Happy Reading*****"Mas, ini. Kenapa coba?" Risma menatap tak percaya pada suaminya. "Yang, aku takut kehilanganmu. Kalau sampai ada apa-apa saat melahirkan. Bukannya aku yang akan disalahkan?" Wajah Riswan memucat. "Lagian aku takut denger kesakitan kayak tadi itu."Bukannya bersedih ketika mendengar perkataan sang suami, Risma malah tertawa. "Mas, itu aneh banget. Setiap perempuan pasti akan mengalami proses melahirkan. Aku perempuan normal. Nggak mungkin, dong menolak atau takut. Ingat, ya. Jihat seorang perempuan itu adalah ketika dia dalam proses melahirkan seorang bayi sebagai penerus keturunan.""Iya, tapi aku nggak tega, Yang.""Sudahlah, nggak usah kayak gitu. Serahkan semua sama Allah. Berdoa semua akan dilancarkan. Belum juga proses buat anak, dah, ketakutan duluan." Risma sedikit menjauh dari suaminya. Mencoba menelepon suami Intan kembali. Beberapa kali, belum juga terangkat. Cepat dia beralih menelepon orang tua sahabatnya. Baru dering pertama sudah diangkat. "Assala
Happy Reading*****Keduanya berjalan kembali mendekati Alamsyah. Saat pintu ruangan di buka oleh perawat. Lelaki sepuh itu berdiri dan mendekati perempuan yang memakai pakaian putih khas seragam perawat. "Bagaimana keadaan putri saya, Sus?" Hal pertama yang ditanyakan Alamsyah adalah putrinya. Intan adalah anak bungsu sekaligus putri satu-satunya yang dimiliki. Tentu keselamatannya adalah hal paling diutamakan oleh lelaki itu. Seorang perempuan yang melahirkan anak, taruhannya adalah nyawa. Antara hidup dan mati. Pantas jika Allah menempatkan perumpaan bahwa surga itu terletak di bawah kaki seorang ibu. Derita yang dialami seorang ibu itu ibarat kesakitan di atas kesakitan ketika melahirkan. Bahkan belum cukup sampai di situ, mereka, kaum Hawa juga harus menyusui bayinya hingga 2 tahun. "Ibu Intan, Alhamdulillah selamat, tapi masih butuh banyak istirahat," jelas perawat berkulit sawo matang itu. "Alhamdulillah," jawab ketiganya serempak termasuk Risma dan Riswan. "Laki-laki apa
Happy Reading*****"Mas, ada apa?" ulang Risma dengan pertanyaannya yang belum terjawab. Sang suami terdiam dan langsung duduk lemas di bangku depan ruang penanganan. Risma mengikuti suaminya duduk, mengelus-elus lengannya. Belum berani menggulang pertanyaan yang sama.Apa yang dikatakan ibunya Yustina juga belum diketahui Risma. Lalu, mengapa sang suami tampak syok setelah menelepon. Ada apa sebenarnya dan di mana keluarga yang lain perempuan itu? Begitu banyak tanda tanya yang tak bisa dijawab. Risma mengembuskan napas panjang. Sisa air mineral yang masih dipegangnya, disodorkan pada Riswan. "Minum ini. Setelah itu, coba Mas ceritakan apa yang dikatakan ibunya Yustin?"Riswan mengambil botol air dari tangan istrinya. Meminumnya sampai habis tak bersisa. Lalu, menatap lekat sang istri. Tak sampai semenit, dia berkata, "Ibunya menolak datang bahkan menyumpahi Yustina. Dia berkata semoga bayi itu meninggal saja," ceritanya, "Mas nggak habis pikir kenapa beliau sampai mengatakan hal
Happy Reading*****Sebelum masuk menemui Yustina, Risma melangkah ke ruangan dokter yang sudah diberitahu oleh perawat tadi. Beberapa saat kemudian, keluar dengan membawa sebuah kertas dan tatakan buku. Penuh keyakinan, dia masuk ke ruangan Yustina. "Hai, Yus. Aku nggak mau bertele-tele dengan menanyakan kabar atau bayimu. Kamu pasti mendengar dari dokter dan aku minta kamu segera tanda tangani surat ini demi kesembuhanmu," kata Risma tegas saat dia masuk dan melihat Yustina sudah membuka matanya. "Kamu nggak tahu aku lagi lemah gini malah suruh tanda tangan?" "Masih aja sinis, ya. Sudah tahu sakit, songong. Ya sudah, kalau nggak mau tanda tangan, kamu akan tetap berbaring di sini selamanya. Ibumu sudah nggak mau tahu urusanmu lagi. Oke, aku tinggalkan kertas ini. Aku dan suamiku akan pulang sekarang. Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik. Kamu sudah kehilangan anakmu yang selalu kamu jadikan senjata." Risma berbalik dan berniat meninggalkan perempuan itu. Terus terang setelah menden
Happy Reading*****"Yustina," teriak Riswan, emosi."Apa? Kenapa teriak? Aku nggak salah, kan?" kata Yustina tanpa penyesalan sama sekali. Seolah apa yang dikatakannya adalah benar. "Apa yang kamu katakan pada istriku tadi? Kita ini nggak punya hubungan apa-apa, hanya sebatas teman. Ingat itu!"Risma meraih ponsel yang dipegang suaminya tadi. Mengganggukkan kepala pada Riswan seolah berkata bahwa dia bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik. Demi meredam kemarahannya, Riswan melangkah ke kamar mandi. Suasana tubuh yang berkeringat dan hawa panas mungkin memengaruhi emosi. "Halo, Yus. Kamu boleh kok ngancam aku kayak tadi, tapi seandainya hal itu nggak berpengaruh apa-apa dalam hidup dan pernikahanku jangan nyesel, ya." Tenang sekali jawaban Risma sangat berbeda dengan omongan Riswan tadi. Memang seseorang yang berkarakter seperti Yustina itu harus dibalas dengan ketenangan. Tidak bisa kita melawannya dengan hal serupa yang ada malah dia semakin menjadi dan semena-mena. Lihat sek
Happy Reading*****"Alhamdulillah. Minumannya sudah datang," ucap Farel. Cepat sang dokter meminum teh hangat yang dibawakan Risma. "Kamu haus apa gimana, Rel?" tanya Iklima. Sebelum duduk, dia mengambil Dara dari gendongan Farel. Wajah para lelaki tampak aneh. Ketiga pria dewasa itu tersenyum seperti sedang mengejek Farel. "Lagi ditatar sama para Ayah, Ma. Makanya, mendadak kehausan." Riswan cekikikan.Apa yang dikatakannya memang benar. Sejak tadi, setelah Fadil menanyakan tentang hubungan Farel dan Iklima. Tak henti-hentinya dua lelaki paruh baya itu memberi nasihat dan menatar sang dokter. Mereka sampai lupa tujuan utama datang ke rumah putranya. "Kenapa ditatar, Om?" tanya Iklima. Matanya menatap ke arah Fadil, lalu beralih pada Lutfi. Sementara Rini dan Rofikoh malah tersenyum. Risma yang tak tahu apa-apa ikut bingung. Akhirnya Risma memilih diam dan duduk di sebelah suaminya. "Biar cepet nikahin kamu. Lelaki itu harus berani. Halalkan atau tinggalkan. Muliakan atau lupaka
Happy Reading*****Risma meletakkan kembali mangkok berisi bakso pada nampan, menggantinya dengan air putih dan langsung meminumnya sampai tinggal setengah. Kemudian, dia membalik ponselnya agar rasa keterkejutan itu tak terbaca oleh suaminya. "Kok, nggak jadi makan baksonya, Yang?" tanya Riswan. Setelah Risma membuka matanya tadi, Riswan berjalan ke lemari hendak mengganti pakaian. Oleh karena itulah dia tidak melihat sang istri mendapat chat dari Yustina. Sekarang pun, lelaki itu masih berdiri di depan lemari. "Bentar, Mas. Aku haus banget," alibi Risma. Dia benar-benar syok melihat foto dan kiriman video dari Yustina. Risma menatap langit-langit kamar. Mencoba merangkai kepingan memori semalam. Sedikit memejamkan mata ketika hatinya mulai bertanya-tanya. Benarkah foto dan video itu asli milik sang suami. Baru saja akan membuka video itu lagi, Riswan mendekat. "Mikirin apa, Yang? Kayaknya bingung banget." Riswan duduk di dekat istrinya. Terlintas sebuah ide tentang kebenaran
Happy Reading*****"Kenapa tanya tentang hal itu? Apa kamu nggak percaya pada suamimu ini?" tanya balik Riswan. "Bukan gitu, Mas," balas Risma. Merasa tak enak, tetapi dia harus mengetahui hal yang sebenarnya. "Kan, tadi udah ngomong. Nggak boleh marah."Riswan menarik Risma dalam pelukan. Menciumi rambut sang istri penuh kasih sayang. "Mas, nggak marah. Cuma agak aneh saja. Kenapa kamu tiba-tiba nanyain hal itu?""Mas, jawab dulu. Nanti aku kasih alasannya. Kenapa sampai tanya itu." Risma sedikit merenggangkan posisi tubuhnya agar tidak terlalu menempel pada sang suami. Sekalian bisa melihat ekspresi Riswan saat berkata. Sekali lagi, tarikan napas Riswan terdengar. Lalu, mengembuskannya secara kasar. Kentara sekali hal yang akan diceritakan lelaki itu sangatlah berat. "Mas nggak pernah ngirim foto perkakas pribadi ataupun kirim video lagi solo, tapi kalau ngirim foto dan video asusila memang pernah." Riswan menjeda kalimatnya. Menatap sang istri yang terlihat sedikit menaikkan ga
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw