Astaga! Ada apa lagi ini, Bhagavad?
[Di Negeri di Atas Awan, 2018] . DI saat yang sama, ada yang patah hati dan ada yang jatuh cinta. Pernikahan yang mengesahkan mereka sebagai sepasang suami istri sudah berlalu seminggu lalu. Bulan madu adalah saat yang ditunggu. Dan bulan madu yang mereka rancang tentu tidak jauh dari kegemaran Bhaga. Lepas akad dan resepsi mereka langsung ke Bali. Hanya semalam mereka di sana. Bali hanya tempat take off sebelum mereka memulai petualangan mereka, memilih tempat secara acak untuk berbulan madu. Pilihan pertama Wakatobi dan Taka Bonerate. Bhaga ingin melanjutkan diving di Banda Neira tapi Anna memilih destinasi berikutnya adalah gunung. Dia memilih Nagari Pariangan di lerang Gunung Marapi. Mereka pun ke sana. Hawa sejuk gunung menghangatkan perjalanan bulan madu mereka yang panas. Tak ingin berlama-lama di satu tempat, Bhaga mengajak Anna berpindah lagi. Honeymoon ala backpacker. Jangan harap Bhaga mengajak Anna menginap di hotel bintang lima. Dia mengajak Anna ke cottage-cottage ya
“YA buat apa juga sih laporan. Toh masih sama-sama luar Jawa. Jadwalnya juga sama. Tiga bulan on site, dua minggu cuti. Nggak ada perubahan yang ngaruh ke kamu kan.” Astaga! Aku langsung membanting kaus yang tadi kupegang. Mataku mendelik sempurna. Bhaga sangat keterlaluan kali ini. “Buat apa kata kamu?” Aku mendesis berusaha tidak berteriak. “Kamu anggap apa sih aku selama ini, Ga? Sampai pindah site pun kamu nggak merasa perlu diskusi dulu.” “Kalau pun aku bilang, paling kamu cuma reply dua huruf aja. OK. Sudah. Buat apa? Bikin orang jengkel aja.” “Oh, jadi kamu jengkel kalau aku reply dua huruf itu? Kalau gitu kenapa kamu nggak coba panjangin tu W*? Kalau kamu panjangin, apalagi bilang urusan ini, nggak bakal aku jawab cuma pakai dua huruf itu aja!” Aku sudah berdiri di hadapannya. “Lagian, urusan sepenting itu nggak bisa cuma lewat chat, Ga. Itu harus kita omongin serius. Kalau nggak bisa ketemu ya minimal nelepon. Dan apa harus secepat itu kamu iyakan? Nggak bisa nunggu kita
VIENNA sudah tenggelam di pelukan Bagas dalam isak lirih ketika mengakhiri ceritanya sementara Vlad berdiri kaku terpaku bersandar di meja counter. Dia tidak percaya cerita itu. Semua berbeda dengan yang selama ini dia percayai. “Papa tau kamu nggak percaya, Vlad.” Bagas terus mengelus kepala Vienna yang tersuruk di perutnya. “Bagian mana dari cerita itu yang kamu nggak percaya?” Vlad tergagap. Ingin bertanya tapi otaknya begitu kosong. “Mama bilang…” Vlad tidak bisa melanjutkan kalimatnya. “Apa pun yang mama kamu bilang, itu kan yang selama ini kamu pegang? Apa kamu kasih kesempatan kami ngomong?” “Tapi… ak… aku…” Bagas benar, Vlad tidak pernah membiarkan mereka klarifikasi. Begitu mamanya pergi, Vlad makin tidak terkontrol. Bagas menunggu pertanyaan anaknya. “Aku bukan anak di luar nikah. Aku lahir setahun setelah Papa nikah sama Mama.” Bagas tertawa sinis. “Itu dia puncak kebohongan mama kamu. Atau malah bisa disebut kelicikan.” “Mas…” Vienna sudah mengurai pelukannya. Ba
“AKU pergi. Silakan kamu pikir ulang semuanya lagi. Kalau selama aku pergi kamu sudah yakin, silakan kamu urus semuanya sendiri. Aku tinggal tanda tangan aja.” Dia berjalan tanpa menoleh lagi ke arahku. Selesailah…. Begitu pintu menutup terbanting aku pun terbanting. Tubuhku tidak sanggup lagi berdiri, kepalaku bukan lagi berdenyut, tapi berdentam hebat. Sakit sekali. Semua terasa menusuk. Cahaya lampu menusuk pupil. Suara-suara di luar termasuk suara pintu depan, pagar, dan mobil yang melaju sangat mengganggu. Sakit sekali. Ternyata tetap harus berakhir. Ternyata akhirnya seperti ini. Sesuatu yang kupertahankan dengan mengorbankan dua hati yang sudah saling jatuh cinta tetap harus berakhir. Aku meringkuk mengecilkan diri. Kutarik rambut mendekat ke dada. Mari ke sini, Dearest Hati dan Kepala, kita semua berkumpul saling menguatkan. Sakit sekali. Entah apa yang ada di kepala Bhaga sampai dia merasa tidak penting berdiskusi denganku. Pada dasarnya aku tidak masalah dengan semua ke
