Hayo, kira-kira Faruq mau nggak?
“Nyari apa, Zi? Ada yang hilang?” Suatu sore, Yuli bertanya saat melihat Zia mengobrak-abrik tas.“Nyari kertas, Mbak. Di sana tertulis nomor seseorang. Tapi aku lupa naruh mana.” Zia terus mencari dari tas sampai lemari. Namun, secarik kertas yang terdapat nomor perawat rumah sakit waktu itu tidak ada.“Oh, aku kira ada barang penting yang ilang. Uang misalnya.”“Mana ada uang aku, Mbak. Mode fakir miskin ini. Tapi bahkan ini lebih penting dari uang, sih.” Zia tertawa di sela tangannya yang sibuk.“Mau aku bantu nyari?”Zia mengangguk.Sayang seribu sayang, sampai lelah mencari, barang yang dicari tidak kunjung ditemukan.“Penting banget nomornya?” tanya Yuli.Zia mengangguk. “Ada nomor perawat rumah sakit. Dulu, aku pinjam akun Messe*gernya buat hubungi temanku. Nah, tersambung. Temanku janji mau datang. Takutnya pas aku dibawa ke sini, dia datang. Kali aja ada kabar dari temanku itu. Rencananya, aku mau hubungi perawat itu pinjam ponsel Mbak Yuli.”“Gitu aja dibuat rumit. Nih, paka
“Maksud Mbak Anis apa ngomong gitu? Siapa yang menggoda?” tanya Zia tidak terima. Fariz dari tadi rewel. Wanita itu lekas meng-ASI sang putra sambil berbaring di ranjang.“Nggak ada maksud apa-apa. Cuma mengingatkan saja karena dari gelagatmu kamu suka sama beliau.” Anis berbicara tanpa beban.“Astagfirullah, Mbak. Demi Allah tudahan Mbak itu nggak beralasan. Aku sudah ditolong, ditempatkan di sini aja udah bersyukur, nggak berani macem-macem. Mbak, apa aku terlihat menggoda beliau? Mepet beliau? Astagfirullah, sungguh tuduhanmu sangat menyakitkan, Mbak.” Zia menunduk, menatap Fariz yang menyusu dengan kuat.Hanya beberapa hari merasakan kedamaian, sekarang muncul pemikiran orang lain yang membuatnya tidak tenang. Belum lagi ucapan Faruq barusan.“Dia itu duda, takut timbul fitnah dan–” Ucapan Anis terpotong karena ada Yuli yang masuk sambil membawa botol air minum.“Ya sudah, aku keluar dulu.” Anis pamit. Sementara Zia mengembuskan napas panjang dan meraup wajahnya dengan tangan. Di
Zia memicing tajam ke arah Faruq. “Apa hubungannya dengan Fariz?” “Ada, lah. Dia korbannya, jadi dia berhak tahu siapa yang mencelakakannya.” Zia tertawa sumbang. “Pak, anak saya masih bayi. Dikasih tahu pun, dia nggak akan paham. Jadi, jangan sangkutpautkan dia dengan masalah ini demi alasan konyol apa pun.” Faruq membuang napas panjang. “Padahal syarat saya sangat simpel. Saya hanya ingin melihatnya, tidak membawanya atau sampai menculiknya. Tapi kayaknya membawa Fariz ke sini saja lebih berat ketimbang mengetahui siapa pelakunya.” Dengan santai, Faruq mengeluarkan ponsel dari saku dan menggulirnya asal. Ia mengabaikan tatapan maut Zia di hadapannya. “Kenapa, sih, Bapak sampai segitunya sama anak saya? Apa ada alasan tertentu?” Zia yang sudah tidak bisa menahan diri akhirnya bertanya. “Daripada sama ibunya yang galak ini, mending nyari anaknya, kan?” jawab Faruq santai. Dengan perasaan kesal, Zia bangkit. Ia meninggalkan Faruq yang diam-diam tersenyum penuh kemenangan. Zia k
“Ka-kamu ngapain di sini, Bang?” Rosa tergagap. Satria berjalan mendekati sang istri sambil menyeringai. “Sudah kuduga kamu yang telah menculik Nilna!” Wajah Rosa pias karena ketakutan, tetapi ia kemudian tertawa. “Dan sudah kuduga pula kalau Abang yang telah merebutnya dari orang suruhanku dulu.” Sudah tertangkap basah, Rosa berpikir sekalian saja sama-sama terungkap. “Memang lak*nat kamu ini, Ros! Sekarang di mana Nilna!” Satria mencekal pipi mulus Rosa dengan satu telapak tangan. “Bang, lepas!” Rosa berteriak dengan susah payah. Sebuah cakaran kuku tajam Rosa di lengan Satria, membuat pria itu akhirnya melepaskan tangannya. "Dia mungkin sudah di neraka." Rosa kembali terbahak-bahak. "Rosa, jahana* kamu! Katakan kamu sembunyikan di mana Nilna, hah!" Tangan Satria terangkat, tetapi urung mendarat di pipi sang istri. "Apa? Mau nampar? Ayo lakukan!" Satria bergeming. Perlahan, tangannya turun. "Kamu berubah, Bang. Dulu saat masih pacaran, kamu begitu manis. Tapi sekarang kamu
“Tumben Fariz rewel sampe segininya, Zi.” Yuli mencoba membantu Zia menenangkan Fariz.“Entahlah, Mbak. Aku juga bingung. Mungkin dia mimpi buruk atau apa, tiba-tiba bangun kayak terkejut. Lalu ngereog kayak gini,” jawab Zia.“Lepas semua bajunya coba. Barangkali ada semut atau hewan yang gigit tubuhnya.” Yuli memberi saran. Zia menurut.Fariz diletakkan di ranjang karena sebelumnya ada di pangkuan Zia. Bayi itu tambah kencang menangis. Saat semua baju sudah terlepas, nyatanya tidak ada apa-apa. “Udah, dong, Sayang. Nggak capek nangis terus?” Zia berbaring, mencoba menyusui Fariz setelah baju kembali terpasang. Akan tetapi, bayi itu tetap mempertahankan suara kencangnya, enggan menyusu.“Sini biar aku gendong.” Yuli pun menggendong dan membawa Fariz keluar kamar.Zia sudah lelah dan menyerah. Ia membiarkan sang putra dibawa Yuli.“Entah apa yang terjadi denganmu, Nak. Semoga ini bukan pertanda buruk, hanya pertanda kamu akan bertambah pintar,” gumam Zia.Suara tangis Fariz sudah tida
“Apa! Kamu buta, Bang? Ruangan ini sangat terang!” Rosa masuk bertepatan saat Satria mengeluhkan penglihatan. Rosa menaik-turunkan tangannya di depan wajah Satria. Satria tidak bereaksi hingga akhirnya menimpali ucapan sang istri. “Rosa, kamukah itu?” “Iya! Walaupun kita sedang perang dingin, kita masih suami istri. Jadi, aku masih peduli sama kamu.” Samira membuang muka sambil mencebik saat mendengar penuturan Rosa. Selama Satria di rumah sakit, Rosa sangat jarang datang. Hanya dua kali, itu pun tidak lama. Justru Samira yang tidak pernah pulang demi menunggui sang kakak. “Sebentar, ya, Bang. Aku ke perawat jaga dulu. Mau laporan Abang udah sadar.” Samira bangkit, lalu berjalan cepat keluar ruang inap. Rosa mengembuskan napas panjang. Ia menatap malas keadaan Satria yang memprihatinkan. Wajah Satria masih lebam dan membiru akibat benturan. Juga beberapa perban membalut tubuhnya. Wanita bergaun abu-abu itu lalu duduk di kursi. “Ini namanya karma, Bang. Kamu kena karma karena uda
“Abang! Jangan buat aku takut!” Samira berteriak. Satria menggerakkan tangan, kode ia baik-baik saja. “Abang nggak apa-apa, Ra. Hanya sedikit sesak.” “Jangan mikir terlalu keras dulu. Ambil napas panjang, lalu keluarkan perlahan. Ayo coba.” Samira memberi instruksi. Satria menurut. Ia melakukan apa yang diperintahkan sang adik. Samira memerintah hingga beberapa kali sampai Satria sedikit tenang. Setelah tenang, Samira mengambil botol air mineral dan meminumkannya kepada Satria melalui sedotan. “Udah tenang?” Satria hanya terpejam dengan napas yang sudah mulai teratur. “Abang rindu sama Kak Nilna?” Samira bertanya. Gadis itu jelas mendengar apa yang digumamkan oleh kakaknya. Satria mengangguk. “Temukan Kak Nilna-mu, Ra. Abang ingin berlutut minta maaf ke dia.” “Insyaallah aku akan berusaha mencarinya. Abang fokus saja untuk pengobatan. Semangatlah sembuh demi Kak Nilna kalau Abang beneran menyesal pernah melukainya.” “Ra, maaf kalau nanti Abang akan sangat merepotkan.” “Kita
Dari postingan Lukman, Zia ganti men-scrool beranda Anggi dan menemukan postingan serupa yang intinya merindukan dirinya, berharap Zia lekas diketemukan. Di postingan itu, kadang ada inisial dirinya, kadang tidak. Namun, Zia tahu itu untuknya.[Alhamdulilah, akhirnya menemukan titik terang.] Itulah postingan terakhir Anggi dan setelah itu tidak ada postingan lagi.“Kamu oke, Na?” tanya Yuli sambil mengelus lengan Zia saat mengetahui wanita itu menangis.“Aku oke, Mbak. Hanya sedikit terharu saat ada orang yang masih khawatir denganku. Di antara beberapa orang yang tidak suka, setidaknya ada dua orang yang cukup peduli.” Zia menghapus air matanya.“Ya udah, sana kabari kalau kamu selamat dan dalam keadaan sehat.”Zia mengangguk dan mulai mengirim pesan kepada Lukman.“Assalamualaikum. Mas Lukman, ini aku Nilna Fauziah. Tolong sampein ke Anggi aku mencari dan butuh bantuannya. Tolong suruh hubungi akun Faceb**k atau Mess**er akun ini. Aku butuh berkas pentingku buat ngurus akte anakku.”
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z