Setelah puas berbicara dengan Ibu, kulangkahkan kaki menaiki tangga. Pintu kamar tidak terkunci, kamar hanya diterangi lampu pijar. Yang kuinginkan hanyalah tidur, bahkan keinginan untuk mandi telah surut begitu saja karena lelahnya tubuhku.Kudapati Yumi tengah meringkuk di atas kasur tanpa selimut. Dia menggulung dirinya bagaikan janin, seakan menghangatkan dirinya sendiri.Aku tidak tahu, apakah dia sudah tidur atau belum. Kuharap dia sudah tidur. Supaya kami tak perlu saling melihat.Dengan perlahan, kuambil satu selimut dan satu bantal. Mencoba bergerak hati-hati agar Yumi tak terusik. Aku akan tidur di luar, di dekat perpustakaan mini yang berada di luar kamar.Namun, baru saja bantal dan selimut itu berada di genggamanku, wanita itu bangun. Tak ada tanda-tanda habis tidur di matanya. Tatapannya masih tegas tanpa mengantuk."Mau ke mana? Tidur dengan kekasihmu? Apa setelah mengantarnya, kemudian dilanjutkan kencan sampai malam, dia kembali kau ajak ke sini?"Sontak, pertanyaan Y
Setiap sentuhan mengalirkan getaran bagaikan aliran listrik memenuhi pembuluh darah. Aku bahkan sangat malu dengan diriku sendiri yang tak bisa lagi mengendalikan suaraku yang terputus-putus. Bagaimana bisa seorang Adit yang katanya tak pernah tidur dengan wanita lain, bisa selihai itu memperlakukan wanita."Mukamu merah padam, Yumi." Dia tersenyum miring, bahkan aku sudah tak berdaya, setiap kali ada rasa meledak itu datang, dia berhenti."Aku mohon!" kataku hampir menangis, sebuah permohonan yang tak tahu malu."Apa yang kau inginkan? Hm?""Jangan perlakukan aku begini! Aku mohon, hentikan. Atau ... Sudahi!"Adit tertawa, tawa menyebalkan yang membuatku semakin malu."Hentikan atau sudahi? Aku masih ingin bermain-main, tapi tak bisa kusudahi."Aku menutup wajahnya, menarik menarik selimut menutupi satu-satunya kain tipis yang menutupi tubuhku."Jangan begini!" Aku nyaris berteriak, saat pria itu kembali melenakanku. Aku sudah kehilangan akal sehat, bahkan saat tubuhku bergetar lalu
Mobil berhenti di pekarangan rumah kami. Ya, setelah aksi tak bersahabat selama beberapa hari, kami memutuskan untuk pulang ke rumah.Masih terngiang-ngiang, keinginan Ibu untuk memiliki cucu dari kami. Adit sama sekali tak pernah membicarakannya denganku. Sepertinya, dia tak ingin lagi memiliki anak. Ya, sepertinya begitu.Adit keluar dari mobil lebih dulu, membuka kunci rumah dan aku mengikutinya dari belakang."Apa ini?" Adit berhenti pas di depan pintu, sama halnya denganku. Mata kami melihat satu benda yang tergeletak di lantai pintu masuk. Sebuah amplop bewarna pink yang sengaja diselipkan.Kami bertatapan. Kukira, Adit akan memungutnya, nyatanya tidak. Dia berlalu begitu saja.Kuambil amplop itu. Sudah kuduga, pasti orang suruhan Pujangga November yang melakukannya."Mas, mau makan apa? Aku akan memasak sebentar, ada beberapa bahan di kulkas yang masih bisa diolah.""Tidak usah." Dia menjawab dingin.Amplop itu masih berada di tanganku. Adit sempat meliriknya sekilas."Kenapa t
