Rose mengenakan kacamata hitamnya begitu mereka tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali. Sementara Reega berjalan di sampingnya sembari menarik koper berisi pakaian. Keduanya sengaja memilih penerbangan pagi hari agar memiliki lebih banyak waktu bersantai dan beristirahat setibanya di penginapan.
Berbeda dengan Reega yang hanya mengenakan t-shirt putih polos dipadu celana jeans selutut, Rose tampak lebih modis dengan v-neck blouse putih dan straight pants berwarna kuning.
"Mama bilang sudah menyiapkan mobil untuk kita selama di sini." Rose berujar, menyamakan langkahnya yang sedikit tertinggal dengan Reega.
"Oke," angguk Reega. "Kau mau berjalan-jalan sebentar atau langsung pergi ke villa?" tanyanya.
"Langsung ke villa saja, aku butuh istirahat sebentar."
Reega mengiyakan, lantas keduanya terus berjalan hingga seseorang datang menghampiri
"Aku sudah memesan makanan yang enak di sini," ucap Reega seraya menutup dan mengambil buku menu yang ada di tangan Rose."Oh, baiklah." Rose menyenderkan tubuhnya di kursi. Ia memandangi pemandangan pantai di depannya. "Indah sekali, bukan?" Rose menoleh pada Reega. Lelaki itu justru tengah sibuk dengan ponselnya. "Di waktu seperti ini, kau masih saja sibuk sendiri.""Ini penting, soal pekerjaan." Reega membalas sindiran Rose.Tak lama kemudian pesanan yang dipesan Reega mulai berdatangan satu per satu. Rose terperanjat karena makanan yang dihidangkan hampir memenuhi meja mereka."Kau memesan sebanyak ini? Kau yakin bisa menghabiskannya?" Rose masih tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya."Kau khawatir semua ini tidak akan habis? Kau tidak lapar? Aku sangat lapar." Reega berkata dengan santai. Ponselnya sudah dia simpan di saku. "Ayo, kita makan.""Aku lapar. Tapi tidak sebanyak ini juga," protes R
Hal pertama yang dilakukan Rose setelah membuka mata adalah beringsut ke tepian tempat tidur dengan wajah kaget luar biasa. Sebab alih-alih tidur memeluk guling, ia justru memeluk Reega yang tidur di sampingnya."Astaga, bisa-bisanya aku berpelukan dengannya seperti teletubbies." Rose menggumam sambil menggelengkan kepalanya. Rose membereskan laptop yang mereka pakai semalam, kemudian bergerak untuk membuka horden kamar."Ck, silau sekali." Reega menggumam dengan suara yang tidak jelas.Rose menoleh ke sumber suara dan menemukan Reega yang kini mengubah posisi dengan mata yang masih tertutup. Rose menjepit rambutnya ke belakang dan menghampiri Reega lantas menarik selimutnya."Bangunlah, sudah siang. Kita akan pergi setelah ini," ujarnya. "Hah, pemalas sekali laki-laki ini."Reega hanya menggumam tanpa berniat membuka matanya. "Lima menit lagiii.""A
"Waaaaahhh, indah sekali," seru Rose sambil merentangan kedua tangannya ke udara ketika mereka tiba di Kebun Raya Bali."Nah, jadi Kebun Raya Bali ini didirikan pada tanggal 15 Juli 1959 dan diresmikan oleh Prof. Ir. Kusnoto Setyodiwiryo, Direktur Lembaga Pusat Penyelidikan Alam." Bli Krisna menjelaskan secara singkat.Asyik memandangi tumbuhan di sekitar, tiba-tiba saja ponsel Rose berdering. Nama Mama Tyna tertera pada layar dan Rose langsung menjawab panggilan telepon tersebut."Iya, Ma. Ada apa?" tanya Rose langsung tanpa basa-basi."Bagaimana liburan kalian? Menyenangkan?""Kami berdua bersenang-senang di sini. Sekarang kami sedang berada di Kebun Raya Bali.""Alhamdulillah, syukurlah. Oh, ya. Jangan lupa kirimkan foto-foto kalian berdua, ya. Mama ingin menunjukannya pada mertuamu," pinta Mama Tyna.Rose diam sebentar. "I-iya, Ma. Nanti aku kirimkan. Kalau begitu sudah d
Rose berjalan dengan raut masam, sesekali menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah. Rasa kesalnya bertambah ketika menyadari dia sendirian di sini dan tidak ada satu pun orang yang dikenalnya.Lelah berjalan-jalan, Rose memutuskan untuk mencari rumah makan. Perutnya sudah lapar sejak tadi, ditambah harus berdebat dengan Reega beberapa waktu lalu. Ia menyambangi salah satu rumah makan yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri dan memesan makanan.Ponsel miliknya yang dianggurkan begitu saja di atas meja tiba-tiba berdering, menampilkan nomor asing. Rose mengabaikannya, berpikir bahwa itu mungkin peneror yang sama seperti yang sudah-sudah. Sekali, dua kali, hingga tiga kali. Rose akhirnya mengangkat panggilan tersebut karena risih."Ya, halo, siapa ini?" sambutnya dengan nada yang jauh dari kata ramah."Kau di mana?"Rose mengernyit, menjauhkan ponsel dar
Ini sudah hari kedua Rose mendiamkan Reega, padahal seusai makan siang ini adalah jadwal penerbangan mereka untuk kembali ke Jakarta. Rose belum bisa memaafkan Reega sebelum lelaki itu sadar jika pola pikirnya yang salah."Kau masih ingin terus begini? Sampai kapan?" tanya Reega setelah menyelesaikan makannya.Lagi-lagi Rose hanya diam. Dia lebih memilih menyelesaikan makan siangnya ketimbang menjawab pertanyaan tidak penting dari Reega."Maaf, Tuan, Nona. Kita harus berangkat sekarang sebelum jalanan macet." Bli Krisna datang memberi informasi.Rose mengelap mulutnya dan berjalan lebih dulu sambil menarik kopernya menuju lobi, disusul Bli Krisna dan Reega dari belakang. Bli Krisna langsung memasukkan koper mereka ke dalam bagasi mobil.Sepanjang perjalanan ke bandara tidak ada pembicaraan apa pun karena Reega sibuk dengan ponselnya. Beruntung semua data-data penting sudah dia salin sebelumnya di memory card d
Reega keluar dari kamarnya dengan penampilan yang sudah rapi. Ia menoleh ke kamar Rose yang masih tertutup. Reega berjalan menuju meja makan dan membuka tudung saji tetapi tidak menemukan apa-apa selain lauk sisa semalam yang belum sempat tersentuh.Sementara di kamarnya, Rose sedang menggulung diri di bawah selimut sembari menonton drama kesukaannya. Langkah kaki Reega melewati kamar terdengar jelas di telinga Rose, tetapi perempuan itu memilih mengabaikannya. Dirinya juga sengaja tidak memanaskan lauk semalam karena terlanjur kesal dengan Reega."Rose, aku berangkat ke kantor. Jangan lupa datang siang nanti." Reega berucap dari depan pintu kamar, yang kemudian hanya dibalas dehaman singkat oleh Rose."Ya, kalau aku tidak malas," gumamnya pelan.****"Hai, Rose. Pagi sekali kau datang," sambut Arka begitu Rose membuka pintu toko."Sengaja," balas
"Halo, Ma, ada apa?" Reega mengangkat panggilan telepon dari Mama Lily di tengah perjalanan."Kau dan Rose ada di mana sekarang? Mama ingin mengundang kalian makan malam bersama.""Kami sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, Ma," jawab Reega."Mampirlah ke rumah, ya, Mama sudah memasak banyak untuk merayakan produk barumu yang baru saja launching," pinta Mama Lily penuh harap."Baiklah, kami akan mampir." Reega memutuskan tanpa meminta persetujuan Rose lebih dulu."Mama dan Papa menunggu kedatangan kalian." Usai mengucapkan kalimatnya, Mama Lily menutup panggilannya."Felix, tolong putar balik ke rumah orang tuaku. Kami ada acara di sana," perintah Reega tiba-tiba.Felix mengangguk dan mencari jalan putaran padahal jarak rumah Reega sudah tidak jauh dari perjalanan. Sebab jika Mama Lily sudah meminta Reega pulang ke rumah, pasti ada hal penting yang akan dibicaraka
