No komen. Emak patah hati.
VLAD DWangsa : Aku sudah mau jalan nih. Aku tersenyum membaca absen paginya. Alih-alih membalas pesan, aku malah menelepon, yang langsung dia angkat. “Yaps.” Suara mencecap khas mulut mengunyah. “Katanya sudah mau jalan. Kok masih makan?” “Loh, tadi memang bilang mau jalan ke mana? Nggak kan?” jawabnya yang membuat aku memutar mata sambil mendengus. “Aku sudah mau jalan ke ruang makan. Sudah mandi, sudah ganteng maksimal.” Aku langsung terkekeh. “Mana coba lihat yang sudah ganteng maksimal.” Tak lama masuk permintaan sambungan video darinya yang ketika kuterima dia sudah menjauhkan kamera. Dia berdiri sehingga tubuhnya terlihat jelas tak hanya wajahnya. Aku makin terkekeh. “Gimana? Ganteng kan?” Dia berdiri sambil memasukkan tangan ke saku celana. Dia hanya mengenakan kemeja yang digulung asal dan memadukannya dengan jeans. Aku melihatnya dengan dahi berkeryit sampai wajahku miring. “Oh, come on, Anna, akuilah…” Aku tak lagi terkekeh tapi tergelak lepas. Masih dengan tangan
“SAVANNAAAHHH….” Lengkingan itu terdengar menyayat hati. Ponsel di tangannya jatuh tapi tidak dia pedulikan. Erlan dan Bowo berteriak-teriak tidak dia dengar. Vlad jatuh terpuruk berlutut dengan tangan menarik keras rambutnya. Begitu keras sampai Vlad ingin melepas kulit kepalanya, melepaskan tengkorak, lalu membiarkan otaknya yang berdarah-darah terburai ke luar menemani hatinya yang lebur. Vlad terus menarik rambutnya sampai kepalanya menyentuh lantai. Bahunya berguncang hebat. Setelah teryakini dengan fakta pernikahan Anna dan Bhaga adalah nyata, isaknya tidak bisa lagi dia tahan. Terpuruk di lantai dan menangis. Ini bukan lagi sakit. Ini… sakit sekali. Vlad tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. Semua mimpinya hancur. Lalu buat apa enam tahun ini dia jungkir balik banting tulang peras keringat menyiksa otak jika akhirnya Anna menikah dengan lelaki lain. Buat apaaa…??? Semua yang dia lakukan hanya untuk Anna. untuk membuktikan kesungguhan hatinya
AKU berusaha tidak menangis sepanjang perjalanan menuju apartemen. Aku tidak mau berpikir apa yang Vlad pikirkan sampai dia meninggalkan aku seperti ini. Aku terus berusaha menghubunginya. Sampai satu titik aku sadar, aku tidak bisa menghubungi Vlad lagi. Vlad memblokir nomorku? Ya Tuhan, Vlad… Aku berusaha menenangkan diri dengan berkata paling tidak Vlad sehat, tidak kecelakaan, karena dia bisa memblokir nomorku. Ketika Bu Ros memperkenalkan aku, aku terlalu sibuk menata wajah menyembunyikan fakta kedekatan kami setelah jabat tangan basa basi dengannya. Aku tidak fokus mendengar kalimat-kalimat Bu Ros. Lalu tanpa bisa kucegah Bu Ros sudah menjelaskan materi pembahasan skirpsiku dan fungsi Vlad di skripsi itu. Tapi kalau pun aku sadar, bagaimana caranya aku menghentikan ocehan Bu Ros? Ya Tuhan…. Satu dua isak mulai lolos dari hidung. Aku semakin panik menyadari kesalahanku. Lebih panik lagi ketika membayangkan apa yang Vlad rasa mendengar info itu. Lelaki itu sangat peka. Hatiny
VLAD merasa badannya lemah dan terasa sakit di sekujur badan. Geliatnya tidak bertenaga. Namun dia tahu, tidurnya kali ini termasuk yang terbaik selama seminggu ini. Matanya perlahan membuka, semua masih berbayang, tapi dia merasa ada yang aneh ketika melihat flatnya tidak seperti sebelum dia tidur. “Vlad…” Suara bisikan itu membuatnya langsung sadar. Ada orang lain di ruangan ini, orang yang membersihkan ruangan ini. “Makan dulu ya. Bunda bawa banyak lauk yang kamu suka.” Vienna masih berbisik, tak mau mengganggu Vlad. Termasuk ketika dia mendekat untuk memegang dahi anaknya. “Nggak panas kok.” Dia merasa sangat lega. Meski tadi ketika datang sudah dia lakukan prosedur standar itu. Setelah yakin Vlad tidak sakit, Vienna langsung menyendokkan nasi ke piring. Gerakannya berhenti ketika Vlad bangun tapi langsung menyambar handuk lalu ke kamar mandi. Vlad tidak merasa perlu mempercepat mandinya. Semua dia lakukan dengan kecepatan normal cenderung lama. Tubuhnya terasa lebih hidup lepa
GANTI bahuku yang terguncang hebat, aku sudah tidak bisa mengendalikan tangisku lagi. “Vlad....” bisikku. Aku tak berniat memanggilnya. Aku hanya ingin menyebut namanya. “Dari kapan kamu di sini?” Suaranya dingin. Aku langsung limbung. Aku ingin menjerit tapi yang keluar hanya tangis yang berusaha keras aku hentikan. Butuh beberapa saat sampai tangis itu tersisa isak dan cicit ketakutan. “Da... dari... pulang reuni.” “Untuk apa?” Dia masih berdiri di sana. Tak lagi terburu menghampiriku. “Tadi di sana aku cari kamu, tapi ada yang bilang kamu pergi buru-buru karena ada urusan mendadak. Aku nggak bisa hubungi kamu. Aku ke sini aja tungguin kamu.” “Pertanyaan aku, untuk apa, bukan kenapa.” Aku makin tergagap. Tuhan, tolong temggelamkan aku sekarang. “Untuk... untuk ..” “Untuk apa, Anna?” “Bersenang-senang.” Vlad tertawa. Tawa sinis yang membunuhku. Mendadak dia menjelma menjadi Vlad Tepes III, Count Dracul si penyula. “Memang aku ini cuma mainan kamu untuk bersenang-senang ya.
BAGAS sampai disambut Burhan yang sedang merapikan tanaman di halaman depan. Bergegas dia membersihkan tangan dan mengajak Bagas masuk. “Nggak usah, Pak. Di sini aja. Saya buru-buru,” ujarnya sambil duduk di tangga. “Ada apa ya, Pak.” Burhan duduk satu anak tangga di bawah Bagas. “Pak, Vlad pernah ke sini sama temannya?” tanyanya sambil menatap Burhan. Bu Burhan yang datang membawa minum langsung duduk bersimpuh di lantai. Bagas bisa melihat bahu Burhan menegang. “Kenapa, Pak?” “Tolong jawab, Pak. Bundanya Vlad di Singapura lagi temenin Vlad.” Bagas mengulurkan ponsel pada Burhan, istrinya langsung merapat. “Menurut bundanya, Bapak tau jawabannya.” “Astagfirullah, Kang Plad… aya naon?” “Makanya, jawab pertanyaan saya, Pak. Siapa teman yang Vlad bawa ke sini?” desak Bagas. “Ibunya curiga yang bikin Vlad begitu urusan cewek.” “Tapi itu sudah lama sekali, Pak. Enam tahun lalu. Dia baru lulus SMP.” “Tapi sejak itu dia berubah dan kami nggak pernah ngelihat dia sama perempuan lain
SUARA-suara itu mengganggu tidurku. Padahal suara itu begitu lemah. Tapi bunyi bip bip bip teratur itu terdengar melengking di afmosfer sesunyi ini. Aku merasa kedinginan. Di mana ini? Apa yang terjadi? Aku berusaha mengingat sambil berusaha membuka mata dan menggerakkan bagian apa pun dari tubuhku. Kabut di kepalaku masih sangat pekat, aku harus menyibak kepekatan kabut untuk melihat bayangan lain yang juga masih sangat buram. Aku terus berusaha, tapi sejauh yang kuingat hanya aku terjatuh dan seseorang berusaha menangkapku. Seseorang itu Vlad. Bayangan itu masih sangat buram. Aku tidak bisa menangkap ekspresi wajahnya. Aku hanya ingat teriakan panik dan takutnya ketika menyebut namaku. Aku bisa mengingat dia terbelalak dengan tangan penuh darah. Tapi di mana Vlad sekarang? Di mana aku? Vl... “… ad….” Apakah itu suaraku? Vlad, kamu di mana? Tolong aku. “Anna, kamu sudah sadar?” Sebuah wajah terlihat begitu dekat. Aku berusaha fokus mengenalinya. Vl... “… ad….?” “Apa yang kamu
AKU mengenal Bagas sejak awal kuliah. Bagas seniorku tapi kami berbeda fakultas. Aku di HI, Bagas di Ekonomi. Tidak butuh waktu lama untuk kami merasa ada rasa yang lain yang membuat kami memutuskan berkencan. Hanya butuh beberapa bulan. Tak lama, Bagas lulus. Namun kami baik-baik saja meski kesibukan membuat kami sulit bertemu. Aku kuliah, Bagas melanjutkan bisnis keluarga. Sepanjang aku kuliah, tidak ada pembicaraan serius. Kami menikmati kami apa adanya. Bagas muda yang sedang euforia dengan aktifitasnya, aku dengan cita-citaku. Kami saling mendukung. Pun ketika aku lulus dan mulai meniti karier. Kami baik-baik saja. Bagas tetap mendukung karierku meski saat itu kami mulai serius membicarakan masa depan kami. Membicarakan pernikahan dan rencana-rencana masa depan yang lain. Aku merasa memang sudah waktunya. Umurku sudah cukup, sekolahku sudah selesai, Bagas pun makin mapan di bisnisnya. Dan tentu ada cinta yang memang sejak awal sudah mengikat kami. Semuanya terasa begitu sempurn
AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c
OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem
“I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do
MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue
DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat
JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su
SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s
“TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling
VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika