"untuk apa?"
"Aku ingin buat perjanjian tertulis."
"Tentang?"
"Kau yang berjanji akan mengantarku pulang ke desa. Aku tidak mau mendapat penolakan lagi setelah kau berjanji."
Jan malah terkekeh. Ia berpikir Anea terlalu berlebihan jika harus membuat perjanjian tertulis hanya untuk mengantarnya kembali ke desa.
"Kau bergurau Anea, seperti anak kecil saja." Jan masih menganggap Anea hanya main-main.
"Kalau begitu mari kita buat agar tidak nampak seperti anak kecil." Tukas Anea lagi.
"Maksudmu?"
Anea mengeluarkan sebuah materai dari balik tangan halusnya. Ia menempelkan benda kecil bergambar sejumlah angka itu di atas kertas yang tadi ia sodorkan kepada Jan. Selanjutnya ia mulai menulis kata-kata yang bermakna keuntungan untuk dirinya.
Dengan ini, saya Jan berjanji bahwa sanggup mengantarkan Anea ke rumahnya di kampung tanpa alasan apa pun. Jika saya melanggar, maka saya siap mendapat hukuman d
Ayo pembaca yang budiman, boleh berikan kritik dan saran yang membangun ya. Terima kasih! Salam hangat :)
Dua koper besar telah selesai Anea kemas. Hatinya berbunga dan bersemangat kali ini. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu sejak dua minggu belakangan. Hari di mana ia akan pulang ke desa tempat keluarganya berada dan mencurahkan segala rindu, juga hari dimana ia akan segera meraih impian bahagia. Tetapi mungkin hari yang tidak akan pernah dibayangkan oleh Jan ketika nanti ia mengetahui taktik yang telah Anea siapkan untuknya. Anea melirik jam di dinding, tiga jam lagi ia sudah harus sampai di bandara. Waktu yang masih cukup lama untuk bersiap-siap. Ia memilih membeli sarapan dulu sambil mengalihkan ketidaksabaran nya. Bak anak kecil yang akan di ajak tamasya menuju wisata impian. Ini adalah hari yang Anea nanti-nantikan. Bahkan semalam matanya sulit terpejam karena teringat hari ini. Mungkin keadaannya sama seperti saat ia masih sekolah dasar dulu. Waktu itu akan diadakan piknik kenaikan kelas. Ibu guru berkata piknik akan diada
“Mari kita masuk dulu! Itu rumahku.” Jari telunjuk Anea mengarahkan netra Jan pada rumah bercat kuning tepat di belakang tenda yang berdiri dengan tegak.Setelah mendekat Jan bisa melihat dengan jelas beberapa orang berada di dalam tenda tersebut. Sepertinya mereka sedang asyik bercengkerama dengan ditemani kopi dan camilan yang lengkap tersaji di atas meja.Anea menarik tangan Jan dan hendak menuntunnya ke dalam rumah. Tetangga yang sedang duduk-duduk itu menyadari kehadiran Anea dan menyapanya.“Eh Anea. Sudah datang kamu?” ucap lelaki berambut keriting yang Anea ketahui bernama pak Bayu.“Iya, Pak! Baru saja ini.” Sahut Anea dengan ramah.“Wahh.. ini calon suami kamu ya? Orang bule ternyata!” Tambah Pak Slamet yang berambut putih penuh uban itu.“Iya, pak! Mari silahkan di lanjut ngobrolnya. Saya mau masuk ke dalam dulu.”“Iya..iya.. silahkan istirahat dulu di
Sementara di luar ruangan, beberapa orang yang mendengar suara benda di banting saling menatap dan setelahnya berbisik satu sama lain. Tak terkecuali Ibu Anea, ia resah dengan rencana putri sulungnya kali ini.“Bagaimana kalau dia tidak mau, Anea?”“Paksa Bu! pokoknya pernikahan ini harus terjadi.”Anea mengeluarkan beberapa lembaran kertas berwarna biru dari dalam dompetnya. Setelah di rasa cukup, lalu ia menyodorkan kepada ibunya.“Apa ini?” Ibunya tak mengerti lagi dengan maksud Anea.“Bagikan pada para rewang. Buat mereka mendukung pernikahan ini. Anea yakin jika Jan terpojok maka dia akan mengikuti kemauan Anea, Bu!”Sebenarnya ibunya ragu dengan rencana Anea. Tapi mau bagaimana lagi, yang bisa di lakukannya saat ini hanya menurut pada si sulung tulang punggung keluarga itu. Ia hanya orang kampung yang tidak mengerti urusan rumit seperti ini.***Di dalam ruangan, Jan sedang
