“Aku tahu, pergi tanpa izin suami itu salah. Namun, diri ini sudah tak kuat. Hatiku merasakan sakit dan berat sekaligus. Sakit karena pengkhianatan suamiku, tetapi juga berat saat perpisahan menyapa.” POV Arum Setelah kejadian di malam kelam itu, Mas Arga seolah tak peduli dengan perubahanku yang lebih pendiam. Membuat diri ini sering pergi ke luar rumah tanpa seizinnya. Aku selalu ke Panti Asuhan menemui Bu Rina. Di sana secara tak langsung, selalu meminta nasihat serta pendapatnya tentang perceraian. Tak jarang beliau selalu menegurku ketika kukatakan kalau pergi ke sana tanpa izin dari Mas Arga. Bukannya aku tak menghargai suamiku lagi, tetapi jujur saja semakin hari hatiku tak bisa dibohongi. Aku sudah tak nyaman berada di dekatnya. Ketika bersama Mas Arga, ucapannya di malam itu selalu terngiang, apalagi mengingat setiap pesannya bersama wanita yang kutahu bernama Erika tersebut. Sejujurnya, memendam segalanya sendiri itu sangat menyakitkan. Terkadang, ada rasa ingin mencerita
POV Arum Apa yang terjadi? Ke mana dompetku yang kusimpan di tas? Jangan-jangan?Aku kembali ke tempat di mana wanita tadi duduk. Namun, dia sudah tak ada, kabur membawa sisa uang di dompetku. Tubuhku terkulai lemas, bagaimana aku bisa pergi ke Solo dan memulai hidup di sana kalau tak membawa uang sepeser pun? Di dompet tersebut ada uang tabunganku senilai lima juta rupiah, tadinya akan kupakai untuk membayar kontrakan dan modal usaha kecil-kecilan, sisanya menyambung hidup sehari-hari. Akan tetapi, jika sudah seperti ini, apa yang harus kulakukan?Kembali ke rumah Mas Arga, itu tak mungkin. Tekadku sudah bulat untuk pergi dari kehidupannya. Kutitipkan kantong yang berisi baju dan tas selempang milikku ke petugas di sana. Setelah menceritakan apa yang barusan kualami kepada petugas keamanan lalu meminta bantuan meminjam uang untuk ongkos angkutan. Sebagai jaminan, semua tas dan KTP kusimpan di pos. Untunglah masih ada orang baik yang mau membantuku. Pria paruh baya tersebut meminjam
Keesokan harinya menjelang siang, aku berpamitan untuk kembali ke kota Jakarta. Cutiku telah habis besok. Jadi, aku harus sudah masuk kerja kembali. “Sayang, Mas pulang dulu, ya. Jaga kesehatan, jangan lupa makan dan minum obat dengan teratur, biar cepat pulih. Nanti Mas akan usahakan menemuimu ke sini,” ujarku menenangkan Erika.“Kenapa sih, Mas, kalau aku tinggal di Jakarta? Ngontrak juga enggak apa-apa, asal kita bisa sering ketemu. Aku kan suka kangen,” rayu Erika.Aku mengelus pipinya dengan sayang, “ Sabar, ya. Nanti pasti akan Mas ajak ke sana, biar kita bisa sering ketemu.”Erika mengerucutkan bibirnya, itu membuatku semakin gemas. Tak tahan kusergap bibir gincu tersebut. Saling bertukar napas cukup lama dan dalam.“Setelah kamu sembuh dan pulih kuusahakan kita akan pindah ke Jakarta, ya. Sebelumnya kita akan liburan ke Bali sesuai yang kamu minta. Itung-itung bulan madu kita, Sayang,” jelasku membuat wajahnya langsung berbinar.“Makasih, ya, Mas,” ucapnya dengan rona bahagia
Selang beberapa jam aku sampai di Jakarta dan langsung menuju rumah Mama. Setelah sampai kuminta Mang Mansur untuk masuk bersamaku. Bu Erni asisten rumah tangga di sini, menyambut kedatangan dengan binar bahagia di wajahnya.“Ya Allah, Den. Akhirnya, Den Arga pulang juga. Apa kabar, Den?” tanya Bu Erni sambil meraba pipiku.“Alhamdulillah, Bu. Aku baik-baik saja. Gimana kabar semuanya?”“Baik, Den. Sudah lama sekali dari terakhir Den Arga kemari. Ibu sampai kangen pengen ketemu, Den Arga. Apalagi Nyonya, beliau suka melamun dan terlihat kesepian,” jelas Bu Erni sambil berkaca-kaca.Kupeluk asisten rumah tangga Mama itu, beliau sudah kuanggap ibu kandungku sendiri. Bu Erni lah yang mengasuhku sedari kecil, saat Mama selalu sibuk dengan arisan dan kegiatan sosialitanya.Selanjutnya, Bu Erni menyeka air matanya sesaat setelah melerai pelukan kami. Gegas dia memanggil Mama yang sedang duduk di taman belakang rumah, dekat kolam renang bersama Papa.“Nyonya, Tuan, ada Den Arga,” teriak Bu
