Selamat pagi. Bagaimana puasanya hari ini? Semoga masih diberi kelancaran. Terima kasih sudah membuka bab ini. Ditunggu ulasan, gem, dan komen untuk Nilna. Terima kasih.
Faruq menunggu dengan harap-harap cemas di ruangan Dokter Ardi. Sementara rekannya itu masih berada di kamar mandi setelah menyambutnya tadi.Beberapa saat kemudian, dokter muda itu kembali.“Saya harus melakukan apa memangnya, Dok?” tanya Faruq langsung setelah Ardi masuk ruangan.Ardi hanya tersenyum simpul.“Sabar, Brother. Kita jarang ketemu, sekali ketemu bolehlah kita ngobrol dulu."Faruq hanya menggeleng, ikut tersenyum.“Wanita yang kamu temukan itu wanita ajaib menurut saya.” Ardi mengambil cangkir. Ia menuangkan kopi dan gula, kemudian menyeduhnya dengan air panas dari termos kecil. Diberikan satu untuk Faruq, satu untuknya sendiri."Terima kasih. Ajaib? Maksudnya?"Faruq menerima sambil menunggu perkataan Ardi selanjutnya.“Saya berkata demikian sebab kamu harus tahu karena kamu yang bertanggung jawab atas dia."Ardi mengambil napas sebelum melanjutkan. "Saat dioperasi, banyak sekali drama. Wanita itu sempat mengalami henti jantung saat bayi belum dikeluarkan. Setelah berji
“Apa? Ibu anfal?” teriak Satria setelah mendengar kabar dari sang adik.“Kemarilah sekarang kalau Abang masih nganggap ibu orang tua. Tapi kalau hati Abang udah nggak peduli, terserah mau apa.” Samira pun mengakhiri panggilan.“Halo, Ra. Ibu di rumah sakit mana?” Pertanyaan Satria sudah tidak mendapatkan respons. Pria itu lantas mengirim pesan kepada sang adik agar mengirim shareloc.Tergesa-gesa Satria mengambil kunci mobilnya di atas nakas. Setelah kunci di tangan, ia lekas melangkah. Namun, langkahnya terhenti karena Rosa mencekal tangannya.“Mau ke mana, Bang?” tanya Rosa parau.“Ibu sakit. Aku harus pergi sekarang.”“Bukankah Ibu emang sakit? Di sini ajalah, Bang. Temeni aku tidur.” Rosa terus merengek.Satria menepis kasar tangan Rosa.“Gara-gara kamu mematikan ponselku, Samira sampai nggak bisa menghubungiku,” desis Satria.“Kok, Abang jadi nyalahin aku? Aku lakuin itu biar kita bisa nikmati waktu berdua. Kalau ibumu sakit, ada Samira yang bisa ngurus, 'kan? Lalu masalahnya di
“Apa-apaan ini?” teriak Satria saat mengetahui pemuda itu ternyata bukan orang yang tepat dimintai tolong. Bukan menolong, malah menodong. "Angkat tangan!" bentak pemuda itu sambil menempelkan pisau tepat di leher Satria. Sedikit saja Satria bergerak, mata pisau siap membuka jalan darah menetes. Satria menurut. Ia mengangkat kedua tangan. “Cepat serahkan barang berhargamu atau nyawamu melayang!” bentak pemuda itu lagi. “Saya akan melaporkanmu ke polisi kalau sampai berani macam-macam!” desis Satria. “Iya kalau kamu masih hidup. Kalau sudah mati? Kamu bisa apa?” Pisau makin menempel dengan leher Satria. Beberapa saat kemudian, teman-teman pemuda tadi datang. Mereka mengepung Satria. “Serahkan cepat atau nyawamu melayang cuma-cuma di tangan kami!” gertak mereka. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Satria mulai ketakutan. Pria itu mengambil dompet dan ponsel dari saku, lantas menyerahkan kepada mereka. Lebih baik kehilangan harta daripada kehilangan nyawa. Salah satu pemuda mencekal pe
“Beliau meninggal dunia, Pak.” Suara perawat itu laksana desing peluru yang terdengar berulang-ulang di telinga Satria. Peluru yang mengoyak telinga, menembus dada dan sejenak menghentikan dunianya untuk sesaat. “Jangan bercanda, Sus!” bentak Satria. “Pak, kami tidak pernah bercanda untuk urusan kesehatan apalagi nyawa! Silakan hubungi keluarga Bapak untuk memastikan kalau tidak percaya!” Petugas itu geram. Satria antara percaya dan tidak percaya dengan apa yang didengar. “Meninggal dunia?” Satria mengulang pertanyaan. Petugas hanya mengangguk. Bahu Satria terkulai. Ia berjalan gontai menuju kursi dan terduduk di sana. Pria itu lantas menyugar rambut frustrasi. Bibir pria itu terus bergumam kata ‘meninggal.’ “Ibu,” ujarnya lirih. Untuk beberapa saat, Satria merasa linglung. Kakinya terlalu lemas digunakan berjalan atau berlari pulang. Tubuh yang sakit semua, ditambah kabar yang membuat sebak di dada, membuatnya kehilangan kekuatan. Terengah-engah pria itu mencoba mengumpulkan t
Bahu Samira naik-turun menahan amarah. Tangannya mengepal kuat. Gadis itu lalu bangkit dan menatap kakak iparnya tajam.“Ngomong apa barusan? Coba ulangi lagi,” desis Samira.“Kamu nggak becus jaga ibu. Harusnya kamu bisa bertindak cepat. Bawa ke rumah sakit, kek. Kasihan ibu akhirnya meninggal. Ibu!” ujar Rosa drama sambil menangis buaya. Ia duduk di samping jasad sang ibu mertua.“Oh, kalau aku nggak becus, berarti Kak Rosa sama. Kakak juga nggak becus jaga mama Kakak sendiri. Kakak biarin malaikat maut nyabut nyawanya. Dasar anak nggak guna,” sindir Samira.Rosa meradang. Ia lalu berdiri di hadapan Samira tepat.“Beda. Mamaku meninggal karena memang waktunya. Dia juga koma. Kalau ibu, meninggal karena tekanan batin mikirin kelakuan mantan menantunya. Eh, udah gitu anak gadisnya kurang gercep bawa ke rumah sakit. Adudududu.”Tangan Samira terangkat cepat dan hendak dilayangkan ke pipi Rosa. Namun, keburu dicekal oleh Satria sebelum mendarat di pipi mulus Rosa.Samira memandang sang
“A-apa! Kamu menalakku, Bang?”Satria masih menatap tajam tepat di mata sang istri. “Ya, aku sudah menyerah dengan pernikahan kita. Aku sudah tidak bisa lagi membuatmu menjadi istri, menantu, dan kakak ipar yang baik. Aku gagal membimbingmu.”“Aku salah apa lagi, hah?”Satria mencekal pergelangan tangan sang istri dan berjalan cepat. Ia tidak mau bertengkar di samping jenazah ibunya. Mau tidak mau, Rosa mengimbangi langkah lebar Satria dengan kesusahan. Dengan sedikit menyeret, Satria membawa istrinya itu ke teras belakang. Begitu tiba, tubuh Rosa disentak lumayan kuat hingga wanita itu hampir saja terjatuh.“Kamu selalu bertanya apa salahmu. Sekarang aku kasih tahu. Kamu tidak bisa mengurusku, ibuku, dan adikku. Kamu egois, tidak punya empati, wanita ular dan yang terakhir, kamu pembun*h! Kamu telah membunuh ibuku!” bentak Satria.“Bang, aku bukan pembantu yang berkewajiban ngurus kalian! Dan aku bukan pemb*nuh. Salahkan adikmu sendiri yang manja, nggak becus nyelametin ibunya!”Tang
“Apa benar yang dipikirkan Mak Umi?” Satria membatin. “Mak, untuk saat ini ibu lebih utama. Saya akan mengesampingkan sejenak masalah Rosa. Tolong Mak urus dia dulu, ya. Nanti kalo sudah selesai, baru saya temui dia. Saya mau mengantar ibu ke peristirahatan terakhirnya dulu,” pinta Satria kepada Umi. Pikirannya benar-benar dipenuhi masalah. “Baik, Mas.” Satria berbalik, namun urung melangkah sebab suara Umi kembali menginterupsi. “Mas kenapa bisa babak-belur seperti ini? Mau Mak obati dulu?” Satria kembali memandang Umi seraya menggeleng. “Terima kasih, Mak. Nggak perlu. Luka ini nggak sebanding dengan luka kehilangan ibu.” Ada getar kesedihan mendalam dalam tutur itu. Umi bisa merasakannya. Sementara Satria terenyuh. Bahkan adik dan istrinya tidak bertanya perihal lebam itu. Justru orang lain yang peduli. Satria kembali membaur dengan pelayat yang siap membawa Maya ke tempat peristirahatan terakhir. Hanya menunggu rumah masa depan selesai digali. “Abaaang!” Lengkingan suara te
Satria mengerjap saat merasakan keningnya terasa hangat. Perlahan, ia membuka mata dan meraba dahi. Ada handuk yang menempel di sana.Beberapa saat kemudian, seorang wanita masuk membawa nampan yang berisi makanan.“Ra.” Satria memanggil. Samira tidak menyahut. Ia membantu sang kakak duduk meski tidak sedikit pun mulutnya bersuara.Sedikit demi sedikit, Samira menyuapi sang kakak. Satria menurut meski ia sedikit memicing dengan kelakuan adiknya. Semarah apa pun, Samira tetap peduli. Demam pria itu masih sangat tinggi.“Kamu yang gantiin baju Abang?” tanya Satria. Ia ingat, terakhir ia masih memakai baju koko dan pulang hujan-hujanan dari makam. Sementara sekarang bajunya sudah ganti.Samira tetap diam.Bukan Samira yang melakukannya, tetapi ia meminta tolong seorang pria sedang melayat sekaligus orang yang ikut membopong Satria menuju kamar. Baju basah Satria diganti dengan sarung dan kaus oblong yang kering.“Ra, jangan diam terus. Abang minta maaf.” Satria terus mengoceh sambil meng
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z