~••°••~Di luar hujan begitu deras. Aku hampir tergelincir tadi ketika hendak berwudhu. Beruntung Emak menyambar lenganku cepat. Tidak jadi terjerembab ke tanah.Hingga Subuh usai, angin masih terdengar begitu keras. Atap dapur dibawa terbang entah berapa helai. Pasti sangat becek di dapur sekarang. Di depan rumah, genangan air mulai meninggi. Bandar di pinggir jalan sudah lama tidak dikeruk, alhasil air dari jalanan yang menurun berbelok ke halaman rumah kami.Rasa ngeri menyergapku. Teringat pohon jengkol yang lumayan tinggi di belakang rumah. Kalau angin tak kunjung berhenti, aku takut dahannya patah menimpa rumah. Atau kemungkinan lebih buruk lain, pohonnya tumbang.Dulu sekali, aku ingat betul kejadiannya. Setelah menerima rapor kenaikan kelas 3. Masih suasana hari libur, tiba-tiba hujan badai begitu kuat. Aku dan Kak Kasih asyik membakar jagung di dapur. Bapak berkali-kali meminta untuk segera masuk rumah. Menyuruh kami meninggalkan dulu jagung-jagung itu. Tetapi, kami bandel. T
"Hah, cuma ini, Mintuo?" seru Uda Revan sembari menyingkap tudung saji. Emak hanya menghela napas berat.Cuma ini, katanya. Hidangan sederhana itu dibuat dengan perjuangan oleh Emak. Butuh seharian kami mengurat bawang untuk dapat uang. Sekadar beli tempe dan ikan asin. Lalu, dengan remehnya dia berkata 'cuma ini.' Rasanya ingin kugampar pangkal telinga manusia satu ini."Uda, kalau mau Rindu kasih masukan, ubahlah perangai tak baik itu. Ada pepatah bukan, dahulukan adab dari pada ilmu. Se-brilian apa juga otak, tanpa etika itu sama dengan nol.""Maksudnya?" Uda Revan menghentikan suapan."Uda dengan entengnya bilang 'cuma ini, Mintuo?' tanpa peduli seperti apa usaha Mintuo Uda untuk bisa menghidangkan masakan sederhana ini di atas meja.""Ikhlas nggak ini Uda makan nasinya?""Bukan soal ikhlas atau tidak, Da. Apalah arti nasi sepiring dengan lauk buruk-buruk seperti itu. Rindu cuma minta Uda bisa menghargai lagi.""Rindu, sudah!" tegur Emak. "Biarkan Uda-mu makan dulu."Uda Revan men
~••°••~Ada perasaan deg-degan membuka tas pemberian Pak Huspri. Keterkejutan itu bertambah tatkala isinya aku keluarkan. Sepotong celana bahan seperti celana orang kantoran, blouse bermotif sakura berwarna Lilac, dan selembar pashmina plisket warna senada. Modelan anak zaman sekarang, yang sempat aku impikan."Mak, bagus-bagus semua, pasti mahal harganya!" seru Kak Kasih."Baru beberapa hari lalu Rindu pernah cerita kan, Mak ... ingin beli baju begini sama pashmina juga. Eh, tahu-tahu ada yang kasih hadiah. Alhamdulillah." Aku terharu sangat terlalu.Emak meraih tas dari bahan kertas tersebut, "Tasnya buat Emak ya, Rin. Bagus buat bawa mukena kalau mau salat ke masjid.""Eh, ada surat, Rin!" seru Emak, menyerahkan secarik kertas padaku.Surat kecil dengan tulisan tangan. Tulisannya rapi dan cantik. Aku mengeraskan suara membacanya, agar terdengar juga oleh Kak Kasih dan Emak.____________Dear Rindu,Salam kenal dari Ibu, ya. Kamu boleh panggil Ibu dengan sebutan Ibu Listi. Selamat a
~••°••~"Rind, Emak lihat Febi pulang. Siapa tahu kamu bisa ke Padang sama dia." Emak yang baru pulang belanja dari kedai Koh Agung langsung merangsek ke kamarku."Agak tipis harapan dia akan mau, Mak." Aku meragukan Febi akan mau bersamaku."Kita coba dulu, Rin. Tetap ada rasa was-was kalau kamu sendirian berangkatnya. Padang itu jauh, Rin.""Insya Allah Rindu bisa, Mak.""Nggak ada salahnya coba kan, Rin. Toh Febi itu anak Mamakmu juga. Sepupu kamu itu, Rin!" desak Emak.Febi memang sepupuku. Tetapi sejak kami kecil Mintuo Yeni sudah memisahkan jarak antara kami. Sehingga Febi tidak pernah suka denganku, sama seperti Mintuo Yeni yang tidak menyukai Emak. Dia seolah-olah didoktrin oleh ibunya untuk membenci kami.Jika kondisinya tidak mendesak, mustahil Febi akan menyapaku. Kecuali dia butuh dampingan untuk menyelesaikan tugas sekolah. Padahal, dia setahun lebih dahulu dariku. Di sekolah, mana pernah kami bertegur sapa. Sekalipun ada hubungan keluarga, lebih seperti orang asing yang
