"Gue mau lo sekarang," pinta Sara.
Gila! Aku kira cuma aku doang yang nyandu sama sentuhannya.
Namun, tarikannya membawaku merapatkannya ke dinding. Sudut matanya mengisyaratkan perhatianku pada papan toilet cowok.
"Ra, ini sekolah," sanggahku, berusaha memenangkan ego yang masih angkuh tidak meminta lebih dulu darinya.
"Atau gue perlu buka di sini?" Sara melonggarkan dasi sekolah dan meloloskan dua kancing teratas seragamnya.
Aku ... susah payah menelan saliva dalam kerongkongan. Belahan mulus yang tampak di sana sangat mengundang. Sulit menahan jemari untuk bergerak membelai permukaannya.
Sara tersenyum lebar ketika aku menggapai belakang kepalanya, mendaratkan sentuhan bergairah pada bibir lembutnya.
Enggak. Aku tidak bisa menahan ini lebih lama. Apalagi dia sangat menyadari kerasnya diriku di bawah sana ketika saling ber
Kuputar batang tembakau di antara jemari, menjaganya tetap utuh sebelum singgah dalam jepitan bibir. Belum kubakar. Hanya memperhatikan para wanita gila yang terus berteriak karena aksi Nabas bermain truth or dare di tengah ruangan, tepatnya, dia berdiri di pertengahan meja dalam keadaan menari setengah telanjang bersama salah satu klien tanpa musik. "Mas Lingga mau dibakarin enggak rokoknya?" Aku menoleh, mendapati salah seorang yang kuketahui sebagai istri pengusaha konstruksi terkenal melekat pada lenganku. Tangannya pun bergerak membelai lutut hingga pinggangku. Spontan rambut halus di sepanjang lengan meremang. Geli. "Eng ... enggak." Aku bergeser, memberi jarak yang bisa ditempati seorang lagi sebelum membakar ujung benda di bibirku. Manis. Asapnya memenuhi rongga mulutku sebelum diembuskan ke udara. "Minum aja, yok!" Datang lagi seora
Kepalaku masih berat meski hanya untuk beranjak turun dari taksi yang kutumpangi. Entah efek alkohol atau .... Ah, aku enggak pengin ngebayangin. Bawaannya mau muntah. Oleng. "Aksa dari mana?" Kurasakan seseorang menopang lenganku. Tingginya hampir menyamaiku dengan perawakan lebih kurus. "Ra?" Aku berharap tidak sedang berhalusinasi seperti semalam. Berkali-kali kuucapkan namanya setiap mencapai pelepasan. Gila! Apa yang terjadi denganku? Aku masih bisa berjalan, hanya belum fokus. Sampai tiba di kamar, Sara membantuku berbaring. Dia juga melepaskan sepatu yang kukenakan dan menekan-nekan pelipisku dengan jemari lentiknya. "Sa?" Kubalas dengan gumaman. Mataku berat, meminta lekat begitu kepala menyentuh bantal. "Lo kerja lagi?" "Gue capek, Ra." Ingin kukatakan ya, tetapi ini bak
Aksa!" Aku terkejut mendapati teriakan Sara yang telah berhasil membuka pintu. Kayaknya dia masih megang kunci cadangan, terlihat dari gantungan dalam genggamannya setelah menutup pintu. "Apa lagi?" Aku kembali berkutat pada tampilan layar ponsel yang menunjukkan sederet angka mengisi saldo rekeningku sementara jemari Sara menyelip di antara lenganku dan bertemu di depan perut. "Ikut ibadah?" tanya Sara sambil menyandarkan dagunya di bahu kananku. "Sara ...." Aku menoleh dan langsung dihadiahi ciuman, lagi. Kekehan mengiringi setelahnya. "Demi gue." Tatapan lebarnya yang memohon ternyata melemahkanku. Demi dia? Sejauh ini, aku melakukan segala hal demi dana yang masuk dalam rekeningku. Kuembuskan napas dengan kasar, sadari bakal berhadapan lagi dengan simbol ketuhanan setelah sekian lama menghindar hanya untuk menemani tuan putri.
Di lain waktu, Sara mengajakku berkunjung ke rumah pamannya. Iya, paman yang menjadi imam di paroki yang kami kunjungi saat ibadah. Aku mengendus 'niat baik' yang berbahaya. Apa mungkin dia punya niat mengembalikanku ke 'jalan yang benar'? "Wah, kirain Sara datang bareng Mbak Indar." Sapaan itu terdengar dari tempatku memarkir motor, hanya sekitar dua meter dari pintu rumah yang baru kuketahui merupakan fasilitas yang diberikan pihak gereja pada para pelayan Tuhan. Dia menyebutkan nama yang bisa kukorelasikan. Mamanya Sara. "Mama keluar kota, Paman." Benar? Aku menertawakan sendiri tebakan yang memenuhi kepala. Enggak biasa aku bisa mengingat para manusia selain orang tertentu yang sering dijumpai. "Tugas kantor?" "Iya." Sambil menggantungkan kedua helm di samping jok, aku menyimak pembicaraan mereka.
