejak lahir. Nikah bawah tangan, pesta perhelatan besar, tentang sebab akibat ia mendadak nikah, bak tenggelam begitu saja di kampung Madila. Tidak ada sama sekali kumpulan ibu-ibu menggunjingkan Febi. Tidak pula ada bapak-bapak yang mengolok kalau lewat di kedai kopi tempat mereka duduk-duduk menjelang senja.Hanya yang berubah, Mintuo Yeni. Bukan lagi beliau yang dulu, yang menjalani hidup penuh suka cita. Dulu, tiada hari tanpa tawa yang membahana. Kini ... malang nasibnya kini. Mintuo Yeni mengalami depresi yang berat. Semua barang-barang Febi dibakar. Foto-foto Febi dirobek. Boneka, sepatu, benda-benda yang ada hubungannya dengan Febi dijual ke tukang loak. Seakan-akan, beliau tidak ingin ada lagi benda yang tersisa jika masih berhubungan dengan Febi.Mak Rustam tidak dapat berbuat banyak. Pikirannya tentu tidak kalah semrawut. Belum lagi menanggung malu dalam hidup bermasyarakat. Selama ini, dikenal sebagai tetua, disegani, yang bij
~••°••~Selama 10 hari di Myanmar, tidak sempat untuk sekadar menelepon Emak. Dikatakan tidak, ketika pertama kali menginjakkan kaki di bandara, sempat aku video call dengan Kak Kasih. Kebetulan ia sedang bersama Emak. Di hari ke-10, sebelum meninggalkan bandara Yangon seluruh peserta seminar diberi waktu 4 jam untuk memburu buah tangan. Tepat pukul 11 malam waktu setempat, pesawat yang akan membawa kami kembali ke Indonesia dijadwalkan take off.Rasanya waktu sepuluh hari terlalu singkat. Seminar gizi skala internasional itu benar-benar daging isinya. Berbagai materi pergizian dan challenge yang menantang membuat waktu tanpa terasa sudah berlalu. Berkenalan dengan para kandidat terbaik universitas kenamaan dari berbagai negara dunia, menjadi sebuah berkah tak terhingga untukku. Orang-orang hebat, calon-calon dokter masa depan. Semuanya ramah-ramah, semaksimal mungkin membaur lebur jadi satu. Meski ada benturan sesekali dalam komunikasi karena bahasa. Setidaknya, hal lain yang harus a
~••°••~Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu tiba. Yaitu hari Bang Doni libur kerja dan bisa meminjam satu unit kendaraan mobil milik atasannya. Emak dan Kak Kasih sekeluarga berkunjung ke Padang. Aku menjadwalkan beberapa kegiatan ditunda sementara. Emak berangkat Subuh dari kampung Madila. Akan sampai di Padang sekitar jam 10 kalau di Sitinjau Lauik tidak macet.Beberapa tempat sudah kupilih untuk dikunjungi. Salah satunya objek wisata Mekah mini di Lubuk Minturun. Hari Sabtu yang istimewa. Emak akan bermalam di kos kami nanti, kembali ke kampung esok harinya. Fuji yang sudah kembali dari rumahnya, sangat excited mendengar Emak akan berkunjung.Tidak tanggung-tanggung, Fuji sengaja membeli ubi kayu dan ikan teri dalam jumlah banyak ke pasar. Katanya ingin berguru pada Emak. Meminta trik dan tips mengolah goreng singkong balado agar bisa super enak seperti bikinan Emak. Ah, Fuji kadang terlalu melebih-lebihkan.Pukul sepuluh lebih sedikit, Emak sampai di rumah kos kami. Fuji denga
~••°••~Bang Doni sepertinya juga sangat lelah. Hingga matahari sudah selemparan galah, ia masih tertidur. Aku memang sedang libur, Fuji juga tidak kemana-mana.Sekantong besar ubi di dapur mencuri perhatian Emak."Ini siapa yang kasih, Fuji?" seru Emak."Fuji yang beli, Mak. Kan mau belajar bikin singkong balado.""Ya ampun, sebanyak ini?" Emak tertawa geli melihat Fuji bertingkah."Ajarin gitu, Mak. Gimana biar rapuh ubinya. Nanti kalau Fuji bisa, mau ajarin mami juga.""Memangnya mami suka?" tanya Emak."Bukan suka lagi, Mak. Doyan parah. Inget nggak, Rin ... kapan itu mami ke sini, terus cicip punya Rindu. Beuh, nggak mau berhenti, sampai dihabisin semangkok gede." Fuji menoleh padaku. Aku mengangguk sambil tertawa mengenangnya.Aku ambil bagian mengupas ubi kayu. Fuji bagian mencuci di air keran. Emak memotong menjadi agak pendek dan memasukkan ke dalam dandang besar punya ibu kos yang kami pinjam. Merebus ubi sekitar 5 menit, menjadi setengah empuk.Setelah diangkat dan ditirisk
