"Apa kita akan tetap datang ke acara pernikahan anak Tante Gina setelah kita hanya disuruh pakai seragam bekas, Yah? Kita sudah tidak di hargai, kalaupun datang pasti hanya akan dijadikan bahan candaan," ujarku ketika kami berempat sedang makan malam.
"Betul, Yah. Arum yakin sebetulnya bukan seragamnya yang habis, tapi memang kita tidak dikasih," sambung adik perempuanku.
Benar apa yang dikatakan oleh Arum, hanya saja aku tidak ingin mengatakan hal itu kepada kedua orangtuaku. Bisa-bisa ibuku akan jatuh sakit nantinya.
"Sudah, jangan berdebat di meja makan. Pamali," jawab Ayah tanpa berniat menyambungi pembicaraan kami.
Memang begitulah Ayah, tak pernah mau berdebat ataupun menjelek-jelekkan saudaranya. Padahal sudah jelas terlihat bahwa mereka tidak suka dengan kita. Sedangkan Ibu? Dia juga hanya diam dan menuruti semua yang dikatakan oleh Ayah.
Awalnya kami juga begitu, tapi lambat laun kami tahu jika sikap Tante Gina sudah diluar batas. Mereka tak hanya ingin kami membantunya, tapi juga ingin merendahkan kami. Entah, sebenarnya ada dendam apa Tante Gina pada keluarga kami.
Aku dan Arum mendengus kesal, lalu melanjutkan makan meski sudah tak berselera. Walau bagaimanapun aku masih memiliki perasaan, dan sangat tidak ingin jika harga diri keluargaku diinjak-injak seperti ini.
Pekerjaanku sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk membantu sekolah Arum. Aku tidak bisa berbuat banyak. Namun, setelah pernikahanku dengan Zaki berlangsung aku berharap semua akan menjadi lebih baik lagi.
..
Hari berganti hari, hingga tak terasa waktu yang kami ingin hindari tiba, yaitu pernikahan Tari, anak kedua Tante Gina. Seragam warna maroon yang warnanya hampir pudar sudah disiapkan oleh Ibu sejak malam tadi, tapi aku sama sekali tidak berniat meliriknya walau sebentar. Aku yakin, Arum pun pasti juga merasakan hal yang sama.
"Mbak, apa kita yakin akan berangkat? Dengan seragam yang sudah usang itu?" ucap Arum yang seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.
Aku hanya mengangkat kedua bahuku, lalu membuka jendela kamar yang terbuat dari kayu. Ya, rumahku hampir delapan puluh persen masih terbuat dari kayu. Inipun sebenarnya adalah warisan dari orangtua Ibu yang telah tiada.
"Kita tanya Ayah saja, ya," jawabku singkat.
Meskipun kami tahu apa jawabannya, tapi setidaknya kami ingin memastikan sekali lagi. Siapa tahu keputusan Ayah berubah.
"Kita akan tetap berangkat, dengan atau tidak pakai seragam baru. Semua pakaian itu sama asal bersih dan tertutup. Jangan jadi orang yang hanya memandang sesuatu dari segi uang anak-anakku sayang. Semoga saja, suatu saat nanti kita akan dicukupkan rezekinya sehingga bisa seperti mereka." Perkataan itulah yang pada akhirnya membawaku dan Arum berangkat meski dengan perasaan tak menentu.
Kami tahu maksud Ayah baik, hanya saja kami sebagai anaknya tidak bisa menelan mentah-mentah apa yang telah dilakukan oleh para saudaranya. Kini aku sadar, meski keluar dari rahim yang sama tapi nasib dan sifatnya tidak akan pernah sama.
Dan apa yang kita pikirkan terjadi juga, sesampainya di rumah Tante Gina semua sudah bersiap dengan seragam warna pastel yang beberapa hari yang lalu dibagikan oleh si tuan rumah. Sedangkan keluargaku hanya memakai seragam bekas nikahan Sofia yang warnanya sudah hampir pudar.
Hampir semua orang memandang ke arah kami. Tak terkecuali si tuan rumah yang justru tersenyum sinis dan terlihat sangat puas.
"Astaga, baju warnanya udah pudar kaya gitu masa masih dipakai."
"Emang nggak ada baju lain, ya?"
"Kalau aku sih mending nggak datang. Malu."
Tak hanya itu saja, ada banyak bisikan yang kudengar ketika kami melintas di hadapan mereka. Mereka memang berstatus saudara kami, tapi tidak dengan hatinya. Kata-kata saudara rupanya hanya menjadi sebuah status saja bagi mereka.
