Zia terbatuk-batuk heboh sebab tersedak air liurnya sendiri. Sementara Faruq kebingungan karena tanggapan Zia yang dinilai terlalu berlebihan. Pria itu lantas mengambil botol air mineral dan memberikan kepada Zia setelah dibuka tutupnya. “Kamu ini kenapa? Nih, minum dulu. Bisa-bisa luka jahitmu nanti bermasalah,” ujar pria itu. Zia menerima dan perlahan meminumnya dari balik cadar. Beruntung di botol itu sudah ada sedotan hingga tidak menyulitkannya. “Te-ri-ma ka-sih.” Zia mengucapkannya terbata-bata. Faruq mengambil bayi Zia dari pangkuan wanita tersebut tanpa meminta izin. Sementara Zia masih sibuk meredakan batuk. “Ibumu aneh. Diberi saran nama bagus malah heboh kayak gitu.” Faruq berbicara kepada bayi dalam gendongannya itu. Zia berdeham untuk menghilangkan sisa tidak nyaman di tenggorokan. Ia kemudian memberanikan diri menatap Faruq. “Bukan aneh, Pak. Tapi saya ingin nama yang islami.” Zia beralasan. Ah, bagaimana mungkin nama itu disematkan untuk putranya? “Pak Faruq ini
“Bu, saya ....” Zia tidak dapat melanjutkan. Ia kemudian melirik ke arah Faruq.Farah mengikuti pandangan Zia. Wanita itu lalu tersenyum. “Kamu nggak nyaman didengar sama Faruq?”Faruq yang mendengar namanya disebut, memicing ke arah dua wanita yang agak jauh darinya.Zia mengangguk pelan.“Kok, saya dibawa-bawa?” protes Faruq.“Gini aja, Zi. Ceritakan garis besarnya saja. Yang sekiranya kamu nggak nyaman, skip. Faruq juga berhak tahu karena dia juga bertanggung jawab di rumah singgah itu. Takutnya nanti, ada tuduhan dia menyembunyikan istri orang. Berabe, ‘kan?”Zia mengambil napas panjang lalu mengeluarkannya pelan.“Saya janda, Bu. Saat saya berpisah dengan suami saya, ternyata saya hamil. Tidak ada yang bisa diubah karena palu pengadilan sudah diketuk. Sementara mantan suami saya sudah menikah lagi. Ibu saya sudah meninggal, bapak saya sudah menikah lagi dan saya tidak terlalu akrab dengan keluarga baru bapak saya. Jadi, insyaallah tidak akan ada klaim apa-apa atas diri saya jika
“Tenang, Bos. Semua kami lakukan tanpa meninggalkan jejak apa pun.” Suara di seberang menimpali.“Yakin?” tanya Rosa.“Iya. Kami juga masih memantau dari jauh. Kalau ada yang belum beres, opsi kedua sudah kami siapkan.”“Kerja bagus. Kita bertemu di tempat biasa. Tapi tunggu kabar dari saya kapan waktunya. Segera saya selesaikan kekurangannya.”“Siap. Asal jangan lama-lama karena kami butuh uangnya segera.”“Ya.” Rosa tersenyum puas.“Akhirnya kelar juga kerja kita. Bentar lagi dapat duit!” Seorang dari tiga pria itu berteriak setelah panggilan telepon dimatikan.“Tapi bagaimana kalau dia ternyata nggak mati dan berhasil ditolong suara orang yang berteriak itu?” Seorang yang lain menimpali.“Kita tetap masih aman. Nggak ada bukti, pelat mobil kita tutupi, nggak ada saksi. Dia juga nggak lihat wajah kita. Kayak kerja baru sekali ini aja kamu. Takut banget!” Salah satu dari mereka menoyor rekannya yang ketakutan.“Iya, tahu. Cuma, baru kali ini mengeksekusi wanita bunting. Auranya agak
“Si-siapa kalian?” gagap Zia.“Saya Meri, Mbak. Ini suami saya, Zainal. Kami utusan dari Pak Faruq dan Bu Farah. Saya diminta menjemput Mbak Zia karena mereka masih sibuk.” Si wanita berbicara.Ponsel Meri berdering saat empunya sedang berbicara dengan Zia. Farah melakukan panggilan video call. Tidak butuh waktu lama, panggilan diangkat dan ponsel diberikan kepada Zia.“Zi, maaf saya nggak bisa jemput. Tadi mau berangkat, ada operasi darurat. Sudah saya kirim Meri sama Zainal untuk jemput kamu. Nanti biar mereka yang bawa kamu ke yayasan,” ujar Farah.Zia mengembuskan napas panjang. Ia sangat lega karena dua orang asing itu bukan orang jahat. “Baik, Bu. Terima kasih banyak sebelumnya. Maaf ... kalau terus merepotkan.”“Kamu memang selalu merepotkan. Enggak, bercanda. Sudah dilepas infusnya?” tanya Farah sambil bergurau.“Sudah.”“Ya sudah, kamu bisa pulang sama Meri. Saya mau siap-siap masuk ruang operasi. Nanti ketemu di yayasan. Kalian hati-hati di jalan.”“Iya, Bu. Terima kasih sek