Mempertemukan Yumi dengan Pujangga November? Aku bahkan bertingkah seperti pahlawan, bukan? Apa yang kubuat, bagaikan drama yang memerankan sang pemeran utama bagaikan pahlawan. Konyol sekali. Merendahkan harga diri, memperlakukan Yumi bagaikan ratu yang boleh melakukan apa saja. Aku butuh kepastian atas perasaan Yumi. Wanita tertutup yang masih menyimpan pria masa lalu di hatinya.Yumi menengadah, seperti menunggu, tapi sekali lagi, aku bangkit meninggalkan dia dengan raut kecewa.Dia merapikan pakaiannya kembali, sedangkan aku kembali duduk, meraih remot televisi dan menyalakannya.Ya, beginilah kami, seperti magnet saat bermesraan, tapi akan saling menjauh saat keadaan normal kembali. Yumi tak pernah benar-benar membuka dirinya untukku."Ke mana kalian hari ini?" Aku bertanya pada Yumi yang pipinya masih merona, dia masih gelisah, sementara aku sudah bisa menguasai diriku sendiri."Makan siang, dan berkunjung ke perpustakaan."Aku tersenyum masam, makan dan ke perpustakaan. Dua h
Aku memberi waktu pada Yumi untuk menuntaskan tangisnya. Seperti biasa, dia tidur membelakangiku dan menghadap ke arah dinding. Kami selalu seperti ini, tak pernah tertawa lepas seperti pasangan lain, bahkan aku lupa bagaimana caranya berkelakar sejak menikah dengan Yumi. Hidup kami monoton, Yumi menghabiskan waktu di rumah, dan aku menghabiskan waktu di kantor. Saat pulang, yang terjadi hanya dua, saling diam atau malah bertengkar.Kecanggungan, serta jarak yang semakin jauh membentang antara aku dan Yumi, membuatku merasakan Yumi semakin asing. Kami sempat memutuskan untuk mencoba berteman, akan tetapi, kami tak berhasil sebagai seorang teman, Yumi bukanlah teman yang baik menurutku.Akhirnya, malam ini, kami tidur saling membelakangi, Yumi dengan isakan lirihnya dan aku dengan kepalaku yang berat.Aku tak tahu, kapan tepatnya wanita itu berhenti menangis. Ya, pernikahan ini hanya membuatnya menderita.***"Seharusnya kalian bicara!" kata Mutia. Kami tengah makan siang bersama di ka
Yumi menatapku, tanpa berniat mengedipkan matanya. Air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara tangis keluar. Melihat pemandangan itu, dadaku sesak, serasa ada yang sakit tapi tak bisa kujelaskan. Ada luka yang kurasa, saat kulihat dia terlihat rapuh dan mengenaskan.Lena berusaha bangkit, berpegangan ke dinding kemudian masuk ke dalam rumahnya. Mengabaikan kami yang saling membatu.Aku terus saja memandang Yumi, ingin mengungkapkan perasaan yang sulit kupahami."Yumi ...." Suaraku seakan tersangkut di kerongkongan. Perasaan iba datang begitu saja, setelah kalimat cerai itu kulontarkan. Ada perasaan bersalah mendera begitu saja.Yumi menghapus air matanya kasar. Tatapan matanya sayu, seakan tak ada semangat yang terpancar di sana.Dia berbalik, menuju mobil, mobil yang biasa kubawa kesana kemari. Yumi, takkan berkendara jika tidak terpaksa. Dan malam ini dia membuktikan, dia mampu melacak keberadaanku dan menyusul ke rumah Lena, bahkan ta
Hari ke dua tanpa Yumi, tak ada air hangat untuk mandi, tak ada sarapan pagi dan tak ada baju yang disetrika. Jangan tanya, apakah aku membawa bekal, kotaknya saja entah di mana. Berulangkali Yumi mengatakan padaku, bahwa jangan lagi meninggalkan kotak bekal di kantor, karena dia ingin mengurangi pengeluaran, karena sering membeli kotak bekal yang sebelumnya kuhilangkan.Aku merasakan kerepotan mengurus barangku sendiri, bahkan tak bisa memadu padankan warna kemeja dan dasi, karena biasanya, Yumi telah mencocokkan stelan pakaian, lalu meletakkan di tempat tidur. Tinggal memakai saja, bahkan tak perlu repot mencari celana dalam. Semua telah tersedia.Bahkan tanganku yang terbiasa memegang komputer, harus biasa memegang sapu. Aku biasa melihat rumah bersih, tapi jarang membersihkan rumah. Dua hari tanpa Yumi, sukses membuat rumah berantakan dalam sekejap.Aku menatap bosan sarapan yang itu itu saja. Bukan aku yang membuatnya, tapi Mbak Lina yang membuka warung sarapan pagi yang berjarak
POV Adit "Yumi?" Tanpa ragu, kupegang bahunya. Wanita yang memakai payung dan tok kembang itu menoleh. Aku kecewa, dia bukan Yumi, hanya saja memiliki perawakan yang mirip jika dilihat dari belakang."Maaf," kataku dengan melempar senyum pahit. "Saya salah orang.""Tidak apa-apa." Wanita itu menatapku aneh, lalu kembali berjalan di trotoar.Aku mengacak rambut dengan rasa frustasi. Dia bukan Yumi, dia orang lain. Tak pernah aku seperti saat ini, menjadi gila gara-gara kehilangan jejak Yumi. Di mana wanita itu? Dia bukan wanita yang lincah. Dia wanita tertutup yang terbiasa menghabiskan waktu di dalam rumah.Bagaimana jika seseorang memanfaatkannya, atau menculiknya, atau malah memperkosanya? Dia sangat cantik, memiliki tubuh yang indah dan pembawaan yang menawan. Dia bukan wanita yang kuat, dia lemah. Bagaimana jika itu terjadi padanya? Aku merasakan kepalaku amat sakit. Dengan langkah gontai, aku masuk ke dalam mobil. Ibu, hanya itu yang kubutuhkan sekarang. Ibu pasti akan sangat
Rujuk, dengan cara nikah kembali karena Yumi telah melewati masa Iddah. Rasanya seperti penganten baru lagi, sayangnya Yumi masih sama, tak menampakkan ekspresi berlebihan. Dia terlihat lebih tenang, dibanding aku yang gelisah.Para tetangga dan keluarga sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tinggal aku dan Yumi yang sibuk membereskan sisa makan malam yang dihadiri oleh beberapa orang itu. Makan malam sekaligus doa selamatan atas rujuknya kami.Setelah pekerjaan selesai, Yumi duduk di sofa di sampingku, bersandar ke sisi sofa. Keringat mengalir di lehernya, sedangkan tanganku gatal ingin mengusapnya. Tanpa bisa kutahan, jemariku mendarat di sana, sementara Yumi terkesiap dan menjauh, pipinya merona."Maaf, aku hanya mengusap keringatmu," kataku, kurasakan tenggorokanku kering. Adegan ini, serasa menegangkan bagi kami.Yumi buru-buru mengambil tisu di depannya, lalu mengusap leher jenjangnya. Semua itu tak lepas dari pengamatanku. Wanita ini sungguh cantik."Melelahkan juga."Y
POV AditAku berulangkali ke kamar mandi menyelesaikan segala hajat yang menganggu itu. Perutku sangat mulas, sudah dari dua jam yang lalu, bolak-balik ke kamar mandi."Apa yang aku makan?"Aku bergumam sendiri, mengingat apa saja yang telah masuk ke dalam perutku.Ya, nasi bakar acar. Aku sempat memakannya. Apakah karena irisan cabe rawit dan nenas muda itu?"Sial!"Aku kembali kabur ke toilet. Beberapa menit lalu keluar lagi. Rasanya sangat menyebalkan.Aku butuh teh pahit, teh yang amat pekat untuk meredakan semua gangguan perutku. Hanya Yumi yang bisa membuatnya, karena dia sendiri yang menunjukkan resep obat itu padaku.Mencoba mengabaikan rasa mulas yang kembali mendera, kubuka pintu hotel. Mengetuk pintu kamar Yumi. Tak lama setelah itu, Yumi muncul. Rambut pendeknya diikat satu, sebagian lepas dari ikatannya dan membingkai cantik wajahnya."Yumi ... Toilet ...."Aku menorobos masuk ke dalam kamar Yumi, membuka pintu yang kuyakin adalah toilet. Setelah semua isi perut itu kelu
POV Adit Katakan saja aku tolol. Ketidak berdayaan Yumi menolak tawaranku begitu membuat hatiku bahagia. Wanita yang muncul dengan dress biru muda di bawah lutut itu, tengah berjalan menuju mobilku, setelah kulihat dia pamit pada Ibunya.Dia cantik, amat cantik, walaupun langkahnya belum cepat, kakinya sudah hampir sempurna. Dia semakin mempesona dengan sikapnya yang terlihat percaya diri.Kubuka pintu mobil untuknya, bahkan semasa kami menikah, sama sekali tak pernah kulakukan itu. Kami terbiasa mengurus diri masing-masing tanpa melibatkan pasangan. Lagi pula, Yumi bikan tipe wanita manja yang butuh bantuan. Dia bisa segalanya, dan jarang meminta tolong."Maaf, aku agak terlambat," katanya mencari posisi duduk yang pas. Sama sekali tak menatapku, khas Yumi yang cuek. Kuhirup aroma wangi lembut yang memenuhi Indra penciumanku. Wangi yang sama, yang kuhapal selama dua tahun terakhir."Mungkin aku yang datang terlalu cepat."Aku berusaha menyenangkan hatinya, seolah-olah ini adalah kes
POV YumiBulan ke tiga, semua terasa begitu menakjubkan. Kakiku sudah bisa dipijakkan pasca pembukaan pen satu bulan yang lalu. Walaupun belum bisa digunakan secara utuh, namun dia sudah mulai tampak normal layaknya sebelum kecelakaan itu terjadi. Banyak hal yang kusyukuri, setelah sempat putus asa dan ingin mati, lalu diberi kesempatan mati, malah aku berpikir ingin hidup. Tuhan akhirnya memberi kesempatan untuk hidup, bahkan untuk sembuh dan kembali seperti sedia kala.Selama di sini, banyak hal yang kupelajari. Aku belajar dari apa yang kulihat, yang kudengar dan yang kurasakan.Aku lebih mencintai diri sendiri dari pada sebelumnya. Seperti kata Mamak, aku harus mengizinkan diriku untuk bahagia."Selamat sore, Yumi."Aku menoleh, Dokter Frans, yang selama ini menanganiku di rumah sakit, datang ke apartemen yang kami sewa. Begitu mendadak, bahkan tanpa memberi kabar terlebih dulu.Kata Ibu, kami berasal dari kampung yang sama. Ibunya Frans dan Ibuku adalah teman saat SMA dulu. Fran
POV Adit "Bagaimana keadaannya?" tanya Mutia padaku, kami tengah makan siang bersama di kantin kantor. Mutia tahu persis masalahku dengan Yumi. Dia juga selalu memberiku semangat dan nasehat."Dia baik, sudah kembali ke rumah. Aku yang menemani orang tuanya menjemputnya ke sana. Walaupun sempat terjadi drama dan perdebatan, akhirnya Yumi menurut juga.""Kau sendiri?""Maksudmu?""Ya, kau sendiri bagaimana? Apa kau baik? Bukankah bertemu dengan Yumi adalah impianmu, sekarang dia sudah ditemukan. Lalu apa langkah selanjutnya?"Aku terpaku, apa langkah selanjutnya, aku pun tak tahu. Aku senang Yumi kembali, tapi aku tak bisa memastikan perasaanku padanya, setelah kulihat dia berubah ... Secara fisik."Masih mau rujuk?"Mutia tetap saja menyodorkan pertanyaan padaku, aku malah kehilangan selera makan."Artinya kau tak serius mencintainya." Mutia meletakkan sendoknya. Nasi yang dimakannya sudah tandas dalam waktu cepat. Aku tahu, Mutia memang belum menikah, tapi dia memiliki pemikiran yan
POV Yumi"Makanlah!" Aku mengangguk. Ya, sehari berselang, Adit membawa ke dua orangtuaku ke tempat Mamak. Tak berdaya, aku terpaksa ikut dengan kedua orang tuaku, saat melihat Ibu pingsan ketika aku menolak keras. Jangan lupakan, ayah yang menatapku dengan penuh permohonan.Akhirnya, Mamak dan Pak Mukhsin, membujukku untuk lebih mematuhi orangtua. Aku tak berdaya, bahkan untuk melarikan diri dan menjauh dari semua orang.Di sinilah aku sekarang, di rumah yang selalu sepi. Entah kapan canda tawa terdengar di sini, aku tidak ingat. Banyak hal yang tidak kuingat. Ya, atau mungkin aku terlalu sibuk dengan diriku yang berlubang sengsara."Jangan terus menatapku, Bu. Aku merasa rendah diri, karena tak lagi memiliki wajah cantik." Aku menatap mangkuk yang berisi bubur jagung. Makanan kesukaanku, yang tak kuingat, kapan terakhir kali dia membuatkan untukku. Kenapa dengan keadaan begini, Ibu malah bersikap perhatian."Kenapa? Kau anakku, apa pun keadaanmu, kau tetap anakku. Menemukanmu dalam
POV Adit Wanita itu enggan melihatku. Tongkatnya telah disandarkan ke dinding, sedangkan dia duduk dengan posisi satu kaki ditekuk. Aku kembali melihat salah satu kakinya yang cacat. Kaki jenjang dulu, tak ada lagi.Yumi menariknya, seakan ingin menyembunyikannya dari pandanganku. Entah mengapa, aku belum terbiasa dengan wajah Yumi yang baru. Ada perasaan asing menelusup di hatiku, setiap menatap wajahnya. Dia bukan Yumi yang dulu. Dia tak lagi ... Cantik.Aku berusaha mengenyahkan perasaan tak nyaman itu. Tapi, tetap saja tak bisa kuhindari.Kami hampir dua tahun hidup bersama. Berbagi banyak hal. Namun, saat ini kami seperti kehabisan kata-kata. Aku sendiri merasakan amat canggung di depan Yumi."Ayo pulang!" Entah ajakan keberapa, yang jelas sejak beberapa menit yang lalu, Yumi masih berkelit dan menolak."Aku tidak mau."Aku menghela napas kasar. Dari dulu, Yumi memang keras kepala."Apa kau tak pernah berpikir dari sisi orang lain, Yumi? Bagaimana perasaan orang lain padamu?"
POV Adit Apakah ini termasuk tidak sopan? Ketika sang penghuni rumah pergi, aku malah berkeliaran di rumah mereka, naik ke lantai dua tanpa izin terlebih dulu. Ini bukan diriku, aku orang yang beretika dan penuh sopan santun, akan tetapi kali ini aku ingin melanggarnya. Melawan akal sehat karena hatiku sangat penasaran, siapa yang dipanggil dengan nama yang sama dengan nama mantan istriku itu.Hanya aku yang tinggal di sini. Semuanya mungkin tengah asik berpesta memanen buah durian, apalagi Mutia yang sangat menyukai buah itu. Wanita itu, jika sudah dihadapkan dengan makanan, maka akan lupa segala-galanya.Berhasil, kakiku menjejak ke lantai papan di lantai dua itu. Hanya ruangan sederhana yang memiliki satu kamar, dengan pintu kamar tertutup rapat. Ada jendela kecil yang menghadap ke matahari sore. Angin sore bertiup ke dalam, menghadirkan sensasi menyenangkan.Dinding rumah ini sama-sama terbuat dari papan, cukup bersih dan rapi. Ada kasur tipis dan bantal kecil di atas lantai, ser
POV Adit "Turun dulu! Mobil musti didorong," kataku pada empat orang penumpang yang berada di mobilku. Pantas saja menejer bersikeras menyuruhku mengantar mereka, setelah melewati jalan tol, kami bertemu dengan jalan aspal kasar yang memiliki panjang kira-kira tiga kilo. Setelah itu, jalan tanah yang cukup lebar, bisa dilalui kendaraan roda empat, tapi banyak lubang."Turun? Yaaaah, masa kami dandan cantik-cantik musti turun?"protes Jesika, anggota marketing yang hanya kukenal sekilas. Aku tak suka dengan wanita centil."Mobil masuk lubang.""Yusman, ayo dorong! Kamu kan laki," kata Jesika."Masa aku dorong sendiri?""Masa kami para cewek yang bantu dorong?" Jesika tak mau kalah.Aku gerah dengan perdebatan itu. Sedangkan, Mutia dan Yusuf telah pergi dengan motor lebih dulu. Kupastikan mereka pasti sudah sampai. Motor besar Yusuf sangat cocok untuk Medan seperti ini.Alangkah bahagianya Mutia. Senyumnya sangat lebar saat ditawari Yusuf. Sedangkan aku hanya geleng-geleng kepala."Jes,