“Gimana rasanya, enak?”
Chaka menyelesaikan kunyahannya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan dari Carla, “Gue gak bilang kalau makanan kafe itu gak enak, cuma porsinya aja gak sesuai sama porsi perut gue,” jeda, Chaka menusuk Chicken Fingers menggunakan garpu di tangannya. “Lihat Chicken Fingers aja rasanya gue pengen pake nasi.” sambungnya lantas melahap potongan daging ayam itu ke dalam mulutnya dalam satu kali suapan.
“Pesen nasi putih aja, kamu mau?” tawar Carla hendak mengangkat tangannya, memanggil salah satu waitress untuk memesan nasi putih.
“Eh, gue bercanda, Carla.” Chaka menurunkan kembali tangan Carla yang hampir terangkat itu, untung belum ada satu pun waitress yang sadar.
Carla menggelengkan kepalanya, ia terkekeh, “Cobain ini deh,” titahnya sembari menyodorkan piring berisi Onion Ring ke hadapan Chaka, “Onion di sini beda dari yang lain, manis dan gurihnya pas!” lanjutnya Carla makin antusias memperkenalkan menu andalan kafe lan
Chaka: gue jemput after isya ya Malam minggu datang lagi, dan ini kali kedua Carla menikmati malam minggunya di luar rumah. Gadis manis itu saat ini sedang memilah baju, meski masih jam lima sore tapi semangatnya untuk pergi bersama Chaka sudah menggebu-gebu. Carla sangat antusias dan tidak sabar menyambut dewi malam. Katanya, Chaka mau mengenalkan Carla ke teman-temannya. Itu berarti Carla harus tampil cantik supaya tidak mempermalukan Chaka di hadapan teman-teman cowok itu. Carla memandang dirinya dari pantulan cermin. Meletakkan semua baju pilihannya ke atas ranjang, kemudian ia mendudukkan bokongnya di kursi meja rias. Wajahnya fresh, ia baru saja mandi beberapa menit lalu dan belum mengaplikasi make-up sedikitpun ke wajahnya. Memang, Carla tidak terlalu obsesi dengan make-up, ia bukan tipikal cewek yang ke supermarket saja harus mengoles lipcream, pensil alis dan memakai bedak. Carla terlalu cuek dengan penampilannya. "Apa karena in
"Jangan bilang lo masih virgin?" "Shit! jadi benar lo masih virgin?' cewek berambut pirang itu membekap mulutnya melihat wajah tegang Carla setelah mendengar pertanyaan dari Meisya. "Em... memangnya salah, ya?" Carla kebingungan melihat para cewek-cewek itu tertawa mendengar jawabannya. Seakan menjaga kesuciannya di jaman sekarang adalah sebuah lelucon bagi mereka. Carla yang terlalu kolot atau mereka yang terlalu bebas? entahlah, rasanya Carla hanya ingin cepat-cepat pergi dari sini. "Memang ada ya jaman sekarang pacaran tanpa sex?" Miesya bertanya lagi. Dan Carla semakin merasa terpojokan. "Kayaknya masih pendekatan sama Chaka makanya belum, you know lah, Chaka gak pernah mau asal tidur sama cewek." cewek berambut pendek dengan sebatang rokok di sela jemarinya itu menimpali. Fica, namanya. "Yuki bilang mainnya Chaka oke, tapi kayaknya lebih oke Bian makanya Chaka di tingga
Carla terdiam sambil memandang wajah Savian yang tertidur pulas, sementara tangan Carla sedang menekan handuk yang sedang mengompres perut lebam Savian. Rupanya, pria itu sempat berkelahi dengan pacarnya Kristal. Lukanya tidak terlihat di bagian wajah, namun perut Savian membiru. Katanya sih kena tonjok. "Udah tahu luka, bukannya ke rumah sakit, kek! malah mabuk-mabukan!" omel Carla. Diam-diam Savian tersenyum tipis, ternyata dia belum sepenuhnya tertidur. "Udah tahu aku lagi luka, bukannya di obatin baik-baik, malah di omelin." sahut Savian, Carla mendengus sebal. "Aku obatin bapak gak cuma-cuma ya, pokoknya besok pagi bikinin aku roti bakar sama kopi." ujar Carla ternyata tidak mau sukarela mengobati dosennya itu. Savian terkekeh pelan, membuka matanya kembali lalu menarik tangan Carla hingga cewek itu tumbang dan tiduran di sebelahnya. Spontan Savian memiringkan badannya, menghadap sepenuhnya ke arah Carla yang sudah
"Aku pastikan kamu tidak akan menyesal sudah berkata seperti tadi," Savian berbisik diantara ciuman panasnya. Tangannya yang berada di pinggang Carla merambat naik, menyetuh payudara sintal milik Carla. Sementara gadis itu mengigit bibir bawahnya menahan lenguhan yang memaksa ingin keluar. Savian melepaskan ciumannya. Memberi kesempatan Carla untuk menarik napas dalam, sembari Savian angkat tubuh gadis itu untuk duduk di atas pangkuannya. Tangan Savian mengarahkan kedua kaki Carla untuk melingkar di pinggangnya, membuat Carla merasakan sesuatu yang menonjol itu kembali menekan pangkal pahanya. Ciuman Savian kali ini jatuh di sela leher Carla, sesekali menggigit lembut kulit leher Carla hingga membuat gadis lugu itu terpekik dan mengerang nikmat. Diterpa sebuah sensasi asing yang membuat perutnya seperti di gelitiki ribuan kupu-kupu, Carla tak bisa mengelak selain menikmati. "Perhatikan," Savian menghentikan aktifitasnya sejenak, kedua tangannya mengusap wajah
Tiga hari berlalu sejak kejadian malam itu. Malam dimana awal Savian kehilangan harga dirinya untuk pertama kali. Bagaimana bisa Carla menyebut nama pria lain di saat Savian sedang berusaha untuk membuat gadis itu merasa puas?Kesalahan Carla terlalu fatal, gadis itu membuat harga diri Savian sebagai pejantan sejati terluka. Karena kesalahan tersebut Savian sampai puasa bicara dengan Carla. Savian bahkan menghindari kontak dan kegiatan apapun yang membuatnya berhubungan dengan gadis itu. Semua perasaannya campur aduk, ia malu, kesal dan juga marah kepada Carla.Sebelum Carla meminta maaf, Savian tidak akan mengubah sikapnya kembali seperti dulu.Dua jam sudah Savian menerangkan materi mata kuliahnya pagi ini. Seperti biasa, menit-menit terakhir sebelum jam mata kuliahnya selesai Savian membuka sesi tanya -jawab untuk mahasiswa yang belum memahami materinya."Cukup? atau masih ada yang ingin bertanya lagi?' Savian mengedarkan pandangannya, menatap sa
"Carla mana, bang? tadi bukannya sama lo?"Chaka mendudukkan bokongnya di kursi panjang sebelah Alvero. Tanpa izin pemuda itu meraih teh botol di atas meja yang entah milik siapa, lantas meneguknya hingga tandas. Tapi, dari raut wajah Frisco yang menatap Chaka tak rela, seperti dia pemilik teh botol itu."Dosen lo gila, ya?" bukannya menjawab pertanyaan dari Alvero, Chaka malah menggerutu kesal.Alvero menatap Chaka penasaran, "Siapa? Pak Savian? Kenapa memang, bang?" Yang langsung Alvero cecer dengan pertanyaan.Chaka meremas kemasan teh botol yang sudah kosong di tangannya hingga tak terbentuk. Mengingat dosen nya Carla yang sedikit gila membuat rasa emosi pemuda itu kembali mendominasi dirinya. Kepala Chaka menggeleng dengan sorot mata kosong menatap ke depan, ia tidak habis pikir ada dosen sekejam Savian. Bodohnya, kenapa Carla mau-mau saja menjadi penanggungjawab dari mata kuliah yang dipegang oleh do
"Ka, aku bisa makan sendiri." tangan Carla bergerak naik, mencegat sendok di tangan Chaka yang melayang ke arah mulutnya. Chaka berdecak, mencekal pelan tangan Carla yang menghalangi sendok yang ia arahkan ke mulut gadis itu, "Biar tugas lo cepet selesai, jadi gue suapin aja, ya. Cepet buka mulutnya!" balas Chaka memerintah dengan tegas. Bibir pemuda itu tersenyum tipis melihat Carla yang akhirnya membuka mulut dan memakan mie ayam yang sedari tadi Chaka paksa untuk di makan. "Ekhem," Savian berdehem, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering melihat Carla dan Alvero yang sedang suap-suapan di depan matanya. "Anak pintar," Mengabaikan deheman dari Savian, Chaka hanya fokus kepada Carla saja. Ia memuji dengan manis Carla yang berhasil menelan suapan pertamanya. Tangan Chaka terulur, mengusap sisi bibir Carla yang sedikit berminyak. Savian menggerutu dalam hati, niatnya mengurung Carla di ruangannya i
Sebut saja khilaf, walau Carla ingat kalau setiap sentuhan Savian malam itu sangat ia nikmati. Kejadian tiga hari lalu tidak hilang begitu saja dari ingatan Carla. Jelaslah, ini skinship terjauh yang pertama kali ia lakukan dengan lawan jenis tanpa paksaan dan untuk pertama kalinya juga Carla menikmati sentuhan penuh sensual yang Savian berikan. Carla juga baru tahu kalau ternyata bercumbu rasanya se-luar biasa itu, rasanya seperti membuat dirinya melayang ke udara. Sangat berbeda ketika ia sedang dilecehkan secara paksa oleh kakak tirinya. Tapi, Carla sadar. Dilecehkan atau bercumbu itu sama-sama bukan hal yang dapat ia benarkan selama ia dan Savian tidak memiliki hubungan yang legal. Gadis itu tidak sadar kalau ia seperti terjebak di kesialan yang sama dua kali. Bedanya, yang pertama ia terjatuh karena keadaan, yang kedua ia menjatuhkan diri didalam keadaan. Ditangan laki-laki yang berbeda. Yang di lakukan Gentara salah, tapi yang Savian lakukan
Kahfi menghembuskan napasnya cemas, pria itu tidak bisa berhenti memikirkan istrinya yang sekarang entah berada dimana. Keina yang beberapa jam lalu mengeluh tak enak badan, kini menghilang. Sudah sejak tadi Kahfi ingin mencarinya, tapi Keino melarang dan mengatakan kalau sebentar lagi gadis itu pasti akan pulang. Kata Keino, Keina memang suka pergi main tanpa bilang-bilang. Kalau pun memaksa pergi, Kahfi juga tidak tahu harus kemana, dia tidak mengenal teman-teman dekat istrinya. Sedari tadi ponsel Keina juga tidak bisa dihubungi."Tunggu di dalam aja, Kaf. Dingin di sini." Keino datang sambil memainkan kunci mobil di tangannya, sepertinya pria itu hendak pergi.Kahfi mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Enggak usah khawatir, Keina emang gitu anaknya, bandel. Sering kabur-kaburan. Nanti kalau dia udah pulang, sentil aja kupingnya, kebiasaan kalau main enggak izin dulu. Dia lupa kali kalau sekarang udah punya suami." gerutu Keino. Mungkin dia kesal dengan tabiat adiknya yang satu itu
Keina melenguh disela-sela tidurnya, bukan tanpa sebab tidurnya yang nyenyak itu terganggu. Ada sesuatu yang mengguncang pundaknya, dan dengan terpaksa Keina membuka mata."Na, bangun..." Suara halus itu kini sudah langganan ditelinganya, jelas dia tahu siapa pemiliknya. Kahfi."Kenapa sih, Kak? Aku masih ngantuk!" Keina menepis tangan Kahfi dari pundaknya. Demi Tuhan, dia masih ngantuk berat, setelah subuh tadi dia harus terbangun untuk sholat subuh, kini Kahfi kembali mengusik tidurnya lagi."Hei, kamu lupa hari ini kita mau ke Dokter Kandungan?" Meski suaranya masih tetap lembut, tapi nyatanya saat ini Kahfi sedang menahan rasa sabarnya. Baru beberapa minggu menjadi suami, namun rasa sabar Kahfi benar-benar diuji.Mendengar apa yang baru saja suaminya itu katakan, spontan sepasang mata Keina membulat sempurna. Dia segera memunggungi Kahfi dan meringis pelan. Tentu saja sambil mengumpat dalam hati. Benar, dia lupa kalau hari ini mereka sudah janjian untuk periksa kandungan. Bukan me
