"Jangan ngintip ya, pak!" ancam Carla menatap punggung Savian tajam sebelum akhirnya melepas tali handuknya dan hanya menyisakan pakaian dalam yang sempat ia pakai di dalam kamar mandi.
Savian yang tidak pernah mengucapkan janji untuk tidak menolehkan kepalanya ke belakang tentu saja segera melakukan larangan dari Carla diam-diam. Pria itu meneguk ludah menatapi lekuk tubuh menggoda milik Carla yang selama ini selalu di tutupi dengan kaus oversize. Satu kata yang dapat Savian simpulkan, Perfect. Kulitnya yang mulus, lingkar pinggang yang ramping dan bokongnya sintal. Savian tidak kuat jika harus mendeskripsikan bentuk tubuh Carla satu persatu, tampak belakangnya saja berhasil membuat pikiran Savian berkelana, apa lagi bagian depan tubuh gadis itu.
"Jangan ngintip, pak!" ucap Carla tanpa membalikkan badannya, hanya memperingatai kembali pria itu saja.
"Iya, Car, aku gak ngintip, kok," sahut Savian, tapi pandangannya m
"Yang bener aja, pak, masa kita di hukum kayak anak sekolahan?!" Dinne protes, mendapatkan hukuman dari Savian untuk berdiri di depan pintu kelas sambil mengangkat sebelah kaki dan memegang daun telinga masing-masing."Saudari juga berantem seperti anak sekolahan." tegas Savian sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Menambah kesan ketegasan dan tidak ingin di bantah."Terus seperti ini sampai jam mata kuliah saya selesai." tekan Savian kemudian menutup pintu kelas.Dinne menghela napas, menurunkan satu kakinya dan tangannya dari telinga, "Kantin yuk, Car!" ajaknya sambil mengambil tasnya yang tergeletak di lantai."Nne, kita lagi di hukum." jawab Carla, kaki dan tangannya berada di tempat yang sesuai Savian perintahkan."Yaelah, emang lo gak malu di hukum di depan kelas gini!" ujar Dinne dengan nada jengkel. Carla mendengarkan pandangannya, menatap mata mahasiswa lain yang tertuju k
“Gimana rasanya, enak?” Chaka menyelesaikan kunyahannya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan dari Carla, “Gue gak bilang kalau makanan kafe itu gak enak, cuma porsinya aja gak sesuai sama porsi perut gue,” jeda, Chaka menusuk Chicken Fingers menggunakan garpu di tangannya. “Lihat Chicken Fingers aja rasanya gue pengen pake nasi.” sambungnya lantas melahap potongan daging ayam itu ke dalam mulutnya dalam satu kali suapan. “Pesen nasi putih aja, kamu mau?” tawar Carla hendak mengangkat tangannya, memanggil salah satu waitress untuk memesan nasi putih. “Eh, gue bercanda, Carla.” Chaka menurunkan kembali tangan Carla yang hampir terangkat itu, untung belum ada satu pun waitress yang sadar. Carla menggelengkan kepalanya, ia terkekeh, “Cobain ini deh,” titahnya sembari menyodorkan piring berisi Onion Ring ke hadapan Chaka, “Onion di sini beda dari yang lain, manis dan gurihnya pas!” lanjutnya Carla makin antusias memperkenalkan menu andalan kafe lan
Chaka: gue jemput after isya ya Malam minggu datang lagi, dan ini kali kedua Carla menikmati malam minggunya di luar rumah. Gadis manis itu saat ini sedang memilah baju, meski masih jam lima sore tapi semangatnya untuk pergi bersama Chaka sudah menggebu-gebu. Carla sangat antusias dan tidak sabar menyambut dewi malam. Katanya, Chaka mau mengenalkan Carla ke teman-temannya. Itu berarti Carla harus tampil cantik supaya tidak mempermalukan Chaka di hadapan teman-teman cowok itu. Carla memandang dirinya dari pantulan cermin. Meletakkan semua baju pilihannya ke atas ranjang, kemudian ia mendudukkan bokongnya di kursi meja rias. Wajahnya fresh, ia baru saja mandi beberapa menit lalu dan belum mengaplikasi make-up sedikitpun ke wajahnya. Memang, Carla tidak terlalu obsesi dengan make-up, ia bukan tipikal cewek yang ke supermarket saja harus mengoles lipcream, pensil alis dan memakai bedak. Carla terlalu cuek dengan penampilannya. "Apa karena in
"Jangan bilang lo masih virgin?" "Shit! jadi benar lo masih virgin?' cewek berambut pirang itu membekap mulutnya melihat wajah tegang Carla setelah mendengar pertanyaan dari Meisya. "Em... memangnya salah, ya?" Carla kebingungan melihat para cewek-cewek itu tertawa mendengar jawabannya. Seakan menjaga kesuciannya di jaman sekarang adalah sebuah lelucon bagi mereka. Carla yang terlalu kolot atau mereka yang terlalu bebas? entahlah, rasanya Carla hanya ingin cepat-cepat pergi dari sini. "Memang ada ya jaman sekarang pacaran tanpa sex?" Miesya bertanya lagi. Dan Carla semakin merasa terpojokan. "Kayaknya masih pendekatan sama Chaka makanya belum, you know lah, Chaka gak pernah mau asal tidur sama cewek." cewek berambut pendek dengan sebatang rokok di sela jemarinya itu menimpali. Fica, namanya. "Yuki bilang mainnya Chaka oke, tapi kayaknya lebih oke Bian makanya Chaka di tingga
Carla terdiam sambil memandang wajah Savian yang tertidur pulas, sementara tangan Carla sedang menekan handuk yang sedang mengompres perut lebam Savian. Rupanya, pria itu sempat berkelahi dengan pacarnya Kristal. Lukanya tidak terlihat di bagian wajah, namun perut Savian membiru. Katanya sih kena tonjok. "Udah tahu luka, bukannya ke rumah sakit, kek! malah mabuk-mabukan!" omel Carla. Diam-diam Savian tersenyum tipis, ternyata dia belum sepenuhnya tertidur. "Udah tahu aku lagi luka, bukannya di obatin baik-baik, malah di omelin." sahut Savian, Carla mendengus sebal. "Aku obatin bapak gak cuma-cuma ya, pokoknya besok pagi bikinin aku roti bakar sama kopi." ujar Carla ternyata tidak mau sukarela mengobati dosennya itu. Savian terkekeh pelan, membuka matanya kembali lalu menarik tangan Carla hingga cewek itu tumbang dan tiduran di sebelahnya. Spontan Savian memiringkan badannya, menghadap sepenuhnya ke arah Carla yang sudah
"Aku pastikan kamu tidak akan menyesal sudah berkata seperti tadi," Savian berbisik diantara ciuman panasnya. Tangannya yang berada di pinggang Carla merambat naik, menyetuh payudara sintal milik Carla. Sementara gadis itu mengigit bibir bawahnya menahan lenguhan yang memaksa ingin keluar. Savian melepaskan ciumannya. Memberi kesempatan Carla untuk menarik napas dalam, sembari Savian angkat tubuh gadis itu untuk duduk di atas pangkuannya. Tangan Savian mengarahkan kedua kaki Carla untuk melingkar di pinggangnya, membuat Carla merasakan sesuatu yang menonjol itu kembali menekan pangkal pahanya. Ciuman Savian kali ini jatuh di sela leher Carla, sesekali menggigit lembut kulit leher Carla hingga membuat gadis lugu itu terpekik dan mengerang nikmat. Diterpa sebuah sensasi asing yang membuat perutnya seperti di gelitiki ribuan kupu-kupu, Carla tak bisa mengelak selain menikmati. "Perhatikan," Savian menghentikan aktifitasnya sejenak, kedua tangannya mengusap wajah
Tiga hari berlalu sejak kejadian malam itu. Malam dimana awal Savian kehilangan harga dirinya untuk pertama kali. Bagaimana bisa Carla menyebut nama pria lain di saat Savian sedang berusaha untuk membuat gadis itu merasa puas?Kesalahan Carla terlalu fatal, gadis itu membuat harga diri Savian sebagai pejantan sejati terluka. Karena kesalahan tersebut Savian sampai puasa bicara dengan Carla. Savian bahkan menghindari kontak dan kegiatan apapun yang membuatnya berhubungan dengan gadis itu. Semua perasaannya campur aduk, ia malu, kesal dan juga marah kepada Carla.Sebelum Carla meminta maaf, Savian tidak akan mengubah sikapnya kembali seperti dulu.Dua jam sudah Savian menerangkan materi mata kuliahnya pagi ini. Seperti biasa, menit-menit terakhir sebelum jam mata kuliahnya selesai Savian membuka sesi tanya -jawab untuk mahasiswa yang belum memahami materinya."Cukup? atau masih ada yang ingin bertanya lagi?' Savian mengedarkan pandangannya, menatap sa
"Carla mana, bang? tadi bukannya sama lo?"Chaka mendudukkan bokongnya di kursi panjang sebelah Alvero. Tanpa izin pemuda itu meraih teh botol di atas meja yang entah milik siapa, lantas meneguknya hingga tandas. Tapi, dari raut wajah Frisco yang menatap Chaka tak rela, seperti dia pemilik teh botol itu."Dosen lo gila, ya?" bukannya menjawab pertanyaan dari Alvero, Chaka malah menggerutu kesal.Alvero menatap Chaka penasaran, "Siapa? Pak Savian? Kenapa memang, bang?" Yang langsung Alvero cecer dengan pertanyaan.Chaka meremas kemasan teh botol yang sudah kosong di tangannya hingga tak terbentuk. Mengingat dosen nya Carla yang sedikit gila membuat rasa emosi pemuda itu kembali mendominasi dirinya. Kepala Chaka menggeleng dengan sorot mata kosong menatap ke depan, ia tidak habis pikir ada dosen sekejam Savian. Bodohnya, kenapa Carla mau-mau saja menjadi penanggungjawab dari mata kuliah yang dipegang oleh do