[Labuan Cermin, 2018] . “YIHAAAA….” Anna terbahak lepas melihat Bhaga yang berlari lalu langsung terjun ke danau sebening kaca. Semakin hari dia semakin mengerti kecintaan Bhaga pada alam. Lelaki itu begitu menyatu dengan alam. Bhaga sangat bersemangat sepanjang perjalanan mereka. Semangat yang tidak pernah habis meski malam-malam mereka habiskan dengan sama bersemangatnya. “Ayo, Na. Segar banget nih,” panggilnya dari dalam danau. Hanya kepalanya yang ada di atas permukaan air, tapi sisa tubuhnya tetap terlihat jelas. Anna tentu tidak bisa menolak keindahan itu. Akhirnya dia pun menceburkan diri ke beningnya danau meski tanpa meloncat. Dari Dieng, Bhaga memilih menyerang Laut Jawa menuju Kalimantan. Ada sebuah danau istimewa di sana. Danau sebening cermin sehingga nyaris terlihat tanpa air. Danau ini sungguh indah. Dan Bhaga memilih tempat ini sebagai salah satu tempat mereka berbulan madu. Bulan madu impian mereka. Sekarang mereka sudah di Labuan Cermin, Kalimantan Timur. Bhag
BHAGA tidak pernah datang saat sidang. Dia menyerahkan semua urusan pada pengacara. Aku datang hanya menyetor badan saja. Majelis hakim berkali-kali menanyakan keseriusanku berpisah, menawarkan mediasi. Aku hanya menjawab seperlunya saja. Tidak ada tuntutan dariku. Aku tidak meminta pembagian harta bersama. Aku tentu tidak bisa menuntut tunjangan karena kami tidak memiliki anak. Aku hanya minta segera selesaikan urusan ini. Meski kadang meragu, tapi satu rasa itu selalu saja hadir meneguhkan niatku. *** “Mengadili… satu, mengabulkan gugatan penggugat. Dua, menjatuhkan talak satu kepada penggugat…” Sudah selesai. Tidak sampai enam bulan sejak terakhir kami ribut aku sudah duduk tepekur di kursi di tengah ruang untuk mendengar keputusan hakim. Ruang ini memang sepi, tapi aku tidak sendirian. Tapi sekarang aku sendirian. Bukan lagi berstatus istri Bhaga, dan tanp— Ah, sudahlah. Yang sudah pergi biarkan pergi. Ini saatnya aku pergi dari kehidupan Bhaga. Saatnya aku memulai kehidupan
“MAS, kita harus ke Vlad.” Vienna melempar ponsel ke ranjang. “Dari pagi dia nggak reply.” Bagas tidak menjawab, mengangguk atau menggeleng pun tidak. Dia hanya langsung menghubungi PA untuk mengurus sisanya. Terjadwal untuk besok, dua tiket Jakarta – Singapura. Pagi sebelum mereka berangkat, sebuah pesan masuk dari Vlad. “Mas, Vlad reply nih.” Bagas langsung mendekat dan membaca bersama. Vladimir Darmawangsa : Maaf, Bunda. Aku lupa nyalain data. Vladimir Darmawangsa : Aku baik-baik aja. Nothing to worry. Vladimir Darmawangsa : Cuma masih mau leyeh-leyeh aja. Vladimir Darmawangsa : Belum mau ke kantor. Vienna langsung menelepon Vlad. Tapi Vlad tidak mengangkat. “Kita tetap ke sana, Mas. Si Vlad nggak mau angkat telepon.” Lalu dia membalas pesan Vlad ala kadarnya. *** Pemandangan yang Vienna lihat ketika masuk di flat Vlad membuatnya limbung. Ruangan itu sangat berantakan tanpa Vlad. Dia hanya menemukan bekas-bekas muntahan dan bercak darah yang belum sepenuhnya mengering y
“SEBENCI itu kamu sama aku sampai kamu nggak mau ambil apa pun yang dari aku?” Bhaga menatapku sampai berkerut kening. “Aku ke sini berharap kita bisa bersama lagi, Anna.” Apa? Aku terpaku mendengar kalimat penutup itu. Berdiri kaku di tengah ruang tamu menatap wajah Bhaga yang terlihat kuyu. “Anna, aku minta maaf selama ini aku egois. Aku terlalu cuek. Aku pikir yang kamu butuh kebebasan. Kamu bebas ngapain aja. Cukup telepon aku kalau ada yang kamu butuhkan. Tapi ternyata yang kamu butuh justru telepon-telepon itu. Sesuatu yang aku pikir sepele.” Aku jatuh terduduk di kursi seberang Bhaga. “Kemarin mungkin aku egois. Aku merasa aku nggak butuh kamu. Aku biarin semua mau kamu. Aku bebasin kamu. Tapi kalau sebebas ini berarti kamu bukan milik aku lagi. Seminggu ini aku berpikir ulang. Pernikahan terjadi oleh dua pihak, perceraian pun. Kalau sampai perceraian ini terjadi, berarti itu kesalahan dua pihak. Aku dan kamu. Selama ini aku merasa kamu yang salah. Cuma kamu, aku nggak sala
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika