Lady meringis. Bagian bawah tubuhnya terasa sakit. Sementara Rain masih berada di atas tubuhnya.”Rain…” Lady mengusap punggung Rain agar pria itu beranjak dari atasnya. Namun laki-laki itu tak bergerak. Lady baru menyadari ternyata Rain sudah tidur. Bisa-bisanya dia ketiduran sedangkan mereka belum saling memisahkan bagian bawah tubuh masing-masing. Menggerakkan kaki, Lady merasakan milik Rain yang telah kembali ke ukuran semula kini keluar dari tubuhnya. Dengan hati-hati Lady menggeser badan Rain dari atasnya hingga laki-laki itu kini terbaring di sebelahnya. Mungkin Rain terlalu lelah, pikir Lady. Atau memang sudah jadi kebiasaan? Lady tidak tahu apa orang yang selesai bercinta akan langsung tidur. Lady bangkit dari posisi berbaring dan mencoba duduk. Seperlahan apa pun gerakan yang ia lakukan tetap saja menimbulkan nyeri terutama di bagian bawahnya. Tubuhnya terasa remuk seakan baru saja melakukan aktivitas fis
Tertatih, Lady berjalan menuju ruang depan untuk menemui tamunya yang tidak sabar lantaran terus membunyikan bel.Begitu pintu terbuka sesosok pemilik wajah gagah tersenyum padanya.”Pagi, Lady, Rain ada?”Lady juga tidak tahu apa suaminya sudah pergi atau belum.“Maaf, Le, aku baru bangun, mungkin Rain sudah pergi.” Tidak ada senyum hangat seperti biasa di bibirnya saat menjawab pertanyaan Ale.”Oh, berarti dia pergi duluan. Tadi katanya lagi nunggu aku. Mungkin dia udah nggak sabar kali ya?” Ale menduga-duga sendiri.”Mungkin,” jawab Lady lirih.Ale baru menyadari ada yang berbeda pada Lady hari itu. Lady tidak seperti biasa. Mukanya pucat, perempuan itu juga terlihat lesu, sehingga Ale harus menanyakan keadaannya.“Dy, kamu lagi sakit?”Lady ingin mengatakan kalau saat ini ia baik-baik saja. Tapi pasti ketahuan sedang berbohong karena buktinya terlalu nyata.”Sedikit, badanku meriang.”“Kamu sudah minum obat? Sudah ke dokter? Oh iya, Tante Kanayya kan dokter, kamu udah dikasih obat
Sirkuit Megantara siang itu lumayan ramai. Beberapa pembalap binaan Megantara—nama sirkuit sekaligus tim tempat Rain bernaun—sedang jajal kemampuan masing-masing. Rain adalah salah satu dari mereka.Rain menepi setelah Kendrick memberinya aba-aba. Ia membuka helm dan sarung tangan. Ia disambut oleh Sydney yang sejak tadi mengamati Rain dan tidak melepaskan dari pengawasan matanya. Perempuan itu tersenyum manis. Bangga pada sang kekasih yang hari ini menunjukkan performa terbaik.Sydney menyodorkan sebotol air mineral. Rain menyambut, langsung membuka tutup botol dan meneguknya hingga nyaris tandas. Ia memang sangat haus, tenggorokannya kering.“Gitu banget minumnya.” Sydney berkomentar sambil tersenyum melihat botol air yang hampir kosong.“Haus, Han.” Rain menyentuh leher memaksudkan tenggorokannya.”Mau tambah lagi?” Sydney siap-siap mengambil botol kedua dari dalam ransel Rain.Rain menggelengkan kepala. Ia kemudian memeriksa ponsel dan membaca pesan dari Ale. Sejak tadi baru sekar