Keina duduk di depan Kahfi dan Keino dengan wajah tegang. Sejak kemarin kakaknya itu memang ada di rumah, tapi hubungan mereka sedikit canggung karena pemasalahan yang ada. Ya, tentu saja Keino marah saat mendengar kabar bahwa adiknya itu dihamili oleh pria yang tidak bertanggungjawab. Jangankan ngobrol, sejak datang saja Keino tidak mau menatap wajah Keina, baru tadi saat menegurnya di depan teman-temannya.Jadi, tolong jangan ditanyakan seberapa besar rasa marah Keino ke Keina. Sebagai kakak, dia jelas merasa sangat kecewa dan gagal melindungi adiknya dari janji manis laki-laki buaya."Gimana Keina, Kaf? Dia menjalani kewajibannya sebagai istri, kan?" tanya Keino menatap Kahfi dengan serius, walaupun Keina duduk tepat disebelah Kahfi, tapi tak sekilas pun matanya melirik ke arah sang adik yang merengut cemas.Sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya itu, Kahfi menoleh ke arah Keina dan tersenyum lembut. Dia menggerakan tangannya, merangkum punggung tangan Keina yang nganggur lalu m
"Na, mobil siapa tuh?"Keina yang sedang asik berbincang dengan Gibral lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan apa yang Miska lihat saat ini. Sebuah mobil Range Rover yang melaju memasuki perkarangan rumahnya. Perlahan kening Keina berkerut sebelum bibirnya mengeluarkan sebuah decakan sebal setelah tersadar siapa pemilik mobil mewah itu.Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Kahfi. "Siapa, Na?" Mario ikut bertanya.Dan ketika pintu mobil itu terbuka, memunculkan Kahfi yang keluar dari dalam sana. Hal itu tentu saja membuat rasa penasaran teman-temannya terbayarkan. Jelas mereka masih ingat wajah pria yang duduk di kursi pelaminan bersama Keina menggantikan posisi Dirga yang notebene teman mereka juga. Mereka spontan bangkit berdiri, kecuali Keina yang ekspresinya langsung mendadak bete."Na, kok diam aja, itu suami lo datang!" Miska menarik tangan Keina cepat tatkala melihat Kahfi yang berjalan mendekati mereka dengan seulas senyum manisnya. Jika boleh jujur, tadi Mis
"Maaaaa, takut!" Keina berlari mundur saat mendengar gemercik minyak panas tatkala ia memasukan potongan ayam ke dalam penggorengan. "Ya ampun, Na! Masak aja kayak mau tawuran!" Komentar Dinne yang berdiri diujung pintu dapur sambil memegang ponsel yang menyorot ke arah sang anak. Ya, dia sedang merecord kegiatan Keina untuk dikirim ke Kahfi sebagai laporan. Meskipun Kahfi tidak meminta, tapi Dinne berinisiatif sendiri. "Ma, bantuin aku dong! Kok malah main hape doang!" Gadis itu menatap sang mama kesal, tangan kanannya memegang spatula sementara tangan lainnya memegang tutup panci yang dia ambil spontan untuk melindungi diri dari cipratan minyak. Dinne berdecak, sebelum mengindahkan perintah sang anak, dia mengatur tata letak ponselnya agar kameranya terus menyorot ke arah Keina. Setelah itu dia berjalan mendekati kompor, "Sini, gitu aja udah marah-marah." Dia mengambil alih spatula dari tangan Keina, lalu menggoreng potongan ayam yang tersisa. "Mama kayaknya salah deh, sebelum be
Kahfi mengelus bibirnya dengan kedua mata tertuju pada ponsel digenggaman. Biasanya di jam-jam segini pria itu sibuk dengan laptop dan pekerjaan, meskipun pekerjaannya sudah selesai tapi dia pasti selalu bertanya ke Sekretarisnya apakah ada pekerjaan yang bisa dia selesaikan saat itu. Namun untuk kali ini Kahfi memilih untuk korupsi waktu, entah kenapa dia lebih memilih untuk berperang dengan isi kepalanya sendiri daripada menandatangi berkas-berkas.Pria dengan kemeja abu-abu itu merenggangkan dasinya. Tangan kanan Kahfi memegang ponsel yang hanya dia tatapi sejak setengah jam lalu, sementara tangan lainnya memutar-mutar bolpoint. Nama sang istri yang asik berlarian di kepalanya menjadi alasan kenapa pria itu asik dengan dunianya sendiri. Kahfi melirik arloji dipergelangan tangannya, jam satu siang. Kalau dia telepon Keina dan bertanya apakah istrinya itu sudah sholat dzuhur dan makan siang, apa Keina akan merasa terganggu? Mengingat bagaimana respon Keina saat ia telepon tadi pagi,
Mas Kahfi: Assamu'alaikum, Na... Selamat pagi.Mas Kahfi: Hari ini kesiangan enggak sholat subuhnya? Oh iya, jangan telat sarapan, ya.Keina yang baru membuka kedua matanya dan tak sengaja mendapati pop-up pesan dari Kahfi lantas berdecih. Entah kenapa pesan manis itu terlihat menjijikan untuknya. Typing Kahfi benar-benar menggambarkan sosok bapak-bapak yang sudah tua, sangat berbeda dengan Keina yang terbiasa menerima pesan dengan typing gaul dari teman-teman sepantarannya.Tanpa berniat membalas pesan dari suaminya itu, Keina lantas meletakan kembali ponselnya ke atas nakas. Sejenak dia merenggangkan otot-otot badannya sebelum menyibak selimut dan turun dari ranjang. Gadis dengan setelan piyama biru muda itu berjalan menuju jendela kamarnya, membuka ventilasi udara dan menghirup banyak-banyak udara yang belum terkontaminasi polusi.Kepala Keina menoleh ke belakang, melirik jam dinding. Ternya masih pukul enam pagi. Sejujurnya, ini momen langka karena Keina bisa bangun disaat matahar
Menepati janjinya, selepas sholat dzuhur Kahfi membawa Keina ke rumah Galih untuk silahturahmi sekaligus mengenalkan istri cantiknya itu. Tentu saja, Galih dan istrinya menyambut dengan baik kedatangan keduanya. Ya, meski gagal menjadikan Kahfi sebagai menantu mereka, tapi hubungan keluarga Galih dengan Kahfi tetap baik. Mereka juga banyak memuji Keina yang katanya cantik. Usai berbincang kecil selama kurang lebih setengah jam, Kahfi dan Keina harus pamit karena mereka harus pergi mengejar jam penerbangan pesawat ke Jakarta yang sudah mereka pesan siang ini. Ya, hari ini Keina akan kembali ke Jakarta, jika gadis itu menepati janjinya, maka dia akan kembali lagi bulan depan untuk menetap selamanya bersama Kahfi di kota ini."Sudah dicek lagi barang-barang kamu? Ada yang ketinggalan enggak?" tanya Kahfi seraya mengambil alih tas besar yang sedang Keina bawa. Lantas dia menaruhnya ke dalam bagasi mobil."Enggak ada, Kak," jawab Keina.Kahfi mengangguk, dia lantas membukakan pintu penump
"Mas Kahfi, tumben sudah dua hari saya enggak lihat mas Kahfi jamaah di sini,"Kahfi yang baru saja melangkah keluar dari pintu masjid langsung menghentikan tungkainya, dia berbalik badan dan mendapati Pak Galih yang melempar pertanyaan kepadanya.Sebelum menjawab, Kahfi lebih dulu menyalami tangan pria paruhbaya itu. Dia cukup dekat dengan Pak Galih selaku ketua RT dikompleknya. Apalagi mereka sama-sama jamaah tetap di masjid, jadi setiap hari pasti bertemu."Iya, Pak, kemarin saya habis dari Jakarta," jawab Kahfi dengan senyuman di wajah teduhnya. "Oh iya, Pak, rencananya pagi ini saya mau ke rumah bapak," imbuh Kahfi sambil melangkah menuju halaman masjid. Tentu saja, tungkai Galih juga mengiringi."Ada apa, mas?" Galih bertanya sambil memakai sandal jepitnya.Kahfi menahan senyum, sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan situasi seperti ini, dijalan menuju arah pulang. Meskipun jalanan sedang sepi dan hanya ada beberapa orang yang juga baru keluar dari masjid selepas sholat sub