Setelah hampir satu minggu di perkebunan keluarga Azam, akhirnya Zira dan seluruh peserta lainnya pulang dari sana.
Zira kali ini pulang dengan suaminya. Hanya berdua!'Untung aku sudah meyiapkan banyak jeruk mentah.' batin Zira, mengusap jeruk secara perlahan sembari diam-diam melirik suaminya yang sedang menyetir."Sudah berapa banyak jeruk yang kau konsumsi sehari ini, Ma Zi?" tanya Kaesar dingin."Aku tidak menghitung," jawab Zira cepat, memakan jeruk secara santai. Namun …- "Aargkkk! Uuuuih, masam sekali," pekiknya kemudian, reflek menaikkan kaki ke atas kursi–menekuknya untuk menahan tubuhnya yang merinding serta menggigil karena rasa masam jeruk. Zira bahkan menepuk-nepuk pipi, sangking kecutnya jeruk yang dia makan."Sudah tahu masam. Kenapa masih dimakan?""Bu--bukan urusan Kak Kae!" ketus Zira, lalu bergerak seperti tersengat listrik ketika rasa masam tersebut seperti mencekik lidah dan tenggorokannya."Zira menggembungkan pipi, duduk di sebuah kursi tunggu dengan raut muka kusut. Akibat insiden kecelakaan tadi–di mana Asta tertabrak oleh sepeda motor, Zira terjebak dan harus berakhir di rumah sakit. Satu hal yang membuat Zira dongkol serta panas dalam hati adalah sikap Kaesar yang sangat khawatir saat Asta tertabrak. Itu-- membuat Zira down.Kaesar menunjukkan betapa dia masih mencintai Asta. Sedangkan Zira …--'Aku masih ada tempat nggak yah?' batinnya, bertopang dagu dengan menatap murung ke arah pintu ruang rawat. Di dalam ada Asta, sudah siuman dan ditemani oleh Kaesar. 'Sebenarnya Kak Kaesar tahu nggak sih kalau aku suka sama dia? Kalau tahu, kenapa dia sama sekali nggak peduli ke aku. Semisal nggak bisa balas perasaan aku, minimal menghargaiku.' Zira menghela napas pelan, meraih HP lalu berusaha menghubungi seseorang. "Aku mundur saja," gumamnya pelan, menelan ikon hijau di layar HP. "Kamu sudah sampai, Gan?" tanya Zi
'Razie ngapain yah?' Zira bertanya-tanya dalam batin, memperhatikan kembarannya tersebut yang saat ini sedang berdiri di depan meja rias Zira. Razie tidak sedang bercermin, tetapi pria itu sedang mengacak-acak sesuatu di sana. Zira menyipitkan mata, memperhatikan apa yang sedang kembarannya itu lakukan di sana. Ternyata-- Razie melakukan hal yang sangat mengejutkan serta mencengangkan bagi Zira. Razie mengambil sebuah jepitan rambut miliknya kemudian mengantonginya. Setelah itu, Razie berjalan santai, berniat keluar dari kamar tersebut. "Pencuri!" pekik Zira, buru-buru keluar dari persembunyiannya, melompat dari ranjang sembari menatap nyalang ke arah Razie yang terlihat kaget. "Kau?" Razie menatap tak biasa pada sosok perempuan di depannya. Wajah datar yang biasa menghias kini terpasang dengan mimik terkejut. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja makhluk yang ia anggap paling menyebalkan di muka bumi ini muncul di sini. "Kenapa?
"Tapi tidak semudah itu, Kae." Seulas senyuman tipis menyungging di bibir Reigha, menatap lamat ke arah Kaesar, "kau harus bisa membuat ayahmu bertekuk lutut di hadapanmu, serahkan jantung ibu tirimu padaku dan buang jauh-jauh ibu kandungmu dari hatimu.""Yang terakhir …-" Reigha mengangkat tangan, spontan membuat Kaesar menghentikan ucapannya. Reigha memang memasang wajah datar serta tatapan tenang, tetapi Kaesar tidak bisa santai. Pria dihadapannya ini bukanlah orang yang ekspresif, hanya satu mimik muka dan itu bisa mengungkapkan banyak arti. Intinya, berhati-hatilah pada pria ini. "Zira putriku, harta berhargaku. Kau tidak bisa mendapatkannya dengan cinta yang kau punya. Kau harus membayar mahal untuk memiliki Zira-ku. Aku percaya pada cinta yang kau miliki pada Zira, tetapi aku lebih percaya pada pembuktian," ucap Reigha dingin. "Baik, Daddy. Tidak ada yang lebih berharga dibandingkan Zira bagiku," jawab Kaesar mantap, tak ada ke
"Razie!" panggilnya marah. Sedangkan yang namanya dipanggil, berjalan begitu santai dari sana. Zira semakin kesal dibuat olah sikap Razie, dia mengambil gayung kecil yang digunakan untuk menyiram tanaman khusus sang Mommy. Zira mengisi gayung dengan air, berlari ke arah Razie lalu menumpahkan air ke arah Razie. Syur'Langkah Razie berhenti, memutar tubuh ke arah Zira dengan menampilkan air muka kesal. "Apa? Apa? Apa?" galak Zira, mengambil ancang-ancang serta memasang kuda-kuda yang sangat meyakinkan jika sewaktu waktu iblis dalam diri adiknya muncul. "Kau--" Razie menggeram, mengepalkan tangan sembari menatap Zira marah. "Kamu yang lebih dulu." Zira berkata dengan nada tinggi, "ouh, mau melawan hee … sini kalau berani. Zira super girl tidak akan takut dengan kambing sepertimu!" cerewet Zira saat Razie perlahan mendekatinya, meninju-ninju udara–memperlihatkan skill bela diri yang pernah ia tonton lewat animasi kungf-u panda