~••°••~Baru saja aku melangkah keluar dari ruang dekan, dosen yang akrab disapa Bu Firda tersebut sudah menunggu di koridor. Aku membawa setumpuk dokumen jurnal untuk dijadikan bahan essai kritik ilmiah. Pak Wiryono meminta aku menuliskan essai untuk diikutsertakan dalam lomba skala internasional."Apa ini, Rindu? Sini saya bantu." Bu Firda tercengang melihat kertas-kertas satu pangkuan."Jurnal ilmiah, Bu. Tidak usah, Bu ... bisa kok, hehe." Aku menyeringai. Bu Firda sangat ramah, pasti ia sangat diidolakan di Fakultas Teknik. Terbukti sepanjang kami berjalan, tiap kali bertemu mahasiswa selalu disapa. Bahkan ada dari fakultas lain, juga tetap mengenali beliau.Menggunakan Yaris berwarna merah nyala, aku dan Bu Firda meninggalkan kompleks kampus UNAND. Beliau mengajak ke Weekend Cafe, tidak jauh dari sini. Hanya perlu 25-30 menit kalau berkendara dengan santai. Aku lirik arloji, masih pukul dua siang. Sepanjang jalan beliau banyak bercerita. Termasuk memuji kepopuleran aku sebagai m
~••°••~"Katanya pulang cepet, jam segini baru nyampe rumah. Kan mau jemput motor," cegah Fuji di pintu. "Eh, tunggu! Kok bisa bareng Raja sih, Rin?" Fuji memperhatikan mobil Kak Raja yang bergerak menjauh."Kamu kenal?""Kenal dong, kenal banget. Dia aja yang nggak kenal aku. Dia itu selebriti. Cewek-cewek ngidolain tuh do'i. Termasuk aku, hehe. Mau dong dikenalin, pingin foto bareng Kak Raja ... biar bisa pansos." Fuji tertawa lebar. Aku tahu dia hanya bergurau.Sambil berjalan masuk ke dalam, mataku menangkap penampakan baskom yang hanya tersisa setengahnya. Hah, apakah Fuji sekalap itu?"Bukan aku habisin sendiri, aku bagi ke tetangga. Kebaca muka kamu kaget lihat isinya setengah." Fuji sepertinya punya ilmu cenayang. Aku tersenyum lega, bahaya kalau dia makan singkong balado berlebihan. Tidak sehat untuk pencernaan."Jadi jemput motor, Rin?""Besok aja kayaknya, aku ada kerjaan buat besok. Sama badan udah remuk banget. Capek.""Kok bisa sama Kak Raja?"Ternyata Fuji masih penasar
~••°••~Satu hari pasca pemakaman Mintuo Yeni, kondisi kampung semakin riuh. Tak jua reda desas-desus mengenai bau tak enak dari jenazah almarhumah. Pun keadaan Febi semakin hilang kendali. Ia tidak mau makan, saban hari hanya menangis di pusara anak dan ibunya.Keluarga besar Bang Farid juga datang melayat. Tiga mobil minibus berpenumpang penuh, berlabuh di halaman rumah Mak Rustam. Sebagai tuan rumah, Mak Rustam mencoba menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Meski aku tahu, remuk redam sedang ditahannya sendirian.Beberapa orang kerabat dekat, masih sibuk membereskan rumah di bagian dapur. Mencuci gelas dan piring yang sudah bertumpuk sejak kemarin, setelah acara doa bersama tahlilan malam hari mayat dikubur. Aku duduk di sebelah Emak, bersama Mak Rustam. Febi diungsikan ke rumah keluarga yang lain."Semoga almarhumah husnul khatimah, Pak Rustam. Kami sekeluarga mengucapkan turut berduka cita sedalam-dalamnya. Begitu pula untuk Febi, duka mendalam atas kepergian si kecil. Semoga
~••°••~Hampir setiap hari aku bertanya kepada Kak Kasih tentang kondisi Febi. Bagaimanapun, ia tetap sepupu kontan. Masa kecil kami dulu sempat dekat, tumbuh besar bersama. Umurnya hanya tua hitungan bulan, tetapi ia bisa masuk sekolah lebih dulu. Aku ketinggalan satu tahun ajaran karena syarat umur masuk sekolah dasar tidak terpenuhi.Dari keterangan Kak Kasih, setiap hari ia masih berkunjung ke pusara anaknya. Duduk diam lama lalu pulang lagi. Mengerjakan pekerjaan rumah, membersihkan rumah, memasak, mencuci, dan sebagainya. Febi banyak berubah. Selama ia merantau, sepertinya hal-hal baik telah tertanam dalam dirinya. Tidak ada lagi Febi yang manja dan enggan melakukan pekerjaan rumah seperti dulu."Dia sudah lama bercerai, Rindu. Setelah anak mereka lahir, Febi yang meminta pisah. Febi yang bercerita sama Kakak, kalau suaminya suka main tangan, KDRT. Setelah bercerai, ia pergi ke Depok. Di sana ada saudara Mintuo Yeni 'kan, Kakak lupa nama Etek itu. Di sanalah Febi tinggal dan mem
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,