~••°••~Sahabat baruku, Fuji Nagita berasal dari Batu Sangkar. Setelah berbincang lewat pesan WhatsApp, akhirnya rencana ke Padang dimajukan sehari dari rencana awal. Selasa hari yang dipilih, semoga Allah memudahkan urusanku dan Fuji.Oh iya, setelah menggadaikan emas di toko Queen, aku dan Emak membeli piring dan gelas plastik, serta sendok sekalian garpu. Selimut tipis yang murah meriah, handuk, alas kasur, magic com yang kecil, ember kecil untuk peralatan mandi, dan printilan-printilan kecil lain. Emak se-detail itu, bahkan hal yang tidak terpikirkan olehku, dibeli juga oleh Emak. Misalnya, spon cuci piring.Ketika kami sampai di rumah, lampu-lampu sudah menyala. Sepertinya Kak Kasih masih di sini. Pintu juga terbuka sangat lebar. Kadang-kadang, dia seteledor itu. Sudah mau Magrib seperti ini. Pintu masih terkangkang selebar-lebarnya.Aku berjalan dulu, baru menyadari ada motor Uda Revan terparkir di tepi halaman. Apa gerangan yang membawanya bertamu senja raya begini. Oh, mungkin
~••°••~Malam itu, tangisku agak lama di atas sajadah. Tangan tertengadah lebih tinggi. Tidak rumit permintaan yang kuajukan pada Allah. Berikan aku kesehatan, umur panjang yang berkah, kesabaran yang berlimpah, itu saja. Pada-Nya ... kuadukan luka-luka yang dijejalkan oleh Etek Yarni. Tidak akan membalaskan dendam apa pun, kelak nanti yang kulakukan hanyalah pembuktian.Pembuktian kalau aku bisa, akan kubangkit batang terendam. Akan kunaikkan harkat dan martabat keluarga. Akan kubayar kontan semua cemoohan.Iya, aku ... Harmoni Rindu Umayyah. Anak bungsu kesayangan Bapak. Anak kampung yang lugu dan dibilang kampungan. Itu aku ... aku yang akan membungkam mulut-mulut jahil mereka, selama ini mereka begitu lancang meremehkan kemampuan kami.Tak terukur banyaknya air mata yang berhamburan di atas sajadah lusuh ini. Muhasabah sedalam-dalamnya aku munajatkan pada Sang Maha Adil. Aku percaya, Allah maha pengasih, maha penyayang ... tidak akan mungkin Dia menyia-nyiakan hamba-Nya yang bersa
~••°••~Sekuat tenaga aku tahan air mata. Apa yang ditanyakan oleh Bang Heru sepanjang jalan, kujawab sekenanya. Tak sabar untuk sampai di rumah, tak tahan ingin mengadu pada Emak. Kata-kata Uda Revan keterlaluan. Apa yang dia maksud? Aku menjajakan diri di tenda ceper, begitu? Sepupu macam apa itu? Ingin kumaki rasanya ....Sampai di pinggir jalan tepat di depan rumah, kuminta Bang Heru stop. Bergegas aku turun dan setengah berlari ke rumah. Tak terbendung lagi tangisku, menghambur ke dalam pelukan Emak yang sedang mengaji."Mak ...." Aku meratap, sakit di hati tak terungkap lagi lewat kata-kata.Berkali-kali kudengar Emak istighfar. Tak bisa kutahan, aku menangis terus. Emak memukul-mukul punggungku agar berhenti. Pastilah beliau sangat bingung melihat aku datang tiba-tiba menangis sekeras-kerasnya.Barangkali setengah jam aku menangkup pada lutut Emak. Sampai terasa lelah, tidak lagi ada air mata yang keluar. Perlahan kutata emosi, menenangkan diri. Mulai bercerita pada Emak.Gilir
~••°••~Sudah kucukupkan tekad, merangkai asa yang sempat terserak. Siapa lagi yang akan mengubah nasib, jika bukan diri sendiri. Aku anggap semua yang telah terlewati itu sebuah pecutan untuk melangkah lebih mantap.Tahap demi tahap menuju perkuliahan sudah aku ikuti alurnya. Bergandengan tangan bersama Fuji, saling melengkapi. Aku dan Fuji memang sangat berbeda. Dia dibesarkan dalam segala kemewahan dan kemudahan, aku ditempa dalam himpitan hidup yang beragam. Tak pula akan kumanfaatkan keadaan itu untuk menumpang di biduk yang tenang. Tetap saja mendayung sampan sendiri-sendiri. Sesekali aku minta papah, pada Fuji yang riak samudera-nya tidak terlalu bergelombang.Sekali dalam sebulan aku pulang, terkadang lebih dari itu. Tergantung uang saku yang aku punya. Sabtu sore pulang ke Madila, sore Minggu-nya kembali ke Padang. Jika beruntung, bisa menumpang gratis pada bapak-bapak atau ibu-ibu yang hendak ke sana. Sering menumpang pada Pak Rinto yang mengunjungi Bang Fikri anaknya.Emak
~••°••~"Eh, Dokter Rindu pulang nih." Ceu Nova tentu sedang mengolok-olok, pagi Minggu menjadi saksi orang-orang menertawai aku lagi.Aku diminta Emak membeli kebutuhan dapur ke kedai Koh Agung. Ternyata sedang ramai ibu-ibu berkumpul. Nahasnya, yang sedang hadir adalah sekumpulan orang yang hoby ledek-ledekan."Mau belanja, Ceu." Aku berusaha tidak menanggapi perkataan Ceu Nova."Kapan ke Padang, Rin?" tanya seorang yang lain."Sore ini, Tek.""Dibekali apa tuh, ubi kayu goreng pakai teri ya, Rin?" Giliran Mintuo Yeni yang bersuara, disambut riuh tawa yang lainnya."Makan ubi terus, besar lutut nanti, Rin.""Ubi kayu itu sehat, Tek, Mintuo. Kaya karbohidrat, bagus kok untuk kesehatan asal diolah dengan benar.""Cieee lagunya Dokter Rindu," sahut Mintuo Yeni. Lagi-lagi semua orang tertawa.Seperti kata Emak, aminkan saja omongan orang-orang seperti itu. Mereka memanggil dengan sebutan Dokter Rindu, anggap saja ia sedang mendoakan yang baik. Tinggal bilang aamiin dalam hati. Tidak per
~••°••~"Maaf ya, Kak. Senin saya sudah kembali ke Padang. Selasa siang sudah bisa kak ambil resumenya. Ada acara keluarga, disuruh pulang banget. Semoga Kakak tidak marah," jelasku pada kakak tingkat melalui sambungan telepon. Jasa Malindo yang aku tumpangi, baru saja melewati kampus UMMY di Koto Baru.Lima menit lalu, Bang Heru tukang ojek langganan juga mengabarkan bahwa ia sudah di simpang Koto Baru. Bersamaan dengan Magrib masuk, aku turun dari bus. Dari seberang jalan, Bang Heru melambaikan tangan."Maaf lama menunggu ya, Bang," kataku menghampirinya."Santai aja, Rindu. Kamu kenapa pilih bus terakhir?""Tadi ada keperluan dulu, Bang. Ini kebetulan Magrib, apa nggak sebaiknya salat dulu kali?""Iya juga. Di dekat sana ada musala, kita salat di sana, Rin."Tanpa berlama-lama, aku naik membonceng. Menuju musala yang dimaksud Bang Heru. Tidak ramai jamaah salat, syukur masih terkejar sebelum rakaat pertama.Pukul tujuh tepat, aku dan Bang Heru mulai bergerak. Laju sepeda motor bias
~••°••~"Maaf ya, Kak. Senin saya sudah kembali ke Padang. Selasa siang sudah bisa kak ambil resumenya. Ada acara keluarga, disuruh pulang banget. Semoga Kakak tidak marah," jelasku pada kakak tingkat melalui sambungan telepon. Jasa Malindo yang aku tumpangi, baru saja melewati kampus UMMY di Koto Baru.Lima menit lalu, Bang Heru tukang ojek langganan juga mengabarkan bahwa ia sudah di simpang Koto Baru. Bersamaan dengan Magrib masuk, aku turun dari bus. Dari seberang jalan, Bang Heru melambaikan tangan."Maaf lama menunggu ya, Bang," kataku menghampirinya."Santai aja, Rindu. Kamu kenapa pilih bus terakhir?""Tadi ada keperluan dulu, Bang. Ini kebetulan Magrib, apa nggak sebaiknya salat dulu kali?""Iya juga. Di dekat sana ada musala, kita salat di sana, Rin."Tanpa berlama-lama, aku naik membonceng. Menuju musala yang dimaksud Bang Heru. Tidak ramai jamaah salat, syukur masih terkejar sebelum rakaat pertama.Pukul tujuh tepat, aku dan Bang Heru mulai bergerak. Laju sepeda motor bias
~••°••~Febi bukanlah aku, dia punya privilege sejak lahir. Nikah bawah tangan, pesta perhelatan besar, tentang sebab akibat ia mendadak nikah, bak tenggelam begitu saja di kampung Madila. Tidak ada sama sekali kumpulan ibu-ibu menggunjingkan Febi. Tidak pula ada bapak-bapak yang mengolok kalau lewat di kedai kopi tempat mereka duduk-duduk menjelang senja.Hanya yang berubah, Mintuo Yeni. Bukan lagi beliau yang dulu, yang menjalani hidup penuh suka cita. Dulu, tiada hari tanpa tawa yang membahana. Kini ... malang nasibnya kini. Mintuo Yeni mengalami depresi yang berat. Semua barang-barang Febi dibakar. Foto-foto Febi dirobek. Boneka, sepatu, benda-benda yang ada hubungannya dengan Febi dijual ke tukang loak. Seakan-akan, beliau tidak ingin ada lagi benda yang tersisa jika masih berhubungan dengan Febi.Mak Rustam tidak dapat berbuat banyak. Pikirannya tentu tidak kalah semrawut. Belum lagi menanggung malu dalam hidup bermasyarakat. Selama ini, dikenal sebagai tetua, disegani, yang bij
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,