Gadis itu berjalan dengan riang. Wajahnya terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Angin menerpa rambut hitam panjangnya. Gadis itu memakai pakaian serba merah muda yang membuatnya terkesan semakin ceria. Kedua mata indah itu terlihat lebih besar dan bersinar indah.“Kamu sudah menunggu lama ya?” sapa gadis itu dengan senyumnya.“Ya, kamu lama sekali jadi tadi aku hampir berpikir untuk pulang,” jawab laki-laki itu membalas senyum gadis yang berdiri di hadapannya.“Ish aku cuma terlambat 5 menit!” sahut gadis itu sambil meninju lengan kawannya.“Tapi itu sama saja terlambat. Ngomong-ngomong, kamu mau ajak aku ke mana?”“Keliling kota ini sebelum kamu pergi, Hayden,”“Keliling kota ini?”“Sebagai seorang sahabat yang baik, aku ingin kamu punya kenangan baik tentang kota ini,” jawab Emily dengan riang.“Sahabat yang baik?” goda Hayden dengan tawa kecilnya.“Karena selama ini aku selalu jadi sahabat yang buruk. Aku pikir, mungkin ini bisa menebus semua kesalahanku,”Tidak lama kemudian Hayde
“Adrian?” sapa Vanika dengan suara pelan.Tiba-tiba Hayden yang berjalan di belakang Vanika menahan tangan Vanika dengan sebuah genggaman di pergelangan tangan gadis cantik itu. Gadis bertubuh ramping itu membalikkan tubuhnya dan melihat ke arah laki-laki yang menahannya dengan wajah yang kebingungan.“Aku harus segera pulang. Besok aku akan pergi dan malam ini aku datang untuk pamit,” ucap laki-laki itu yang dibalas dengan anggukan kecil dan wajah kebingungan dari Vanika.Tiba-tiba Hayden memeluknya dengan erat, “I’m gonna miss you, Van. I love you,” ucapnya yang membuat Vanika terkejut.Gadis itu melihat bahwa kekasihnya menyaksikan kejadian itu dari jauh. Kekasihnya tidak menampilan ekspresi apapun. Vanika tidak membalas pelukan itu. Tidak lama kemudian Hayden melepas pelukannya dan berjalan ke luar melewati pagar besar itu.Tatapan Hayden dan Adrian sempat bertemu. Dua pasang mata yang saling menatap dengan tajam itu melirik dengan dingin. Vanika berjalan ke luar pagar dengan pera
“Menurutmu gimana kalau aku minta Nanda jadi pacarku?” tanya sahabatnya kemudian.“Nanda? Jadi pacarmu?” ulang Joe dengan kedua mata yang membesar dan dibalas oleh sebuah anggukan dari laki-laki yang duduk di hadapannya.“Hmmm, aku bisa bayangkan kalau itu benar-benar terjadi,” ujar gadis jangkung itu sambil menatap ke langit-langit seolah-olah sedang membayangkan hal apa yang akan terjadi kepada sahabatnya itu.“Bayangkan apa?” tanya Bagaskara dengan tidak sabar.“Aku bisa bayangkan kalian kalau berkelahi akan saling lempar sesuatu seperti HCl atau NaOH,” jawab gadis itu sambil tertawa terbahak-bahak dan langsung mendapat satu ketukan di dahinya dari sahabatnya.“Kamu ini suka membayangkan yang aneh-aneh. Padahal aku tanya serius,” ujar mantan ketua kelas itu.“Aku gak tahu. Kamu bayangkan saja sendiri. Lagipula itu bukan urusanku,” hardik Joe dengan wajah yang cemberut.“Sepertinya kamu masih galau karena ditinggal Hayden ya,” ujar Bagaskara yang dibalas oleh tatapan tajam gadis ber
