Sara yang pergi dari rumah kali ini, dan aku sendirian. Enggak benar-benar sendirian secara harfiah. Beberapa hari terakhir Kea sering berkunjung dengan dalih memergoki suaminya bermain gila dengan si janda yang waktu dulu kami temui di rumah sakit.
"Namanya Anin," sebut Kea lagi ketika aku terus melupakan nama orang-orang yang menurutku enggak penting. Setiap mengatakan nama si janda yang punya anak sama Nabas, semakin kuat tinjuannya pada samsak di hadapan.
Aku mengangkat ujung bawah samsak setara kepala dan Kea hampir oleng. Dia masih bisa bangkit lalu mengarahkan kepalan berlapis sarung tinju ke arahku yang sangat mudah menghindar. Kedua lenganku merapat di depan wajah serayamundur karena pukulan-pukulan penuh emosi dari Kea.
"Terus, apa hubungannya sama gue?" Sekali aku menunduk, tendangan memutar dari kaki kanan berhasil mengenai kaki Kea hingga dia terjengkang.
"Gue cuma mau cerita," jawab Kea
Rencana Kea? Balas dendam? Adikku tidak sekejam itu. Mungkin aku aja kali mau iseng, penasaran, apa yang ngebuat Nabas jatuh hati dengan orang lain setelah sekian lama mempertahankan Kea dalam hubungan teman tapi mesra? "Sendirian?" tanyaku begitu mendapati wanita yang dimaksud Kea sedang menikmati makan siangnya di kantin kampus. Aku mengambil kursi kosong di seberang mejanya dan mulai memainkan kotak rokok memutar di permukaan meja sambil melirik sesekali. Tampilan berkelasnya menunjukkan profesi sebagai praktisi pendidikan, mungkin dosen. Kalau enggak salah ... hampir setengah abad. Meski sudah melahirkan, ternyata masih cantik juga, ya. "Sama teman tadi." Ujung sendok berisi nasi berkuahnya masuk mulut. Dia melihatku sekali, lalu berpesan, "Maaf, bisa ngerokok di tempat lain?" "Oh, oke." Aku mengangguk, menyimpan lagi kotak rokokku dalam saku jaket denim yang melapisi kaus. Melihat dia la
"Beri Kea kesempatan merawat bayi itu juga." Mungkin lebih seperti memohon kali, ya? Aku bahkan tidak tahu bagaimana caramenjilat yang benar untuk mendapat kesempatan dari wanita yang ... bukan dari kalangan penikmat jasa seperti dia, Anin maksudku. "Enggak semudah itu." Anin menggeleng. Dia membuka botol air mineral lain dan minum lagi. Enggak kebayang kembungnya perut karena penuh dengan cairan. "Bagaimana bilangnya? Aku enggak bisa." "Bukankah kalian harus saling jujur untuk anak ini?" Kuhentikan putaran botol dalam genggamanku dan mulai menyeringai saat mendapati ekspresi ragu Anin. "Siapa namanya?" "Shaka. Shaka Bentala." Ternyata sangat mudah mengajaknya bicara setelah menguasai emosi terdalamnya melalui pembicaraan. Dasar wanita. Aku melanjutkan,"Beri dia kesempatan mengenal keluarga ayahnya juga." "Kenapa harus?" Dia minum lagi. Tatapannya t
Seperti kata Abah, aku ditempatkan buat ngambil bagian di salah satu anak perusahaan. Jauh banget yahtwist dari gig*lo malah jadi CEO? Abis gimana kalau kenyataannya malah jadi ahli waris? Padahal enak jadi pengajar bela diri kayak pas di penjara."Gelar mau diapain kalau tidak dimanfaatkan, Aksa?" kata Abah pas terakhir ketemu.Diapain, ya? Buat gengsi aja, sih. Aku juga lama-lama bosen sama rutinitas yang harus memainkan logika dan analisis dari beberapa kontrak. Enggak mungkin kan aku ngasal tanda tangan kalau isi kontraknya bodong?Turun dari mobil baru yang cuma punya dua pintu dan beratap rendah, aku melonggarkan dasi yang terasa mencekik. Kalau dikira mobil itu dari Abah, salah.Abah itu tipe orang tua yang enggak bakal ngasih fasilitas mewah dengan gratis. Harus ada keuntungan yang lebih besar, kecuali berjuang punya sendiri kayak Kea. Mobil yang aku punya ni sebenarny
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la