“Lain kali lebih hati-hati.” Suara bariton itu terdengar sangat dekat di telinga Zia.Wanita itu sampai menahan napas untuk sesaat. Setelah tubuhnya sudah bisa berdiri sempurna, penolong itu langsung berlari masuk bangunan di hadapan Zia.Zia memegangi dada yang entah mengapa jantungnya berdetak menggila di dalam sana. Ia jarang atau nyaris tidak pernah bersentuhan sedekat ini dengan lawan jenis. Biasanya hanya bersalaman, tetapi Zia menganggap kali ini agak melewati batas.“Keadaan darurat. Jangan terlalu dipikirkan.” Zia membatin. Wanita itu lantas menoleh ke sekeliling. Ia mendesah lega sebab keadaan sedang sepi. Itu berarti tidak ada yang melihat drama memalukannya dengan Faruq barusan.Zia meneruskan langkah. Ia berjalan pelan menuju yayasan dan anaknya mungkin sudah ada di dalam sana.“Kok, buru-buru, Ruq?” Seorang wanita bertanya.“Iya, cuma mau ambil berkas ini aja. Assalamualaikum.” Faruq keluar bertepatan saat Zia akan masuk.Zia melirik sekilas. Pria itu sama sekali tidak m
Zia ingin sekali menimpali perkataan tersebut, tetapi ia menahan diri. Sebagai pendatang baru, wanita itu tidak mau membuat masalah. Baru datang, tidak mungkin langsung baku hantam.“Anis, Zia akan sekamar sama kamu. Tolong nanti kamu tunjukkan dan temani dia. Zia baru lahiran cesar dan ada luka jahitan di dadanya. Jadi, seperti biasa kalian harus saling bantu.” Suara Dewi mengalihkan atensi Zia. Wanita yang dipanggil Anis mengangguk. Anis adalah orang sama yang bergosip tidak sedap tentang Zia tadi.‘Aku harus meningkatkan stok kesabaran sebab sekamar dengan orang yang sepertinya tidak menyukaiku. Ah, semoga nggak ada masalah ke depannya.’ Zia membatin.“Sekarang, kalian boleh bekerja lagi. Zia, ayo ikut saya. Saya tunjukkan kamarmu. Nis, minta tolong bawakan tas Zia, ya?”Anis mengangguk dengan sedikit keterpaksaan di raut wajahnya.Dewi kembali berjalan menuju kamar ketiga dari tempatnya berdiri. Ia lalu masuk diikuti Zia.“Istirahatlah. Ini kasurmu. Selama masa nifas dan lukamu be
Zia mengikuti arah pandangan Anis. Di sana, Faruq terlihat berdiri bersisian dengan seorang wanita cantik.Kening Zia berkerut. Bukan karena tidak suka melihat sang dokter bersama wanita lain karena itu tidak mungkin, tetapi heran melihat anaknya digendong pria berperawakan tinggi tersebut. Jika dilihat, Faruq, wanita itu, dan Fariz tampak seperti keluarga bahagia.“Masyaallah, cantik banget calon istrinya Pak Faruq,” ujar Zia sungguh-sungguh.“Ayo, Mbak. Ke sana.” Zia kembali mengajak.Zia berbaur dengan teman yang lain. Namun, dari arah lain ada yang memanggilnya.“Zi, sini!”Zia menoleh. Ada Farah yang melambaikan tangan. Tanpa pikir panjang, Zia mendekat.“Kenalkan, ini Latifa, Akmal, dan Afandi. Mereka juga orang yang ikut menolongmu waktu itu.” Farah memperkenalkan mereka.Zia menyatukan kedua tangan di depan dada, lalu mengangguk ke arah mereka.“Terima kasih atas pertolongannya. Saya berhutang nyawa dengan kalian semua,” ujar Zia.“Sama-sama. Kami hanya perantara, tangan kedua
Di dalam kamar mandi, Zia bingung harus apa. Jika menunggu dua orang itu selesai bicara, takut nanti Fariz rewel karena kelaparan. Namun, jika tetap keluar mereka berdua pasti merasa tidak enak karena ketahuan membicarakannya. Setelah berpikir beberapa saat, Zia tetap keluar dan menampakkan diri di hadapan Latifa dan Afandi. “Mari, Mas, Mbak,” sapa Zia sambil berlalu. Ia tidak sempat melihat wajah dua orang itu. Padahal kalau mau melihat, keduanya seperti maling yang tertangkap basah telah mencuri. Zia langsung menuju kamar dan benar saja, Fariz menangis kencang dalam gendongan Yuli. “Maaf, Mbak Yul. Agak lama. Soalnya masih ke kamar mandi dulu,” ujar Zia dengan penuh rasa bersalah. “Nggak apa-apa. Cuma Fariz udah lapar banget kayaknya.” Yuli meletakkan Fariz di ranjang dan Zia berbaring di samping sang putra. Fariz masih menangis kencang hingga Zia kewalahan menenangkan. “Cup, anak ganteng nggak boleh nangis. Iya, maafin Ibu. Ibu salah,” bisik Zia. Sementara Fariz belum mau me
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z