Jan melihat Anea yang dalam keadaan lemah, ia rengkuh wanita itu dalam pelukan hangatnya. Sebenarnya Anea ragu menerima pelukan itu. Mengapa tiba-tiba Jan bersikap manis? Namun ia tak kuasa menolak sentuhan kasih sayang dari ayah sang calon bayinya."Maafkan aku Anea! Aku telah membuat kesalahan. Aku sudah mengerti apa yang harus ku lakukan setelah ini. Sekarang istirahatlah, besok adalah hari bahagia kita." Lirih Jan dengan lembut.Lagi! Anea merasa ada yang aneh dengan sikap Jan. Mengapa bisa berubah drastis hanya dalam beberapa saat? Namun kembali, Anea termakan bujuk rayunya yang terdengar sangat menenangkan hati."Apa kau benar-benar bersedia sayang?" Anea memastikan sikap Jan yang berbeda.Jan tersenyum dengan manis, lengkungan bibir yang terangkat ke atas itu membuat Anea yakin bahkan tanpa Jan mengkonfirmasi pertanyaannya. Segera saja hatinya berbunga, ia ikut tersenyum dan melepaskan semua kekhawatiran yang melekat di hatinya tadi."Kau ju
Bola matanya bergerak ke segala penjuru arah. Pandangannya terus menyapu area yang terlihat lengang itu. Ditengah keputusasaannya menemukan cara untuk kabur, pandangannya tertaut pada sebuah benda yang terletak di bawah pohon besar di tepi jalan. Entah pohon apa namanya, Jan rasa ia belum pernah melihat pohon seperti itu di kota. Letaknya yang agak jauh menjadikan Jan sulit memastikan benda tersebut. Dahinya mengernyit ditambah mata yang menyipit memastikan dengan dada berdebar, berharap apa yang ia tidak salah lihat agar tak menjadi harapan kosong lagi baginya. "Aku yakin mataku tidak salah lihat. Lebih baik aku ke sana." Gumamnya bermonolog. Semakin dekat jarak Jan dengan benda yang ia lihat, ia semakin yakin jika itu adalah sebuah motor! Jan sangat yakin jika dirinya tidak salah lihat setelah ia semakin mendekati lokasi itu. Sebuah motor yang terparkir asal di depan pos ronda itu menjadi harapan satu-satunya bagi Jan. Jan mencoba mencari sang
Di lain sisi, Anea tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Entah mengapa perasaannya ingin sekali bertemu Jan. Anea beranjak dari kasurnya dan bergerak menemui Jan di kamar yang ia huni.Tepat di depan pintu kamar Jan, Anea malah menjadi bimbang. Bagaimana jika dirinya malah mengganggu istirahat Jan? Tak tega rasanya. Anea memilih mengurungkan niatnya.Namun yang terjadi selanjutnya adalah kebingungan. Apa yang akan dilakukannya sekarang, karena matanya mendadak tidak mau di bawa tidur.Anea memilih keluar menuju tenda di depan rumah, sekedar mengecek saja. Terlihat oleh netranya beberapa lelaki tetangga rumah tengah terlelap di atas meja dan bangku, hal yang biasa dilakukan orang-orang sambil menunggui bangunan tenda.Anea mendongakkan kepalanya ke langit, begitu gelap pemandangan di atas. Padahal ia ingin sekali melihat bintang, hitung-hitung sebagai hiburan di kala matanya tak bisa diajak berkompromi.Tak satu bintang pun Anea temui di atas san
Para lelaki terlihat bingung, mereka sebenarnya memiliki banyak pertanyaan yang siap dilontarkan. Namun setelah melihat raut wajah yang teramat susah terpampang di depan mereka, para rewang itu memilih menuruti permintaan Ibu Anea tanpa banyak bertanya. Lagi pula mereka telah diberi beberapa lembar rupiah sebagai upah, mungkin inilah tugas untuk imbal balik. "Tetapi kita mau cari kemana?" Salah satu lelaki dari para rewang bertanya.Semua orang yang ada di sana terdiam dan saling berpikir. "Bagaimana kalau ke arah jalan besar, mungkin ia ingin pulang ke kota." Celetuk salah satu dari mereka. "Benar juga, tapi lebih baik kita berpencar untuk mengantisipasi kecolongan dan segera menemukannya." "setuju.. setuju..!!" Setelahnya mereka berpencar menjadi tiga kelompok sesuai kesepakatan. Karena hanya terdapat sembilan orang, maka setiap kelompok beranggotakan tiga orang. "Satu kelompok mencari ke arah kebun-kebun warga, siapa tahu si Bule
“Susul sekarang? Aduh.. sudah sampai mana ya kira-kira.”“Pak Sabar, sudah berapa lama kira-kira mereka berangkat?”“Sekitar sepuluh menit yang lalu mungkin.” Pak Sabar sendiri nampak tak yakin dengan ucapannya.“Coba telepon pak Dadang dulu, siapa tahu masih dekat, paksa dia putar balik saja!” Titah pak Rt lagi.“Keburu jauh Pak rt, lebih baik kita susul sekarang!”“Benar juga, Ya sudah kamu langsung susul saja ke bandara. Saya kabari rombongan lain supaya berhenti mencari dan fokus nyusul ke bandara untuk beberapa orang, sekalian hubungi Pak Dadang siapa tahu bisa.”“Baik, Pak!” mereka kompak menjawab.Grrrr..grrrr..grrrr..Pemuda yang telah bertengger di atas motor menggeber mesin dan bersiap dengan perjalanan jauh yang segera ditempuhnya. Satu temannya menemani di jok belakang.“Pak Sabar, pinjam sarungnya biar nggak dingin.&rdq
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid
"Apa? Bagaimana bisa kau tidak tahu?"Anea menggeleng. Rasa panik menyergapnya seketika, seluruh sendi rasanya melemah. July yang melihat Anea syok segera mengambil Albian dari gendongan ibunya."Mari kita ke rumahku!" July menyambar lengan Anea dengan setengah memaksa agar Anea menuruti."Apa kau tahu di mana Jan pindah, July?"Ingin sekali July mengatakan "iya" pada pertanyaan Anea barusan. Tetapi sayang sekali, ia harus menjawab yang sebenarnya. Gelengan kecil July menambah sempit hati Anea."Apa kau benar-benar tak mengetahuinya? Mungkin Jan pernah bilang sesuatu atau petunjuk apa pun itu. Ayolah July... bantulah aku!" Jemari Anea meraih July seraya memohon."Maafkan aku Anea. Tapi aku benar-benar tidak mengetahui apa pun."Air mata telah di ambang pintu. Jika Anea tidak malu dengan July yang telah bersikap baik padanya, mungkin sekarang Anea telah menangis meraung-raung dan berkali memaki Jan. Sayang sekali, kali ini Anea hanya m
"Aku minta kau berubah Jan! Ingatlah dengan Albian." Ungkap Anea sebelum benar-benar mninggalkan Jan lagi.Setelah dua hari di kota, Anea harus kembali ke kampung. Sebenarnya Anea sangat takut jika Jan mengulangi kesalahannya lagi."Aku khilaf Anea. Jiwa laki-laki ku berontak setelah sekian lama tak mendapat pelampiasan." Kilah Jan saat mereka berdebat.Akhirnya Anea mengalah dan memih memaafkan Jan. Anea pun sadar jika godaan Jan yang ditinggal seorang diri memang besar. Namun Anea memperingati Jan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Pesawat membawa raga Anea terbang meninggalkan Jan lagi. Hatinya terus berdoa agar Jan benar-benar menepati Janji. Meski dalam hati kecil Anea, mengatakan Jan akan kembali berulah jika Anea terus meninggalkannya seorang diri. Maka dari itu, sepanjang perjalanan Anea memikirkan jika ia akan kembali tinggal bersama di kota.Kembali menjadi keluarga yang utuh. Ya... mungkin memang
Tiga bulan sudah semenjak Jan menikmati kegadisan Adelia. Sejak itu pula ia merasa ketagihan dan tak putus berganti wanita.Jan semakin melupakan Anea dan Albian. Nafkah untuk mereka pun, dengan tega ia pangkas seminim mungkin. Uang yang ia punya habis untuk berfoya-foya dan bermain wanita.Tanpa Jan sadari, ia telah menelantarkan keluarga kecilnya yang berada jauh dari jangkauan."Sudah lewat tanggal gajian. Mengapa belum transfer uang, sayang?" Tanya Anea lewat pesan singkat di gawainya.Setelah membaca pesan dari istrinya, Jan malah merasa jengkel dengan itu. Susah-susah ia bekerja malah harus memberikan uangnya pada Anea. "Mengapa ia tak bekerja saja seperti dulu?" Pikir Jan saat ini yang tengah kacau. Hari-hari Jan berlalu tanpa absen dengan para wanita bar. Gajinya habis untuk kesenangan itu. Bahkan saat ini ia mengambil hutang lagi di kantor, setelah melunasi huta