“BRRAAKK!”
"Selamat datang, pahlawan," Ucap Gandorf dengan suara penuh harapan. "Kau adalah pahlawan yang kami panggil. Dunia ini membutuhkanmu, dengan kekuatanmu yang unik untuk membersihkan kegelapan yang melanda kami." Tohawi terbangun dengan rasa sakit yang menyebar di seluruh tubuhnya. Ia mendapati dirinya terbaring di lantai marmer dingin di sebuah ruangan besar dengan dinding berukir dan jendela kaca berwarna. Tohawi berdiam diri sejenak lantas ia segera menyadari bahwa ia telah jatuh dari langit-langit bangunan yang seperti istana, seperti yang diharapkan oleh para penyihir. Dengan susah payah, ia bangkit berdiri, memegang punggungnya yang nyeri. Di sekelilingnya, para penyihir berdiri dengan ekspresi terkejut dan merasa kecewa. Di tengah mereka, Gandorf, penyihir tua yang memimpin pemanggilan, menatap Tohawi dengan campuran kebingungan dan kekecewaan. "Huh! Apa-apaan ini? Kenapa aku harus jatuh dari langit-langit, aku pikir pemanggilaku akan keren." Tohawi berteriak dengan marah. "Kalian memanggilku dari dunia lain hanya untuk membuatku jatuh dari langit-langit? Apa ini semacam lelucon?" Para penyihir lainnya berdecak dan saling memandang dengan wajah jijik. Mereka tidak percaya bahwa pahlawan yang dipanggil menunjukkan rasa tidak sopan seperti itu. Seorang penyihir muda dengan rambut keperakan berbisik pada temannya, "Cih, dia tidak seperti yang kita harapkan. Di mana rasa sopan santunnya?" Gandorf mengangkat tangan untuk menenangkan para penyihir lainnya, kemudian menatap Tohawi dengan mata yang penuh pengertian namun tegas. "Tohawi, kami tidak bermaksud membuatmu terjatuh seperti itu. Proses pemanggilan bisa menjadi tidak stabil dan tak terduga. Kami memanggilmu karena kami membutuhkan bantuanmu, dan kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini." Namun, Tohawi tidak merasa terhibur. "Ketidaknyamanan? Aku dipanggil ke dunia ini tanpa peringatan, jatuh dari langit-langit, dan sekarang kalian semua menatapku seperti aku adalah sesuatu yang menjijikkan. Apa kalian pikir ini mudah bagiku?" Seorang penyihir tua lainnya dengan janggut panjang dan alis tebal, yang berdiri di dekat Gandorf, menggelengkan kepala dengan keras. "Kami membutuhkan seorang pahlawan yang memiliki kekuatan dan keberanian, bukan seseorang yang mengeluh pada kesempatan pertama. Mungkin kita telah membuat kesalahan." Tohawi merasakan darahnya mendidih mendengar kata-kata itu. Ia mengingat semua kesulitan yang ia alami di dunianya, bagaimana ia selalu berusaha tetap positif meskipun hidupnya penuh dengan kemalangan. Namun, di sini ia merasa diperlakukan tidak adil. "Kesalahan? Mungkin aku memang bukan seperti yang kalian harapkan, tapi aku juga tidak meminta untuk dipanggil ke sini," jawab Tohawi dengan suara yang bergetar karena marah dan frustrasi. "Jika kalian ingin aku membantu, setidaknya perlakukan aku dengan sedikit rasa hormat." Gandorf menghela napas panjang, menyadari bahwa mereka telah memulai dengan cara yang buruk. "Tohawi, kami minta maaf. Kami mengerti bahwa ini semua sangat mengejutkan dan tidak adil bagimu. Namun, dunia ini benar-benar membutuhkan bantuanmu. Ancaman dari Raja Kegelapan, Asmodeus, semakin dekat dan kami butuh seseorang dengan keberanian dan tekad untuk melawannya." Tohawi menatap Gandorf, merasakan campuran emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia tahu bahwa dunia ini mungkin membutuhkan bantuannya, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan perasaan marah dan tersinggungnya. "Baiklah," kata Tohawi akhirnya, dengan nada yang lebih tenang namun tetap tegas. "Aku akan membantu, tapi ingatlah, aku tidak akan diperlakukan seperti ini lagi. Jika kalian benar-benar membutuhkan bantuanku, maka perlakukan aku dengan rasa hormat yang layak." Gandorf mengangguk dengan serius. "Itu janji kami. Kami akan memastikan kau diperlakukan dengan layak dan diberi kesempatan untuk menunjukkan kemampuanmu. Terima kasih, Tohawi, atas kesediaanmu untuk membantu kami." Tohawi pun kembali tenang dan berpikir dengan baik, seketika Tohawi merenungkan sesuatu. Sontak Tohawi meneggakkan tubuhnya dan berkata “Maafkan aku semuanya, atas pemandangan yang memalukan ini.” Dengan kata-kata itu, ketegangan di ruangan mulai mereda. Para penyihir lainnya, meskipun masih tampak ragu, mulai menerima kehadiran Tohawi dengan lebih terbuka. Mereka menyadari bahwa pahlawan yang mereka panggil mungkin berbeda dari yang mereka harapkan, tetapi ia mungkin memiliki kualitas yang lebih berharga dari yang terlihat pada pandangan pertama. Setelah ketegangan awal mereda, suasana di ruang pemanggilan mulai berangsur-angsur tenang. Tohawi berdiri dengan sedikit lebih nyaman meskipun tubuhnya masih terasa nyeri akibat jatuh dari langit-langit. Tiba-tiba, pintu besar di ujung ruangan terbuka, dan seorang pria paruh baya dengan jubah kerajaan yang megah melangkah masuk. Semua penyihir langsung memberi hormat, dan Tohawi menebak bahwa ini pasti Raja Kerajaan. Raja Alden berjalan mendekati Tohawi dengan senyum hangat di wajahnya. Ia adalah sosok yang tinggi dan gagah, dengan rambut perak yang memancarkan wibawa serta mata biru yang penuh dengan kebijaksanaan. "Ah, kau pasti pahlawan," kata Raja Alden dengan suara lembut namun penuh otoritas. "Selamat datang di Kerajaan Solaria. Aku adalah Raja Alden. Aku dengar kau mengalami pemanggilan yang cukup tidak menyenangkan." Tohawi mengangguk, masih merasa sedikit bingung dengan situasinya. "Ya, Yang Mulia. Ini semua sangat tiba-tiba dan... agak menyakitkan." Raja Alden tertawa kecil, suaranya hangat dan menenangkan. "Maafkan kami atas kekasaran itu. Kadang-kadang, sihir bisa menjadi sedikit tidak terduga, bahkan untuk para penyihir yang berpengalaman seperti Gandorf dan rekan-rekannya." Tohawi mencoba tersenyum, merasa sedikit lebih tenang. "Saya mengerti, Yang Mulia. Saya hanya berharap bisa sedikit lebih siap untuk semua ini." Raja Alden menepuk bahu Tohawi dengan lembut. "Kau bukan satu-satunya yang merasa demikian. Bahkan para penyihir pun sering kali mendapati diri mereka terkejut dengan hasil sihir mereka. Bagaimana kalau kita duduk sejenak dan berbincang-bincang? Aku yakin kau memiliki banyak pertanyaan." Tohawi merasa lega dengan sikap ramah Raja Alden. Mereka berjalan menuju sebuah meja kecil yang telah disiapkan di sudut ruangan, dan duduk di kursi yang nyaman. Raja Alden memanggil pelayan untuk membawakan minuman hangat dan makanan ringan. "Aku tahu kau datang dari dunia yang berbeda," kata Raja Alden setelah mereka duduk. "Aku penasaran, seperti apa dunia asalmu, Tohawi?" Tohawi merenung sejenak sebelum menjawab. "Duniamu sangat berbeda dari tempat asalku. Di sana, tidak ada sihir. Semua orang hidup dengan teknologi dan mesin. Kehidupan di sana bisa sangat sulit, terutama bagi seseorang sepertiku yang tidak memiliki pekerjaan tetap." Raja Alden mengangguk dengan penuh perhatian. "Aku bisa memahami betapa sulitnya hidup di dunia seperti itu. Namun, meski duniamu dan dunia ini berbeda, kita semua menghadapi tantangan dan kesulitan masing-masing." Tohawi merasa sedikit lebih terbuka dengan Raja Alden. "Benar, Yang Mulia. Tetapi kadang-kadang rasanya seperti seluruh dunia menentangku. Aku berharap bisa menemukan tujuan dan arti dalam hidupku." Raja Alden tersenyum dan menatap Tohawi dengan mata yang penuh pengertian. "Mungkin itulah mengapa kau dipanggil ke sini, Tohawi. Dunia ini sedang menghadapi ancaman besar dari Raja Kegelapan, Asmodeus. Kami membutuhkan seseorang yang berani dan gigih untuk membantu melawannya. Mungkin ini adalah kesempatanmu untuk menemukan arti dan tujuan yang kau cari." Tohawi tersenyum samar, merasakan sedikit harapan tumbuh di dalam dirinya. "Mungkin kau benar, Yang Mulia. Aku hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan semua ini." Raja Alden tertawa kecil lagi. "Tentu, dan kau akan memiliki waktu sebanyak yang kau butuhkan. Sementara itu, mari kita kenalkanmu dengan beberapa tradisi dan budaya di Solaria. Siapa tahu, kau mungkin menemukan sesuatu yang kau sukai." Tohawi merasa lebih lega setelah percakapan itu. Mereka melanjutkan dengan berbincang-bincang ringan, Raja Alden menyadari bahwa Tohawi masih terlihat tegang. Sebagai pemimpin yang bijaksana, Alden tahu bahwa sedikit humor bisa membantu meringankan suasana dan membuat Tohawi merasa lebih diterima. "Raja Alden bahkan menceritakan beberapa lelucon kerajaan yang membuat Tohawi tertawa untuk pertama kalinya sejak kedatangannya. "Tohawi," kata Raja Alden dengan senyum lebar, "aku mendengar dari Gandorf bahwa kau memiliki selera humor yang bagus. Bagaimana kalau kita berbagi beberapa lelucon kerajaan? Ini bisa menjadi cara yang bagus untuk mengenal satu sama lain." Tohawi mengangkat alisnya, sedikit terkejut namun merasa tertarik. "Lelucon kerajaan? Aku tidak pernah mendengar ada yang seperti itu. Bagaimana lelucon di kerajaan?" Raja Alden tertawa kecil. "Baiklah, aku akan mulai dengan yang klasik. Apa yang dikatakan oleh penyihir kepada naga saat mereka bermain kartu?" Tohawi berpikir sejenak. "Apa yang dikatakannya?" "Tarik napas dalam-dalam, kita sedang dalam permainan yang 'berapi-api'," jawab Raja Alden dengan nada serius sebelum tertawa terbahak-bahak. Tohawi terkejut sejenak, tetapi kemudian ia juga tertawa. "Itu lucu, Yang Mulia. Aku tidak mengharapkan itu." Raja Alden tersenyum puas. "Sekarang giliranmu, Tohawi. Ceritakan padaku lelucon dari duniamu." Tohawi berpikir sejenak, mencoba mengingat lelucon yang cukup baik. "Baiklah, ini dia. Mengapa komputer pergi ke dokter?" Raja Alden mengerutkan kening, berpura-pura berpikir keras. "Hmm, kenapa?" "Karena komputer terkena virus!" Tohawi menjawab dengan penuh semangat. Raja Alden tertawa keras. "Itu bagus sekali, Tohawi. Meskipun aku harus mengakui, aku tidak sepenuhnya mengerti apa itu komputer, tetapi aku bisa menebak itu semacam alat dari duniamu." Tohawi tersenyum lebar. "Ya, komputer adalah perangkat yang kita gunakan untuk banyak hal, seperti pekerjaan dan hiburan. Virus adalah istilah yang kita gunakan untuk menggambarkan program jahat yang bisa merusak komputer." Raja Alden mengangguk dengan kagum. "Duniamu memang terdengar sangat berbeda dan menarik. Mungkin suatu hari kau bisa menceritakan lebih banyak tentang teknologi dari duniamu. Siapa tahu, mungkin ada hal-hal yang bisa kita pelajari." Tohawi merasa lebih santai dan terhubung dengan Raja Alden. "Tentu, Yang Mulia. Aku akan senang berbagi apa yang aku tahu." Raja Alden tersenyum hangat. "Kau tahu, Tohawi, humor adalah salah satu cara terbaik untuk menjembatani perbedaan. Meskipun kita berasal dari dunia yang berbeda, kita tetap bisa tertawa bersama." Tohawi mengangguk setuju. "Aku setuju, Yang Mulia. Tertawa membuat segalanya terasa lebih ringan." Mereka melanjutkan percakapan mereka, berbagi lebih banyak lelucon dan cerita dari masing-masing dunia. Raja Alden menceritakan tentang kebiasaan kocak para pelayan di istana, seperti seorang pelayan yang pernah mencoba menakut-nakuti tamu dengan mengenakan kostum naga, hanya untuk berakhir dengan dirinya sendiri yang lari ketakutan ketika melihat bayangannya sendiri di cermin. Tohawi tertawa terbahak-bahak mendengar cerita itu. "Aku bisa membayangkan betapa kacauannya itu!" Raja Alden tersenyum puas, senang melihat Tohawi lebih santai. "Ya, ada banyak cerita lucu di sini, Tohawi. Dan aku yakin, seiring berjalannya waktu, kau akan menjadi bagian dari banyak cerita tersebutKebaikan dan keramahan Raja Alden memberinya harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa menemukan tempatnya di dunia ini. Setelah beberapa waktu berlalu dengan percakapan ringan dan candaan, Tohawi mulai merasa sedikit lebih nyaman di hadapan Raja Alden. Namun, rasa ingin tahunya tentang dunia baru ini semakin memuncak. Ia tahu bahwa untuk dapat bertahan hidup dan mungkin bahkan menjadi pahlawan yang diharapkan oleh para penyihir, ia perlu memahami dunia Aetheris dengan lebih baik. Tohawi menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Yang Mulia, ada sesuatu yang ingin aku minta." Raja Alden mengangkat alisnya dengan minat. "Oh? Silakan, Tohawi. Apa yang bisa aku bantu?" Tohawi menatap Raja Alden dengan penuh kesungguhan. "Aku ingin mendapatkan akses ke perpustakaan istana. Aku perlu mempelajari dunia ini lebih dalam. Sejarahnya, sistem sihirnya, dan semua hal yang mungkin bisa membantuku memahami tempat ini." Raja Alden tersenyum lebar, tampak terkesan dengan keinginan Tohawi untuk belajar. "Sebuah permintaan yang bijaksana, Tohawi. Pengetahuan adalah kunci untuk bertahan hidup dan berkembang di dunia ini. Tentu saja, aku akan mengatur agar kau mendapatkan akses penuh ke perpustakaan kerajaan." Tohawi merasa lega mendengar persetujuan Raja Alden. "Terima kasih, Yang Mulia. Aku merasa lebih siap jika aku tahu apa yang aku hadapi di sini." Raja Alden mengangguk. "Keputusan yang bijak. Perpustakaan kami tidak hanya menyimpan buku-buku tentang sejarah dan sihir, tetapi juga banyak catatan tentang makhluk-makhluk magis, tumbuhan, dan bahkan strategi perang. Kau akan menemukan banyak informasi yang berharga di sana." Tohawi merasa semangatnya bangkit. Ia tidak pernah mendapatkan kesempatan seperti ini di dunianya kesempatan untuk belajar dan mengeksplorasi pengetahuan tanpa batas. "Aku akan memanfaatkan setiap kesempatan yang aku dapatkan, Yang Mulia." Raja Alden menepuk bahu Tohawi dengan ramah. "Aku yakin kau akan melakukan hal-hal hebat, Tohawi. Aku akan meminta seorang pelayan untuk membawamu ke perpustakaan dan memastikan kau memiliki segala yang kau butuhkan." Setelah beberapa saat, seorang pelayan muda dengan senyum ramah mendekati Tohawi. "Tuan Tohawi, silakan ikuti saya. Saya akan membawa Anda ke perpustakaan istana." Tohawi mengikuti pelayan tersebut melalui koridor-koridor yang megah dan dihiasi dengan lukisan-lukisan indah. Setiap sudut istana memancarkan keindahan dan kemegahan, membuat Tohawi semakin terpesona dengan dunia baru ini. Akhirnya, mereka tiba di depan pintu besar dengan ukiran rumit yang menandakan pintu masuk ke perpustakaan. Pelayan itu membuka pintu dengan hati-hati, memperlihatkan ruangan luas yang dipenuhi rak-rak tinggi berisi ribuan buku dan gulungan. Cahaya matahari masuk melalui jendela-jendela besar, menciptakan suasana yang tenang dan mengundang. "Ini adalah perpustakaan istana, Tuan Tohawi," kata pelayan itu. "Anda bisa menghabiskan waktu sebanyak yang Anda butuhkan di sini. Jika Anda memerlukan bantuan, pustakawan kami selalu siap membantu." Tohawi memasuki perpustakaan dengan perasaan kagum. Ia merasakan aura pengetahuan yang kuat di sekelilingnya, dan semangatnya semakin membara. "Terima kasih," katanya kepada pelayan itu sebelum mulai menjelajahi rak-rak buku. Ia mulai dengan buku-buku dasar tentang sejarah Aetheris, mempelajari asal usul berbagai kerajaan dan konflik yang terjadi di antara mereka. Ia juga menemukan teks-teks tentang sistem sihir, yang menjelaskan berbagai jenis sihir yang ada dan bagaimana mereka digunakan oleh para penyihir dan prajurit. Waktu berlalu dengan cepat saat Tohawi tenggelam dalam lautan pengetahuan. Ia mencatat hal-hal penting di buku catatannya, mencoba memahami dunia ini sedalam mungkin. Semakin banyak yang ia pelajari, semakin ia merasa siap untuk menghadapi tantangan yang menunggunya. Saat malam tiba, perpustakaan tetap terang benderang dengan cahaya lilin-lilin besar. Tohawi duduk di meja besar, dikelilingi oleh tumpukan buku, dengan ekspresi penuh tekad di wajahnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi dengan pengetahuan yang ia dapatkan, ia merasa lebih siap untuk menghadapi apapun yang datang. Sesaat ia sedang membaca buku, Tohawi terkejut. “Eh, kenapa aku bisa membaca aksara ini?” Tohawi kaget dengan wajah melongo. dan baru sadar saat ia datang ke dunia ini, tiba-tiba bisa memahami aksara di dunia tersebut. Dengan kebingungan itu, Tohawi menebak kalau semua itu adalah perbuatan Dewi Fortuna. Namun selang beberapa menit Tohawi membaca buku tentang sihir. Dia tertarik dengan suatu sihir yaitu, Illusion Magic. Karena Tohawi menyadari bahwa sihir tipe Illusion Magic dapat digunakan untuk melihat. “Dari sang kabut untuk bersembunyi, dan suara yang menghilang, sihir tak kasat mata aktif!” Tohawi merapal mantra dengan membayangkan dirinya tak kasat mata. Sesaat Tohawi melihat cermin, dirinya pun tak terlihat. Pikiran nakal Tohawi pun mulai membawa dirinya berjalan ke pemandian wanita. Dia pun melihat pemandangan yang luar biasa. “Habis membaca buku dan melihat pemandangan ini, rasanya lelahku telah meleleh.” Tohawi berdelusi dengan raut wajah yang mesum. Tiba-tiba Tohawi mendengar suara keras di kepalanya. “Aku memindahkanmu ke dunia ini bukan untuk mengintip dasar manusia mesum!” Dengan suara marah dan heran akan kelakuan Tohawi. Beliau hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Tohawi pun tak menyangka bahwa Dewi Fortuna mengawasinya, ia pun membalas dengan suara keras “Karena aku manusia, dan aku juga laki-laki!” Namun Tohawi melakukan kesalahan, karena ia tak bisa telepati langsung dengan Dewi Fortuna. “Aaaa, suara siapa itu?” Sonta para wanita yang sedang berendam berteriak dan pergi dari tempat pemandian.Setelah Tohawi mengisi kepalanya dengan pengetahuan dunia ini, Tohawi pun memahami dengan betul tentang dunia ini. Dunia baru ini bernama Aetheris, sebuah dunia yang penuh dengan keajaiban dan misteri. Aetheris terbagi menjadi beberapa kerajaan yang beragam, masing-masing dengan budaya dan karakteristik uniknya. Kerajaan-kerajaan ini berada dalam keadaan damai yang rapuh, selalu terancam oleh kekuatan gelap yang mengintai dari bayangan. Meskipun dunia ini sangatlah luas, dunia ini hanya memiliki lima Kerajaan. 1. Kerajaan Solaria Raja: Raja Alden Solaria adalah kerajaan yang terletak di dataran tinggi yang subur, dikenal dengan padang rumput yang luas dan langit yang selalu cerah. Penduduknya hidup dari pertanian dan peternakan. Raja Alden adalah pemimpin yang bijaksana dan adil, selalu mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Istana kerajaan terletak di ibu kota Solara, sebuah kota yang penuh dengan taman dan bangunan megah berlapis emas. 2. Kerajaan Lunaris Raja: Ratu Seraphina
Setelah hari-hari yang ia jalani di dunia ini., Tohawi memutuskan untuk menjelajahi istana Solaria untuk mengetahui persis seperti apa istana solaria. Ia berjalan melewati lorong-lorong yang panjang, menatap kagum pada patung-patung pahlawan legendaris dan lukisan-lukisan yang menggambarkan pertempuran besar. Namun, rasa kagumnya tidak bertahan lama. Saat ia memasuki sebuah aula terbuka yang tampaknya menjadi tempat latihan para ksatria dan penyihir, tatapan-tatapan sinis segera mengarah kepadanya. Para penyihir yang sedang berlatih sihir mereka berhenti sejenak, lalu saling berbisik sambil menatapnya dengan mata yang menyipit. Beberapa ksatria yang sedang mengasah pedang mereka hanya tertawa kecil, dengan nada yang menghina. Tohawi merasakan beban tatapan mereka dan mencoba mengabaikannya, tetapi bisikan-bisikan itu semakin keras. "Apakah itu benar pahlawan yang kita panggil? Terlihat lebih seperti gelandangan," seorang penyihir muda dengan jubah biru terang berkomentar, suarany
Prolog: Pemanggilan Pahlawan “Kita harus memanggil Pahlawan!” Seru sesosok raja kepada para penyihir istana. “Negeri ini butuh penyelamat! Bukan, sepertinya dunia ini yang membutuhkan pahlawan!” Suara ricuh di sebuah ruang bawah tanah istana yang gelap dan lembap, terdengar pula suara lantunan mantra sihir yang menggema melalui dinding batu kuno. Cahaya lilin yang berkedip-kedip menciptakan bayangan menakutkan di setiap sudut ruangan. Sejumlah penyihir berjubah biru berkumpul melingkari lingkaran sihir besar yang terpancar cahaya magis berwarna hijau. Di tengah lingkaran, seorang penyihir tua berdiri dengan tegak. Dialah Gandorf, pemimpin penyihir istana yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kekuatannya. Janggut putih panjangnya berkilau terkena pantulan cahaya lilin, dan tongkat sihirnya yang berujung kristal biru bersinar terang. Dengan suara yang dalam dan penuh wibawa, Gandorf memimpin ritual pemanggilan. "Para penyihir, berkonsentrasilah! Kita memanggil pahlawan dari duni
Setelah hari-hari yang ia jalani di dunia ini., Tohawi memutuskan untuk menjelajahi istana Solaria untuk mengetahui persis seperti apa istana solaria. Ia berjalan melewati lorong-lorong yang panjang, menatap kagum pada patung-patung pahlawan legendaris dan lukisan-lukisan yang menggambarkan pertempuran besar. Namun, rasa kagumnya tidak bertahan lama. Saat ia memasuki sebuah aula terbuka yang tampaknya menjadi tempat latihan para ksatria dan penyihir, tatapan-tatapan sinis segera mengarah kepadanya. Para penyihir yang sedang berlatih sihir mereka berhenti sejenak, lalu saling berbisik sambil menatapnya dengan mata yang menyipit. Beberapa ksatria yang sedang mengasah pedang mereka hanya tertawa kecil, dengan nada yang menghina. Tohawi merasakan beban tatapan mereka dan mencoba mengabaikannya, tetapi bisikan-bisikan itu semakin keras. "Apakah itu benar pahlawan yang kita panggil? Terlihat lebih seperti gelandangan," seorang penyihir muda dengan jubah biru terang berkomentar, suarany