"Akhirnya kakakku datang juga. Ayo masuk Mas Tohir dan keluarga," sambut Tante Gina membuatku muak.
Kulirik sekilas Ayah tersenyum tipis meski dipaksakan, begitu juga Ibu. Sedangkan aku dan Arum, tak kami sunggingkan senyuman sedikitpun.
"Duduk di sini saja, biar dekat sama meja makan. Aku tahu pasti kalian dari rumah belum makan, kan? Perjalanan jauh, naik angkot, keringetan, pasti laper. Nanti biar cepet dan duluan ambil makanannya," celetuk Tante Gina lagi membuat telingaku panas.
"Bu, jaga bicaramu. Ada banyak orang," ucap om Burhan, suami Tante Gina.
"Kenapa, Pak? Memang begitu adanya, kan? Sudah ... Kalian di sini saja, ya. Nanti kalau acara sudah selesai sekalian bisa bantu-bantu."
Kukepalkan kedua telapak tanganku, tapi aku masih bisa menahan amarah karena menjaga martabat kedua orangtuaku di depan orang banyak. Hanya saja kulihat kedua mata Arum tersirat sebuah kebencian yang mendalam untuk keluarga adik Ayah itu.
"Tante! Dengar! Jangan rendahkan keluarga kami lagi karena sebentar lagi kakakku akan menikah dengan Kak Zaki. Tahu kan siapa Kak Zaki? Anak dari Tuan Muh, pemilik ladang terbesar di daerah ini. Jadi kalian semua jangan sombong dan besar kepala dengan semua kekayaan kalian. Karena sebentar lagi kami akan sederajat dengan kalian!" tandas Arum menggebu membuat semua orang memandang ke arah kami, terutama Tante Gina. Dia menatap Arum dengan mulut yang menganga.
"Hahaha ... Mana mungkin anak Tuan Muh yang kaya itu mau sama kakakmu, Arum. Mereka itu keluarga terhormat, sedangkan kalian, hanya mampu pakai seragam bekas," tutur Laras, anak bungsu Tante Gina yang kudengar juga sedang menyukai Zaki.Arum bersiap hendak berteriak, tapi aku segera mencegahnya. "Iya, memang benar adikku bergurau. Dia hanya sedang berhalusinasi. Namun jangan salahkan takdir jika sampai suatu saat nanti derajat kita akan sama, atau bahkan lebih tinggi keluargaku, keluarga Pak Tohir," ucapku dengan lantang sembari menatap ayahku yang hanya menunduk pasrah.Adikku menganggukkan kepala dengan sangat mantap, membuat semangatku berkobar dua kali dari sebelumnya. Ayah dan Ibu terlihat sedih, mungkin mereka menyayangkan sikapku dan Arum yang arogan. Padahal mereka sama sekali tidak pernah mengajarkan hal itu, mereka selalu mengajarkan kami dengan tutur kata yang baik dan harus menghormati orang yang lebih tua dari kami.Namun sekarang, kondisinya berbeda. Mereka sudah terlalu
[Percuma kasih tanda cinta kalau cuma dikit, mending nggak usah. Terimakasih untuk saudara-saudaraku yang lain, kalian memang the best]Dadaku panas, aku yakin status Tante Gina itu ditujukan untuk keluargaku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk keluargaku? Memang mereka sangat benci dengan kami, entah apa alasannya.[Maaf, Tante. Memang kami hanya bisa memberikan sedikit. Kalau tak berkenan lebih baik di berikan kepada yang membutuhkan saja, tidak perlu diumbar di sosial media]Satu balasan untuk postingan Tante Gina kukirimkan. Jari-jariku begitu gatal ketika membaca postingan-postingan yang ia unggah. Hanya saja kemarin-kemarin aku tak ingin menanggapinya, tapi kali ini ia sudah sangat keterlaluan.Terlebih subuh tadi aku juga melihat jika Laras pun mengunggah sebuah ejekan untukku. Dia berkata jika keluarga miskin tak akan bisa bersanding dengan konglomerat, apalagi sampai menikahi anak juragan ladang.Baiklah, Tante Gina, Laras, dan semua keluarga yang sudah merendahkanku, akan se
Saudara yang terlihat benci dan selalu merendahkan keluargaku karena miskin itu terlihat terkejut ketika tahu bahwa aku calon istri Zaki, anak dari juragan ladang. Mungkin dia masih berfikir, bagaimana bisa aku yang miskin ini akan bersanding dengan lelaki kaya itu."Laras, kenapa diam?" ucapku lagi ketika dia masih terlihat membeku.Baju brukat warna putih masih menempel di badanku. Tante Lusi sangat pandai dalam memadupadankan baju dan aksesoris. Meskipun baru mencoba, tapi aku sudah telihat sangat cantik sebagai pengantin.Laras tak menjawab perkataanku, tapi dia justru tertawa lantang. Dia memang terlihat aneh."Mana mungkin aku percaya, Nana? Sudahlah ... Kalian jangan bergurau," tuturnya membuatku mengernyitkan dahi.Bagaimana dia bisa tidak percaya? Padahal aku sudah mencoba baju pengantin bersama Zaki."Aa Zaki, aku tahu Anda sedang bergurau. Mana mungkin Anda sekeluarga mau meminang gadis miskin seperti dia. Mungkin Nana hanya Anda suruh untuk mencoba baju pengantin untuk ist
"Maaf, Yah. Arum nggak mau datang. Bukan begitu, Mbak? Kami nggak mau datang ke tempat orang yang sudah merendahkan keluarga kita," tutur Arum secara tiba-tiba.Aku yang masih terdiam lantas ikut mengangguk. "Iya, Yah. Nana juga tidak mau ke sana. Nana tidak tahan dengan sikap keluarga yang lain, terutama Tante Gina dan anak-anaknya. Biar saja kita dibilang tak tahu diri, yang penting harga diri kita tak diinjak-injak terus menerus."Ayah terlihat sedih, mungkin dia menyayangkan sikapku dan Arum yang menolak di ajak ke rumah Tante Gina lagi. Biar saja, kami sudah bosan di hina."Yasudah kalau itu mau kalian, biar Ayah dan Ibu saja yang kesana," tutur Ayah membuatku lagi-lagi saling berpandangan dengan Arum.Ayah tetap akan berangkat meski aku dan Arum sudah memberinya nasehat. Bagi kami, semiskin-miskinnya kami, harga diri tetap yang utama. Namun bagi Ayah, keutuhan saudaranya lah yang paling utama. Memang, ayah kami terlalu polos sehingga tidak ingin jika saudara-saudaranya terpecah
"Sudah, pulang sana, Mas. Tapi jangan harap setelah ini kamu sekeluarga bisa kumpul lagi bersama kita. Iya kan Mbak Risma?" tutur Tante Gina membuatku semakin murka.Kupandangi Ayah dalam, aku ingin dia melihat kesungguhan dalam manik matanya. Akankah dia tetap membela saudaranya, atau kami keluarga kecilnya."Cukup. Ini pilihan yang sulit. Apa kalian tidak bisa berdamai? Kita hidup rukun seperti dulu lagi?" tutur Ayah tak memberikan jawaban."Bisa. Kami bisa berdamai seperti dulu lagi asal semua saudara Ayah memperlakukan kita layaknya saudara, bukan pembantu!" tandasku tajam dengan menatap Tante Gina dan Budhe Risma bergantian.Lagipula aku heran, apa suami-suaminya tidak mengajarkan bagaimana bersikap baik kepada saudara? Kenapa aku lihat saudara-saudara ayahku ini seakan menerkam Ayah hidup-hidup. Seharusnya mereka menasehati istri-istrinya, bukan malah mendukung apa yang mereka lakukan."Siapa yang memperlakukan kalian seperti pembantu, Nana? Bukankah dari kamu kecil, memang suda
Semua anggota keluargaku masih terdiam usai orang suruhan Tuan Muh mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumahku. Ya, dia datang untuk menyampaikan jika pernikahanku dengan Zaki di majukan."A-apa. Bagaimana, Pak? Apa Anda serius?" ucap Ayah terbata."Iya, Pak. Saya serius. Bu Halimah sedang sakit dan beliau ingin segera menyaksikan anaknya menikah dihadapannya," ucap tangan kanan Tuan Muh yang seingatku bernama Pak Lukas."Tapi kami belum memiliki persiapan apapun, Pak. Bagaimana kami akan datang kesana." Kali ini Ibu yang mengatakan demikian.Pak Lukas tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket hitamnya. "Pak, Bu. Saya mendapatkan amanah dari Tuan Muh. Mohon di terima."Diserahkannya sebuah plastik hitam yang lumayan besar, aku tak tahu apa isinya. Namun jika kuterka sepertinya berisi sejumlah uang."Apa ini?" tanya Ayahku lagi tanpa berani menyentuhnya."Ini ada sejumlah uang untuk kalian gunakan untuk bersiap-siap. Kata Tuan Muh ini kurang lebih dua puluh juta rupi
Pagi-pagi buta semua anggota keluargaku sudah disibukkan dengan persiapan pernikahanku yang diadakan sangat mendadak. Setelah kemarin tangan kanan Tuan Muh datang dan meminta hari ini agar aku dapat menikah dengan Zaki karena ibunya sakit.Aku tak terlalu sibuk, karena sejujurnya saja aku justru sibuk menata hati dan pikiranku yang sedikit kalut. Antara tak percaya dengan apa yang akan kujalani, juga sangat gugup karena sebentar lagi statusku akan berubah."Nana, kok malah diem aja. Buruan siap-siap," ucap Ibu yang baru saja melintas di depan kamarku dan melihatku masih terduduk di atas sajadah sembari melamun.Tanpa menjawabnya, aku lantas melipat sajadah yang telah kugunakan beribadah setengah jam yang lalu. Rasanya duduk dan melamun di atas sajadah seusai sholat sangat menenangkan jiwa."Bu, Arum pakai baju ini saja, ya. Yang masih terlihat bagus hanya ini," teriak Arum dari dalam kamar ketika aku memilih membuka jendela ruang tamu."Bu, jangan sampai ada yang ketinggalan, ya. Kasi
"Mbak, dari tadi Tante Gina telepon aku terus. Om Burhan juga. Kayaknya mereka mau tanya soal pernikahan kamu, deh," ucap Arum ketika kami berada di luar rumah sakit."Terus kamu angkat?"Dia menggeleng, tapi disertai kekehan kecil. "Biar aja, Mbak. Mereka pasti bingung dengan unggahanku itu.""Sebenarnya aku nggak enak, seakan menggunakan nama Zaki untuk naik ke atas," ujarku dengan menyandarkan tubuhku di kursi taman tempat kami mengobrol.Arum juga langsung terdiam, dia menatapku dengan sendu. "Mbak, aku tahu bagaimana perasaanmu. Lagipula soal rumah, itu sudah menjadi hakmu sebagai istri kan? Dan juga, Ayah menolak pemberian rumah dari Mas Zaki "Ya, memang benar. Usai Zaki mengutarakan niatnya untuk mengajak mereka pindah, Ayah menolah. Ia merasa tak enak hati jika lantas pindah dan menempati rumah pemberian keluarga Zaki. Hanya saja, Ayah meminta pekerjaan pada Tuan Muh agar bisa untuk menyambung sekolah Arum. Dan betapa baiknya mereka, Ayah justru dijadikan sebagai pengawas lad
Aku mundur begitu Alex berkata demikian. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Kemarin dia memintaku untuk kembali dan rujuk dengannya. Aku kira, itu artinya dia juga akan mau menerima bayi ini dengan senang hati."Alika. Kamu bohong, kan?" Lagi, pertanyaan itu diajukan oleh Alex.Namun kali ini aku sudah tidak kuasa menjawabnya. Kulangkahkan kakiku mundur dari hadapannya dan berjalan ke teras.Satu persatu ingatanku soal Gibran terulang. Ia memakiku karena aku bisa secepat ini percaya lagi pada Alex. Bukan perkara mudah, aku melakukan semua ini karena ada janin di dalam rahimku. Aku pikir, dengan adanya bayi ini maka Alex akan semakin baik. Dan juga, aku tidak mungkin egois dengan tetap mengajukan perceraian karena di dalam rahimku ada darah dagingnya.Lantas sekarang, saat semua sudah berubah seperti ini aku bisa apa?"Alika. Jawab! Kenapa kamu justru pergi?"Aku menghela nafas panjang, lalu menatapnya. "Aku? Bohong? Lalu kamu pikir ini anak siapa?"Kali ini dia mengalihkan pand
"Dia itu jahat, Alika. Jahat." Entah sudah kata keberapa yang diucapkan Gibran kali ini.Hari ini tiba-tiba saja dia mengajakku bertemu dan tanpa kuduga dia justru berkata demikian. Ini masih soal orang yang sama, Alex.Kali ini bukan aku yang mengatakan jika Alex jahat, tapi justru Gibran. Awalnya aku tak percaya dengan apa yang dia katakan, tapi ketika dia menyodorkan sebuah foto dihadapanku anggapanku sedikit berubah."Tapi, dia sangat baik di depanku, Gibran. Aku yakin dia sudah berubah. Siapa tahu ini hanya temannya, atau kebetulan bertemu saja dan kamu beranggapan lain," ujarku masih berusaha membela Alex.Gibran mengacak rambutnya kasar, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Terserah jika kamu tidak percaya. Yang terpenting aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu, bahwa Alex itu masih sama jahatnya." Dia seperti sudah menyerah, tapi aku memang sudah percaya lagi dengan Alex. Aku yakin dia sudah berubah."Tidak. Buktinya dia sekarang tidak pernah main tangan kepadaku. Bahkan
