"Gue mau nikah." "HAH?" respon kaget itu serentak disuarakan oleh yang jadi lawan bicara Dinne, ada Carla, Mahen, Marcel dan Alvero yang dengan kompak menampakan ekspresi wajah yang sama. Melongo. "Sama siapa, Nne?" tanya Marcel sambil memajukan wajahnya ngegas.Dinne menundukkan pandangannya, dia terlihat cemas saat matanya tidak sengaja beradu tatapa dengan mata elang Mahen. "Sama Mas Gama." jawab Dinne dengan suara pelan. Tangannya yang disembunyikan di bawah meja meremas jemarinya gelisah. "Nne?" Carla menutup mulutnya tak percaya. Bagaimana mungkin Dinne memilih untuk menikah dengan pria yang pernah menyelingkuhinya. "Lo serius? Beneran nggak lagi ngeprank, kan?" sahut Marcel masih tidak percaya. Tapi ketika Dinne mengeluarkan kertas undangan dari dalam totebag yang gadis itu bawa, mereka kompak mendesah pasrah."Kita perlu bicara, Nne." Mahen beranjak bangkit. Wajahnya mengeras, menampilkan kesan marah yang sedang pemuda itu tahan. Suasana berubah mencekam. Ramainya pengun
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” Savian bertanya, melirik bingung pada Carla yang sedang duduk anteng di jok sebelah. Tubuhnya memang diam, tapi sedari tadi bibir Carla tidak berhenti mengeluarkan kekehan ringan. Carla langsung meletakan ponselnya ke atas paha. “Nggak. Chaka ngirim foto kami pas dulu, muka aku kocak banget di situ, lucu aja.”“Foto kayak gimana? Coba lihat.” pinta Savian sambil menyodorkan tangannya.“Nggak usah di lihat, jelek, Mas.” Serius, menurut Carla fotonya memang tidak bagus. Ia terlihat seperti orang tolol karena belum siap untuk di foto. Carla masih ingat jelas kapan foto itu diambil. “Mana lihat.” Tapi Savian tidak kenal kata menyerah. Ia mau lihat foto seperti apa yang masih Chaka simpan. Carla berdecak, ia menyodorkan ponselnya pasrah sambil mempoutkan bibir bawahnya. Sejenak Savian mengalihkan pandangannya dari jalanan, ia menatap ke layar ponsel Carla, mengamati fotonya sebentar lalu berdecak kesal dan melempar ponsel Carla asal. “Dulu kita ngg
Setelah satu minggu menghindar, akhirnya di hari libur ini Dinne meminta pertemuan kepada teman-temannya. Kali ini bukan di kafe, melainkan di rumah Carla. Mereka sengaja tidak ingin membuat Carla keluar dari rumah karena gadis itu sedang hamil dan tidak boleh kelelahan. “Mas, tolongin dong...” Mohon Carla sembari mengoyak lengan Savian yang sedang rebahan di depan televisi. “Kasih aja mereka makanan yang ada di kulkas, Car, atau delivery aja.” “Enggak mau, aku maunya beli bahan mentahnya aja, biar aku yang masak.” Carla merengek. Memaksa Savian agar pergi ke supermarket dan belanja bahan-bahan dapur yang sudah habis. Karena hari ini teman-temannya mau datang, Carla berniat untuk masak banyak.“Kenapa nggak kemarin aja suruh Bu Mira yang belanja?” tanya Savian masih malas-malasan. Mira adalah ART di rumah mereka, kalau hari libur gini Mira juga mereka liburkan. “Lupaaa, udah buruan Mas aja yang belanja, keburu teman-temanku pada datang.” Carla tidak menyerah begitu saja. Seandainy
Tanpa sadar Savian melukiskan senyumnya saat memandangi Carla yang sedang tertawa puas bersama Dinne dan temannya yang lain.Saat ini rumahnya sedang kedatangan banyak tamu, mereka semua sedang ngobrol di ruang tengah, sementara Savian lagi membersihkan aquarium ikannya. “Pak, Carla boleh ikut kita ke Bali nggak?” Dinne menyeletuk, menegur Savian yang sedang sibuk dengan dunianya. “Kapan?” tanya Savian dengan santai. Tampak tidak ingin melarang. “Masih lama sih, Pak, tiga bulan dari sekarang. Kan perut Carla belum begitu gede tuh.” Masih dengan Dinne yang menimpali. Menyuarakan rencananya yang ingin liburan bareng ke Bali. “Kalau bapak mau ikut juga gakpapa, sih.” “Iya, kali aja Bapak mau bantu bayarin akomodasi kita.” celetuk Frisco sambil ketaw-tawa.Savian meliriknya sambil tersenyum simpul. Bukannya pelit, tapi saat ini Carla sedang mengandung calon buah cinta mereka, itu berarti banyak yang harus Savian persiapkan, terutama dari segi finansial. Biaya persalinan itu tidak mur
Memasuki usia lima bulan kehamilan, Carla semakin banyak mengalami perubahan, terlebih pada tubuhnya. Dia makin seksi dan seger. Ah, satu lagi, dia makin mager. “Mas, lihat deh, Dinne sama Mas Gama seru banget babymoon nya.” Carla menunjukkan layar ponselnya ke gue, memperlihat instastory Dinne bersama Gama yang lagi liburan ke Pulau Dewata Bali. Omong-omong tentang liburan, rencana Carla dan teman-temannya ke Bali gagal karena gue melarang Carla buat ikut mereka liburan. Alhasil, mereka semua sepakat buat nggak pergi. Kecuali Dinne yang memang sudah berencana buat babymoon di Bali. Bukan tanpa alasan gue melarang Carla, saat ini Carla sedang hamil anak kembar. Iya, anak gue kembar. Makanya gue nggak izinin Carla buat bepergian jauh mengingat perut dia lebih besar dibanding perut ibu hamil pada umumnya. Ya, karena isi perut istri gue ada dua calon bayi. Dan itu membuat Carla jadi lebih gampang capek. “Nanti kita liburan bareng kalau kembar udah rilis.” jawab gue lalu kembali fokus
Deicana : Car, aku udah di depan rumah Carla melengos ke samping, memastikan kalau Savian sudah tertidur lelap.Sekarang jam 11 malam lewat 30 menit. Carla harus buru-buru menyiapkan untuk suaminya. Iya, Savian bertambah usai. Pria yang beberapa bulan lagi akan menjadi seorang ayah itu akan menginjak usia pertengahan tiga puluh lima. Dengan sedikit meringis karena beratnya perut besar yang ia bawa, Carla melangkah dengan langkah pelan menuju pintu utama. “Car!” pekik Deica yang sedang menyenderkan punggungnya ke pintu mobil Fortuner putih miliknya. Deica tidak sendiri, ia bersama seorang pria yang baru pertama kali Carla temui. Tapi Carla sudah tahu kalau pria itu adalah calon iparnya. Entah siapa namanya, Carla belum berkenalan. Selain itu, ada Kristal dan Mamanya Carla juga. Sementara Kirana dan Miko tidak bisa ikut karena mereka sedang di luar kota sejak satu minggu lalu. “Ayo, masuk!” ajak Carla usai membuka pintu gerbang rumahnya. Carla menghampiri Mirda, lalu mengecup pung
Menginjak usia kehamilan ke-7 bulan, Savian dan keluarga membuat acara mitoni atau nujuh bulanan di kediamannya. Acara diisi dengan doa dan dzikir bersama serta santunan anak yatim. Selepas acara juga ada perkumpulan kerabat Carla dan Savian di malam harinya."Duh, Car, engap gue lihat lo ke mundar-mandir, mending lo duduk aja deh." Itu suara Dinne. Ibu hamil yang satu itu menegur Carla yang tidak bisa diam mengeluarkan semua makanan dari dapurnya. Carla terkekeh, namun ia tetap menuruti permintaan Dinne yang saat ini sedang hamil 2 bulan. Bukan cuma Dinne, tapi teman yang lainnya juga datang, seperti biasa, circle semasa kuliahnya. "Kalau anaknya Dinne cewek, jodohin aja." timpal Frisco yang lagi anteng makan kue bolu. "Masih di dalam perut udah main jodoh-jodohin aja." sahut Dinne sambil mengusap perutnya. Dia sih enggak keberatan dengan saran dari Frisco, tapi Dinne tidak mau membuat calon anaknya terbebani karena perjodohan.Carla ketawa kecil. "Kalau memang jodoh pasti ketemu