"Kenapa kau pulang ke rumahmu, Hum?" tanya Kaesar tiba-tiba setelah mereka sampai di rumahnya. Zira menatap sekilas ke arah Kaesar, buru-buru melangkah setelah itu, "suka-sukaku lah. Orang orang tuaku," ketusnya, melangkah cepat dalam kamarnya–mengunci pintu agar Kaesar tidak bisa masuk ke dalam. "Cik, mending aku ke asrama daripada di sini," gumamnya pelan, membaringkan diri di atas ranjang. Namun, reflek mengambil posisi duduk ketika pintu kamar terbuka secara tiba-tiba–memperlihatkan Kaesar di sana. 'Perasaan udah aku kunci deh. Kenapa dia masih bisa masuk?' batin Zira, menatap cukup gugup ke arah Kaesar yang kini berjalan ke arahnya–sudah menutup pintu kamar. "Aku ingin istirahat, Kak." Zira berkata datar. "Kau belum menjawab pertanyaanku dengan benar." Zira menghela napas pelan, memilih cuek dengan kembali berbaring. "Yaudah sih. Masa bodo.""Katakan apa kesalahanku, Ma Zi."Zira berdecak pelan, "aku
"Menurutmu dia mirip denganku?" tanya Reigha tiba-tiba, mendorong tablet yang ia letakkan di atas meja ke arah Asta–di mana pada layar tablet tertera dengan jelas sebuah foto seorang gadis cantik yang sedang tersenyum manis. Putrinya!Deg'Jantung Asta reflek berdetak kencang, menatap gugup dengan tubuh gemetar ke arah foto di tablet mahal tersebut. Itu foto …-"Cu--cukup mirip dengan Tuan," jawab Asta, mulai berkeringat dingin. Banyak spekulasi yang muncul di kepalanya, tetapi dia menolak satu kenyataan. Tak mungkin sang Tuan misterius ini punya hubungan dengan gadis di foto tersebut. Tidak dan jangan sampai. Ini bencana!"Humm." Reigha berdehem singkat, menarik kembali tablet mahalnya lalu menyerahkannya pada Matheo. "Zira Dominic Azam, anak pertama sekaligus putriku satu-satunya."Deg'Kali ini jantung Asta terasa tak berdetak lagi, beberapa detik tak memompa–tertampar serta terguncang dengan pernyataan yang keluar dari mulut Sang penguasa di dunia bisnis. Asta memucat pias, mene
"Isss … tak berguna," keluh Zira ketika dia telah sampai di rumah mewah suaminya. Selama perjalanan dia terus mengomel agar para bodyguard suruhan suaminya ini agar mengantarnya ke rumah. Namun panjang lebar dia marah-marah, tetap saja para bodyguard ini membawanya pulang. "Maaf, Nyonya. Kamu hanya menjalankan perintah Tuan." "Whatever!" kesal Zira, mengibas rambut dengan angkuh–berjalan memasuki rumah, diikuti oleh para bodyguard dan kedua sahabatnya. "Rumah Pak Kaesar besar sekali oih," bisik Anna pada Gani, mendapat anggukan dari pria penakut tersebut. Sedangkan Zira, melihat Kaesar di ruang tengah–sedang duduk sembari memasang wajah datar, membuat Zira mendengkus pelan. Pria itu menatapnya tajam, sepertinya dia telah menunggu lama agar Zira pulang. Akan tetapi, siapa yang peduli? Zira masih kesal. Ah, bukan kesal tetapi marah. Namun, raut muka bete Zira seketika sirna saat melihat jika bukan hanya Kaesar yang berada di ruangan tersebut. Ada kakaknya, Xander. Ada paman terci
"Zira …," panggil Reigha, nadanya mengalun rendah, stabil serta lembut. Suara hangat seorang ayah ketika memanggil putri tercinta. Tetapi ini berbeda! Bukan sekedar nada penuh cinta. "Iya, Daddy." Zira mengurungkan niat untuk kabur, kembali menghampiri sang Daddy. Lebih tepatnya kembali duduk di sebelah sang suami–membuat pria di sebelahnya diam-diam berdecis geli. Menggemaskan! "Tampan banget, Gani!!" bisik Anna pada Gani, "Daddynya Zira super tampan oik! Speak Om-Om yang … aduhh!!""Ngucap, An." Balik Gani yang berbisik, memperingati temannya sekaligus, "ingat cerita Zira tentang Daddynya. Jangan gara-gara mabuk visual, kamu lupa tentang fakta gelap Om Reigha." Gluk'Anna seketika meneguk saliva secara kasar. Betul juga! Zira saja yang merupakan putri dari pria itu terlihat sangat takut pada Daddynya sendiri, menjaga sikap semanis mungkin. Apalagi dia! "Sial! Tapi memang tampan. Pantas saja Zira visual Dewi, emak bapaknya cantik tampan parah," bisik Gani selanjutnya, mendapat t
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming