Para lelaki terlihat bingung, mereka sebenarnya memiliki banyak pertanyaan yang siap dilontarkan. Namun setelah melihat raut wajah yang teramat susah terpampang di depan mereka, para rewang itu memilih menuruti permintaan Ibu Anea tanpa banyak bertanya. Lagi pula mereka telah diberi beberapa lembar rupiah sebagai upah, mungkin inilah tugas untuk imbal balik.
"Tetapi kita mau cari kemana?" Salah satu lelaki dari para rewang bertanya.
Semua orang yang ada di sana terdiam dan saling berpikir."Bagaimana kalau ke arah jalan besar, mungkin ia ingin pulang ke kota." Celetuk salah satu dari mereka.
"Benar juga, tapi lebih baik kita berpencar untuk mengantisipasi kecolongan dan segera menemukannya."
"setuju.. setuju..!!"
Setelahnya mereka berpencar menjadi tiga kelompok sesuai kesepakatan. Karena hanya terdapat sembilan orang, maka setiap kelompok beranggotakan tiga orang.
"Satu kelompok mencari ke arah kebun-kebun warga, siapa tahu si Bule
“Susul sekarang? Aduh.. sudah sampai mana ya kira-kira.”“Pak Sabar, sudah berapa lama kira-kira mereka berangkat?”“Sekitar sepuluh menit yang lalu mungkin.” Pak Sabar sendiri nampak tak yakin dengan ucapannya.“Coba telepon pak Dadang dulu, siapa tahu masih dekat, paksa dia putar balik saja!” Titah pak Rt lagi.“Keburu jauh Pak rt, lebih baik kita susul sekarang!”“Benar juga, Ya sudah kamu langsung susul saja ke bandara. Saya kabari rombongan lain supaya berhenti mencari dan fokus nyusul ke bandara untuk beberapa orang, sekalian hubungi Pak Dadang siapa tahu bisa.”“Baik, Pak!” mereka kompak menjawab.Grrrr..grrrr..grrrr..Pemuda yang telah bertengger di atas motor menggeber mesin dan bersiap dengan perjalanan jauh yang segera ditempuhnya. Satu temannya menemani di jok belakang.“Pak Sabar, pinjam sarungnya biar nggak dingin.&rdq
Anea menatap sinis. Di depannya, Jan terduduk lesu bagai terdakwa yang harus siap dengan keputusan hakim. Ini masih pukul setengah tiga pagi, seharusnya mereka masih terlelap barang sebentar lagi, namun lain dengan keadaan yang terjadi. Justru mereka masih terjaga dengan segala masalah yang meminta segera dipecahkan. “Aku kira ucapanmu tadi malam tulus dari hatimu. Ternyata semua hanya lah sampah sebagai topeng penutup sandiwaramu!” Anea meluapkan kekesalannya pada Jan. Sementara Jan sendiri hanya diam tak bergeming. Sesungguhnya yang ia rasakan saat ini yaitu rasa kesal yang mendalam. Ingin rasanya dirinya mengumpat dan ikut memaki Anea dengan semua ide gilanya ini. “Apa yang ingin kau rencanakan selanjutnya? Apakah akan menelantarkan aku kembali? Aku kira kau benar-benar berubah! Tak ku sangka semua hanya lah kamuflase saja!” Jan masih setia dengan diamnya, bibir tipis itu terkatup rapat tak ada tanda-tanda akan terbuka. “Jawab Jan!”