Savian duduk termenung di depan pintu ruang operasi. Setengah jam telah berlalu, namun ketenangan belum pria itu dapatkan. Bagaimana Savian bisa tenang kalau di dalam sana nyawa istri dan anak-anaknya sedang dipertaruhkan. Karena tragedi jatuh di kamar mandi membuat istrinya itu mengalami pendarahan dan harus melakukan operasi caesar. Demi keselamatan buah hati dan istrinya, Savian bergerak cepat mengurus administrasi agar Carla segera mendapatkan tindakan. Meski sebelum dioperasi Carla sempat menyuruhnya untuk tidak khawatir dan menyakinkan Savian kalau dia dan anak-anaknya pasti akan selamat. Savian percaya, makanya saat ini pria yang akan menjadi calon Ayah itu tidak berhenti berdoa."Savian!" Yang punya nama spontan menoleh, pria itu lantas berdiri saat mendapati Mama mertuanya berlari ke arahnya. Ada Alvero yang mendampingi perempuan parah baya itu. "Ma..."Tanpa berkata apapun, Mirda membawa Savian ke dalam pelukannya. Ia seolah peka dengan ketakutan yang melanda menantunya
Kahfi menghembuskan napasnya cemas, pria itu tidak bisa berhenti memikirkan istrinya yang sekarang entah berada dimana. Keina yang beberapa jam lalu mengeluh tak enak badan, kini menghilang. Sudah sejak tadi Kahfi ingin mencarinya, tapi Keino melarang dan mengatakan kalau sebentar lagi gadis itu pasti akan pulang. Kata Keino, Keina memang suka pergi main tanpa bilang-bilang. Kalau pun memaksa pergi, Kahfi juga tidak tahu harus kemana, dia tidak mengenal teman-teman dekat istrinya. Sedari tadi ponsel Keina juga tidak bisa dihubungi."Tunggu di dalam aja, Kaf. Dingin di sini." Keino datang sambil memainkan kunci mobil di tangannya, sepertinya pria itu hendak pergi.Kahfi mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Enggak usah khawatir, Keina emang gitu anaknya, bandel. Sering kabur-kaburan. Nanti kalau dia udah pulang, sentil aja kupingnya, kebiasaan kalau main enggak izin dulu. Dia lupa kali kalau sekarang udah punya suami." gerutu Keino. Mungkin dia kesal dengan tabiat adiknya yang satu itu
Keina melenguh disela-sela tidurnya, bukan tanpa sebab tidurnya yang nyenyak itu terganggu. Ada sesuatu yang mengguncang pundaknya, dan dengan terpaksa Keina membuka mata."Na, bangun..." Suara halus itu kini sudah langganan ditelinganya, jelas dia tahu siapa pemiliknya. Kahfi."Kenapa sih, Kak? Aku masih ngantuk!" Keina menepis tangan Kahfi dari pundaknya. Demi Tuhan, dia masih ngantuk berat, setelah subuh tadi dia harus terbangun untuk sholat subuh, kini Kahfi kembali mengusik tidurnya lagi."Hei, kamu lupa hari ini kita mau ke Dokter Kandungan?" Meski suaranya masih tetap lembut, tapi nyatanya saat ini Kahfi sedang menahan rasa sabarnya. Baru beberapa minggu menjadi suami, namun rasa sabar Kahfi benar-benar diuji.Mendengar apa yang baru saja suaminya itu katakan, spontan sepasang mata Keina membulat sempurna. Dia segera memunggungi Kahfi dan meringis pelan. Tentu saja sambil mengumpat dalam hati. Benar, dia lupa kalau hari ini mereka sudah janjian untuk periksa kandungan. Bukan me