Setelah Tohawi mengisi kepalanya dengan pengetahuan dunia ini, Tohawi pun memahami dengan betul tentang dunia ini. Dunia baru ini bernama Aetheris, sebuah dunia yang penuh dengan keajaiban dan misteri. Aetheris terbagi menjadi beberapa kerajaan yang beragam, masing-masing dengan budaya dan karakteristik uniknya. Kerajaan-kerajaan ini berada dalam keadaan damai yang rapuh, selalu terancam oleh kekuatan gelap yang mengintai dari bayangan. Meskipun dunia ini sangatlah luas, dunia ini hanya memiliki lima Kerajaan. 1. Kerajaan Solaria Raja: Raja Alden Solaria adalah kerajaan yang terletak di dataran tinggi yang subur, dikenal dengan padang rumput yang luas dan langit yang selalu cerah. Penduduknya hidup dari pertanian dan peternakan. Raja Alden adalah pemimpin yang bijaksana dan adil, selalu mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Istana kerajaan terletak di ibu kota Solara, sebuah kota yang penuh dengan taman dan bangunan megah berlapis emas. 2. Kerajaan Lunaris Raja: Ratu Seraphina
“BRRAAKK!”"Selamat datang, pahlawan," Ucap Gandorf dengan suara penuh harapan. "Kau adalah pahlawan yang kami panggil. Dunia ini membutuhkanmu, dengan kekuatanmu yang unik untuk membersihkan kegelapan yang melanda kami."Tohawi terbangun dengan rasa sakit yang menyebar di seluruh tubuhnya. Ia mendapati dirinya terbaring di lantai marmer dingin di sebuah ruangan besar dengan dinding berukir dan jendela kaca berwarna. Tohawi berdiam diri sejenak lantas ia segera menyadari bahwa ia telah jatuh dari langit-langit bangunan yang seperti istana, seperti yang diharapkan oleh para penyihir. Dengan susah payah, ia bangkit berdiri, memegang punggungnya yang nyeri.Di sekelilingnya, para penyihir berdiri dengan ekspresi terkejut dan merasa kecewa. Di tengah mereka, Gandorf, penyihir tua yang memimpin pemanggilan, menatap Tohawi dengan campuran kebingungan dan kekecewaan."Huh! Apa-apaan ini? Kenapa aku harus jatuh dari langit-langit, aku pikir pemanggilaku akan
Prolog: Pemanggilan Pahlawan “Kita harus memanggil Pahlawan!” Seru sesosok raja kepada para penyihir istana. “Negeri ini butuh penyelamat! Bukan, sepertinya dunia ini yang membutuhkan pahlawan!” Suara ricuh di sebuah ruang bawah tanah istana yang gelap dan lembap, terdengar pula suara lantunan mantra sihir yang menggema melalui dinding batu kuno. Cahaya lilin yang berkedip-kedip menciptakan bayangan menakutkan di setiap sudut ruangan. Sejumlah penyihir berjubah biru berkumpul melingkari lingkaran sihir besar yang terpancar cahaya magis berwarna hijau. Di tengah lingkaran, seorang penyihir tua berdiri dengan tegak. Dialah Gandorf, pemimpin penyihir istana yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kekuatannya. Janggut putih panjangnya berkilau terkena pantulan cahaya lilin, dan tongkat sihirnya yang berujung kristal biru bersinar terang. Dengan suara yang dalam dan penuh wibawa, Gandorf memimpin ritual pemanggilan. "Para penyihir, berkonsentrasilah! Kita memanggil pahlawan dari duni