Alquran surat An Nisaa ayat 3, Allah berfirman “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”🥀🥀🥀“Sebenarnya ada sesuatu yang aku sembunyikan dari kalian. Bahwa sebenarnya a-aku ... kalau aku sudah menikah lagi, Ma, Pa.”“Apa...?” Mama dan Papa terkejut karena pengakuanku. Mulutnya menganga tak percaya.“Jangan bercanda, Ga,” hardik Papa.“Iya, Ga. Kamu nikah lagi sama siapa?” tanya Mama dengan wajah yang masih terlihat syok.“Namanya Erika, Ma, Pa. Dia suster saat aku ditugaskan di desa terpencil dulu. Istriku itu tinggal di Bandung dengan orang tuanya sekarang,” jelasku dengan wajah menunduk.“Mama enggak habis pikir sama kamu, Ga. Bisa-bisanya kamu
“Kenapa Papa malah membela si Arum, sih?” tanya Mama tak terima.“Lho, memangnya apa yang Papa katakan salah? Sekarang Papa tanya sama Mama kalau misalkan Mama yang dimadu bagaimana? Apa yang dirasakan kalau Papa nikah lagi?” Kata-kata Papa membuat Mama bungkam seketika.Aku yang hanya bisa mendengar pertengkaran Mama dan Papa hanya menunduk dengan rasa bersalah di hati. Segalanya telah kacau. Hidup damai dan bahagia yang kuidam-idamkan sirna sudah.“Maafkan Arga, Pa,” sesalku. “Jangan minta maaf sama Papa. Cari istrimu sampai ketemu. Bagaimanapun akhir rumah tangga kalian. Sebaiknya diselesaikan dengan cara baik-baik. Kalau memang Arum tak ingin lagi bertahan, biarkan dia pergi, Ga. Papa kasihan sama dia, hidupnya sudah menderita, lalu sekarang kamu mau menambahnya dengan sakit yang sama? Bahkan mungkin saja itu lebih menyakitkan.”Benar juga kata Papa. Arum pasti merasa sakit hati mengetahui aku mengkhianatinya, lalu bagaimana caraku agar meminta maaf padanya? Sedangkan keberadaann
Setelah menutup panggilan dari Ibnu, aku termenung di pinggir ranjang, lalu mengusap-usap layar di ponsel. Kubuka galeri, mataku menangkap video cantik Arum. Wajahnya tampak bahagia. Dia tak henti-hentinya tersenyum dengan manis. Saat itu temanku memintanya menjadi model iklan kerudung dari butik miliknya. Mela temanku memang memiliki sebuah butik dan tempat perawatan kecantikan di kota ini. Usahanya sangat sukses. Kebetulan, Arum selalu kusuruh untuk memilih baju dan perawatan di sana. Kupikir memanjakan istri sudah menjadi kewajiban bagi setiap suami. Tak segan-segan aku selalu mengantar istriku serta menunggunya sampai selesai. Ketika suatu hari, brand ambassador usaha Mela tersebut tak bisa datang untuk syuting iklan produk kecantikan dan busana muslimah miliknya. Melihat wajah Arum yang cantik alami, dengan senyum manis yang menawan serta terdapat darah keturunan Arab. Membuat Arum berbeda dengan yang lain. Kulitnya yang putih mulus, mata bulatnya, serta alis yang tebal selalu m
Tiba-tiba terbersit rasa ingin tahu keadaan Arum. Apa dia tidur dengan nyaman? Apa dia bahagia sekarang? Atau mungkin masih selalu merindukanku seperti yang kurasakan saat ini? “Di mana kamu sayang?” gumamku dengan lirih sembari melamunkan Arum.Hingga, beberapa waktu kemudian, tak terasa mataku pun mulai terlelap disaat membayangkan keberadaan Arum istriku.**“Sayang, ini benar kamu?” tanyaku dengan bahagia. Akhirnya istriku itu kutemukan juga. Kudekati dia, mengecup keningnya cukup lama dan mencium bibirnya dalam. Sungguh, aku sangat merindukan Arum sekarang.Arum membalas apa yang kulakukan, kami bertukar napas cukup lama. Mungkinkah dia juga merindukanku?Kami melepaskan tautan di antara kami. Dia melerai pelukanku.“Sayang, Mas kangen. Kenapa kamu pergi tanpa ngasih tahu, Mas.” Kami saling berpandangan cukup lama. Dia tersenyum samar. Wajahnya terlihat sendu.“Mas cinta banget sama kamu. Jangan pergi lagi dari Mas. Kamu sangat berharga,” tuturku membuat dia mendongak semakin me
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal