Sejak meninggalkan apartment Jan tadi pagi, Anea sengaja mematikan gawai. Dirinya merasa perlu menenangkan diri terlebih dahulu sebelum meminta penjelasan Jan. Tapi semakin lama ia semakin penasaran.
Anea menatap lekat layar ponsel itu. Walau bagaimanapun dirinya harus meminta kejelasan pada kekasihnya atas apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan ingin menekan tombol power di sisi samping, namun terbesit ragu di hatinya.
Bagaimana jika yang akan dikatakan Jan adalah hal yang menyakitkan? Sanggupkah Anea menghadapi? Lagi pula kenapa sewaktu Anea berlari keluar tadi pagi, Jan tidak mengejarnya?
Apakah Jan sudah tidak membutuhkan dirinya lagi? Beribu pertanyaan menyerang benaknya.
Ting.. ting.. ting..
Nada notifikasi berebut masuk memenuhi layar ponsel. Hati Anea sangat berharap bahwa yang menghubunginya adalah Jan yang mencoba mencari keberadaannya.
Jan memang belum tahu tempat tinggal Anea yang baru. Mungkin itu sebabnya kalau Jan belum m
Lima bulan Anea tinggal bersama Jan di apartment. Sebagai seorang buruh di kedai kopi ternyata penampilan Anea banyak berubah. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar-benar terjadi. Saat ini Jan mulai tak semanis dulu. Padahal Anea sudah semaksimal mungkin melayani kebutuhan Jan, baik kebutuhan fisik ataupun batin. “Apa aku harus berhenti bekerja agar bisa merawat diri kembali.” Lirih Anea saat memandangi wajahnya pada cermin pintu lemari baju. Wajahnya dari dulu memang tidak kinclong seperti boneka porcelen, namun terlihat segar dengan kulit sawo yang terlihat manis. Kuku-kuku jarinya dulu panjang dan lentik, sekarang ia potong pendek agar memudahkan saat bekerja. Tangan mulus dan kaki jenjang yang dulu menjadi pujaan kaum lelaki pun kini terlihat sayu dan nampak kering karena jarang pergi spa. Apakah penampilannya seburuk itu saat ini hingga Jan menjadi tak romantis lagi? Anea tidak rela jika harus kembali kehilangan Jan. Ia harus seg
“Bagaimana hasilnya dok?”“Selamat, anda positive hamil!”Benda kecil yang disodorkan oleh dokter tersebut adalah tespeck. Setelah Anea menjalankan prosedur pemeriksaan, ternyata hasilnya sesuai dengan prediksi sang dokter.“Apa benar Dok?” Dengan antusias Anea bertanya.“Ya benar, nanti saya beri vitamin, agar nutrisi jabang bayi baik.”“Terima kasih Dokter.”Anea senang sekali mendengar kabar baik itu. Ternyata penyebab tidak enak badan dan rasa mualnya adalah bayi dalam kandungannya saat ini.“Senjata pamungkas agar Jan tidak lepas dari genggaman ku.” Batin Anea. Ia pun tersenyum penuh arti.Di elusnya perut yang masih rata, Anea tersenyum meski pusing di kepalanya belum membaik.Dirinya baru turun dari taksi, melangkahkan kaki menuju rumah, Anea tak sabar ingin meminum obat agar keadaannya membaik. Dirinya meletakan plastik kecil tadi dimeja, ber
Perlakuan Jan semakin hari semakin manis saja. Anak di kandungan Anea benar-benar menghipnotisnya.Anea juga rutin perawatan setelah tidak bekerja di kedai. Tentu saja ia memilih produk yang aman bagi ibu hamil. Hal itu menjadi salah satu alasan bagi Jan hingga menjadi lebih perhatian.Ternyata benar. secinta-cintanya lelaki, ia akan lebih memilih wanita yang cantik dari pada yang terlihat kumal. Menyesal mengapa dulu Anea mengabaikan penampilannya.Anea baru saja merapikan kuku-kukunya dari salon. Rasa lapar memaksanya untuk mencari pengenyang perut.Ketika lewat di depan sebuah restaurant, bau harum semrebak memenuhi rongga hidungnya.“Apa kau ingin makan di sini sayang?” ucap Anea dengan mengelus perutnya.Segera saja ia memasuki bangunan mewah di depannya. Meski Anea paham dengan kondisi keuangan yang tidak setebal dulu, tapi tak ada salahnya jika sesekali mencoba. Lagi pula ia sedang hamil. Jangan sampai ketika anaknya lahir
Anea menenteng sebuah plastik berisikan buah lemon. Mual yang ia rasakan sungguh menyiksa.Sebuah lemon dipotongnya dan segera ia kunyah buah dengan rasa asam itu. Bokongnya duduk manis di atas kursi dengan nyaman. Saat akan meletakan pisau di meja, Anea melihat plastik flip kecil berukuran kecil.Astaga!Pantas saja ia merasakan mual yang hebat. Ternyata ia lupa meminum obatnya. Segera saja ia telan benda kecil itu dengan satu tegukan air putih.Matahari masih belum ingin terbenam. Itu tandanya Jan belum akan pulang. Anea bosan terus berdiam diri tanpa kawan.Ia jadi teringat tawaran Richard. Apa yang akan ia berikan sebagai jawaban untuk Richard?Jika mengingat saldo tabungannya yang semakin menipis tanpa adanya pemasukan, rasanya ingin saja ia langsung menerima tawaran bagus itu. Apalagi uang bulanan yang Jan berikan itu kurang kalau dirinya harus sering-sering pergi ke salon. Bahkan ia harus mengirim uang untuk ibu dan adik-adiknya di ka
Sekali lagi, Richard sangat paten dalam hal menebak. Anea melayangkan pandangan kosong, tersirat jelas problema pada jiwanya. "Aku mulai membenci benih ini." Lirih ia berkata. "Bayimu tidak mempunyai secuil pun dosa. Kenapa harus mencaci makhluk sebersih kapas, sedangkan yang memberi kebencian berlumur penuh kotoran." Plak! Bagai tamparan keras untuk pemikiran Anea. Ia tak bisa berpikir logis dalam keadaan terluka sanubari. Beruntung sekali dirinya bersama Richard sekarang. Ia bagai dewa penolong pemberi nasihat dalam kegersangan hati dan jiwanya. Entah apa jadinya jika ia meratap seorang diri, mungkin keadaannya kacau tak tetarah. Bahkan bagian terburuknya bisa saja ia melukai diri sendiri atau mungkin juga melukai bayinya sendiri. "Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan selanjutnya." "Apa dia mengetahuinya?" Richard mencecar pertanyaaan kepada Anea. "Ya. Bahkan ia berkata akan menjaga bayi ini bersama, tapi kenyataa
Dua insan yang saling dewasa berlawanan jenis berada dalam satu ranjang, tidak mungkin tidak terjadi apa-apa. Tentu saja syetan tidak akan membiarkan anak adam lolos dari jeratnya. Yang satu butuh melampiaskan hasrat, sedangkan lawannya membutuhkan sandaran untuk melampiaskan kekecewaan, maka terjadilah hal laknat yang menjadi kenikmatan sesaat dan menjadi candu bagi nafsu."Aku akan melakukannya dengan hati-hati. Tidak akan terjadi apa pun dengan kandunganmu.""Lakukanlah, aku menginginkanmu!"Sang gadis menuju pelukan si lelaki dan bersembunyi pada dada bidang yang telanjang miliknya. Beberapa saat kemudian naluri tubuh memaksa melakukan hal yang lebih intim. Entah bagimana yang terjadi selanjutnya.Setan-setan tertawa melihat aksi pergumulan haram mereka, sementara sang pemain malah tersenyum dalam kepuasan.Anea pulang ke apartment pukul 9 pagi. Perasaannya sedikit hangat mengingat semalam ia telah menginap bersama Richard.Senyumn
"untuk apa?" "Aku ingin buat perjanjian tertulis." "Tentang?" "Kau yang berjanji akan mengantarku pulang ke desa. Aku tidak mau mendapat penolakan lagi setelah kau berjanji." Jan malah terkekeh. Ia berpikir Anea terlalu berlebihan jika harus membuat perjanjian tertulis hanya untuk mengantarnya kembali ke desa. "Kau bergurau Anea, seperti anak kecil saja." Jan masih menganggap Anea hanya main-main. "Kalau begitu mari kita buat agar tidak nampak seperti anak kecil." Tukas Anea lagi. "Maksudmu?" Anea mengeluarkan sebuah materai dari balik tangan halusnya. Ia menempelkan benda kecil bergambar sejumlah angka itu di atas kertas yang tadi ia sodorkan kepada Jan. Selanjutnya ia mulai menulis kata-kata yang bermakna keuntungan untuk dirinya. Dengan ini, saya Jan berjanji bahwa sanggup mengantarkan Anea ke rumahnya di kampung tanpa alasan apa pun. Jika saya melanggar, maka saya siap mendapat hukuman d
Dua koper besar telah selesai Anea kemas. Hatinya berbunga dan bersemangat kali ini. Bagaimana tidak, hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu sejak dua minggu belakangan. Hari di mana ia akan pulang ke desa tempat keluarganya berada dan mencurahkan segala rindu, juga hari dimana ia akan segera meraih impian bahagia. Tetapi mungkin hari yang tidak akan pernah dibayangkan oleh Jan ketika nanti ia mengetahui taktik yang telah Anea siapkan untuknya. Anea melirik jam di dinding, tiga jam lagi ia sudah harus sampai di bandara. Waktu yang masih cukup lama untuk bersiap-siap. Ia memilih membeli sarapan dulu sambil mengalihkan ketidaksabaran nya. Bak anak kecil yang akan di ajak tamasya menuju wisata impian. Ini adalah hari yang Anea nanti-nantikan. Bahkan semalam matanya sulit terpejam karena teringat hari ini. Mungkin keadaannya sama seperti saat ia masih sekolah dasar dulu. Waktu itu akan diadakan piknik kenaikan kelas. Ibu guru berkata piknik akan diada
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid
"Apa? Bagaimana bisa kau tidak tahu?"Anea menggeleng. Rasa panik menyergapnya seketika, seluruh sendi rasanya melemah. July yang melihat Anea syok segera mengambil Albian dari gendongan ibunya."Mari kita ke rumahku!" July menyambar lengan Anea dengan setengah memaksa agar Anea menuruti."Apa kau tahu di mana Jan pindah, July?"Ingin sekali July mengatakan "iya" pada pertanyaan Anea barusan. Tetapi sayang sekali, ia harus menjawab yang sebenarnya. Gelengan kecil July menambah sempit hati Anea."Apa kau benar-benar tak mengetahuinya? Mungkin Jan pernah bilang sesuatu atau petunjuk apa pun itu. Ayolah July... bantulah aku!" Jemari Anea meraih July seraya memohon."Maafkan aku Anea. Tapi aku benar-benar tidak mengetahui apa pun."Air mata telah di ambang pintu. Jika Anea tidak malu dengan July yang telah bersikap baik padanya, mungkin sekarang Anea telah menangis meraung-raung dan berkali memaki Jan. Sayang sekali, kali ini Anea hanya m
"Aku minta kau berubah Jan! Ingatlah dengan Albian." Ungkap Anea sebelum benar-benar mninggalkan Jan lagi.Setelah dua hari di kota, Anea harus kembali ke kampung. Sebenarnya Anea sangat takut jika Jan mengulangi kesalahannya lagi."Aku khilaf Anea. Jiwa laki-laki ku berontak setelah sekian lama tak mendapat pelampiasan." Kilah Jan saat mereka berdebat.Akhirnya Anea mengalah dan memih memaafkan Jan. Anea pun sadar jika godaan Jan yang ditinggal seorang diri memang besar. Namun Anea memperingati Jan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Pesawat membawa raga Anea terbang meninggalkan Jan lagi. Hatinya terus berdoa agar Jan benar-benar menepati Janji. Meski dalam hati kecil Anea, mengatakan Jan akan kembali berulah jika Anea terus meninggalkannya seorang diri. Maka dari itu, sepanjang perjalanan Anea memikirkan jika ia akan kembali tinggal bersama di kota.Kembali menjadi keluarga yang utuh. Ya... mungkin memang
Tiga bulan sudah semenjak Jan menikmati kegadisan Adelia. Sejak itu pula ia merasa ketagihan dan tak putus berganti wanita.Jan semakin melupakan Anea dan Albian. Nafkah untuk mereka pun, dengan tega ia pangkas seminim mungkin. Uang yang ia punya habis untuk berfoya-foya dan bermain wanita.Tanpa Jan sadari, ia telah menelantarkan keluarga kecilnya yang berada jauh dari jangkauan."Sudah lewat tanggal gajian. Mengapa belum transfer uang, sayang?" Tanya Anea lewat pesan singkat di gawainya.Setelah membaca pesan dari istrinya, Jan malah merasa jengkel dengan itu. Susah-susah ia bekerja malah harus memberikan uangnya pada Anea. "Mengapa ia tak bekerja saja seperti dulu?" Pikir Jan saat ini yang tengah kacau. Hari-hari Jan berlalu tanpa absen dengan para wanita bar. Gajinya habis untuk kesenangan itu. Bahkan saat ini ia mengambil hutang lagi di kantor, setelah melunasi huta