Lady keluar dari kamar karena ingin ke kamar mandi. Di kamar yang ia tempati sekarang tidak ada, sedangkan Lady ingin buang air.Lady meringis lagi karena merasa kesakitan saat buang air kecil meskipun ia sudah berhati-hati. Entah akan sampai kapan rasa perih itu menderanya.Ale masih belum pulang hingga sesore ini. Merasa bosan karena terus di kamar, Lady memutuskan duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Ia memeriksa handphonenya kalau saja ada notifikasi baru. Tadi Nia bilang kalau situasi toko sudah aman dan terkendali. Para pencari berita sudah pulang setelah dengan susah payah Nia menghadapinya.Menikahi publik figur seperti Rain tidak gampang. Dan Lady sudah membuktikannya. Itu baru menjadi istri yang pernikahannya ditutupi, apalagi jika pernikahan mereka diketahui orang banyak.Perhatian Lady lantas terbagi ketika aroma parfum laki-laki yang maskulin terhirup oleh hidungnya. Ale yang pulang. Laki-laki itu melempar senyum padanya.“Sorry, Dy, aku nggak bunyiin bel, taku
Sudah selarut ini tapi Ale dan Lady masih berada di ruang tengah menonton televisi. Karena kebanyakan tidur tadi siang akhirnya malam ini Lady tidak bisa memejamkan mata sepicing pun.”Dy, orang rumah nggak kamu kabari?”Ale yang bertanya membuat Lady menoleh padanya. “Orang rumah yang mana, Le?”“Tante Kanayya.”Lady diam saja. Apa ia perlu memberitahu perempuan itu?“Kamu tuh lagi ada masalah sama anaknya, bukan ibunya. Jadi aku pikir lebih baik kamu kabari. Kamu nggak perlu kasih tahu sedang ada di mana sekarang. Tapi seenggaknya Tante Kanayya tahu kalau kamu baik-baik aja,” kata Ale memberi masukan.Lady termenung. Ia memikirkan perkataan Ale. Seharian ini ia tidak berkomunikasi sama sekali dengan mertuanya. Apalagi dengan suaminya.”Maaf ya, Dy, bukan maksudku mengatur kamu, aku cuma kasih saran. Aku khawatir kalau kamu diam tanpa kabar bakal bikin semua orang jadi panik.” Suara laki-laki itu terdengar lagi.“Iya, makasih sarannya. Tapi aku nggak enak nelfon udah tengah malam beg
Kanayya keluar dari kamar dengan membawa ponsel di tangannya. Ia langsung menuju ruang makan. Tidak menemukan anak laki-lakinya di tempat itu membuatnya bertanya pada Alana, “Na, Rain tidur lagi?””Nggak tahu, Kak,” jawab Alana. “Mau aku cek ke kamarnya?”“Nggak usah, biar aku aja.”Kanayya kemudian melangkah cepat menuju kamar Rain. Di saat tangannya terulur untuk mengetuk pintu ketika itulah pintu dibuka dari dalam. Rain muncul dengan rambut setengah basah. Meskipun sudah mandi namun matanya masih merah, menandakan jika tidurnya masih belum puas.“Rain, Bunda baru cek handphone. Ada chat dari Lady. Katanya kemarin nginep di rumah temennya, ngerjain tugas sekalian belajar bareng karena minggu depan mau ujian.” Kanayya menjelaskan pada Rain sesuai dengan apa yang dibacanya di ponsel tadi.“Tuh kan, Nda, yang dikaba
Lady tiba di rumah sore itu lebih awal dari biasanya. Mobil Kanayya yang terparkir dengan rapi memberitahu pada Lady bahwa mertuanya itu sudah pulang. Dengan hati-hati Lady membuka pintu dan melangkahkan kakinya dengan pelan memasuki rumah. Ia tidak menemukan siapa-siapa di sana selain dirinya sendiri. Mungkin Bunda sedang di kamar, pikirnya. Membuka pintu kamarnya sendiri, Lady menemukan ruangan tersebut dalam keadaan berantakan. Selimut yang tidak dilipat hingga menjuntai ke lantai, gorden yang belum dibuka serta baju kotor yang menumpuk di lantai. Lady hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan semuanya. Lady mengganti pakaiannya dengan baju harian. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah merapikan ranjang. Niat itu urung terlaksana ketika fokus perhatiannya tertuju pada sesuatu. Ada bercak berwarna merah cenderung coklat yang telah mengering di tengah-tengah kasur. Sprei berwarna biru muda yang menga
Eh, apa dia bilang? Apa Lady tidak salah dengar?“Maksud kamu apa?” Tubuh Lady tersurut ke belakang. Rain semakin maju dan kian mendesak, membuatnya tersudut.“Gue lagi nanya sama lo, apa lo cuma sayang sama Bunda doang? Sama gue gimana?”Lady tersenyum geli di relung hati. Sungguh tidak mengerti pada laki-laki egois di hadapannya. Rain ini bipolar, berkepribadian ganda atau gimana sih?”Nggak, aku nggak sayang sama kamu, aku hanya sayang sama Bunda. Nggak usah geer, aku ngelakuinnya hanya demi Bunda, bukan karena aku sayang sama kamu.” Lady menjawab lugas tanpa takut sama sekali.Air muka Rain berubah. Sudut hatinya mencelos yang ia juga tidak tahu kenapa. Mungkin karena kejujuran perempuan di hadapannya atau mungkin karena ia mulai menyimpan rasa dan ternyata Lady tidak merasakan hal yang sama.“Permisi, aku mau mandi.” Lady menerobos keluar dari Rain yang sejak tadi mengunci dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding.Lady sudah meluncur ke kamar mandi sedang Rain terduduk sendiri mer
“Nyet, sekalian lo pesenin untuk Lalad ya,” ujar Rain pada Ale.Ale lantas bertanya pada Lady. “Kalau kamu mau minum apa, Dy?” Lady melirik gelas Zee dan Alana yang berisi cola sebelum memberi jawaban. “Samain kayak Zee dan Alana aja deh,” putusnya.”Oke.”Sejak kehadirannya bergabung bersama mereka, Lady melihat Alana dan Zee tidak banyak bicara. Alana yang biasanya ceria saat ini tampak murung. Hmm, dia kenapa ya?Tidak ingin mencampuri urusan keduanya, Lady tidak bertanya apa-apa. Ia memindahkan perhatiannya pada Rain di sebelahnya.”Rain, nanti minumnya jangan terlalu banyak. Inget, kita lagi tinggal di rumah Bunda, bukan apartemen,” ucap Lady. Khawatir kalau sampai Rain mabuk berat.“Iya, iya, bawel…,” jawab Rain yang untuk kesekian kali mengecup puncak kepala sang istri. “Lagian Bunda nggak bakal tahu, Bunda kan udah tidur,” sambungnya lagi.Rain kemudin beralih pada Alana yang tidak menimpalinya seperti biasa. “Tante kenapa? Aku perhatiin dari tadi cemberut kayak orang lagi sa
Rain dan Lady duduk anteng di belakang, sedangkan Ale menyetir gelisah di belakang kemudi. To be honest, Ale merasa kurang nyaman dengan kehadiran Alana di sebelahnya. Tadinya ia ingin meminta agar Rain saja yang duduk di depan bersamanya. Sayangnya sang sahabat sudah berkata duluan dan meminta agar tantenya saja yang duduk di depan.Berada sedekat ini dengan Ale sudah cukup menggetarkan hati Alana. Kebahagiaannya memang sereceh itu. Ale mungkin tidak tahu seberapa besar perasaan Alana padanya.Alana mengenal Ale dari Zee. Kala itu sahabatnya tersebut mengatakan padanya bahwa Ale adalah putra mahkota kerajaan sebelah. Sejak awal melihat laki-laki itu Alana sudah tertarik. Ale yang cuek, cool dan menyimpan banyak misteri membuatnya penasaran. Saat mengetahui bahwa Ale menjadi asisten pribadi Rain, Alana pikir ia selangkah lebih dekat dengan Ale. Nyatanya Alana salah. Mendekati lelaki itu ternyata tidaklah semudah yang ia bayangkan.Di jok belakang Rain dan Lady sedang bermesraan. Kedua
“Duh, capek banget.” Rain menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Penerbangan panjang yang baru saja dijalaninya membuat tubuhnya lelah. Hal yang paling diinginkannya saat ini hanyalah beristirahat melepas penat.Rain meminta Lady yang baru saja masuk ke kamar agar mendekat padanya. “Lad, pijitin dong, aku capek banget.”Lady mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri dan memenuhi apa yang diinginkan Rain. Tangannya memijit bagian tubuh lelaki itu. Mulai dari pundak, punggung hingga betisnya.“Enak banget pijitan kamu, Lad, bikin nagih.” Rain bergumam pelan di sela-sela kantuk yang mulai mendatanginya.Lady tersenyum tipis. “Dasar modus.””Lad, aku tidur ya, nggak apa-apa kan? Udah ngantuk nih.”“Tumben pake minta izin.”“Ntar kamunya marah kalau aku tinggal tidur.”“Ngapain juga aku marah? Orang ngantuk kok dilarang tidur.”“Sini, aku maunya tidur ditemenin sama kamu.””Katanya mau dipijit.””Pijitnya sambil rebahan bareng aku.” Rain merengkuh Lady hingga jatuh berbaring di sebelah
“Welcome home…”Lady berbisik sendiri begitu pesawat yang ditumpanginya baru saja berada di bawah langit Jakarta. Tiga hari mungkin terlalu singkat untuk menjelajah seisi Amsterdam. Tapi apa yang dialaminya selama lebih kurang sepuluh hari ini di sebagian wilayah eropa memberi kesan yang mendalam.Pemberitahuan yang mengudara di seantero pesawat agar para penumpang bersiap-siap dan memasang sabuk pengaman menandakan bahwa sesaat lagi mereka akan mendarat.Alana sudah standby di terminal kedatangan penerbangan internasional. Sudah sejak tadi ia menanti kedatangan ponakan dan istrinya.Terasa ada yang berbeda kali ini. Jika biasanya Ale yang mengantar dan menjemput ke mana-mana, maka kali ini tidak. Rain merasakan ada yang kurang tanpa Ale.“Cieee… yang baru pulang honeymoon.” Ledekan Alana menyambut kedatangan Rain dan Lady. “Mana cucu aku?”Rain terkekeh. “Dipikir bikin anak kayak bikin kue putu apa? Habis cetak langsung mateng.”Alana juga tertawa menimpali kekehan Rain. Ia kemudian
Hari pertama setelah tiba di Amsterdam Rain dan Lady mengisi waktu dengan mengelilingi kota itu.Mereka menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Amsterdam yang tidak begitu lebar. Bangunan yang mereka lihat di kanan dan kiri jalan masih mempertahankan bentuk aslinya. Terlihat klasik dan bernilai seni tinggi.Kehadiran kanal merupakan hal lain yang mereka saksikan di sana. Meskipun airnya tidak terlalu jernih namun perahu yang berlalu lalang merupakan daya tarik tersendiri yang membuat mata betah memandang.Saat ini sudah memasuki musim semi di Amsterdam. Udara yang baru saja menghangat di sana membuat banyak orang menghabiskan waktu di pinggir kanal. Mereka membaca buku sambil menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan sesama. Ada juga yang datang ke sana hanya untuk berjemur sambil merenung.Bersepeda di Amsterdam bukan lagi hal yang luar biasa dan membuat tercengang. Bahkan area pedestrian di sana lebih mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat.Rain dan Lady menep
Rain dan Lady duduk di ruang tamu menanti sang empunya rumah. Semestinya Rain bisa langsung menerobos ke dalam karena rumah tersebut adalah rumah kakek neneknya sendiri. Namun Rain masih menjunjung tata krama dengan memilih menunggu di ruang tamu.Selagi menanti, Lady mulai menebak-nebak seperti apa penampakan orang yang akan mereka temui. Debaran jantungnya kian mengencang. Perasaan cemas tidak bisa diterima dengan baik kembali menghantuinya meskipun Rain sudah meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.Tak lama kemudian sepasang suami istri yang tidak lagi muda muncul dari arah dalam. Wajah keduanya begitu semringah begitu melihat langsung sosok yang mereka rindukan kini berada tepat di depan mata mereka.Rain dan Lady sama-sama berdiri.“Rain…”“Papa…”Rain dan Rasya saling berpelukan melepas rindu yang selama ini tertahan. Selama hitungan menit keduanya saling mendekap.Ingat pada istrinya yang juga sangat merindukan sang cucu, Rasya mengurai pelukan dari Rain dan memberi kesempa
Lady diam saja saat Rain terus menceramahinya. Justru sekarang pikirannya hanya tertuju pada seseorang yang jauh berada di benua sana. Lady sudah tidak sabar ingin menceritakan pada Ale mengenai pertemuannya dengan perempuan gipsi tadi. Lady yakin, hanya Ale yang akan memahaminya mengenai pergipsian ini. Sedangkan Rain sudah antipati duluan. Rain bukan pendengar yang baik untuk hal ini.“Kenapa diam aja?” tanya Rain yang baru menyadari jika Lady bungkam sejak tadi dan tidak merespon apa pun yang ia katakan.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” balas Lady.“Emang orang tadi bilang apa aja sih sama kamu?” Meskipun tidak pernah memercayai hal semacam itu namun Rain merasa penasaran juga dan tidak tahan untuk tidak bertanya.Lady ingin berterus terang, tapi merasa ragu. Ia khawatir akan penilaian negatif Rain nanti. Alhasil ia pun mendustai suaminya.”Dia cuma nanya nama aku.”“Terus?””Dia nanya aku berasal dari mana.”“Next?”Lady terdiam untuk sesaat. Apa ya tanggapan Rain jika tahu r
lLady terkikik geli ketika Rain menceritakan padanya mengenai obrolan dengan orang tua Reza. Siapa pun yang tidak mengenal pria itu pasti tidak akan menyangka kalau Reza mengalami gangguan jiwa. Secara kasat mata Reza tampak gagah, sehat, segar bugar dan baik-baik saja.”Bangke emang, bisa-bisanya gue dikerjain orang sakit,” rutuk Rain antara geli serta jengkel.Tawa Lady bertambah keras. Geli melihat Rain saat ini. “Pantes aja dia lebay banget ke aku. Gombalan-gombalannya bikin aku eneg, untung aja aku nggak muntah di depan dia.”Rain menimpali tawa Lady. “Emang dia bilang apa ke kamu?” tanyanya ingin tahu.”Dia bilang aku cantik, mandiri, aku perempuan istimewa, pokoknya ya gitu deh. Kamu ngeliat nggak kemarin waktu di restoran banyak banget makanan di atas meja aku? Itu semua dia yang suruh. Padahal jatah sarapan aku udah habis. Tapi emang enak-enak sih makanannya.”“Aku nggak lihat.”“Gimana mau lihat, kamu-nya udah keburu emosi. Nggak tahu aja dia yang dicemburui orang sakit. Hah
Matahari sudah tenggelam sempurna ketika Rain dan Lady tiba di hotel. Syukurlah mereka tidak bertemu dengan Reza. Cowok gesrek dengan mulut tanpa filter yang super duper menyebalkan.Setibanya di kamar keduanya sama-sama merebahkan tubuh ke pembaringan. Hari ini terasa sangat melelahkan ketimbang hari-hari sebelumnya.“Gimana? Ada berasa sakit?” tanya Rain ingin tahu keadaan Lady setelah merajah tato tadi.Lady menggelengkan kepala. “Udah enggak.” Tadi saat dirajah ia hanya merasakan sedikit rasa perih. Jika setelahnya mereka mengalami efek samping seperti alergi, gatal-gatal atau pun ruam pada kulit, mereka diharuskan untuk datang kembali.Tangan Rain lantas terulur mengusap-usap kepala Lady yang berbaring miring menghadap padanya. Keduanya tidak habis pikir pada apa yang mereka lakukan berdua.“Lad, udah yuk rebahannya. Kita check out sekarang,” cetus Rain tiba-tiba ketika ingat rencananya tadi untuk check out sorenya. Bahkan sekarang hari sudah malam.“Duh, Rain, aku capek banget,