"Iya, Abah ...." Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Dia marah waktu tahu kalau gue dipesan semalam."
Nabas mengangguk. Dia melirik keberadaan ibunya yang masih berada dalam satu ruangan sementara kami berbicara dengan saling berbisik. "Lo mau ke mana abis ini?"
"Belum tau." Arloji baruku masih melingkar di pergelangan. Pukul tiga lewat. Sudah mendekati sore, tetapi perutku belum juga diisi. Suara para cacing paduan suara sampai membuat kami tertawa.
"Mandi dulu. Lo baunya udah enggak enak." Nabas meninju lenganku dari tempatnya duduk. Dagunya mengedik ke arah wanita tua yang tampaknya sibuk memasak. "Entar yang ada Ibu curiga."
Aku melihat camilan dari tas kertas pembelianku tadi telah berpindah ke piring yang disodorkan Nabas ke tempatku duduk. "Thanks, ya." Kue kering dan roti berbagai isian tersaji.
"Buat? Kuenya kan dari lo." Dia mengerjap, lucu. P
"Mobil lo unik." Aku memecah kesunyian dengan mengetuk pinggiran kaca jendela di sampingku."Beneran?" Kea berseru dalam artian senang, mungkin karena pujianku atau pertama kalinya dia membawa mobil sendiri setelah mendapatkan surat izin mengemudi. "Lucu sih, ya. Antik. Biar seken, tetep aja harganya buat tabungan gue ludes.""Tabungan? Wow!" Itu hal baru dalam pengalamanku mengenali para manusia kalangan menengah ke atas. Setahuku, para wanita kaya cenderung menghabiskan limit kartu kredit dibanding menabung. Mendengar pengakuan Kea, aku terkejut."Bapak enggak kasih izin buat pakai kendaraan pribadi kecuali gue bisa nabung atau cari uang sendiri," jelasnya di antara lengang perjalanan di hari libur. "Ponsel gue juga beli sendiri."Entah buat apa dia bercerita. Menyombong atau memang blak-blakan cerita. Mending daripada sunyi.Pertemuan di rumah Nabas sebelumnya berakhir dengan
Singkatnya, aku sama Sara baikan. Bukan cuma karena masalah aku pergi dan dia nyoba bunuh diri karena mengalami tekanan dari berbagai pihak, tapi yah ... kami saling membutuhkan. Intinya gitu aja.Tekanan dari orang tua Sara yang marah karena aku pergi dan mereka semakin yakin soal keburukanku di masa lalu, tekanan dari pihak yang kerja sama dengan berbagai gugatan dalam waktu singkat, dan tekanan dari aku yang enggak ada di sisinya.Ya, aku ngerasa bersalah karena memulai permasalahan dengan keegoisan. Kalau enggak Kea ngabarin soal keadaan Sara yang menyayat pergelangan tangan, mungkin aku enggak bakal percaya meski Sara sendiri mengirim fotonya padaku."Maaf, Ra. Maaf." Berulang kuucap ketika memeluknya, ketika menenggelamkan wajah di bahunya."Gue lepasin semua ini buat lo, Sa."Iya, dia menyerahkan segalanya, dan akhirnya Abah yang turun tangan menyelesaikan masalah dengan m
"Ini ...." Bisa kulihat lebarnya tatapan Sara saat menginjak halaman di depan rumah kayu tempat aku menghentikan laju motor. Dia melepaskan helm dan menyerahkannya padaku. "Rumah siapa, Sa?""Rumah Ambu. Enggak besar, tapi punya banyak kenangan." Jenis rumah panggung dua lantai yang baru dipelitur.Setelah menurunkan penyangga motor dan meletakkan helm, kutuntun jemari Sara masuk dalam genggamanku. Dasi kupu-kupu yang terasa memasung kebebasan di leherku melonggar, hampir lepas setelah kancing teratasnya kuloloskan dari lubang kemeja. Aku membawa Sara meniti tangga menuju beranda rumah.Aku sempat berpikir mengenai anak-anak yang berlarian dari beranda ke koridor dalam. Mungkin menjelajahi jalan setapak di sekeliling rumah kalau hutan bambu dipangkas sebagian.Setelah membuka pintu masuk utama, langkah kami mengisi keheningan dalam ruangan.Kuturunkan semua penutup furnitur dan menyadari tampakn
"Elo perlu apa, Lingga?"Sepertinya si Nyonya kangen sampai sebutkan nama yang telah lama kulepaskan ketika memasuki kantornya. Usaha agensi sebagai pengecoh layanan jasa yang ditutupi."Apa kira-kira yang lo pikir kalau gue dateng?"Nyonya langsung bangkit, menopang tubuh menggunakan meja ketika aku duduk di kursi besarnya."Gue pikir elo enggak bakal balik abis dipiara artis. Atau abis dapet hukuman dari bokap lo yang ternyata ...."Sudut bibir kananku naik, tergelak dengan pendapat sepihaknya. "Lo tau?"Si Nyonya berpindah, duduk di pangkuan sambil membisik, "Apa yang gue enggak tau?" Sementara tangannya bergerilya masuk ke balik kaus yang kukenakan, bibirnya menjepit sudut telingaku. Sial!"Hei! Gue enggak ngelakuin itu, ya!" Aku memperingatkan ketika memindahkannya ke atas meja.Nyonya buang muka ke sisi lain sambil menertawakan. "Ternyata Ling
"Ye, maaf." "Sakit nih di sini." "Kamu juga masuk pake ngendap-ngendap nggak nyalain lampu." Bagaimanapun beralibi, tetep suami pasti yang salah. "Sakit nih, Yang." Sara menuntunku duduk di kursi, memilah helai rambut untuk ditiup. Lucu aja kalau dia bawa tongkat bisbol buat jaga-jaga. Syukur bukan katana yang digantung di ruang utama. "Lagian kenapa juga sering pulang pagi? Entar balik ke kantor lagi?" Aku menggeleng. "Aku resign." Kebiasaaan semenjak tahu kalau menyusup buat menghancurkan perusahaan dari dalam ternyata menyenangkan selama enggak ada yang tahu kalau pemilik perusahaan terbesar adalah abahku. Toh, yang kulakukan hanya menghabisi lawan atau perusahaan yang secara finansial merugikan korporasi Abah. "Loh? Enggak apa-apa?" "Capek tau, Yang. Kamu sendiri bilang suruh cari kerja ya
"Aksa ....""Hemm?""Baru pulang?"Aku menggumam lagi. Turut masuk dalam selimut yang Sara gunakan setelah membersihkan diri. Sempat melirik ponsel untuk melihat jam. Hampir pagi."Enggak sengaja ketiduran.""Lembur lagi, ya?"Aku mengangguk, memaksa diri untuk memeluknya, menyisiri tiap helai rambut kelamnya. Nggak tidur, cuma merenungi tiap hal yang telah kulakukan di luar. "Namanya juga baru mulai lagi.""Dikerjain karyawan lagi?""Hemm ....""Enggak ada kerjaan yang lain?""Apa yang bisa diharepin dari orang yang sma aja enggak lulus?" Aku merendahkan diri meski bisa dibilang nilaiku lebih dari cukup mengikuti ujian kesetaraan dan kuliah jarak jauh.Sara menatapku dalam gelap. Kilau netranya kentara. Ujung kukunya terasa menggores perlahan di wajah.
"Kenapa, Ra?"Sara terlihat bingung. Kedua matanya berkaca saat menerima panggilan di ponselnya. Aku segera menariknya menyingkir dari kerumunan. Rumah Abah masih ramai dengan tamu yang datang."Papa, Sa .... Papa syok, masuk rs, Sa!"Sara langsung meledak, berteriak dan menangis di hadapanku begitu pintu kamar yang kami gunakan ditutup.Aku diam, membisu, menunggu respon berikutnya.Ponsel di tangan Sara menunjukkan panggilan sudah berakhir. Mungkin Mama yang menelepon."Mama bilang Papa bangkrut, Sa."Aku menggaruk sudut pelipis. Nggak tahu harus berbuat apa. Cuma nanya, "Kamu mau ke sana?""Boleh?""Aku antar.""Tapi, keluargamu?""Nanti aku bilang sama Abah."Sara masih sesenggukan ketika kuraih tubuhnya dalam pelukan. Tidak ada ka
"Eh? Aksa?"Aku menoleh pada pintu yang terbuka. Buku di tangan langsung kukembalikan pada rak di dinding saat melihat gadis yang kukenal sebagai saudari beda ibu masuk ke dalam rumah."Sudah lama?""Lumayan."Kea langsung menyampirkan tas selempangnya di sofa dan mengambil air mineral dari lemari pendingin untuk dituang pada gelas kosong. Sesekali jemarinya menggeser layar ponsel yang digeletakkan di atas meja."Bapak bilang elo nginap. Tumben?""Diusir bini."Tawa Kea pecah seketika. Sedetik kemudian, tatapannya menyipit. "Lagi?"Aku mengangguk. Saat dekat, kurebut gelas dari tangan Kea untuk diminum."Punya gue, njir. Ambil sendiri ngapa.""Seret atuh. Diambilin mah gratis. Nih."Kubalikin gelasnya Kea dalam keadaan kosong sampai dia mendengkus, lalu menyerapa
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara. Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga. Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus. "Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya. Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
"Ya Tuhan, Sara! Cowok kayak gitu mana bisa dipercaya!" Kinar protes pas aku ceritain hasil alat tes kehamilan yang dia kasih. "Kalian emang baru tau apa bener-bener bego sih ampe enggak pake pengaman? Cepat atau lambat bakal makin banyak orang yang sadar kalau lo gemukan!"Benda kecil yang menunjukkan garis dua masih kupegang dengan bergetar. Kelebat angan berputar dalam kepala. Aku berpikir cepat mengeenai apa saja yang mungkin bisa kulakukan dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan dan ... buntu."Terus gue harus apa?""Gugurkan." Kinar memegangi bahuku, tepatnya mencengkeram kuat, mengguncang berkali-kali hingga rasanya kepalaku turut bergerak."Kin!" teriakku, menghentikan perlakuannya dan langsung menyingkir ke depan wastafel dalam toilet sekolah. Untungnya enggak ada yang denger pas jam pelajaran gini.Hamil di usia enam belas? Aku juga enggak kebayang. Ngotot pengin tau gimana rasanya
Aku sama Aksa? Sejauh ini masih akur, enggak kayak waktu awal-awal dulu pas dia rajin banget nolak aku. Emang uang bisa ngubah segalanya, ya?Mungkin, ya. Aksa begitu manis meski aku nolak buat nerima perlakuan dia yang berubah seratus delapan puluh derajat.Enggak cuma hubungan kami yang terpengaruh dengan uang. Kayak waktu aku ngelihat Papa jalan sama cewek yang bergelayut manja di salah satu pusat perbelanjaan. Entah selingkuhan mana lagi yang morotin Papa dengan banyak tas belanja. Kenyataan benar-benar menyentak."Kin? Lo?" Aku sulit mengutarakan saat berhadapan langsung dengan sosok sahabat yang pengin langsung kudamprat ketika dia telah masuk toilet umum. Aku pikir ... keberanianku lebih dari cukup untuk marah."Mau nyalahin gue?" Seolah tanpa rasa bersalah, Kinar melewatiku dan masuk dalam salah satu bilik.Kelopak mataku sudah begitu panas membendung aliran yang siap mem
"Diliatin mulu." Teguran Kinar disertai telapak tangan terbuka yang hampir menerpa wajah membuatku refleks mundur lepaskan tumpuan tangan pada dagu di meja dan mengerjap beberapa kali. Ngeganggu aja, sih. Ngelihat Aksa dalam waktu lama itu jadi kenikmatan yang hakiki. Aku tuh jadi ngebayangin gaya dia tanpa seragam di beranda. "Salah ortunya bikin dia secakep itu." Mungkin efek olahraga juga kali, ya. Selain beberapa kali mergokin Aksa latihan di kos, kadang nemu juga dianya di tempat fitnes, meski yang ini ngelihat dia bareng wanita tua. "Cakep? Kalau gue enggak salah denger, kemarin lo bilang itu cowok brengsek banget." Tanggapan Kinar ngeganjelin aja, sih. "Abis diapain lo?" Dicipok. Perjanjian spontan di belakang sekolah kemarin tuh mengejutkan banget. Aksa nyium gue ..., demi makan siang? Brengsek! Cowok matre! Kirain cewek doang yang kayak gitu. Mana ciuman pertamaku lagi. Yah, rasa bib
Masih belum kapok sama rasa penasaran. Cowok itu kok malah nyuekin aku, sih? Abisnya aku pingsan di kamar dia malah dianterin balik ke rumah. Dia ... emang bermoral apa enggak minat, sih? Kalau waktu awal-awal jadi selebgram atau model, biasa banget tuh ketemu om-om yang sok megangin tubuhku dengan dalih enggak sengaja. Padahal jalanan luas. Kalau mau diperkarain, ancamannya bukan cuma pembatalan kontrak, tapi banyak yang bisa dijadiin kasus. Kayak yang belakangan dibikin berita. Peduli amat! Aku ngambil kamera di pojokan meja belajar. Udah dibersihin sih lensanya, lumayan buat pengaturanshot jarak jauh kalau dari jendela kamarku. Ternyata pas banget dapet beranda jemurannya si cowok baru. "Uh ...,sexy boy beraksi." Boleh melenguh enggak sih lihatin cowok dengan perut kayak roti sobek gitu? Belum termasuk lengan padatnya pas lagi angkat ker
"Garini Sarasidya!" Aku mengangkat tangan begitu Bu Anna memanggil. Wanita tua itu menunjuk tumpukan buku tugas di atas meja depan untuk dibawa ke ruang guru. Padahal masih ngantuk. Hampir aja aku nyium meja saking enggak sadarnya kalau pelajaran udah berakhir. Kenapa aku?Bu Anna biasanya bakal bilang biar aku enggak ngerasa di-anakemas-kan karena sering mendapat kompensasi izin dari sekolah buat syuting. Yah, mau gimana coba kalau kadang dapet jadwal pas jam sekolah? Mauhomeschool? Bisa-bisa digetok Papa karena ujiannya kudu ambil paket kesetaraan. Ijazah paket itu masih jadi standar rendah di kalangan orang tuaku. "Perlu dibantuin, Ra?" Tawaran-tawaran kayak gitu tuh banyak banget terdengar dari para cowok. Sayangnya, aku perlu nolak. Nerima bantuan mereka tuh bakalan jadi gosip aja buat para iri hati bin suuzon di kelas bahkan mungkin satu sekolah.
"Enggak kerja?" tanya Sara setelah kembali dari kamar mandi.Jelas, dia mandi lagi setelah pergumulan semalam penuh. Ini bahkan sudah pukul ... sepuluh siang. Apa masih bisa disebut pagi?"Kamu enggak mandi?" Dia nanya lagi begitu lemparkan handuk bersih yang langsung kusingkirkan ke sisi tubuh."Perlu mandi?" Aku beranjak dari ranjang tanpa berniat mengambil pakaian yang tergeletak asal di antara lelehan air. Lantai masih basah karena kami berulang-ulang berpindah dari ranjang, kamar mandi, ranjang lagi, dan terus ... sampai ketiduran di kasur yang lembab."Udah keringetan, Sa!" Sara berlagak menjepit ujung hidungnya seolah aku bau, padahal dia tetep aja meluk pas aku hampirin di depan lemari kaca."Entar keringetan lagi." Alasanku seperti biasa. Yah, keringetan beneran, apalagi kalau kangennya kayak semalam. Sekali enggak bakal cukup menuntaskan gairah."Ap
"Mau berulang-ulang bertengkar, akunya tetap balik sama kamu." Jemariku bergerak menyusuri setiap lekuk yang membentuk diri Sara, membusakan kekentalan beraroma buah yang sangat kuhafal darinya meski suara membentuk gema dalam ruang sempit di antara aliran air."Mau berulang-ulang cemburu, kamunya tetap sama aku." Terdengar Sara menimpali bersama kekehan serak, sisa suara setelah berjam-jam menangis dalam pelukanku yang berakhir dengan guyuran pancuran kamar mandi."Siapa yang nyuruh jatuh cinta, coba?" Kubalikkan Sara menghadapku. Mata sembabnya sangat kentara jika dilihat sangat dekat. Kedua tangannya menggantung di leherku dan melekatkan dirinya lagi. "Sudah tahu kalau dulu aku enggak bisa punya hubungan tanpa pamrih.""Emang kita tanpa pamrih?" Sara menantang dengan senyumannya.Kurasakan gerakan di bawah sana mengencang sementara aku menghindari tatapan menuntut jawab dari Sara dengan melihat la