Note: Kalau bisa bacanya sebelum imsak atau setelah berbuka aja ya, soalnya di bab ini Savian sama Carla agak nakal xixixi
* * *
"Pagi,"
Carla berdecak, terlihat kesal. Mendapat ucapan selamat pagi dan disuguhi senyuman manis Savian nyatanya tidak membuat suasana hati gadis itu membaik. Carla malah semakin kesal karena bersitatap dengan sumber kerusakan mood nya sejak kemarin.
"Ngapain bapak ke sini?" ketus Carla bertanya. Pandangannya bahkan melengos, tak sudi menatap Savian yang menyajikan penampilan terbaiknya pagi ini, khusus untuk Carla.
Tangan Savian bergerak, meraih telapak tangan Carla lalu mengecup punggung tangan mungil itu. Sementara sang empu terdiam, tak menolak perlakuan manis prianya meski wajahnya tampak tak suka.
"Mau jemput kamu dong, siapa lagi memangnya?" ujar Savian. Tak menyerah begitu saja untuk meluluhkan hati Carla kembali. Savian sadar sikap Carla yang demikian karena ulahnya sendiri, jadi biarkan Savian yang berusa
Hampir saja terjadi! Kalau saja Carla tidak kuat iman, mungkin gadis itu akan menganggukan kepalanya tanpa sungkan. Sayangnya, cumbuan Savian tidak melumpuhkan semua kewarasan gadis itu. Otak Carla masih bisa dipakai untuk berpikir secara rasional, melakukan sex sebelum menikah hanya akan meninggalkan sebuah penyesalan. Carla cinta Savian, tapi ia tidak sebodoh itu memberikan segalanya untuk Savian sebelum ada cap halal pada hubungan mereka. Kini, dengan suasana canggung dua insan itu duduk bersebelah di dalam mobil. Tak ada percakapan apapun selama di perjalanan menuju kampus, keduanya saling sibuk dengan isi kepala masing-masing. "Kemarin saya ke Bandung, Mama nanyain kamu." kalimat Savian membuyarkan lamunan Carla. Gadis yang baru tersadar dari lamunannya itu segera menoleh ke sumber suara. "Oh ya? gimana kabar tante Kirana?" "Alhamdulillah sehat. Cuma nanyain kamu terus." Carla tersenyum tipis, "Nanya apa?" tanya Carla sembari mengalihkan pandangan ke jalanan di depan. Sebe
Dua tahun kemudian... "Telat tiga puluh menit!" ketus Carla seraya menutup pintu mobil Savian dengan keras, melampiaskan kekesalannya yang lama terpendam. Savian yang sudah menduga Carla akan marah padanya langsung memasang wajah penuh sesal, "Maaf, Sayang, tadi aku meeting dulu." "Oh," respon Carla acuh. Ekspresi wajahnya datar dan lurus ke depan, enggan menatap Savian yang sedang mengemis perhatian. "Besok-besok kalau kamu ada meeting sampai malam gini mending aku pulang naik ojol aja atau nebeng temen." lanjutnya masih dengan raut bete. Bagaimana Carla tidak kesel kalau waktu tiga puluh menitnya yang bisa dipakai untuk istirahat malah terbuang sia-sia di lobby bank karena menunggu Savian yang tidak kunjung datang."Salah aku, maaf yaa. Kita makan malam dulu, sate ayam mau?" Savian mengalihkan pembicaraan, tanda tidak mengizinkan apa yang Carla utarakan barusan. Carla menghembuskan napas berat, kedua matanya memejam lalu kepalanya mengangguk perlahan. Tak berusaha untuk memperpa
"Pesen minum dulu gih, capek banget muka lo." celetuk Dinne menyambut Carla yang baru saja datang. Gadis itu tampak kelelahan padahal ini malam akhir pekan. Sesuai perintah Dinne, Carla segera memesan ice coffe latte, namun untuk meredakan rasa hausnya ia meminum coffe milik Alvero yang sebelumnya cowok itu tawarkan. Ini memang akhir pekan, tapi seharian ini Carla full beraktivitas di luar. Meeting bersama orang-orang dari wedding organizer, mencari cicin kawin dan fitting baju pengantin, lalu malamnya Carla harus menghadiri acara ngumpul bersama teman semasa kuliah. Karena tidak pernah melewatkan acara kumpul-kumpul, tentu saja Carla tetap menyempatkan diri untuk datang, sekalian mau membagikan undangan. "Gimana meetingnya, lancar?" Alvero bertanya. Cowok itu tahu hari ini Carla meeting dengan orang dari wedding organizer karena Carla memberitahunya. "Lancar, Al. Mereka semua langsung paham sama konsep yang aku dan Mas Savian inginkan." "Syukurlah kalau gitu," "Ngomongin apaan s
"Ya ampun, Sayang, kamu gak pernah bilang-bilang ke bunda kalau punya pacar tiba-tiba ngasih undangan aja." Carla mengeluarkan cengirannya. Menutupi rasa bersalahnya karena sudah membuat Bunga terkejut. Bukan karena Carla menutupi Savian dari Bunga, namun Carla merasa malu jika harus cerita ke Bunga kalau selama ini ia memiliki pacar. Carla bukan tipe seseorang yang mudah berbagi cerita tentang kehidupan pribadinya, sekalipun dengan seseorang yang sudah ia anggap seperti orang tuanya sendiri. "Maaf, bunda. Kalau selama ini aku gak pernah cerita apa-apa. Tapi Mas Savian cowok baik-baik kok, dia pernah jadi dosen di kampus aku dan Al dulu." "Jadi sejak itu kalian cinlok?" Meskipun sebenarnya tidak, tapi Carla tetap mengangguk kepalanya. Tidak mungkinkan Carla jujur kalau ia dan Savian sebenarnya cinlok gara-gara tinggal bersama. Karena Carla merasa cintanya mulai tumbuh ke Savian sejak mereka tinggal di flat yang sama dan membuat mereka berinteraksi dengan intens. "Iya, bunda." Bun
Carla menyesal. Menonton film romance erotic bersama Savian adalah pilihan yang salah. Kalau tau akhirnya kalau menimbulkan efek seperti ini lebih baik ia menonton sendiri. "Mas, udahhh...." Carla menahan erangannya saat tangan Savian semakin lihai mencumbu payudaranya. Saat ini mereka sedang menonton film sambil tiduran di atas sofa, sedangkan posisi Savian tiduran dibelakang Carla, posisinya sangat menguntungkan pria itu, bukan? Savian tidak mendengarkan. Meski Carla masih memakai pakaian lengkap, namun tangan Savian tetap berbuat nakal dengan meremas dan memijat sensual benda kenyal milik sang pacar. Bukannya menghentikan kegiatan laknatnya seperti yang Carla minta, Savian malah mengangkat wajahnya lalu mencium bibir Carla dengan rakus. Gara-gara menonton film sialan itu libido Savian langsung naik. Ditambah Carla sedang berada didekatnya, sasaran empuk untuk melampiaskan gairahnya yang terpancing saat ini. "Eughhh..." Disela-sela ciuman panasnya Carla mengerang, merasakan jema
Gemercik air shower membasahi tubuh polos Carla yang sedang duduk terkulai di atas lantai. Perempuan yang telah kehilangan kegadisannya sebelum waktunya itu menangis, menyesali dirinya yang kalah dari hasutan setan kemarin malam. Semuanya terjadi begitu saja. Carla tidak menyalahkan Savian, ia menyalahkan dirinya yang tidak bisa menahan hasrat gairah. Padahal Carla selalu mendoktrin dirinya kalau having sex sebelum pernikahan itu hanya membuahkan penyesalan, dan dirinya sedang merasakan hal itu sekarang. "Maafin aku, Ma..." Carla sungguh menyesal. Sudah hampir setengah jam cewek itu menangis sendirian dibawah guyuran air shower.Carla mungkin berhasil menjaga kesuciannya dari Genta meski sudah dilecehkan bertahun-tahun oleh kakak tirinya yang brengsek itu, tapi Carla berakhir kecolongan dengan calon suaminya sendiri. Apalagi, secara tidak langsung Savian juga yang membantu Carla sembuh dari trauma yang dimilikinya. Tapi tidak ada yang tahu kalau ternyata Savian pun memiliki nafsu yan
Carla: Mas, nanti gak usah jemput aku yaSavian terhenyak. Setelah seharian menghilang dan tidak ditemukan di kantornya, kini Carla mengirim pesan demikian? Dengan tak sabaran jari pria itu langsung mendial nomor sang pacar, kemudian menempelkan benda pipih tersebut ke daun telinga. Lagi, Savian kembali di buat kesal karena panggilannya tidak dapat tersambung.Savian lirik jam dinding yang menempel di dinding ruang kantornya, setengah jam lagi jam kerja cewek itu selesai. Segera Savian meraih jas dan tas kerjanya.Carla pikir Savian akan menuruti permintaan Carla begitu saja setelah sikapnya menunjukan dengan jelas ada perubahan pada sikap gadis itu.Tak butuh waktu lama untuk mobil Jeep Rubicon itu membelah lalu lintas Ibu Kota dan berhenti tak jauh dari pintu masuk. Sekiranya sepuluh menit Savian menunggu di dalam mobil, sosok yang ditunggu keluar dengan wajah murung. Segera Savian menghampiri calon istrinya itu. Perasaan kesal yang Carla timbulkan seketika berubah jadi rasa khawa
"Kakak makanya jangan banyak bertingkah! sudah mau menikah masih aja cari masalah!" omelan Kirana tak henti-hentinya menggema di telinga Savian yang panas. Hampir setengah jam Savian hanya bisa menunduk sambil terus mendengarkan ceramah dari sang ibunda. Meski kali ini Kirana agak sedikit sensi, sebab Savian melamporkan kalau hubungannya dengan Carla tidak baik-baik saja.Kirana yang sudah menduga hal ini akan terjadi segera meluncur ke rumah Savian, kebetulan sudah satu minggu ia berada di Jakarta. Walaupun ini adalah pengalaman pertama kali ia akan menikahkan putranya, namun ia melihat banyak pengalaman dari para ponakannya yang sudah menikah, masalah menjelang pernikahan itu seperti ujian yang sangat berat. "Kalau Mama yang bujuk pasti Carla maafin kakak." cicit Savian. Kinerjanya di ranjang boleh saja diacungi jempol, tapi kalau ada masalah tetap Ibunda tamengnya."Ya kakak ngomong dulu masalah awalnya apa, biar mama tau siapa yang salah." "Netral ajalah, Ma. Kakak gak mau dibe
Kahfi menghembuskan napasnya cemas, pria itu tidak bisa berhenti memikirkan istrinya yang sekarang entah berada dimana. Keina yang beberapa jam lalu mengeluh tak enak badan, kini menghilang. Sudah sejak tadi Kahfi ingin mencarinya, tapi Keino melarang dan mengatakan kalau sebentar lagi gadis itu pasti akan pulang. Kata Keino, Keina memang suka pergi main tanpa bilang-bilang. Kalau pun memaksa pergi, Kahfi juga tidak tahu harus kemana, dia tidak mengenal teman-teman dekat istrinya. Sedari tadi ponsel Keina juga tidak bisa dihubungi."Tunggu di dalam aja, Kaf. Dingin di sini." Keino datang sambil memainkan kunci mobil di tangannya, sepertinya pria itu hendak pergi.Kahfi mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Enggak usah khawatir, Keina emang gitu anaknya, bandel. Sering kabur-kaburan. Nanti kalau dia udah pulang, sentil aja kupingnya, kebiasaan kalau main enggak izin dulu. Dia lupa kali kalau sekarang udah punya suami." gerutu Keino. Mungkin dia kesal dengan tabiat adiknya yang satu itu
Keina melenguh disela-sela tidurnya, bukan tanpa sebab tidurnya yang nyenyak itu terganggu. Ada sesuatu yang mengguncang pundaknya, dan dengan terpaksa Keina membuka mata."Na, bangun..." Suara halus itu kini sudah langganan ditelinganya, jelas dia tahu siapa pemiliknya. Kahfi."Kenapa sih, Kak? Aku masih ngantuk!" Keina menepis tangan Kahfi dari pundaknya. Demi Tuhan, dia masih ngantuk berat, setelah subuh tadi dia harus terbangun untuk sholat subuh, kini Kahfi kembali mengusik tidurnya lagi."Hei, kamu lupa hari ini kita mau ke Dokter Kandungan?" Meski suaranya masih tetap lembut, tapi nyatanya saat ini Kahfi sedang menahan rasa sabarnya. Baru beberapa minggu menjadi suami, namun rasa sabar Kahfi benar-benar diuji.Mendengar apa yang baru saja suaminya itu katakan, spontan sepasang mata Keina membulat sempurna. Dia segera memunggungi Kahfi dan meringis pelan. Tentu saja sambil mengumpat dalam hati. Benar, dia lupa kalau hari ini mereka sudah janjian untuk periksa kandungan. Bukan me
Keina duduk di depan Kahfi dan Keino dengan wajah tegang. Sejak kemarin kakaknya itu memang ada di rumah, tapi hubungan mereka sedikit canggung karena pemasalahan yang ada. Ya, tentu saja Keino marah saat mendengar kabar bahwa adiknya itu dihamili oleh pria yang tidak bertanggungjawab. Jangankan ngobrol, sejak datang saja Keino tidak mau menatap wajah Keina, baru tadi saat menegurnya di depan teman-temannya.Jadi, tolong jangan ditanyakan seberapa besar rasa marah Keino ke Keina. Sebagai kakak, dia jelas merasa sangat kecewa dan gagal melindungi adiknya dari janji manis laki-laki buaya."Gimana Keina, Kaf? Dia menjalani kewajibannya sebagai istri, kan?" tanya Keino menatap Kahfi dengan serius, walaupun Keina duduk tepat disebelah Kahfi, tapi tak sekilas pun matanya melirik ke arah sang adik yang merengut cemas.Sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya itu, Kahfi menoleh ke arah Keina dan tersenyum lembut. Dia menggerakan tangannya, merangkum punggung tangan Keina yang nganggur lalu m
"Na, mobil siapa tuh?"Keina yang sedang asik berbincang dengan Gibral lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan apa yang Miska lihat saat ini. Sebuah mobil Range Rover yang melaju memasuki perkarangan rumahnya. Perlahan kening Keina berkerut sebelum bibirnya mengeluarkan sebuah decakan sebal setelah tersadar siapa pemilik mobil mewah itu.Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Kahfi. "Siapa, Na?" Mario ikut bertanya.Dan ketika pintu mobil itu terbuka, memunculkan Kahfi yang keluar dari dalam sana. Hal itu tentu saja membuat rasa penasaran teman-temannya terbayarkan. Jelas mereka masih ingat wajah pria yang duduk di kursi pelaminan bersama Keina menggantikan posisi Dirga yang notebene teman mereka juga. Mereka spontan bangkit berdiri, kecuali Keina yang ekspresinya langsung mendadak bete."Na, kok diam aja, itu suami lo datang!" Miska menarik tangan Keina cepat tatkala melihat Kahfi yang berjalan mendekati mereka dengan seulas senyum manisnya. Jika boleh jujur, tadi Mis
"Maaaaa, takut!" Keina berlari mundur saat mendengar gemercik minyak panas tatkala ia memasukan potongan ayam ke dalam penggorengan. "Ya ampun, Na! Masak aja kayak mau tawuran!" Komentar Dinne yang berdiri diujung pintu dapur sambil memegang ponsel yang menyorot ke arah sang anak. Ya, dia sedang merecord kegiatan Keina untuk dikirim ke Kahfi sebagai laporan. Meskipun Kahfi tidak meminta, tapi Dinne berinisiatif sendiri. "Ma, bantuin aku dong! Kok malah main hape doang!" Gadis itu menatap sang mama kesal, tangan kanannya memegang spatula sementara tangan lainnya memegang tutup panci yang dia ambil spontan untuk melindungi diri dari cipratan minyak. Dinne berdecak, sebelum mengindahkan perintah sang anak, dia mengatur tata letak ponselnya agar kameranya terus menyorot ke arah Keina. Setelah itu dia berjalan mendekati kompor, "Sini, gitu aja udah marah-marah." Dia mengambil alih spatula dari tangan Keina, lalu menggoreng potongan ayam yang tersisa. "Mama kayaknya salah deh, sebelum be
Kahfi mengelus bibirnya dengan kedua mata tertuju pada ponsel digenggaman. Biasanya di jam-jam segini pria itu sibuk dengan laptop dan pekerjaan, meskipun pekerjaannya sudah selesai tapi dia pasti selalu bertanya ke Sekretarisnya apakah ada pekerjaan yang bisa dia selesaikan saat itu. Namun untuk kali ini Kahfi memilih untuk korupsi waktu, entah kenapa dia lebih memilih untuk berperang dengan isi kepalanya sendiri daripada menandatangi berkas-berkas.Pria dengan kemeja abu-abu itu merenggangkan dasinya. Tangan kanan Kahfi memegang ponsel yang hanya dia tatapi sejak setengah jam lalu, sementara tangan lainnya memutar-mutar bolpoint. Nama sang istri yang asik berlarian di kepalanya menjadi alasan kenapa pria itu asik dengan dunianya sendiri. Kahfi melirik arloji dipergelangan tangannya, jam satu siang. Kalau dia telepon Keina dan bertanya apakah istrinya itu sudah sholat dzuhur dan makan siang, apa Keina akan merasa terganggu? Mengingat bagaimana respon Keina saat ia telepon tadi pagi,
Mas Kahfi: Assamu'alaikum, Na... Selamat pagi.Mas Kahfi: Hari ini kesiangan enggak sholat subuhnya? Oh iya, jangan telat sarapan, ya.Keina yang baru membuka kedua matanya dan tak sengaja mendapati pop-up pesan dari Kahfi lantas berdecih. Entah kenapa pesan manis itu terlihat menjijikan untuknya. Typing Kahfi benar-benar menggambarkan sosok bapak-bapak yang sudah tua, sangat berbeda dengan Keina yang terbiasa menerima pesan dengan typing gaul dari teman-teman sepantarannya.Tanpa berniat membalas pesan dari suaminya itu, Keina lantas meletakan kembali ponselnya ke atas nakas. Sejenak dia merenggangkan otot-otot badannya sebelum menyibak selimut dan turun dari ranjang. Gadis dengan setelan piyama biru muda itu berjalan menuju jendela kamarnya, membuka ventilasi udara dan menghirup banyak-banyak udara yang belum terkontaminasi polusi.Kepala Keina menoleh ke belakang, melirik jam dinding. Ternya masih pukul enam pagi. Sejujurnya, ini momen langka karena Keina bisa bangun disaat matahar
Menepati janjinya, selepas sholat dzuhur Kahfi membawa Keina ke rumah Galih untuk silahturahmi sekaligus mengenalkan istri cantiknya itu. Tentu saja, Galih dan istrinya menyambut dengan baik kedatangan keduanya. Ya, meski gagal menjadikan Kahfi sebagai menantu mereka, tapi hubungan keluarga Galih dengan Kahfi tetap baik. Mereka juga banyak memuji Keina yang katanya cantik. Usai berbincang kecil selama kurang lebih setengah jam, Kahfi dan Keina harus pamit karena mereka harus pergi mengejar jam penerbangan pesawat ke Jakarta yang sudah mereka pesan siang ini. Ya, hari ini Keina akan kembali ke Jakarta, jika gadis itu menepati janjinya, maka dia akan kembali lagi bulan depan untuk menetap selamanya bersama Kahfi di kota ini."Sudah dicek lagi barang-barang kamu? Ada yang ketinggalan enggak?" tanya Kahfi seraya mengambil alih tas besar yang sedang Keina bawa. Lantas dia menaruhnya ke dalam bagasi mobil."Enggak ada, Kak," jawab Keina.Kahfi mengangguk, dia lantas membukakan pintu penump
"Mas Kahfi, tumben sudah dua hari saya enggak lihat mas Kahfi jamaah di sini,"Kahfi yang baru saja melangkah keluar dari pintu masjid langsung menghentikan tungkainya, dia berbalik badan dan mendapati Pak Galih yang melempar pertanyaan kepadanya.Sebelum menjawab, Kahfi lebih dulu menyalami tangan pria paruhbaya itu. Dia cukup dekat dengan Pak Galih selaku ketua RT dikompleknya. Apalagi mereka sama-sama jamaah tetap di masjid, jadi setiap hari pasti bertemu."Iya, Pak, kemarin saya habis dari Jakarta," jawab Kahfi dengan senyuman di wajah teduhnya. "Oh iya, Pak, rencananya pagi ini saya mau ke rumah bapak," imbuh Kahfi sambil melangkah menuju halaman masjid. Tentu saja, tungkai Galih juga mengiringi."Ada apa, mas?" Galih bertanya sambil memakai sandal jepitnya.Kahfi menahan senyum, sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan situasi seperti ini, dijalan menuju arah pulang. Meskipun jalanan sedang sepi dan hanya ada beberapa orang yang juga baru keluar dari masjid selepas sholat sub