"Kak Aksa ...." Kebiasaanku melanglang ke seantero sekolah ternyata bisa menjadi jebakan. Saat mencari kesunyian di antara bangunan belum jadi setelah istirahat selesai, suara lemah menggoda itu mampir. Bukan Sara, aku mengenalinya. Cewek rese lain yang pernah kupermalukan. Abai, aku memilih mengisap bakaran dalam selipan jemariku seraya melihat langit yang semakin menggelap. Punggungku bersandar pada bagian dinding yang belum diplester, kasar oleh batu-bata dan semen. Namun, tarikan di bagian depan celana kelabuku mengejutkan. "Apa maksudnya ini?" Aku bergeser selangkah menjauh, berusaha menepis tangannya dan menjatuhkan sisa batang bara di tangan. "Masa enggak tahu?" Gadis itu, yang pernah memergokiku 'kerja' berjongkok di depan ritsleting dan membuka sisanya. "Apa gue perlu bayar kayak Sara biar enggak penasaran?" "Gue enggak tau." Aku bergeser
Cie ... yang jadian sama junior." Itu suara Kea, pacar Nabas. Atau kalau boleh ditegaskan, saudariku beda ibu. Tentu dia belum tahu. Itu masih rahasia antara aku dan Abah sampai beliau berani ambil keputusan. "Jadian?" Aku mempertanyakan maksudnya karena putrinya Abah itu ternyata melangkah di sisiku saat menuju area parkir seolah begitu akrab. Padahal, kami baru beberapa kali ketemu di luar sekolah. "Lo sama anak kelas sepuluh, yang—" "Info dari mana, Ke?" Nabas menengahi kami, turut berjalan sambil merentangkan lengannya dan berlabuh di bahuku dan Kea. "Aksa emang gitu dia. Ada aja yang naksir, tapi dianya milih anteng ke mana-mana sendiri." Enggak salah. Dia juga bilang gitu ke para tante yang sering menggunakan jasa kami saat berpergian. Ralat. Hanya Nabas. Lebih mudah memanfaatkan dia buat urusan sarang yang perlu diisi. "Oh ... kirain anak k
Aku dan Nabas diarahkan menuju suit yang lebih luas. Kutebak, ini ruangan penyewa jasa kami. Masuk ke dalam, kami disambut deretan sofa krem yang tampak sangat empuk. Tanpa sekat, lebih jauh lagi bertemu bar mini dengan sederet botol minuman dan camilan. Tidak berhenti, pramukamar mengajak kami menyusuri tangga naik dan menemukan wanita muda duduk di atas sofa besar menghadap dinding kaca yang menampakkan batas langit dan lautan sambil menyilangkan kaki. Bingung yang kurasa ketika pramukamar menunduk, berpamitan pada si penyewa. Pemuda lain mungkin akan terpesona dengan wajah putih bersih dan lekuk tubuh menggoda si wanita muda, tapi aku masih belum bisa menemukan ketertarikan selain dari aroma manis Sara. "Buka?" pinta wanita itu ketika aku dan Nabas berjarak satu meter di hadapannya. Cara dia bergerak dan penampilan yang terlihat berbeda dari penyewa kami sebelu
"Hei! Apa coba yang gue liat?" Teriakan yang menggema dalam suite yang kutempati menyadarkan keberadaan Nabas. Dia pasti melihatku dan ... Sara. Bergegas kutarik selimut dari lantai untuk menutupi tubuh Sara yang telungkup di sisiku baru menanggapi tatapan bertanya dari pemuda sipit itu. "Yo, Bas." Telapak tangan kananku refleks naik ke udara, menyapa sebelum mengambil celana pendek yang ternyata menutupi lampu di nakas dan mengenakannya di samping Sara. "Lo bilang enggak jadian sama dia." Nabas masih melongo, menunjuk ke arahku seraya berjalan mendekat. Kudengarkan gumaman di sisi. Sara menggeliat, melotot ketika mendapati kakak kelasnya itu menempati kasur lain dalam ruangan yang sama. Jemariku menyisir helaian rambut Sara yang berantakan, lalu bertanya, "Kapan kita jadian?" Rengutannya semakin menggemaskan. Aku bahkan enggak perlu lagi meminta izin mendaratkan kecupa
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la