Keina duduk di depan Kahfi dan Keino dengan wajah tegang. Sejak kemarin kakaknya itu memang ada di rumah, tapi hubungan mereka sedikit canggung karena pemasalahan yang ada. Ya, tentu saja Keino marah saat mendengar kabar bahwa adiknya itu dihamili oleh pria yang tidak bertanggungjawab. Jangankan ngobrol, sejak datang saja Keino tidak mau menatap wajah Keina, baru tadi saat menegurnya di depan teman-temannya.Jadi, tolong jangan ditanyakan seberapa besar rasa marah Keino ke Keina. Sebagai kakak, dia jelas merasa sangat kecewa dan gagal melindungi adiknya dari janji manis laki-laki buaya."Gimana Keina, Kaf? Dia menjalani kewajibannya sebagai istri, kan?" tanya Keino menatap Kahfi dengan serius, walaupun Keina duduk tepat disebelah Kahfi, tapi tak sekilas pun matanya melirik ke arah sang adik yang merengut cemas.Sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya itu, Kahfi menoleh ke arah Keina dan tersenyum lembut. Dia menggerakan tangannya, merangkum punggung tangan Keina yang nganggur lalu m
"Na, mobil siapa tuh?"Keina yang sedang asik berbincang dengan Gibral lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan apa yang Miska lihat saat ini. Sebuah mobil Range Rover yang melaju memasuki perkarangan rumahnya. Perlahan kening Keina berkerut sebelum bibirnya mengeluarkan sebuah decakan sebal setelah tersadar siapa pemilik mobil mewah itu.Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Kahfi. "Siapa, Na?" Mario ikut bertanya.Dan ketika pintu mobil itu terbuka, memunculkan Kahfi yang keluar dari dalam sana. Hal itu tentu saja membuat rasa penasaran teman-temannya terbayarkan. Jelas mereka masih ingat wajah pria yang duduk di kursi pelaminan bersama Keina menggantikan posisi Dirga yang notebene teman mereka juga. Mereka spontan bangkit berdiri, kecuali Keina yang ekspresinya langsung mendadak bete."Na, kok diam aja, itu suami lo datang!" Miska menarik tangan Keina cepat tatkala melihat Kahfi yang berjalan mendekati mereka dengan seulas senyum manisnya. Jika boleh jujur, tadi Mis
"Maaaaa, takut!" Keina berlari mundur saat mendengar gemercik minyak panas tatkala ia memasukan potongan ayam ke dalam penggorengan. "Ya ampun, Na! Masak aja kayak mau tawuran!" Komentar Dinne yang berdiri diujung pintu dapur sambil memegang ponsel yang menyorot ke arah sang anak. Ya, dia sedang merecord kegiatan Keina untuk dikirim ke Kahfi sebagai laporan. Meskipun Kahfi tidak meminta, tapi Dinne berinisiatif sendiri. "Ma, bantuin aku dong! Kok malah main hape doang!" Gadis itu menatap sang mama kesal, tangan kanannya memegang spatula sementara tangan lainnya memegang tutup panci yang dia ambil spontan untuk melindungi diri dari cipratan minyak. Dinne berdecak, sebelum mengindahkan perintah sang anak, dia mengatur tata letak ponselnya agar kameranya terus menyorot ke arah Keina. Setelah itu dia berjalan mendekati kompor, "Sini, gitu aja udah marah-marah." Dia mengambil alih spatula dari tangan Keina, lalu menggoreng potongan ayam yang tersisa. "Mama kayaknya salah deh, sebelum be
Kahfi mengelus bibirnya dengan kedua mata tertuju pada ponsel digenggaman. Biasanya di jam-jam segini pria itu sibuk dengan laptop dan pekerjaan, meskipun pekerjaannya sudah selesai tapi dia pasti selalu bertanya ke Sekretarisnya apakah ada pekerjaan yang bisa dia selesaikan saat itu. Namun untuk kali ini Kahfi memilih untuk korupsi waktu, entah kenapa dia lebih memilih untuk berperang dengan isi kepalanya sendiri daripada menandatangi berkas-berkas.Pria dengan kemeja abu-abu itu merenggangkan dasinya. Tangan kanan Kahfi memegang ponsel yang hanya dia tatapi sejak setengah jam lalu, sementara tangan lainnya memutar-mutar bolpoint. Nama sang istri yang asik berlarian di kepalanya menjadi alasan kenapa pria itu asik dengan dunianya sendiri. Kahfi melirik arloji dipergelangan tangannya, jam satu siang. Kalau dia telepon Keina dan bertanya apakah istrinya itu sudah sholat dzuhur dan makan siang, apa Keina akan merasa terganggu? Mengingat bagaimana respon Keina saat ia telepon tadi pagi,
