~••°••~"Zalim dari mana? Itu 'kan memang sawah orang tua Etek, punya hak penuh dong kami mau diapakan.""Tetapi itu sudah dihibahkan kepada kami, Tek. Itu bagian Bapak, suratnya pun ada. Sebenarnya apa maksud terselubung dari sikap Etek selama ini. Etek tidak suka kalau Rindu kuliah, ha?"Emak masih menahan bahuku agar tidak merangsek maju mendekati Etek Yarni. Kami sama-sama panas, sama-sama terbakar. Sekali ini, tidak terbendung rasa amarah dalam diri. Kalau tidak ada Emak, mungkin sudah kuhantam perutnya dengan kaki.Tiba-tiba Pak Muslim masuk, menengahi kami yang berseteru. Mendudukkan perkara dengan kepala dingin. Termasuk memberi ancaman, jika tidak mau mengendalikan ego ... akan dibawa ke kantor kenagarian (setingkat lurah) agar di sidang oleh tetua adat."Mulai dari saya mau masuk kuliah, entah sudah berapa banyak cara untuk menghalangi langkah saya, Pak Mus. Sepeser pun tidak akan saya minta uangnya untuk kuliah. Saya dan Emak, masih punya tulang delapan kerat untuk diandalk
~••°••~Menjelang Dzuhur aku sampai di Padang, Senin yang gersang bermandikan cahaya terik garang sang surya. Angin dari laut, mengabarkan bahwa akan cerah sampai sore tiba. Semoga mendung tidak berkhianat dalam perjalanan menuju rembang.Teman satu kelasku, asal Medan, Guntur Silalahi berbaik hati menemani ke kantor LLDIKTI. Menjemput hadiah utama, satu unit sepeda motor jenis matic. Warna merah terangnya, seakan memberikan aura penuh kepercayaan diri kepadaku. Guntur yang mengendarai hingga ke tempat kos. Teman-teman lain sudah menunggu. Kata mereka ingin selfie dengan si merah. Lalu, aku beri nama kuda besi itu "Qizil" yang artinya merah dalam bahasa Kazakhtan.Kenapa harus Kazakhtan? Karena Bapak pernah bercerita tentang indahnya negara dengan ragam etnis dan budaya tersebut.Kazakhstan mungkin belum terlalu familiar bagi banyak orang. Tetapi, dalam kepalaku terpaku kuat sebuah kata berawalan "K" tersebut, kemudian menjadi salah satu obsesi untuk bisa aku kunjungi kelak. Negara de
~••°••~"Prof!" Aku berusaha mensejajari langkah beliau yang bergegas."Ya?""Mengenai yang Prof sampaikan di kelas tadi, saya masih ngambang."Profesor Imran lantas berhenti dan memutar arah berdirinya, menghadap sempurna kepadaku."Ya, Anda ditunjuk sebagai perwakilan mengikuti studi banding di Kuala Lumpur. Bagaimana mekanismenya, silakan langsung ke bagian rektorat. Akomodasi ditanggung penuh, diberikan juga uang saku. Enak, bukan?""Saya senang dengan kabar ini. Tetapi, seperti Prof lihat tadi di kelas, tanggapan dari beberapa teman terlihat tidak begitu.""Kenapa harus memikirkan orang lain? Anda ditunjuk, diberikan amanah oleh universitas bukan asal dapuk. Tandanya Anda memenuhi kriteria. As simple as that!""Saya takut dikira dan dibilang anak emas, Prof," keluhku menahan suara."Ada masalah kalau Anda diemaskan? Orang lain berusaha menjadi terdepan agar bisa punya posisi 'anak emas' ... sementara Anda, diberikan kemudahan oleh Tuhan untuk meraihnya. Bukan, bukan meraihnya ...
~••°••~[Hai, Bitch!]Pesan itu masuk berkali-kali, berhari-hari. Awalnya aku abaikan, lama-lama risih juga. Setiap kali coba menelpon, tidak pernah tersambung."Siapa ya, Ji? Aku mulai nggak nyaman.""Kamu tahu 'kan arti bitch itu?" Fuji mencodongkan badannya ke arahku, mengintip deretan pesan yang masuk dari nomor misterius tersebut."Pelacur, 'kan. Perasaan enggak pernah ada masalah sama orang. Baik di dunia nyata, entah di dunia maya. Kamu tahu sendirilah gimana aku, waktu untuk bikin masalah itu yang enggak ada.""Jangan-jangan itu Michelle atau Rosemary!" serunya."Husst, jangan sembarangan! Tanpa bukti, kita nggak bisa asal tuduh orang. Nanti malah kena balik, pencemaran nama baik."Siang itu, setelah kuis dadakan di salah satu mata kuliah, aku menuju ke perpustakaan. Ada waktu yang lumayan panjang untuk mengumpulkan referensi sebanyak-banyaknya. Satu jam bagiku sangat berarti, setelah ini lanjut ke mata kuliah berikutnya. Di sela-sela membaca buku, bisa diselingi mengisi perut
~••°••~Sepanjang malam aku merintih menahan perih di bekas jahitan dagu dan rusuk kanan. Emak dan Bang Doni bergantian berjaga. Pukul 2 dini hari, Bang Farid datang setelah mengantar pulang Bu Nani ke rumah kakaknya. Aku tidak tahu sedang dirawat di rumah sakit apa."Mak, makan dulu!" lirih Bang Farid menegur Emak yang baru selesai tahajud.Mataku tak mau lelap sepicing pun. Pikiranku ngelantur ke mana-mana. Melihat diriku terbujur tak berdaya, aku stress. Aku kasihan pada Emak yang terlihat lelah. Astaghfirullah, kenapa musibah datang begitu sekejapan penglihatan."Kamu belum tidur dari mulai siuman tadi, Rindu. Harus banyak istirahat biar segera pulih. Mau makan?" Bang Farid duduk di kursi kanan, sejajar dengan kepalaku. Aku menoleh sedikit saja."Ini mimpi 'kan, Bang. Rindu baik-baik aja 'kan? Bangunin segera, biar belajar untuk persiapan ke Malaka. Ayok, Bang!""Rindu, istighfar," lirihnya berusaha menenangkan.Bulir demi bulir berkejaran lagi keluar dari netraku. Ternyata ini ke
~••°••~"Coba diingat-ingat lagi, Rin. Barangkali tidak disengaja pernah melukai perasaan orang."Emak baru selesai Duha, mengelap tangan dan kakiku dengan tisu basah. Seperti yang diminta Emak, aku coba mengingat-ingat dengan siapa pernah bermasalah. Buntu, tidak ada sama sekali. Terakhir aku heboh dengan orang cuma dengan Febi, itu pun sudah tahun kapan. Kalau dengan Michelle dan Rosemary, tak pernah kami ribut berat meski persaingan antara kami memang ketat.Aku mengakui kalau Michelle dan Rosemary memang unggul di beberapa mata kuliah. Seperti yang diceritakan Fuji, ia gagap saat diwawancarai oleh profesor di kantor rektorat. Sangat kuyakini bukan karena mereka bodoh atau kepala kosong. Boleh jadi karena gugup, sehingga blank begitu saja."Rindu memang punya hubungan yang tidak baik dengan teman sekelas, Mak. Cuma ... rasanya mustahil merekalah dalang semua ini. Enggak mungkin aja gitu loh, Mak.""Setelah pulih nanti dan berkuliah kembali, perbaiki hubungan tersebut. Jangan merasa
~••°••~Setelah salat Subuh, Emak sudah berkemas-kemas. Pagi ini aku dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Daerah di Kota Solok. Seluruh administrasi sudah diurus kemarin sore oleh pihak kampus. Fuji juga menginap semalam, seperti Emak ... dia juga terlihat sibuk beres-beres."Aku enggak ikut ke Solok, Rindu. Ada tugas yang harus aku kejar. Maaf ya," katanya tanpa menoleh. Aku tahu ia menahan air mata. "Lusa aku ke sana sama teman-teman kelas," ulasnya masih memalingkan wajah."Kamu kenapa sih, Ji?""Enggak!" tukasnya."Ji, lihat aku!"Tangannya yang sedang melipat kain, berhenti bergerak. Ia menoleh dan aku menemukan sepasang mata yang merah. Fuji terlihat tidak baik-baik saja."Nggak tahu, sedih aja kamu pindah ke Solok. Entah kapan balik ke Padang.""Doain aku pulih cepat, biar bisa kuliah cepat.""Ya tapi treatment tulang itu lama, Rindu. Solok itu jauh banget, gimana aku bisa ke sana sering-sering. Ya Allah, Fuji sedih banget loh, Mak!" adunya beralih pada Emak.Jika Fuji sedih karena
~••°••~"Kenapa dia dibawa ke sini? Adik saya punya hak untuk mendapatkan kenyamanan dan ketenangan, Pak. Lihat, apa hasilnya!" Aku mendengar suara Kak Kasih di luar."Dan, tolong dengan sangat, Etek jangan pernah menampakkan muka lagi di depan Rindu. Belum cukupkah penderitaan yang Etek hadirkan untuk dia?" Semakin menggelegar suaranya."Mak, Kak Kasih!" lirihku, Emak bergegas keluar.Pintu yang tersibak lebar menampakkan pemandangan mereka yang sedang berseteru. Etek Yarni sedang berlutut pada Kak Kasih. Tetapi, kakakku itu seperti tidak peduli bahkan ia terlihat jijik untuk menyentuh Etek Yarni.Sebetulnya kami tidak pernah diajarkan untuk dendam dan menanam kebencian kepada siapa pun. Sekali ini rasanya dadaku sudah penuh. Karena perbuatan Etek Yarni menyangkut nyawa, dia tidak lagi manusia. Dia iblis, maaf."Saya nggak peduli mau menangis darah sekali pun, bapak kami dulu menyekolahkan Etek supaya jadi orang, bukan jadi maling!" Kak Kasih melangkah, dan mencegah tangan Emak yang
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,