Ziea terbangun dari tidur nyenyaknya, di mana suaminya sudah tak ada di sebelah atau dalam kamar. Dia hanya sendirian. "Seperti biasa, Mas Rei tidak peduli padaku," gumam Ziea pelan sembari bangun dari ranjang. Dia menghela nafas pelan, berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan diri. Setalah mandi dan berpakaian rapi, Ziea langsung keluar kamar untuk mengisi perut. "Tadi malam aku nggak sempat makan malam. Dan itu gara-gara si kambing tembok itu," gumam Ziea sembari berjalan ke arah dapur. Namun … "Ziea sayang!" Ziea spontan menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya tersebut. Mata Ziea seketika membelalak saat melihat siapa orang yang memanggilnya. Buru-buru dia berlari ke arah perempuan cantik itu dan berpelukan dengannya. "Aaaaa … Babyku!" pekik Aesya setelah berpelukan dengan Ziea. Begitu juga dengan Ziea yang menyeru senang serta bahagia. "Kakakku!" Keduanya masih berpelukan, melompat-lompat girang sembari melontarkan kata-kata manis dan pujian. "Ekhmm." Tiba-tiba
"Oh iya, kuperhatikan kau lebih kaku pada Reigha dibandingkan lima tahun lalu. Ada masalah, Ziea? Atau … kau sudah tidak menyukai kembaranku lagi? Jujur saja, Ziea, jangan memendamnya. Aku akan mendengarmu dan jika ada yang bisa kubantu, aku akan membantu," ucap Aesya sembari menatap serius pada Ziea. Mungkin orang-orang di keluarga mereka tidak merasakannya, tetapi Aesya bisa melihat serta merasakan bagaimana Ziea selalu menghindari Reigha. Dulu, Ziea selalu malu-malu kucing ketika bertemu Reigha. Dia menghindar tetapi dia ingin berdekatan dengan Reigha. Berbeda dengan yang terakhir, di mana Ziea memang benar-benar ingin menghindari Reigha. Ditambah Ziea berpacaran– membuat Aesya semakin yakin jika Ziea sudah pindah hati. Ada yang salah dengan Ziea dan Reigha. Atau telah terjadi sesuatu antara keduanya? Karena pernikahan diantara keduanya, Aesya sama sekali tak melihat kebahagiaan serta perasaan gembira di wajah Ziea saat itu. Dia hanya melihat kesedihan serta ketakutan. Bagaimana
"Mas harumnya kelewatan, nggak kuat! Soalnya, takut aku gigit," jawab Ziea, mengedipkan sebelah mata ke arah Reigha sembari tersenyum penuh makna ke arah suaminya tersebut. "Rawrrrr …," tambah Ziea dengan menirukan suara harimau mengaum. Tak lupa kedua tangannya terangkat di sebelah wajah, di mana jari-jarinya seperti mencengkeram atau mencakar sesuatu. Wajah Reigha masih terlihat datar, tatapannya dingin dan menghunus tajam ke arah Ziea– memperhatikan dengan lamat dan intens ke arah istrinya tersebut. Hingga tiba-tiba saja sebuah senyuman geli mengulas dibibir pria tampan tersebut, terkesima sekaligus merasa lucu dengan tingkah Ziea. Shit! Biasanya Reigha bisa menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi apapun saat perempuan ini berulah. Namun kali ini, Ziea terlalu lucu dan menggemaskan. Hell yeah! Tingkah menggemaskan Ziea berhasil merusak pertahan Reigha yang sekuat baja ini. Setelah muncul senyuman geli namun tampan Reigha, tak lama muncul kekehan indah yang keluar dari bib
"Hai, Mas Ganteng," sapa Ziea cengar-cengir, masih memasang air muka pucat pias dan dengan debaran jantung yang menggila dalam sana. 'Mampus aku. Rasanya tuh kayak ketemu malaikat maut! Jantungku jedag jedug dalam sana. Udah keringat dingin aku. Kalau kepala Mas kupukul dengan spatula, bisa nggak yah mengakibatkan amnesia. Soalnya mendadak pengen doi amnesia.' "Coba ulangi kalimatmu," ucap Reigha santai, bersedekap di dada dan berdiri dengan cool– tepat di sebelah Ziea yang sudah mati kutu. "O--oh. Mas Rei lapar yah? Tunggu bentar, masakannya bentar lagi jadi," jawab Ziea tak nyambung, sengaja untuk mengalihkan pembicaraan, "kasihan Mas kalau berdiri di situ, mending Mas pindah ke ruang makan a--atau ke ruang kerja Mas juga nggak apa-apa. Senyaman Mas saja," tambahnya, berniat mengusir Reigha secara halus. "Mengalihkan pembicaraan?" Reigha menaikkan sebelah alis, terus menatap intens dan lamat ke arah istrinya. Sejujurnya Ziea sangat cantik jika sedang sibuk begini. Rambutnya diik
"Kau kenapa?" tanya Reigha dingin, setelah mereka di dalam kamar. Di mana dia duduk di sofa dan Ziea tengah berjongkok di depannya, tengah membuka sepatu pantofel Reigha. "Hah?" Ziea mendongak sekilas, kemudian kembali fokus melepas sepatu Reigha. Setelahnya dia menyimpan sepatu suaminya tersebut lalu kembali dengan membawa segelas air putih. "Ini, Mas," ucap Ziea sembari memberikan gelas berisi air tersebut pada Reigha. "Humm." Reigha meraih gelas tersebut, meminum setengah air dalam gelas lalu meletakkannya di atas meja. Dia kemudian menatap lamat ke arah Ziea, memperhatikan secara detail istrinya tersebut. Ada yang aneh dengan Ziea– dari penampilan dan sikapnya, Ziea terasa berbeda. "Zie, kau kenapa?" tanya Reigha kembali, entah yang sudah ke berapa kalinya. "Aku tidak kenapa-napa, Mas Rei. Oh, itu … aku memasak brokoli untuk Mas Rei. Umm, Mas Rei suka kan brokoli?" antusias Ziea, menatap berbinar-binar pada suaminya tersebut– tak lupa senyuman manis yang mengukir indah untuk Re
Sudah tiga hari Ziea berada di tanah air, lebih tepatnya di rumah orang tuanya. Seharunya Ziea tinggal dengan mertuanya, tetapi karena Ziea kurang nyaman karena tak ada Reigha di sana dia memilih tinggal dengan orang tuanya. Daddy dan Mommy mertuanya sangat paham dan mengerti, mereka mengizinkan Ziea untuk tinggal bersama orang tuanya. Lagipula Satiya dan Gabriel (mertua Ziea) sedang pergi ke luar negeri– mengunjungi Zayyan. Ziea tidak tahu kenapa Zayyan harus dikunjungi, selama ini yang mengurus Zayyan di sana adalah Reigha. Namun, mendadak sekarang mertuanya ingin mengunjungi Zayyan di sana. Mungkin memang ada hal yang penting."Cik, lagi rame-ramenya lagi," dumel Ziea ketika sebuah telpon masuk ke ponselnya. Sekarang dia sedang di cafe, membantu para stafnya yang kewalahan karena banyak pengunjung yang berdatangan– mulai dari yang pelajar maupun pekerja. "Le, aku angkat telpon. Bentar," pamit Ziea pada Lea, buru-buru ke ruangannya untuk mengangkat telpon yang tak lain dari suamin
"Reigha yang menerorku untuk mengirim foto aktivitas Ziea. Jadi kalian jangan panik begitu," ucap Haiden, mendapat tatapan tak percaya dari aunty, paman dan orang-orang dalam ruangan tersebut. Satiya seketika itu juga melebarkan senyumannya, menatap geli ke arah putranya. "Ya ampun, Ega sayang!! Kelakuan kamu yah--" ucapnya dengan geleng-geleng kepala. "Kenapa tidak meminta langsung?" tanya Gabriel, menatap aneh pada putranya tersebut. "Daddy tidak perlu tahu alasannya," jawab Reigha dengan nada datar, terkesan malas dan kesal. Bukan pada Daddynya dia kesal melainkan pada Ziea yang masih memblokir nomornya. Reigha diam, memilih sibuk dengan ponselnya– berusaha mencari cara agar Ziea membuka blokiran nomornya. Shit! Sepertinya istrinya tersebut tengah datang bulan karena itu mudah terpancing atau marah. "Baiklah. Daddy tahu kau pemalu. Cih, pasti kau takut memintanya langsung pada Ziea bukan?" ledek Gabriel-- Reigha hanya menghela napas, menganggukkan kepala secara singkat kemudia
"Lari, Coi. Ada banteng ngamuk!" pekiknya pelan, berlari sekencang mungkin dari sana. Karena tak merasa dikejar oleh Reigha-- merasa aman sudah jauh dari Reigha, Ziea memutuskan untuk berhenti berlari. Dia mengatur napas dan sempat membungkuk karena kelelahan. "Hah hah hah … hampir saja," gumam Ziea pelan, menyekat keningnya yang tak ada apa-apanya di sana. Dia menegakkan tubuh– kembali mengatur napas dan berniat berjalan dengan langkah santai dari sana. Namun, tiba-tiba saja bagian belakang leher baju yang dia kenakan terasa ditahan atau ditarik oleh seseorang. Itu bersamaan dengan aroma parfum maskulin yang harum serta mahal, menyeruak masuk secara paksa ke indra penciuman Ziea. Ini aroma parfum yang sangat nyaman dipenciuman Ziea. Namun, sekarang entah kenapa aroma ini terkesan horor. Vibes-nya mirip ketika Ziea mencium aroma melati di keheningan tengah malam. Dengan gerakan kaku dan gugup– mengigit bibir atas, Ziea menoleh ke arah seseorang yang menahan leher belakang bajunya
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming