Satria harap-harap cemas. Ia kembali menatap sang istri yang terpejam tengah menikmati gelombang surgawi. Istrinya itu tidak bereaksi apa-apa. “Syukurlah, sepertinya dia tidak mendengar. Bisa habis aku kalau sampai dia dengar.” Satria membatin. Setelah saling mendaki puncak bukit kenikmatan, keduanya terkulai lemas karena kelelahan. Setelah itu, mereka terpejam, mengunjungi pulau impian. ** Hingga malam, Rosa sengaja mematikan ponsel sang suami. Satria tidak sadar jika ponselnya dimatikan. Yang pria itu tahu, Rosa yang membawanya. Rosa selalu mengalihkan perhatian Satria jika ingin memeriksa ponselnya. “Yang, kita dinner, yuk,” ajak Rosa malam harinya. “Kamu sendiri aja.” “Astaga, kamu tega nyuruh aku nyari makan sendiri?” “Mana ponselku? Kali aja ada pesan penting,” balas Satria, mengabaikan protes sang istri. “Eits, nggak bisa. Aku sudah bilang malam ini kamu milikku. Lagi pula, aku udah lihat dan nggak ada yang penting. Jadi, ponselnya aku sita dulu. Nggak boleh protes.” R
Sementara di malam yang sama di belahan bumi lain.Setelah tiga penculik itu berkeliling mencari tempat yang pas untuk menghabisi Nilna, akhirnya diputuskan di satu tempat yang sudah disepakati.Tubuh lemas Nilna siap dieksekusi di sebuah hutan malam itu. Para penculik itu sengaja memilih malam hari agar kemungkinan dipergoki orang minim.Saat Nilna sadar dari pengaruh bius ketika di perjalanan, mereka akan membiusnya lagi sampai tubuh Nilna benar-benar lemas. Mereka sudah sangat jauh dari Yogyakarta. Tepatnya sudah berada di daerah Jawa Timur.“Kita eksekusi dengan cara apa nanti?” Para penjahat itu berdiskusi. Mereka masih menunggu keadaan sepi untuk mengeluarkan Nilna dari mobil.“Tu*suk perutnya biar bayinya ikut mati!!”“Jangan. Jantungnya langsung saja biar langsung mokat.”“Jangan, Bego. Gor*k aja lehernya.”Mereka terus berdebat.“Jantungnya aja langsung udah. Kalo lainnya, takutnya nggak mati-mati atau malah selamat. Kita juga yang repot.”“Iya, ya. Ya udah. Langsung jantungn
Nilna benar-benar sudah pasrah meski rasa penasarannya belum terjawab. Sekarang, ia benar-benar lemah. Sekadar berteriak seperti sebelumnya pun tidak kuasa. Ujung benda tajam itu seolah-olah menari-nari siap mengajak Nilna berpesta. Pesta menyambut kematian. Nilna terpejam, menanti saat-saat eksekusi mati dilakukan para penjahat tersebut. Di pikirannya hanya ada nama Tuhannya yang berkuasa penuh. “Allah,” gumam Nilna sangat lirih. Yang terlihat hanya bibirnya saja yang bergerak. Dengan tangan gemetar, pria yang mengeksekusi, mulai menekan dada Nilna dengan pisau. Darah segar seketika keluar dari sana. “Dia sudah sangat lemah, sebentar lagi juga ma*ti kehabisan darah. Semoga suara orang tadi tidak kembali.” Penjahat yang mengeksekusi berujar. “Cepet foto buat bukti ke bos! Setelah ini kita kabur!” Pria yang tadi memegangi kaki, mengambil ponsel dari saku dan memfoto kondisi Nilna. Cadar Nilna disingkap untuk membuktikan eksekusi sesuai target yang diinginkan bos mereka. “Pastikan
“Lakukan apa pun yang terbaik untuknya. Saya yang akan bertanggung jawab untuk biaya dan lain-lainnya.”“Begini, Pak. Luka tusuk di dadanya lumayan dalam. Entah melukai organ atau tidak, masih dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Kalau perlu dilakukan operasi, akan dioperasi. Kalau tidak, hanya akan dijahit saja. Untuk bayinya juga harus segera dikeluarkan dengan cara operasi. Bayinya makin melemah detak jantungnya. Begitu kata Dokter tadi,” jelas perawat tersebut.“Lakukan, Sus.”“Baiklah, secepatnya akan kami siapkan ruang operasi agar lekas ditangani. Tapi sebelumnya, kami perlu tanda tangan persetujuan tindakan untuk pasien. Mari ikut saya, nanti biar dijelaskan lagi atau mungkin ada yang ingin ditanyakan kepada Dokter.”“Ya.” Faruq mengekor di belakang perawat tersebut.Faruq diarahkan masuk ke ruangan dokter. Pria itu menunggu untuk beberapa saat hingga kemudian seorang dokter datang.“Begini, Pak. Kondisi pasien bisa dibilang kritis. Ada luka tusuk dan dia hamil besar. Kami suda
Faruq merasa dejavu dengan semua ini. Kejadian sekarang mengingatkannya dengan beberapa tahun silam. Pria itu berusaha menguasai diri, enggan larut dengan masa lalu. Ia akhirnya mengekor para tenaga medis yang membawa Nilna. Pria berkemeja navy tersebut berhenti saat pintu ruang operasi ditutup. Diempaskannya tubuh di kursi.Faruq dan rombongan selesai melakukan dinas kerja di Jawa Tengah. Ban mobil yang mereka tumpangi mendadak kempes di tengah jalan hutan jati daerah perbatasan Nganjuk Madiun, jauh dari permukiman warga. Mereka terpaksa berhenti dan mengganti ban mobil. Saat akan kembali melakukan perjalanan, Faruq tiba-tiba ingin buang air kecil dan tidak bisa ditahan lagi. Berbekal botol minum yang sudah habis, ia berjalan agak masuk ke hutan dengan ditemani Akmal. Botol itu untuk jaga-jaga kalau tidak ada sungai.Sebagai seorang yang beradab dan berpendidikan, Faruq tidak mungkin membuang hajatnya begitu saja di bawah pohon. Ia mencari sungai dan ternyata makin masuk, tetap tidak
“A-apa? Pendarahan?” Faruq memastikan. Setelah kehilangan banyak darah dari luka tu*sukan, sekarang pendarahan? Faruq benar-benar iba dengan wanita asing itu. “Iya. Sekarang kami sangat butuh transfusi darah untuk pasien. Mana, Pak?” tanya perawat itu lagi. “Ini, Sus. Dia saudara saya, kebetulan darahnya sama dengan Mrs. X.” Latifa menyahut. Ia berjalan cepat menghampiri Faruq dan perawat tersebut. Latifa menunjuk Alfian. “Baiklah, mari ikut saya, Pak. Kami membutuhkan darah Bapak sekarang juga.” Alfian mengangguk. Ia berjalan cepat di belakang perawat untuk melakukan donor darah. Faruq terduduk di kursi. Entah mengapa, ia merasa gagal menyelamatkan nyawa seseorang. “Kalau dia dan anaknya tidak selamat, maaf, ya, Bu. Sebab saya sudah merepotkan Ibu dan teman-teman,” ujar Faruq. “Ish, jangan bilang gitu, Pak. Kita juga tenaga medis. Membantu orang adalah kewajiban kita, menyelamatkan nyawa orang semampunya adalah tugas kita. Lagian, kenapa Bapak bilang merepotkan?” “Saya yang me
Faruq menunggu dengan harap-harap cemas di ruangan Dokter Ardi. Sementara rekannya itu masih berada di kamar mandi setelah menyambutnya tadi.Beberapa saat kemudian, dokter muda itu kembali.“Saya harus melakukan apa memangnya, Dok?” tanya Faruq langsung setelah Ardi masuk ruangan.Ardi hanya tersenyum simpul.“Sabar, Brother. Kita jarang ketemu, sekali ketemu bolehlah kita ngobrol dulu."Faruq hanya menggeleng, ikut tersenyum.“Wanita yang kamu temukan itu wanita ajaib menurut saya.” Ardi mengambil cangkir. Ia menuangkan kopi dan gula, kemudian menyeduhnya dengan air panas dari termos kecil. Diberikan satu untuk Faruq, satu untuknya sendiri."Terima kasih. Ajaib? Maksudnya?"Faruq menerima sambil menunggu perkataan Ardi selanjutnya.“Saya berkata demikian sebab kamu harus tahu karena kamu yang bertanggung jawab atas dia."Ardi mengambil napas sebelum melanjutkan. "Saat dioperasi, banyak sekali drama. Wanita itu sempat mengalami henti jantung saat bayi belum dikeluarkan. Setelah berji
“Apa? Ibu anfal?” teriak Satria setelah mendengar kabar dari sang adik.“Kemarilah sekarang kalau Abang masih nganggap ibu orang tua. Tapi kalau hati Abang udah nggak peduli, terserah mau apa.” Samira pun mengakhiri panggilan.“Halo, Ra. Ibu di rumah sakit mana?” Pertanyaan Satria sudah tidak mendapatkan respons. Pria itu lantas mengirim pesan kepada sang adik agar mengirim shareloc.Tergesa-gesa Satria mengambil kunci mobilnya di atas nakas. Setelah kunci di tangan, ia lekas melangkah. Namun, langkahnya terhenti karena Rosa mencekal tangannya.“Mau ke mana, Bang?” tanya Rosa parau.“Ibu sakit. Aku harus pergi sekarang.”“Bukankah Ibu emang sakit? Di sini ajalah, Bang. Temeni aku tidur.” Rosa terus merengek.Satria menepis kasar tangan Rosa.“Gara-gara kamu mematikan ponselku, Samira sampai nggak bisa menghubungiku,” desis Satria.“Kok, Abang jadi nyalahin aku? Aku lakuin itu biar kita bisa nikmati waktu berdua. Kalau ibumu sakit, ada Samira yang bisa ngurus, 'kan? Lalu masalahnya di
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z