~••°••~Selesai Subuh, semuanya sudah kemas. Tinggal aku berganti pakaian, lalu sarapan. Ojek untuk mengantar ke PO bus juga sudah dipesan semalam. Bang Heru namanya, tukang ojek pangkalan. Rumahnya tidak jauh dari rumahku. Semalam Emak ke sana, memesankan agar besok pukul tujuh mengojek ke Koto Baru.Emak memasakkan nasi goreng kampung dan telur mata sapi. Segelas teh panas juga sudah tersedia di atas meja. Emak masih mondar-mandir, lebih tepatnya menyibukkan diri saja. Ada yang Emak sembunyikan di wajahnya."Mak, kenapa menangis?" tanyaku sambil memakan nasi goreng buatan Emak."Entahlah, Rindu. Tiba-tiba saja air mata Mak tak bisa ditahan.""Rindu akan baik-baik saja, Mak.""Iya, Emak percaya itu.""Nanti bagaimananya, Rindu akan telepon Kak Kasih. Semalam juga Rindu SMS dia, kalau seandainya Rindu tidak bisa pulang biar Aldo temani Emak di sini."Bang Heru sudah datang. Emak memberikan sejumlah uang untukku, yang entah beliau dapatkan dari mana. Beberapa lembar uang seratus ribuan
~••°••~Selama ini, mungkin aku orang yang terlalu penakut. Aku berpikir berlebihan terhadap sesuatu hal. Terpenjara dalam kecemasan yang terlalu. Entah mungkin karena kurang gaul, jarang keluar daerah pergi bermain seperti kawan-kawan sekolah. Hal itu menjadikan mental kerupuk yang tertanam dalam diri. Membuat pribadi menjadi pemalu dan cenderung ragu-ragu untuk memulai.Seperti aku yang berpikir berlebihan tentang Padang. Beranggapan akan tersesat, hilang, tidak tahu jalan pulang. Tetapi, Kak Raihan dan Kak Fitra membuka mataku lebar-lebar. Padang tidak semenakutkan itu. Tidak ubahnya seperti kota Solok. Hanya dia lebih luas, lebih ramai, jalannya juga banyak persimpangan. Itu saja perbedaannya. Orangnya? Ya tetap sama seperti orang pada umumnya.Begitu pula untuk urusan di bagian kemahasiswaan. Aku terjebak dalam ketakutan besar. Takut bertemu mahasiswa atau mahasiswi di sini. Takut bertemu dengan petugas kemahasiswaan. Aku hanya anak kampung yang lugu dan katrok. Sementara orang l
~••°••~Selasa sudah berjalan setengah hari. Kak Fitra yang mengambil libur kerja dua hari demi aku, kini mengantarkan kembali ke By Pass. Di sinilah bus memuat penumpang sebelum bertolak ke Solok. Aku pulang dengan armada bernama Jasa Malindo lagi."Ingat yang kemarin ya, Rindu. Cukup ketahui saja, jangan gembar-gembor ke sana-sini soal Febi, bisa ya!" Kak Fitra mengingatkan.Di waktu bersamaan Kak Raihan datang. Ia membawa sekantong besar bengkuang sebagai oleh-oleh. Malu-malu aku menerimanya."Titip untuk Emak dan Kak Kasih ya, Rindu. Kapan-kapan kalau Fitra senggang, Kakak mau dong main ke Solok," ujarnya."Banyak banget, Kak. Masya Allah! Alhamdulillah, terima kasih banyak oleh-olehnya. Boleh banget dong, Kak. Rindu tungguin ya, pintu rumah terbuka lebar untuk Kak Raihan juga Kak Fitra."Hingga akhirnya kernek menyuruh segera masuk. Mobil akan bergerak menuju Solok. Aku pamit pada keduanya. Terbersit doa sebelum aku melangkah naik ke bus, Semoga orang-orang baik ini panjang umurn
~••°••~"Jangan semua, Bang. Cukup satu!""Semua aja, Rindu. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih seperti kata Bang Wahyu. Kalau enggak ada kamu, entah bagaimana ibu kami sekarang."Lidah terasa tergigit, sampai tidak tahu mau bicara apa lagi. Memang bukan aku yang membayar, tapi nominalnya itu ....Setelah turun ke bawah, Bang Farid membeli buah-buahan juga. Baru menuju tempat parkir. Tanpa banyak komentar, aku naik dan duduk diam sampai mobil berjalan."Kuliah di mana?" Bang Farid mulai bicara."Di UNAND, Bang.""Wow, keren dong. UNAND itu kampus elite loh.""Iya, Bang. Tapi saya kuliahnya mengandalkan beasiswa. Kami orang biasa-biasa aja. Kalau pakai biaya mandiri, nggak akan tercapai. Boro-boro masuk UNAND, kuliah di sini aja kayaknya mustahil.""Jangan merendah begitulah. Boleh saja tidak kaya harta, asal kaya hati."Hening di antara kami, baru saja terlewati Masjid Agung Al-Muhsinin Kota Solok. Kemudian berhenti sejenak menunggu traffic light berubah hijau di Simpang Rumbio
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,