Anea hanya melirik Jan tanpa berniat menjawab pertanyaannya.“Tunggu sebentar” imbuh Anea. Ia melenggang pergi menuju ruangan yang lain. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan beberapa benda di tangan.Jan melihat benda yang Anea bawa. Ia sudah paham karena sebelumnya Anea pun melakukan hal persis seperti ini kepadanya. Selembar kertas, bolpoin, dan juga materai. Rahang kokoh Jan mengeras dan tatapan nyalang ia lemparkan kepada calon istrinya itu.“Hal bodoh apa lagi yang akan kau lakukan!” Lagi-lagi Anea tak menanggapi kata-kata Jan. Ia memilih mencoret-coret lembar kertas putih dengan beberapa kata.“Sudah selesai, kau tinggal tanda tangan saja!” Anea menyodorkan kertas itu kepada Jan.“Wanita gila! Kamu ingin memerasku? Kau benar-benar telah sinting!”“Boleh saya tahu, apa itu?” Tanya pak RT.“Silahkan, saya juga akan menjelaskan alasan saya membuatnya.” Papa
Jan berdecak sebal. Baru saja beberapa menit menjadi istri, kelakuan Anea sudah sangat menyebalkan, bagaimana nanti jika sudah lama? Jan berpikir Anea akan menjadi monster yang terus mengusik hidupnya! “Aku akan kembali ke kota, siapkan kendaraan. Pekerjaan ku di kantor semakin menumpuk.” “Aku sudah bilang jangan mengganggu, aku lelah. Kau bisa bicarakan itu setelah aku bangun. Satu lagi, jangan coba-coba untuk kabur lagi!” Jan kembali bersungut, ia benar-benar merasa diperlakukan seperti seorang tawanan. Merasa tidak ada yang bisa ia lakukan, akhirnya Jan memilih menyusul Anea merebahkan badan. Raganya pun merasakan penat sedari kemarin tak merasakan istirahat. Situasi di luar masih ramai, beberapa kerabat dan tetangga masih sibuk. Jan tidak mengerti acara hajatan di kampung seperti apa. Tadi saja ia terkejut karena beberapa bayi dan anak kecil berbondong meminta sedikit idu(ludah) kepada dirinya dan Anea. Katanya agar tak ada sawan, membayangkannya
"Sebuah kiriman untuk Nona Anea, benarkah ini alamatnya?"Seorang kurir bertanya setelah Anea membuka pintu."Maaf, dari siapa ya?" Jawab Anea heran."Tidak ana nama pengirimnya Nona. Tapi apakah benar ini alamat Nona Anea?" Tanya kurir itu lagi."Iya benar, saya Anea.""Kalau begitu, mohon tanda tangan untuk menerima paket Nona."Paket? Apa mungkin Jan yang memesan di toko online? Karena seingat Anea, ia tidak memesan apa pun. Tapi benda apa yang di pesan?Bukankah mereka baru saja tiba di kota dan belum sempat mengutak-atik gawai untuk sekedar melihat-lihat toko online.Hmm.. dari pada penasaran lebih baik Anea membukanya saja."Satu paket skin care?" Anea terkejut mendapati isi paket itu. Siapa kiranya orang yang mengirim benda ini?Sedang sibuk memikirkan paket misterius ini Anea tiba-tiba teringat Mitha. Mungkin sahabatnya itu telah membalas pesan yang Anea kirim.[Anea! Dari mana saja kau? Menghilang
Klek! Anea membuka pintu apartment dengan hati-hati. Sebenarnya saat ini jantungnya tengah berdegup kencang menahan rasa khawatir dan takut. Apa kira-kira yang akan Jan lakukan kali ini kepadanya? Suaranya di telepon tadi terdengar begitu murka. Dengan sebelah tangan menggandeng lengan Mitha, ia melangkahkan kaki perlahan. "Duduklah Mitha, aku ingin meletakkan tas di dalam dahulu." Ucapnya pelan. "Ok." Sebenarnya Anea tengah celingukan mencari di mana sosok Jan berada. Setelah memandang ke segala arah tak nampak batang hidungnya, hanya ada satu kemungkinan, yaitu di dalam kamar. Suasana begitu hening, Mitha entah sengaja atau bagaimana ia tak berceloteh seperti biasanya. Meski begitu Anea yakin Jan berada di rumah karena ia melihat sepatu dan sandal Jan semua tertata rapi di atas rak, meski ada satu yang teronggok begitu saja, Anea pikir itu sepatu yang baru saja Jan pakai. Ditelannya saliva dengan berat, Anea memberanikan diri
Apartment Plazo lantai 20. Tak butuh waktu lama, Jan telah berdiri di sana. Tinggal beberapa langkah lagi, ia segera menemui penyejuk kegundahan hatinya. Trap.. Trap.. Trap..Suara langkah kaki Jan menggema pada lorong ruangan. Kini ia berdiri tepat di depan sebuah pintu. Tanpa perlu mengetuk, Jan langsung membukanya dengan percaya diri. Tubuhnya menyelinap masuk ketika pintu telah terbuka. Seseorang menyambut Jan dengan pose menantang. Jan terbelalak mendapati penyambutan yang menurutnya begitu istimewa dan tentu saja, menggairahkan! Clara tengah duduk menyilang dengan satu kaki menumpu pada kaki lainnya. Lingerie merah yang ia kenakan tersingkap hingga mengekspos tubuhnya yang sudah setengah telanjang. Napas Jan menjadi tak beraturan. Tentu saja semua lelaki normal akan mengalami hal yang sama bila di suguhkan pada posisi Jan saat ini. Tanpa buang waktu lagi, Jan segera menghampiri Clara dan langsung menyambar bibir berwarna
"Anea, malam ini kita tidur di rumahku saja ya?" tawar Mitha.Anea menatap heran. "Memangnya kenapa?""Lelaki itu pasti tidak akan pulang.""Bagaimana kau menyimpulkannya? Bagaimana jika nanti Jan benar-benar pulang dan aku tidak ada di rumah?""Anea! Kau masih memikirkan laki-laki yang tidak memikirkanmu itu? Aku heran Anea!"Mitha lepas kendali dan membentak Anea."Ada apa Mitha? Kau membentakku?"Mitha menggapai gawai, mengutak-atiknya sebentar kemudian mengacungkan benda persegi itu tepat di depan muka Anea."Lihatlah, Ne! Bukalah matamu. Kau terkhianati Anea! Apa kau masih ingin bertahan dengan lelaki macam itu?"Anea mendelik melihat foto di depan matanya. Hatinya serasa ditikam oleh kenyataan. Kakinya bergerak mundur selangkah, berharap apa yang ia lihat tidaklah benar."Itu tidak mungkin! Jan tidak mungkin melakukannya, Mitha. Itu tidak mungkin!" Racau Anea tidak jelas."Anea! Terimalah kenyataan, t
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid
"Apa? Bagaimana bisa kau tidak tahu?"Anea menggeleng. Rasa panik menyergapnya seketika, seluruh sendi rasanya melemah. July yang melihat Anea syok segera mengambil Albian dari gendongan ibunya."Mari kita ke rumahku!" July menyambar lengan Anea dengan setengah memaksa agar Anea menuruti."Apa kau tahu di mana Jan pindah, July?"Ingin sekali July mengatakan "iya" pada pertanyaan Anea barusan. Tetapi sayang sekali, ia harus menjawab yang sebenarnya. Gelengan kecil July menambah sempit hati Anea."Apa kau benar-benar tak mengetahuinya? Mungkin Jan pernah bilang sesuatu atau petunjuk apa pun itu. Ayolah July... bantulah aku!" Jemari Anea meraih July seraya memohon."Maafkan aku Anea. Tapi aku benar-benar tidak mengetahui apa pun."Air mata telah di ambang pintu. Jika Anea tidak malu dengan July yang telah bersikap baik padanya, mungkin sekarang Anea telah menangis meraung-raung dan berkali memaki Jan. Sayang sekali, kali ini Anea hanya m
"Aku minta kau berubah Jan! Ingatlah dengan Albian." Ungkap Anea sebelum benar-benar mninggalkan Jan lagi.Setelah dua hari di kota, Anea harus kembali ke kampung. Sebenarnya Anea sangat takut jika Jan mengulangi kesalahannya lagi."Aku khilaf Anea. Jiwa laki-laki ku berontak setelah sekian lama tak mendapat pelampiasan." Kilah Jan saat mereka berdebat.Akhirnya Anea mengalah dan memih memaafkan Jan. Anea pun sadar jika godaan Jan yang ditinggal seorang diri memang besar. Namun Anea memperingati Jan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Pesawat membawa raga Anea terbang meninggalkan Jan lagi. Hatinya terus berdoa agar Jan benar-benar menepati Janji. Meski dalam hati kecil Anea, mengatakan Jan akan kembali berulah jika Anea terus meninggalkannya seorang diri. Maka dari itu, sepanjang perjalanan Anea memikirkan jika ia akan kembali tinggal bersama di kota.Kembali menjadi keluarga yang utuh. Ya... mungkin memang
Tiga bulan sudah semenjak Jan menikmati kegadisan Adelia. Sejak itu pula ia merasa ketagihan dan tak putus berganti wanita.Jan semakin melupakan Anea dan Albian. Nafkah untuk mereka pun, dengan tega ia pangkas seminim mungkin. Uang yang ia punya habis untuk berfoya-foya dan bermain wanita.Tanpa Jan sadari, ia telah menelantarkan keluarga kecilnya yang berada jauh dari jangkauan."Sudah lewat tanggal gajian. Mengapa belum transfer uang, sayang?" Tanya Anea lewat pesan singkat di gawainya.Setelah membaca pesan dari istrinya, Jan malah merasa jengkel dengan itu. Susah-susah ia bekerja malah harus memberikan uangnya pada Anea. "Mengapa ia tak bekerja saja seperti dulu?" Pikir Jan saat ini yang tengah kacau. Hari-hari Jan berlalu tanpa absen dengan para wanita bar. Gajinya habis untuk kesenangan itu. Bahkan saat ini ia mengambil hutang lagi di kantor, setelah melunasi huta