Rasa penasaranku masih tinggi saat Alex tak kunjung menyahut panggilanku. Entah karena dia tak mendengar atau sengaja tak menjawab."Alex ...." ucapku lagi dengan setengah berteriak agar dia mendengar panggilanku.Aku masih menunggu di luar kamar, karena jujur saja aku takut jika dia marah ketika aku bertanya banyak soal yang dia lakukan di dalam. Terlebih aku sangat takut jika dia kembali memukuliku ketika aku berusaha masuk tanpa seijinnya.Namun sepertinya dugaanku salah, beberapa saat setelah aku meneriakinya, Alex menyembulkan kepalanya di pintu dengan senyuman lebar. Hal itu benar-benar di luar dugaanku."Ya, ada apa? Kamu tadi memanggilku?" ucapnya dengan lantas membuk pintu kamar lebar-lebar."Em, iy-iya. Kamu sedang apa?" tanyaku dengan hati-hati."Oh, aku sedang memasang foto pernikahan kita kembali. Maaf, seingatku dulu aku melepasnya dari dinding."Ya, saat itulah yang membuatku sekarang sangat trauma. Saat itu aku memaksa masuk dan bertanya perihal ia yang melepas beberap
Kedua mata kami bertemu, rasanya di dalam relung hati sana masih ada getaran untuknya. Meski yang bagaimanapun dia tetap ayah dari janin yang kukandung dan kami pernah saling mencintai dengan sangat dalam."Aku sudah pernah mencintaimu dengan sangat, begitu juga sudah pernah kecewa dengan sikapmu. Rasanya aku hampir tak bisa mengenali kata-katamu lagi. Apakah itu serius, atau tidak," jawabku dengan mengatur nafasku, karena sejujurnya saja aku takut jika dia akan melayangkan pukulan atau tamparan kepadaku.Bukan karena apa, aku hanya takut jika bayi dalam kandunganku kenapa-kenapa. Meskipun dia belum tahu, tapi aku wajib melindunginya sampai dia lahir di dunia.Beberapa detik kemudian dia mengalihkan pandangannya dan menjambaki rambutnya. "aarrghh! Sudah cukup Alika. Aku memang pernah bersalah, dan kedatanganku sekarang ingin menebusnya. Tolong, percaya lah."Dia berjalan menjauh dariku dengan memakai baju yang ia ambil dengan kasar. Aku tak tahu harus percaya dengan kata-katanya atau
Kehamilanku sudah masuk usia ke empat, jika diperhatikan perutku sudah mulai menyembul. Namun semenjak hamil aku selalu menggunakan baju yang lebih longgar dari biasanya.Bukan karena apa, aku hanya takut orang-orang mengejekku karena hamil dan ditinggalkan oleh suamiku. Namun, tak kusangka jika Alex akan kembali ke rumah ini malam ini.Entah untuk tujuan apa, padahal dia sudah pernah mengirimiku pesan bahwa ia akan meninggalkanku. Dan malam ini dia seakan lupa dengan semua yang sudah ia perbuat selama ini.Bahkan aku sudah sempat akan mengejar cinta lamaku setelah kepergiannya. Bagiku Alex sudah benar-benar meninggalkanku, dan tak menginginkanku lagi. Namun ternyata dia justru datang lagi ke dalam hidupku.Apapun itu aku akan tetap mengajukan perpisahan dengannya. Sikapnya selama menjadi suamiku benar-benar membuatku tak nyaman, terlebih sikap tempramentalnya. Aku bahkan sudah pernah menginap di IGD rumah sakit karena kekerasan yang ia perbuat.Malam sudah larut, aku memutuskan untuk
Kisah AlikaBagian 2Perkataan Dea masih mengganggu pikiranku meski sudah sampai di rumah. Dea mengatakan jika tempo hari ia bertemu Alex dan Alex pun berniat mengajakku keluar negeri. Apa itu benar? Namun, bahkan kita sudah tak saling berhubungan lagi. Jadi bagaimana bisa Alex berkata jika ia akan membawaku keluar negeri. Lagipula untuk apa?Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku. Sampai pukul setengah sebelas aku belum berhasil memejamkan mata meski segala cara telah kulakukan. Pertemuanku dengan Dea siang tadi benar-benar membuatku berfikir keras.Saat ini aku tinggal disebuah rumah yang memang sudah kutinggali dengan Alex dari awal menikah. Ini merupakan rumah yang kami beli hasil dari uang tabungan kami sewaktu masih bujang. Namun entah kenapa selang beberapa saat setelah menikah Alex justru berubah, suka memukuliku, dan sekarang dia pergi dari rumah ini tanpa kabar.Tokk tokk tokkSayup kudengar suara pintu depan di ketuk oleh seseorang. Seketika jantungku berdebar, karen
MENJADI BUDAK SUAMIKUBagian 1"Kamu serius mau nyusulin mereka ke Bali?"Kata-kata itu yang kuingat keluar dari mulut Erina ketika aku mengutarakan niatku untuk mengikuti Zaki dan istrinya ke Bali. Ya, Zaki mantan pacarku dulu yang sampai saat ini aku belum bisa move-on dibuatnya.Kisah cintaku dengan Zaki benar-benar membuatku mabuk kepayang. Namun sayang, semua harus berakhir karena kebodohanku sendiri.Aku bodoh dengan meninggalkan Zaki demi lelaki lain. Dan sekarang aku menyesal, benar-benar menyesal. Rasanya aku ingin sekali memutar waktu dan tak akan kulakukan kebodohan itu lagi.Namun sayang, semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, dan aku hanya perlu menikmatinya saja. Saat seperti ini aku merasa tak pantas menyalahkan Tuhan, karena rupanya aku sendiri yang bodoh.Awalnya aku berfikir bahwa menikah dengan Alex akan membuat hidupku jauh lebih bahagia ketimbang bersama Zaki. Dia adalah pria penguasaha, hidupnya sama-sama mapan seperti Zaki. Namun ada satu nilai plus ya
Detak jantungku bertalu-talu ketika sampai di kediaman Tuan Muh, orang yang dulu sama sekali tak kusangka akan menjadi mertuaku. Mereka sangat baik kepadaku, bahkan jika kurasakan mereka sudah menganggapku seperti anak kandungnya sendiri.Meskipun beliau adalah orang kaya tapi sikap rendah hati dan penyayangnya jelas terlihat. Buktinya mereka tak segan mengangkatku menjadi menantunya meski aku datang dari keluarga yang tak sepadan dengan mereka.Namun, semakin jauh aku melangkah dan mengarungi bahtera rumah tangga dengan Zaki. Aku merasakan ada begitu banyak kepribadian Zaki yang tak kuketahui. Orangtuanya boleh baik kepadaku, tapi jika sikap Zaki saja berulang kali menyakitiku, maka kebahagiaan yang kudapatkan kemarin seakan sirna begitu saja.Kulihat Zaki tengah menunggu seseorang karena ia tak langsung masuk ke dalam rumah. Sudah kupastikan ia sedang menunggu Alika. Ada rasa panas di dalam hatiku sana, tapi aku tak bisa berbuat banyak karena rasa-rasanya semua sudah percuma.Sekuat
Hatiku berbunga setelah bertemu dengan Adit. Bukan karena Adit, tapi karena ia bersedia untuk bertemu dengan Zaki dan keluarganya untuk memberikan saksi bahwa apa yang dikatakan Alika adalah suatu kebohongan. Jika memang Alika masih mencintai Zaki, seharusnya ia tak menerima pernikahannya dengan Adit, karena jika sudah seperti ini semua juga pasti terluka.Kuparkirkan mobilku dengan manis, lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan bahagia. Semoga saja, orangtua Zaki pun bersedia bertemu dengan Adit sehingga masalah ini akan cepat selesai."Lho, kok kamu udah di rumah, A?" tanyaku ketika melihat Zaki sudah membaca koran di ruang tamu.Dia mengalihkan pandangannya ke arahku, lalu tersenyum. "Sudah, urusanku tidak banyak jadi cepat pulang. Sini, duduk," jawabnya dengan menepukkan sebelah tangannya ke sofa kosong di sampingnya.Meskipun hatiku sedikit retak akibat masalah yang datang pada kami, tapi aku selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik. Terlebih jika aku belum mengetahui kebe