Suasana kelas XII IPA 1 sangat tertib pagi ini. Semua anak duduk manis di bangku masing-masing. Mulai dari banyaknya biang kerok yang bersarang di kelas itu maupun segelintir anak yang cukup pendiam. Semua pantat di kelas itu seolah direkatkan dengan lem tikus anti kaleng-kaleng.
Geser dikit tuh pantat, langsung mampus!
Ya, karena yang mereka hadapi sekarang adalah iblis kelas atas. Bu Damara yang sedang gencar berkhotbah di depan sana mengenai materi PPKN dengan mata elangnya yang dapat mengeluarkan laser pembunuh bila melihat sedikit saja gerakan kecil yang mencurigakan.
Bahkan Tristan dan teman-temannya pun duduk di bangku masing-masing. Biar bagaimana pun, mereka perlu cukup daftar kehadiran kalau mau lulus. Apalagi guru satu ini tidak akan pernah main-main dengan hukumannya. Akal
Ketika bel istirahat pertama berbunyi, Titan sengaja keluar kelas terakhiran. Ia was-was kalau harus ketemu Tristan lagi dan menghadapi segala hal absurd yang cowok itu lakukan seperti kemarin.Ia berjalan sendirian ke kantin, pasalnya Rheva membawa bekal makannya sendiri dan Bimo harus membantu salah satu guru yang entah untuk urusan apalah itu.Biarlah, ia akan berjuang sendirian demi ketentraman dan kesejahteraan penghuni perutnya.Titan menuruni tangga dengan aman tanpa tanda-tanda kehadiran makhluk yang membahayakan itu, tapi karena memang pada dasarnya dia tak pernah beruntung, maka saat berbelok di koridor lantai bawah, dengan apesnya ia justru bertabrakan dengan Tristan.Cewek itu gelagapan, ia sudah tak berharap agar lenyap d
Titan rasanya baru merem sesaat, tapi rasanya ada yang mengganggunya entah apa itu. Ia merasa selimutnya ditarik-tarik dari bawah kakinya. Dengan kesal, ia terus balas menarik selimutnya."Ck!" decihnya kesal.Baru saja tenang kembali, ia merasa telapak kakinya tiba-tiba dingin pertanda selimutnya disingkap sedikit, lalu gelitikan kecil mendarat di kedua telapak kakinya."Hmm!" gumaman tak jelas keluar dari mulutnya.Titan menekuk kedua kakinya dan mengkerut di balik selimutnya. Ia sekarang merasa sisi kiri kasurnya tenggelam, seolah ada yang baru bergabung ke atas kasurnya. Karena ia masih setengah berada di alam mimpi, ia mengabaikannya.Kemudian elusan pelan mendarat di puncak kep
Sinar matahari sudah muncul menembus jendela kamar seorang gadis yang tidak tertutup gorden, namun tetap tidak mempan untuk membangunkan sang empunya kamar. Gadis itu masih nyaman bergelung di balik selimut tebalnya, bermimpi tentang entah apa karena ia nampak seolah tak mau bangun dari dunia kapuk.Ya, Titan memang tidur bak orang mati.Sudah wajib hukumnya, tiap pagi Aldo harus melatih kelenturan pita suara dengan membangunkan adik semata wayangnya. Seperti Senin pagi ini pula,ia sudah berkacak pinggang di samping tempat tidur adiknya dan bersiap untuk ritual membangunkan orang mati dari kubur."Bangun." Ia selalu memulai dengan suara pelan.Sudah pasti belum ada tanda-tanda kehidupan di balik selimut itu.
Titan benar-benar kepayahan harus mengangkat semua buku cetak ini sendirian. Memang dasar nasibnya yang apes."Mana ini raknya tinggi-tinggi pula," gerutunya sembari mengembalikan beberapa buku cetak pelajaran ke rak kayu yang tinggi sesuai mata pelajarannya.Bibirnya sampai manyun lima senti saat terus menggerutu.Saat itu juga tiba-tiba ada satu tangan menghimpit rak kayu tertinggi disertai wajah seorang cowok yang menunduk menghadapnya. Cowok itu tersenyum miring."Pendek banget sih," katanya dengan senyum menyebalkan seperti biasa."Bisa lo minggirin muka lo itu?" Titan mendongak menatapnya kesal."Kenapa? Nggak kuat lihat muka
Esok sorenya, Tristan sudah nangkring ke rumah Titan seperti biasa. Sudah menjadi rutinitasnya belakangan ini untuk menjadi guru privat Titan. Dia sih mau-mau aja sekalian pendekatan gitu kan.Tristan melangkahkan kaki ke lantai dua rumah itu setelah berbincang sebentar dengan Aldo. Rumah yang sudah ia kenal baik seluk beluknya saking seringnya ia berkunjung. Ia juga diterima baik oleh Aldo, membuatnya tak lagi merasa canggung walau keseringan mampir begini.Anggap aja rumah sendiri!Ia bahkan tak perlu repot-repot mengetuk pintu kamar berwarna krem satu ini. Ia mah tinggal buka terus nyelonong masuk gitu aja. Saat masuk, ia melihat si pemilik kamar lagi asik baca novel di atas kasur. Si pemilik kamar menoleh sekilas, lalu menutup novelnya untuk bersembunyi di balik selimut tebal dan h
Rasa-rasanya Titan sudah berteriak cukup keras. Ia bahkan sudah pasang badan di depan tamu tak terduganya ini. Kedua tangannya melintang demi berusaha melindungi orang ini dengan tubuh kecilnya, namun yang ia rasakan hanya pundaknya yang ditarik ke belakang dan tubuhnya dihempas ke tembok samping.Benturannya keras, tapi ia tak merasakan sakit sama sekali. Matanya kembali fokus melihat apa yang terjadi di depannya. Kejadian yang tak disangka akan terulang kembali.Aldo tahu-tahu sudah maju. Ia menerjang tamu mereka alias kakak mereka, Raihan, bagai orang kesetanan. Memberikan pukulan sekuat tenaga di wajah lalu tendangan di perut. Raihan jatuh tersungkur dan menerima semua hantaman itu mentah-mentah. Ia bahkan tak punya niat melawan balik Aldo yang asik menduduki dan memukulinya di sana-sini. Menciptakan bekas bogeman kebiru-biruan dan
Pagi ini, Titan berangkat ke sekolah diantar oleh Raihan. Sepanjang perjalanan ke sekolah, Raihan terus berusaha memperpendek jarak yang terbentang di antara mereka akibat terpisah selama tiga tahun belakangan ini."Sekolah lo jauh banget sih dari rumah," omel Raihan dalam perjalanan."Biarin sih."Gara-gara Kak Raihan kan makanya Titan pilih sekolah yang jauh dari rumah."Nilai lo gimana, Dek? Gak ada gue terus yang ngajarin lo siapa?""Bagus-bagus aja.""Pulang sekolah biar gue aja yang jemput, ya?" tawarnya."Nggh, nggak usah deng."
"Ingat, pulang entar sama gue pokoknya."Titan masih ingat perkataan Tristan saat mereka makan berdua di kantin tadi. Katanya, dia harus pulang bareng sama Tristan pokoknya. Titan mah mau-mau aja. Malah dia semangat banget sampai-sampai tidak bisa tidur di jam terakhir karena keasikan mikirin cowok satu itu. Padahal, jam terakhir itu hukumnya sudah wajib buat tidur siang bagi Titan."Keapa lo senyam-senyum sendiri? Merinding gue lihatnya." Rheva melirik Titan yang dari tadi terus senyum-senyum tak jelas. Lebar banget pula senyumnya, si guru Kesenian sampai heran melihat senyum selebar bulan sabit itu."Nungguin bel pulang, harus semangat dong," ujarnya tanpa menghilangkan senyum itu."Nggak kram apa muka lo kelamaan
"Sayang-sayang pala lo peyang!" sentak Titan kesal seraya meninju bantal tidurnya tak henti-henti. Setelah meninjunya, ia melempar bantal itu ke sembarang arah. Iya, Titan sedang dalam mode siluman ekor rubah. Ia benar-benar kesal kala mengingat bagaimana Tristan memanggilnya sayang tadi saat di aula ketika latihan. Satu aula benar-benar menyorakinya dan ia langsung bingung harus menaruh muka di mana. "Sayang-sayang lo banyak! Bukan cuma Titan doang!" geramnya lagi. Bahkan sekarang ia mulai menggigiti sarung guling saking kesalnya. Ia semakin kesal kala mengingat bagaimana Tristan begitu dekat dengan teman-teman ceweknya yang lain. Mungkin saja kan ada si sayang nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya. Mau marah juga rasanya aneh, statusnya bukan siapa-siapa walau tak bisa juga dibila
"Cie... habis kena marah ya? Kusut bener mukanya kayak keset depan WC." Titan terkikik geli sekembalinya Tristan setelah sesi berbincang-bincang tidak ria dengan papanya di atap rumah sakit barusan.Sekarang mereka ada di taman rumah sakit, setelah Tristan selesai dengan papanya dan langsung menghubungi Titan untuk bertemu di sana."Kamu juga kusut mukanya," balas Tristan."Hah, masa? Udah cuci muka tadi pakai air padahal." Titan memegang pipinya sendiri dengan punggung tangannya."Iya kusut, kayak kurang asupan perhatian dari aku.""Jijik banget dengernya tahu nggak?" Ekspresi Titan langsung berubah sedatar mungkin."Aku kayaknya y
Setelah mendapat lokasi balapan motor dengan lagi-lagi harus menelpon Bams, maka Rheva semakin menggas mobilnya. Ia jarang ngebut apalagi kebut-kebutan begini. Alhasil, ia hampir menabrak seorang pejalan kaki yang menyeberang jalan di tengah gelapnya malam ditambah guyuran hujan. Syukur-syukur selamat."Rev." Titan memanggil."....""Rev.""Hm?""Rev!""Apa, sih?!""Lo bawa mobil mahal apa bawa bajaj sih!""Mobil mahal lah ini.""Lelet banget tahu nggak?! Saingan sama siput?!""Yang penting jalan mobilnya.""INI CUMA 20 KILOMETER PER JAM REPPPP!!!! KAPAN NYAMPENYA ISHHH!!! LIMA BELAS MENIT LAGI TENGAH MALEM NIH UDAH MULAI BALAPANNYA ENTAR!!!""Udah cepet ini! Lo mau kita hampir nabrak lagi apa?! Jantung gue tadi rasanya mau loncat keluar tahu nggak?!""Ishhh Rhevaaaaa...." Titan merengek."Entar lagi juga sampe elah. Gue kapok ngebut! Lagian ini hujan, buram kacanya!""Entar mere
"Aku sayang sama kamu, Tan!" teriak Aundy di ujung lorong yang sudah sepi.Tristan ada di hadapannya, menatap dirinya dengan tatapan datar dan tak tertarik sama sekali."Guenya nggak.""Bohong! Kamu meluk aku waktu itu! Waktu di parkiran aku nangis kejer-kejer bahkan di rumah sakit kamu temenin aku sampai malem." Mata gadis itu berkaca-kaca, berusaha meyakinkan dirinya sendiri pada sebuah harapan kosong."Waktu itu, cuma itu yang bisa gue lakuin buat nolongin lo. Jangan kegeeran.""Nggak mungkin cuma gara-gara itu. Kalau emang iya kamu sukanya sama Titan, kamu harusnya ninggalin aku gitu aja. Kamu tahu Titan nggak suka sama aku deketin kamu."
Tristan seharian ini tidak sempat bertemu dengan Titan. Entah ke mana gadis itu saat ia mencarinya, mereka tidak berpapasan sama sekali. Mereka juga sudah sibuk dihadang berbagai ujian menjelang UN, membuat kesempatan bertemu semakin sulit karena gadis itu biasanya langsung ngacir pulang begitu selesai ujian.Sekolah tidak pernah terasa seluas ini bagi Tristan, namun ketika dia tidak bisa bertemu Titan, semua berbeda. Hari ini, ketika ia bertemu salah satu siswa laki-laki yang diingatnya sekelas dengan Titan, maka ia pun bertanya di mana keberadaan cewek itu. Cowok itu menjawab, hari ini seharusnya anakbandakan latihan.Maka ia bergegas, mencari ke aula tapi tak ada siapapun di sana. Ia lalu berlari ke ruang musik, namun melihat dari jendela luar saja sudah kelihatan jelas bahwa tempat itu juga kosong, pintunya pun
Tristan mengerang, pusing. Ia masih terjebak di tempat ini, Rumah Sakit Medika. Orang tua Aundy mengalami kecelakaan cukup parah, yang memerlukan operasi untuk segera menangani mereka. Luka-luka dan patah tulang. Sementara keluarga Aundy yang lain yaitu om dan tantenya baru saja datang.Pengurusan untuk surat tindakan medis semuanya ditangani mereka yang sudah berusia di atas 21 tahun. Sementara Aundy sendiri hanya bisa menangis sedari tadi, terlebih setelah mendengar penjelasan dokter sebelumnya mengenai kondisi papa dan mamanya yang akan segera ditangani."Tolong temani Aundy dulu, ya. Biar saya dan omnya yang mengurus semua."Tristan tadi dimintai tolong oleh Arini dan Budi yaitu tante dan om dari Aundy agar bantu menenangkan Aundy yang masih histeris. Setelah Arini dan Budi menguru
Tristan bergegas keluar kelas begitu bel tanda istirahat berbunyi. Ia tidak bolos pagi ini, berhasil memposisikan pantatnya untuk tetap menempel pada kursi walau tidak betah. Jika pantatnya punya nyawa sendiri, sudah pasti pantatnya itu bakalan kabur duluan.Ia uring-uringan sejak kemarin, ketika sempat berselisih dengan Titan sebelum pulang sekolah. Ia sadar ia yang salah. Seharusnya ia tidak boleh egois dengan meminta Titan menunggunya sementara ia akan berdua dengan Aundy walau hanya untuk sekadar latihan drama. Ia seharusnya memilih salah satu antara latihan atau mengantar Titan pulang. Satu yang ia tahu, ia tidak akan senang memilih salah satunya. Ada konsekuensi di antara kedua pilihan itu.Pentas seni sialan,batinnya.Ia akan meminta maaf pada Titan, oleh
Esoknya, Tristan datang ke kelasnya seperti kebiasaannya belakangan ini untuk mengajak Titan makan ke kantin. Titan pun tak bisa pura-pura seolah biasa saja. Senyumnya langsung merekah begitu melihat penampakan cowok itu muncul di ambang pintu kelasnya bahkan sebelum Bu Endah yang sedang mengajar di XII IPA 4 keluar kelas."Ngapain kamu mejeng di sini?" Bu Endah yang hendak keluar tentu saja bertemu dengan Tristan di ambang pintu."Mau nyari anak didiknya Bu Endah buat ngajakin makan berdua di kantin. Kenapa? Ibu mau ikutan? Jangan jadi orang ketiga di antara kami dong Bu," jawab Tristan sambil senyum-senyum."Hah, ngawur aja kamu nih. Emang kamu ngajakin siapa toh?""Ini Bu, anaknya udah ketemu." Tristan langsung merangkul pundak Tit
Tristan menahan napas ketika melihat wujud manusia di depannya. Seketika, bayangan wajah cemburu Titan tergambar di otaknya dan membuatnya berasa sedang selingkuh. Padahal pacaran aja mereka tidak.Aundy.Sesosok gaib-eh manusia yang belakangan ini selalu absen di depan wajahnya tiap hari. Menggerayanginya ke mana-mana sampai terkadang membuat Tristan berasa punya penunggu di punggungnya.Kadang ia kesal sendiri, tapi pernah beberapa kali ia bersikap cukup baik pada cewek itu ketika ingin melihat reaksi Titan bila ia berdua dengan perempuan lain. Makan bersama di kantin beberapa kali dan mengantarnya pulang.Sekarang rasanya ia ingin ganti muka saja. Biar tak terus-terusan dikejar sana-sini. Toh cewek satu ini juga cuma naksir sama ta