Mas Kahfi: Assamu'alaikum, Na... Selamat pagi.Mas Kahfi: Hari ini kesiangan enggak sholat subuhnya? Oh iya, jangan telat sarapan, ya.Keina yang baru membuka kedua matanya dan tak sengaja mendapati pop-up pesan dari Kahfi lantas berdecih. Entah kenapa pesan manis itu terlihat menjijikan untuknya. Typing Kahfi benar-benar menggambarkan sosok bapak-bapak yang sudah tua, sangat berbeda dengan Keina yang terbiasa menerima pesan dengan typing gaul dari teman-teman sepantarannya.Tanpa berniat membalas pesan dari suaminya itu, Keina lantas meletakan kembali ponselnya ke atas nakas. Sejenak dia merenggangkan otot-otot badannya sebelum menyibak selimut dan turun dari ranjang. Gadis dengan setelan piyama biru muda itu berjalan menuju jendela kamarnya, membuka ventilasi udara dan menghirup banyak-banyak udara yang belum terkontaminasi polusi.Kepala Keina menoleh ke belakang, melirik jam dinding. Ternya masih pukul enam pagi. Sejujurnya, ini momen langka karena Keina bisa bangun disaat matahar
Menepati janjinya, selepas sholat dzuhur Kahfi membawa Keina ke rumah Galih untuk silahturahmi sekaligus mengenalkan istri cantiknya itu. Tentu saja, Galih dan istrinya menyambut dengan baik kedatangan keduanya. Ya, meski gagal menjadikan Kahfi sebagai menantu mereka, tapi hubungan keluarga Galih dengan Kahfi tetap baik. Mereka juga banyak memuji Keina yang katanya cantik. Usai berbincang kecil selama kurang lebih setengah jam, Kahfi dan Keina harus pamit karena mereka harus pergi mengejar jam penerbangan pesawat ke Jakarta yang sudah mereka pesan siang ini. Ya, hari ini Keina akan kembali ke Jakarta, jika gadis itu menepati janjinya, maka dia akan kembali lagi bulan depan untuk menetap selamanya bersama Kahfi di kota ini."Sudah dicek lagi barang-barang kamu? Ada yang ketinggalan enggak?" tanya Kahfi seraya mengambil alih tas besar yang sedang Keina bawa. Lantas dia menaruhnya ke dalam bagasi mobil."Enggak ada, Kak," jawab Keina.Kahfi mengangguk, dia lantas membukakan pintu penump
"Mas Kahfi, tumben sudah dua hari saya enggak lihat mas Kahfi jamaah di sini,"Kahfi yang baru saja melangkah keluar dari pintu masjid langsung menghentikan tungkainya, dia berbalik badan dan mendapati Pak Galih yang melempar pertanyaan kepadanya.Sebelum menjawab, Kahfi lebih dulu menyalami tangan pria paruhbaya itu. Dia cukup dekat dengan Pak Galih selaku ketua RT dikompleknya. Apalagi mereka sama-sama jamaah tetap di masjid, jadi setiap hari pasti bertemu."Iya, Pak, kemarin saya habis dari Jakarta," jawab Kahfi dengan senyuman di wajah teduhnya. "Oh iya, Pak, rencananya pagi ini saya mau ke rumah bapak," imbuh Kahfi sambil melangkah menuju halaman masjid. Tentu saja, tungkai Galih juga mengiringi."Ada apa, mas?" Galih bertanya sambil memakai sandal jepitnya.Kahfi menahan senyum, sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan situasi seperti ini, dijalan menuju arah pulang. Meskipun jalanan sedang sepi dan hanya ada beberapa orang yang juga baru keluar dari masjid selepas sholat sub