“Jas milik Hayden?” pikir gadis itu sambil berlari kecil mengikuti kekasihnya.Vanika memegang erat jas almamater itu dan merasa bingung kenapa Joe memberikan jas itu kepadanya. Mereka berlari sampai ke tempat parkir.“Aku pikir ini hanya gerimis kecil yang gak akan membuat kita basah kuyup,” ujar Vanika sambil melihat ke atas.“Itu jas siapa? Milik Joe?” tanya Adrian yang mengambil jas tersebut dari genggaman kekasihnya, tapi Vanika sama sekali tidak menjawab pertanyaannya.“Kenapa jasnya lebih besar dari tubuhnya? Tapi sepertinya lebih kecil di tubuhku. Ahh kenapa Joe itu minta kamu untuk gunakan ini sebagai pelindung dari hujan? Bisa rusak nanti jas ini,” celoteh pria muda itu yang mencoba jas almamater tersebut.“Wah Adrian! Kamu cocok pakai jas itu yaaa meskipun kurang lebar sedikit di bagian bahu. Wah hebat! Kamu masih pantas jadi anak SMA,” ujar Vanika dengan kedua mata yang membesar.“Seragamku dulu gak seperti begini. Dulu aku sekolah di SMA negeri yang memang gak ada jas beg
“Nah ini… Jas milik Hayden,” ujar pria muda itu sambil menyodorkan jas almamater itu pada kekasihnya yang membuat gadis itu sedikit terkejut mendengarnya.“Kamu tahu itu miliknya?” tanya gadis itu.Pria muda itu mengeluarkan sesuatu dari saku jas bagian atas yang terletak di bagian dada sebelah kiri. Tepat di bagian yang terdapat logo sekolah mereka. Sebuah nametag dengan nama lengkap Hayden. Pria muda itu menunjukkannya pada kekasihnya dan memasukkannya kembali ke dalam jas tersebut.“Maaf, mungkin harusnya aku bilang dari awal,” ucap Vanika dengan kepala yang sedikit tertunduk.“Tadinya aku hanya menebak karena dulu aku seringkali gak sengaja melihat kalian pulang bersama. Awalnya aku heran kenapa dia bukannya membawa payung, tapi malah melindungimu dengan jas sekolah. Setelah aku pikir-pikir, ah mungkin dia ingin menciptakan suasana romantis,” celoteh pria bermata sipit itu sambil menyerahkan jas almamater itu kepada kekasihnya.Vanika tersenyum tipis padanya dan meraih jas itu.“A
“Ayo! Kita pergi,” ajak pengendara itu dengan wajah yang ceria.“Ayo? Ke mana? Kapan? Sekarang?” tanya Vanika sambil merengut.“Ya sekarang lah. Loh, kenapa wajahmu cemberut begitu?” balas Adrian dengan terkikik-kikik.“Kamu menghilang beberapa saat dan datang-datang gak ada angin gak ada badai mengatakan ‘ayo!’” keluh gadis itu dengan mengenyirkan kedua alisnya.“Ya ampun. Maaf ,maaf, aku lupa mengabari kamu karena aku harus antar pamanku ke rumah sakit. Aku waktu itu cerita ‘kan kalau mereka baru datang dari luar kota? Nah, beliau ke sini untuk berobat,”“O ya? Ah, Adrian maaf. Kamu juga gak bilang. Ah, aku jadi merasa bersalah begini,”“Sudahlah. Ayo, kita pergi!”“Ke mana?”“Kamu pikir ke mana?” tanya Adrian, tapi kekasihnya memasang wajah kebingungan.“Wah! Wah, wah. Lihat wajahmu itu. Parah sekali! Kamu gak ingat? Hari ini orang tua Akhtar buka kafe baru. Ya ampun padahal kamu sahabatnya, tapi bisa lupa begitu,” sambung pria muda itu sambil melipat kedua lengan di depan dadanya.
“Gambar kamu,,, dan digambar oleh Hayden,” ujar Adrian sambil menunjukkan gambar itu pada kekasihnya.Vanika baru mengingatnya. Gadis itu baru ingat bahwa tempo hari ia tidak jadi membakar gambar itu dan memasukkan gambar itu ke dalam sakunya.“Kamu selalu bawa gambar ini kemana-mana?” tanya kekasihnya sambil memperhatikan gambar itu dan memberikannya pada gadis dengan plester di pelipisnya itu.“Gak. Kayaknya waktu itu aku masukkan ke saku dan aku lupa,” jawab gadis itu sambil meraih gambar tersebut dan melipatnya lagi dan memasukkannya dalam tas ranselnya.“Oh begitu,” jawab pria itu sambil membereskan barang-barangnya.Tidak lama kemudian Joe datang dengan membawa beberapa kaleng minuman. Joe mengeluarkan sebongkah roti berukuran besar yang dibungkus oleh kertas makanan berwarna cokelat.“Tadi pagi James membuat roti lumayan banyak. Nah, kalian suka roti ‘kan? Habiskanlah,”Joe banyak bercerita tentang para abangnya di rumah. Bagaimana ia berkelahi dengan Joaquin sampai Julian yang
“Nah, ini ice cream untuk kamu,” ujar Vanika sambil menyodorkan sebuah ice cream cone berukuran besar yang lengkap dengan vanilla ice cream yang lezat.Vanika dan Audrey duduk berhadapan di depan sebuah minimarket yang terletak tidak jauh dari tempat itu, sedangkan Adrian menunggu di taman.“Kakak ke mana saja? Kok gak pernah ada kabar lagi?” tanya Audrey sambil menjilat ice cream di tangannya.“Gak ke mana-mana kok. Kakak selalu ada. Apa kabarmu akhir-akhir ini?”“Kak Hayden pergi dan mungkin gak akan kembali lagi. Holiday House dan rumah pohon kami dijual. Aku merasa kalau akhir-akhir ini aku terus berduka. Padahal semuanya penuh dengan kenangan, tapi mama dan kakakku melepasnya begitu saja,”“Dijual?” tanya gadis bermata bulat itu dengan wajah yang terkejut.“Ya, sudah dibeli oleh salah satu teman kerja ayah dulu. Lagipula kami berencana untuk meninggalkan kota ini,” jawaban gadis bertubuh tinggi dan ramping itu membuat Vanika semakin terkejut.Holiday house dan rumah pohon milik H
“Aku gak tahu kalau Erika adalah pemilik rumah pohon di daerah atas itu,” ujar Adrian yang berjalan beriringan dengan Joe dari arah halaman belakang menuju meja makan.“Ya, keluarganya membeli tempat itu,” jawab Vanika yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan yang berukuran besar dan memanjang itu.“Dan akhirnya tempat itu menjadi area bermain Erika,” sambung Joe sambil mengeluarkan sebuah kursi makan dan duduk di atasnya.“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Vanika lagi.“Lalu kenapa kalian sampai keluar dari area itu dan memasuki kawasan milik orang lain?” tanya Adrian sambil memandang kekasihnya.“Kami gak begitu yakin. Lagipula aku gak mau ke sana lagi. Pria itu mungkin pemiliknya atau tinggal di dekat sana. Dia juga kelihatannya begitu misterius,” jawab kekasihnya dengan tegas.“Itu hanya perasaan kamu saja,” balas pria berparas tampan itu dengan senyum tipisnya.“Semua orang tua, terutama pria tua, terlihat sama saja di mataku,” ujar Joe dengan wajah yang tidak acuh.“Kami ga
Vanika takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah telaga. Telaga dengan air yang jernih dan air terjun yang berukuran tidak begitu besar. Airnya begitu jernih sehingga cahaya matahari menyeruak ke dalamnya dan mereka dapat melihat bagian dasar di bagian yang dangkal. Di dasar telaga terdapat banyak batu berwarna putih yang terlihat indah seperti bebatuan yang biasa kita lihat di berbagai macam tayangan bertema alam.Udara di lingkungan itu begitu sejuk dan banyak tanaman yang rindang. Tempat tersebut terlihat seperti tempat yang belum terjamah. Lebih tepatnya terlihat seperti tempat di kisah-kisah fairytale atau mungkin dongeng tentang petualangan yang biasa kita dengar pada saat sebelum tidur.Tempat tersebut didomonasi oleh warna hijau yang menyegarkan mata. Vanika menengadahkan kepalanya dan menatap langit. Langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan yang terlihat seperti kapas yang berwarna putih bersih. Perpaduan pemandangan langit yang cerah dan suasana di sekitarnya yang pen
Vanika terdiam membisu dan kebingungan.I have a bad feeling, pikirnya.Vanika tersenyum tipis kepada kawannya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana hati Erika yang sedang bahagia. Kendaraan mereka mendekati sebuah bukit yang dikelilingi sebuah pagar berwarna gelap.Pemandangan itu sangat tidak asing bagi Vanika. Gerbangnya yang besar itu terbuka secara otomatis. Mobil melewati pagar itu dan melaju terus ke atas. Jantung Vanika berdebar-debar. Kedua matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gugup.Tempat di mana dia sering menghabiskan masa remajanya dengan seseorang yang pernah ia cintai ada di depan matanya. Hampir tidak ada yang berubah dari tempat itu. Tempat di mana Hayden pertama kali melihatnya menangis. Tempat itu juga menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi mantan kekasihnya itu saat ia tidak punya tempat mengadu.Tempat itu adalah rumah pohon peninggalan mendiang sang ayah dari Hayden Irawan dan sekarang tempat itu menjadi milik keluarga Erika. E
“Sudah sekian lama kita tidak bertemu, Vanika,” ujar wanita ber-lipstick merah itu.Wanita tersebut bangkit dari tempat duduknya. Vanika pun melakukan hal yang sama tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah berumur itu. Wanita itu memeluknya dengan perasaan yang haru karena sudah sekian lama mereka tidak bertemu. Bahkan, mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di tempat dan waktu sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.Vanika sulit untuk mempercayai siapa yang saat ini muncul di hadapannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ialah Nyonya Irawan, ibu dari Hayden yang pernah dicintainya.“Apa kabarmu, Nak?” tanya wanita cantik itu.“Baik, Bu. Bagaimana kabar ibu?” tanya Vanika seraya membalas pelukannya yang erat.“Saya semakin tua, Vanika. Kamu sedang apa di sini?” tanya Bu Irawan dengan kedua matanya yang menatap Vanika dengan antusias.Tangan wanita bertubuh kurus itu menarik Vanika agar duduk di sebelahnya. Vanika duduk bersebelahan dengan Bu Irawan di kurs
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika
“Ada apa, Adrian?” tanya Vanika dengan wajah yang tidak acuh. Wajahnya yang pucat menjadi merah padam. Wajah yang sama sekali tidak acuh seolah-olah selama ini dia telah dikhianati. Wajah yang seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat ia percaya. Pria itu hanya berjalan mendekat dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita muda itu duduk di sebuah bangku sambil memasukkan semua barangnya ke dalam ranselnya. Ia juga sibuk mengikat rambutnya yang terurai tidak beraturan. Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan tenang dan memberikan sekaleng minuman bersoda kesukaan kekasihnya. Vanika mengambilnya dengan perlahan dan menggenggamnya erat-erat dengan canggung. Mereka tidak saling berpandangan dan fokus dengan minuman mereka masing-masing. “Kelihatannya kamu kelelahan,” ucap pria muda itu yang mencoba mencairkan suasana yang tidak mengenakkan itu. “Aku gak kelelahan,” jawab wanita muda itu yang kemudian lang
Kedua mata indah nan gelap itu menatapnya dengan tajam. Tatapannya membuat jantung wanita muda itu berdegup dengan kencang. Vanika hanya diam terpaku. Membeku dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lidahnya terasa begitu kelu.“H,,, hay,,, hayden?” ucapnya dengan gugup.Pria muda itu tersenyum hangat. Namun, Vanika hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia meraih plester yang disodorkan kepadanya dan terdiam kebingungan. Hayden duduk tepat di sebelahnya. Mereka duduk dengan posisi yang persis sama dengan posisi duduk mereka beberapa tahun lalu.“Apa kabarmu, Van?” tanya Hayden.“Baik. Kapan kamu kembali ke sini?” balas Vanika dengan canggung.“Beberapa waktu lalu,” jawab pria rupawan itu yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala wanita yang duduk di sebelahnya.“Sini aku bantu pakaikan plester di lukamu,” ujar pria muda itu yang langsung berlutut di hadapan wanita muda itu.“Ahh jangan. Gak usah. Aku bisa sendiri kok,” tolak wanita berambut ikal itu.“Kamu memang cocokn
Wanita itu berdiri terpaku. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Ia benar-benar tertegun dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya.Di dekat pintu masuk, sahabatnya berdiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Sekarang sahabatnya telah menjadi pria dewasa yang tampan. Pria itu membawa sebuah tas berisi bingkisan di tangannya.“Emily,” sapa pria muda itu.Emily berlari dan memeluk pria itu dengan perasaan haru. Pria muda itu memeluknya dengan erat.“Happy anniversary, Em. Maaf aku gak bisa datang ke pernikahanmu tahun lalu,”“No, it’s okay. Lagipula aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat,”“Ini untuk kamu,” ucap pria itu seraya memberikan sebuah tas yang berisi sebuah bungkusan.“Thanks, Hayden,” jawab wanita muda itu dengan senyum yang hangat.Hayden duduk berhadapan dengan sahabatnya. Ia menyesap secangkir kopi hangat. Wajah Emily terlihat begitu gembira karena kedatangan sah