Rose menyamankan dirinya di dalam mobil dan bersiap untuk tidur. Semalaman penuh dia tidak bisa memejamkan mata karena belum terbiasa dengan suasana rumah yang baru, ditambah lagi beberapa kali dia mendengar suara langkah kaki di depan pintu kamarnya dengan Reega. Rose sudah menduga bahwa Mama Lily pasti akan mengendap-endap ke depan pintu dan menguping kegiatannya dengan Reega di dalam kamar, sebab hal serupa juga terjadi ketika Mama Tyna datang dan menginap di rumahnya beberapa waktu lalu. Maka untuk meyakinkan sang mertua, Rose sengaja meletakkan ponselnya di dekat pintu dan menyetel video dewasa yang sudah diunduhnya jauh-jauh hari untuk mengantisipasi hal semacam ini. "Kita akan ke mana?" Rose mengernyit ketika Reega justru berbelok ke kiri alih-alih berjalan lurus menuju kediaman mereka. "Aku lelah, ingin segera istirahat." "Aku ingin gultik," jawab Reega. "Lagi pula, kita juga belum ma
Rose duduk menyendiri di taman rumah sakit dengan amplop di tangannya. Ia menghela napas pelan, ada banyak andai-andai di kepalanya, banyak pertanyaan yang tak kunjung temui jawab. Tentang donor mata kakaknya, dan hubungan apa yang terjalin di antara kakaknya dengan suaminya."Papa dan Mama harusnya tahu soal ini," gumamnya. "Tapi kenapa tidak ada yang membahas hal ini sebelumnya?"Rose memasukkan amplop tersebut ke dalam tas kemudian bersiap untuk pulang. Hal sebesar ini, mustahil kalau orang tuanya tidak tahu menahu. Lora tidak mungkin mengambil keputusan seperti ini tanpa melibatkan ayah dan ibunya, maka Rose harus menanyakan pada mereka tentang hal ini.Baru saja ia berdiri untuk pergi, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi menandakan panggilan masuk. Rose meraih ponselnya dan mengernyit ketika mendapati nama Reega sebagai penelepon, ia segera mengangkat panggilan tersebut."Hallo, Ga, ada apa?" sambutnya begitu panggilan tersambung."Kau sibuk? Masih di toko?" balas Reega dari sebe
Selesai menyantap sarapan pagi, Rose membereskan semua alat makan di meja dan membawanya ke wastafel. Meskipun ada Gista, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Bagi Rose, hal itu sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari."Aku ingin ke toko hari ini." Rose kembali dari dapur usai mencuci peralatan makan tadi. "Apa kau mengizinkan?" sambungnya."Aku tidak mengizinkanmu ke mana-mana. Lebih baik kau ikut denganku ke kantor." Reega menggeleng, menolak memberi izin dengan alasan tak ingin menempatkan Rose dalam keadaan bahaya lagi."Ke kantormu lagi?" Rose menarik napasnya lalu dia hembuskan dengan pelan. "Sejujurnya aku bosan berada di kantormu. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan di sana.""Lalu maumu apa? Mengizinkan dan membiarkanmu dalam bahaya lagi?" Reega menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.""Kau berlebihan, Ga. Aku hanya ke toko untuk memperbaharui beberapa resep." Rose memutar otak, bingung dengan alasan apa lagi dia bisa membujuk suaminya yang keras
"Aku harus kembali ke ruang meeting setelah ini." Reega mengusap mulutnya dengan saputangan. "Kau tidak masalah, kan, kutinggal di sini lagi?"Rose yang sedang membereskan peralatan makan mendengus pelan. "Ya mau bagaimana lagi, kan? Kau tidak mengizinkanku diam di rumah, tapi aku juga tetap sendirian di sini.""Mau kupanggilkan Ilona untuk menemanimu?" tawar Reega."Tidak perlu," jawab Rose. "Tapi aku boleh pakai kamarmu? Aku agak mengantuk." Ia menunjuk ke salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.Reega mengangguk. "Pakai saja. Kau boleh memakai seluruh ruangan di kantor ini sesukamu, tidak akan ada yang melarang.""Reega, kurasa setelah ini kau tetap harus meminta maaf pada Padma. Dia cukup tersinggung dengan ucapanmu tadi," ujar Rose serius. "Bukannya apa-apa, hanya saja kalau aku berada di posisi yang sama dengannya, aku juga pasti marah sekali. Kau harus menjelaskannya pada Padma kalau masih ingin hubunganmu baik-baik saja."Reega menghela napas. "Iya, aku akan menelepon
Rose berlari mengejar Padma melewati meja Ilona dan menaiki lift. Wujud Padma cepat sekali menghilang dari pandangan. Meski seringkali cekcok, Rose berharap Padma masih berada di sekitar kantor Reega.Rose bernapas lega saat menemukan Padma sedang duduk di sofa yang tak jauh dari resepsionis. "Untung saja kau masih di sini," ucap Rose ngos-ngosan. Dia mengambil tempat duduk di samping Padma."Untuk apa kau menyusulku kemari? Kau ingin mengejekku, ya, karena Reega menolakku tadi," ujar Padma suudzon. Dia masih kesal dengan sikap Reega yang berubah drastis."Kau ini belum apa-apa sudah berburuk sangka lebih dulu. Aku ke sini untuk minta maaf atas perlakuan Reega tadi. Percayalah, Reega melakukannya untuk kebaikan semuanya." Rose menjelaskan supaya Padma tidak salah paham lagi."Oh, ya? Bukankah dia sedang membelamu? Semenjak kau hadir di antara hubungan kami, sikap Reega semakin berubah.""Maksud Reega bukan seperti itu. Dia hanya ingin menjaga nama baik perusahaan dan keluarganya. Bahk
"Maaf, Bu, saya sudah berusaha menahan tapi Ibu Padma memaksa untuk masuk." Ilona yang berdiri di belakang Padma berujar dengan kepala menunduk.Padma berdecak. "Berkali-kali kubilang, aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu!"Rose merotasikan matanya malas. "Bahkan tingkahmu saja sudah melebihi ibu-ibu komplek," komentarnya. Ia beralih menatap Ilona yang masih berdiri di sana. "Tidak apa-apa, kau boleh kembali ke tempatmu. Biar aku yang mengurus orang ini.""Baik, Bu."Sepeninggal Ilona, Rose membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa. "Ada urusan apa kau kemari?" tanyanya pada Padma yang baru saja menutup pintu. "Kenapa pula pintunya ditutup? Kau mau berduaan saja denganku di sini?""Jangan harap!" balas Padma. "Aku datang karena ingin menemui kekasihku, lah, memangnya apa lagi? Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini, merusak pemandangan saja.""Yang kau bilang kekasihmu itu nyatanya suamiku kalau kau lupa.""Pernikahan kalian hanya sebatas kontrak, kalau kau juga lupa
Seusai menelepon, Reega kembali duduk di samping Rose. "Kau sedang melihat apa?" tanya Reega penasaran sebab Rose terlihat memandang sesuatu di seberang jalan."Ah, itu ...." Rose menoleh sebentar pada Reega. "Ada temanku di seberang jalan sana." Dia mengarahkan telunjuknya ke seberang namun tidak menemukan apa-apa di sana.Dahi Reega berkerut. "Temanmu? Di mana? Tidak ada siapa pun di sana.""Tadi dia di sana dan berdiri seorang diri. Sungguh." Rose kekeuh jika penglihatannya tidaak mungkin salah."Mungkin kau salah lihat. Lagi pula ini sudah malam, penglihatanmu pasti kabur." Reega menggelengkan kepala. Dia beranjak dari duduknya menuju penjual pecel lele untuk membayar semua tagihan makanannya."Tidak mungkin aku salah lihat. Jelas sekali aku melihat Aruni di sana," gumam Rose dalam hati."Ayo, kita pulang. Aku sudah membayar semuanya," ajak Reega seraya mengulurkan telapak tangannya.Rose mengernyit. Beberapa hari ini kelakuan suaminya itu terbilang aneh. Seperti lebih peduli dan p
"Kita sekalian makan malam di luar saja." Reega bersuara setelah keheningan yang terjadi selama beberapa menit di dalam mobil. Ia melihat arloji di pergelangan tangan dan mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi."Di kulkas masih ada beberapa bahan makanan, sayang kalau busuk," balas Rose."Tanganmu terluka." Reega melirik pergelangan tangan Rose yang memerah dan lecet, bekas jeratan tali di lokasi tadi. "Aku juga tidak sampai hati membiarkanmu bekerja di dapur dengan kondisi yang seperti itu.""Ini hanya sedikit lecet, besok juga sembuh.""Setidaknya dengarkan aku sesekali, Rose." Kali ini Reega benar-benar menoleh dan menatap Rose. "Aku berusaha untuk bersikap selayaknya suami yang baik, aku selalu mencoba untuk menjaga dan melindungimu yang mungkin kau anggap berlebihan. Tapi bahkan perlindungan yang kuberikan juga masih belum cukup untuk membuatmu aman. Aku hanya memintamu tetap diam di rumah atau di toko sampai aku kembali dari bekerja, tapi kau selalu mencari-cari alasan untuk perg
Reega menyetir mobilnya dengan cepat, dia mengarahkan laju sesuai dengan lokasi yang dikirimkan oleh Pak Randi. Reega tak habis pikir kenapa Rose masih berada di perjalanan padahal biasanya tak lama dia berangkat kantor, Rose langsung ke toko.Tiba di lokasi, Reega melihat beberapa bodyguardnya babak belur. Dia tidak menemukan Rose di mana-mana, sementara Pak Randi mulai terlihat panik."Di mana Rose?" tanya Reega dengan nada tinggi."I-ibu Rose dibawa mereka pergi," jawab Pak Randi ketakutan. "Maaf, Pak. Saya tidak bisa menghalangi mereka.""Kalian semua kenapa tidak becus menjaga Rose!" Amarah Reega sudah memuncak. Semua bodyguardnya tak ada yang menjawab justru malah menundukan kepala.Reega menelpon Rose tapi berkali-kali panggilannya tidak diangkat dan kemudian teringat bahwa semalam dirinya baru saja memasang GPS di ponsel Rose. Maka dari itu, dia langsung melacak keberadaan Rose melalui GPS."Kalian semua ikuti saya dari belakang dan jangan lupa hubungi polisi," titah Reega saat
Rose memandangi ponselnya berkali-kali dengan bosan. Pesannya tak kunjung mendapatkan balasan dari Reega dan ia mengartikan itu sebagai persetujuan dari Reega. Maka tanpa basa-basi Rose segera meraih tasnya dan bersiap pergi."Kau mau ke mana?" tegur Arka begitu mendapati Rose sedang memasukkan ponselnya ke dalam tas."Aku mau pulang," balas Rose."Bukankah di rumahmu tidak ada orang?" Arka mengernyit."Bukan ke rumahku, tapi ke rumah orang tuaku. Sudah, ya, aku pergi dulu." Rose hendak berjalan ketika Arka tiba-tiba menghalangi jalannya."Kau sudah minta izin pada suamimu? Aku tidak mau dia datang sambil marah-marah seperti kemarin, malu pada pelanggan. Untung kemarin sedang sepi, ya, kalau ramai bagaimana?""Aduh, sejak kapan kau jadi cerewet begini, eh? Aku sudah mengirim pesan padanya tadi, kau tenang saja, oke? Sekarang biarkan aku pergi, lagi pula aku hanya pulang ke rumah orang tuaku, kok."Arka merotasikan matanya namun tetap menyingkir dari hadapan Rose. "Ya sudah, hati-hati.