Hampir menyemburkan kopinya. Melisa melotot seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Giselle. “Apa? kau bilang dia pergi ke Amerika?”
“Ya. Dia memang pergi ke Amerika bersama istri dan anaknya. Kau sudah tahu kegiatan rutin keluarga Jordan adalah bertemu 6 bulan sekali untuk makan malam. Meski tinggal di luar negeri harus menyempatkan waktu untuk pulang. Dan ya dia pulang dan menemuiku.”“Jangan bilang kau masih mencintainya?” tebakan Melisa hampir benar. Namun Giselle sudah tidak mencintai pria itu lagi.“Tidak—““Jangan bohong padaku Giselle.”“Baiklah-baiklah, aku hanya sedikit merindukannya. Tapi aku tidak bisa bersamanya lagi.”Melisa menepuk bahu Giselle dengan bangga. Melihat temannya yang bisa mengambil keputusan dengan tegas membuatnya bangga. Giselle yang sekarang jauh lebih berprinsip dari pada dulu.“Aku bangga denganmu. Prinsip untuk tidak menjalin hubungan dengan pria beristri harus terus kau pegang, Giselle. Jangan mau termakan janji manis laki-laki yang sudah mempunyai istri. Yang mereka hanya omong kosong. Jika dia berani meninggalkan anak dan istri mereka demi wanita lain—tidak menutup kemungkinan dia juga bisa melakukan hal itu lagi suatu hari nanti.”Giselle mengangguk. Untung masih ada Melisa yang bisa mengingatkannya agar tidak melakukan kesalahan.“Ayo bersenang-senang,” teriak Melisa mengangkat kedua tangannya.Sore hingga malam, Giselle menghabiskan waktunya bersama Melisa. Makan-makanan kemasan sesuka hati, berfoto sebebas mungkin dan karokean dengan lagu yang ia sukai. Usai melakukan ketiga hal tersebut, Giselle merasa kelelahan hingga berbaring di lantai tanpa alas apapun.“Aku sangat membenci Jordan. Andai saja suamimu bukan dia—aku akan sangat bersyukur,” celetuk Melisa.“Aku juga akan sangat bersyukur jika suamiku bukan Jordan.”Ting ting tingBunyi bel menyentak kesadaran dua wanita itu. Melisa lebih dulu bangun. Ia menatap layar CCTV dahulu sebelum membuka pintunya. “Dia bodyguard baru?”Giselle bergumam. Mengambil coat dan memakainya. “Aku harus pergi. Sudah telat 30 menit pulang. Aku tidak ingin membuat Jordan semakin marah.”“Baiklah, hati-hati.”Beberapa menit menempuh perjalan pulang. Giselle dan Noah akhirnya sampai di Mansions. Pukul 20.14, tepat sekali—Giselle memang melanggar aturan Jordan. Memasuki Mansions dengan langkah pelan. Hingga semua lampu menyala secara serentak.“Bagus sekali—kau pulang malam dan mengabaikan perintahku.” Jordan mendekati Giselle. Bertepuk tangan atas pencapaian Giselle hari ini yang beraninya melanggar aturannya.“Aku sudah pulang. Tidak ada hal yang perlu diributkan.” Giselle nampak tidak takut—meski dalam hati sangat was-was apa yang akan dilakukan Jordan padanya.“Well—kuperhatikan kau sangat berani membantah akhir-akhir ini.” Menggenggam rambut Giselel kemudian menariknya keras. Hingga membuat wanita itu reflek berteriak kesakitan. “Apa kau marah karena aku menolakmu hm?” tanya Jordan tanpa belas kasih masih menarik rambut hitam Giselle.“LEPASKAN AKU JORDAN!” Teriak Giselle tak tertahan lagi. Berusaha melepaskan tangan Jordan dari rambutnya. Giselle menatap pria itu nyalang. “Kau KDRT! Aku akan melaporkanmu!” ancamnya.Jordan tertawa. Melepaskan tarikannya—kini tangannya beralih mengapit pipi Giselle. “Berani membawa urusan rumah keluar—maka siap-siap akan kuhancurkan seluruh orang sekitarmu. Aku akan membuatmu benar-benar menderita hingga tidak ingin hidup lagi.”“Kau iblis—seharusnya dulu aku lebih dulu bunuh diri daripada menikah denganmu.”“Sssttt.” Jordan menaruh jari telunjuknya di bibir Giselle. “Kau tidak berhak membuat takdir sendiri—hanya aku yang berhak. Kau tidak diperbolehkan memilih, Giselle. Karena kau hanya boneka yang siap kumainkan kapan saja.”“Dasar bajingan! Aku membencimu Jordan! Pergilah bersama wanitamu—tidak usah urusi aku. Nikahi saja selingkuhanmu itu. Aku akan senang hati bercerai dan pergi darimu!”“Tutup mulutmu sialan!” Jordan mencengkram erat leher Giselle hingga wanita itu kesusahan bernafas. Giselle diambang kematiannya jika Jordan telat satu detik saja melepas cengkramannya.“Huh.” Giselle menepuk dadanya yang terasa sangat sesak. Air mata yang sedari tadi coba ia tahan akhirnya luruh juga. Tidak mau terlihat lemah dari Jordan, Giselle berbalik dan mengusap air matanya dengan tangannya.“Jika kau berani melanggar aturanku—siap-siap aku akan membawamu ke ruangan bawah tanah,” bisik Jordan tepat di samping telinga Giselle. “Kau pernah dengar bukan jeritan kesakitan dari ruang itu? Kau tentu bisa menebak apa yang terjadi di sana.”Tak mau menjawab—Giselle mengalihkan padangannya. Jordan akhirnya meninggalkannya. Tubuhnya langsung merosot ke bawah. Jordan lebih dari brengsek—pria itu Psikopat sekaligus iblis. Saat ke bawah untuk mengambil alat lukisnya yang berada di gudang bawah—Giselle sayup-sayup mendengar suara orang kesakitan dari sebuah lorong gelap yang menuju sebuah ruangan. Belum sampai Giselle pada ruangan itu—seorang pengawal mencegatnya dan melaporkan perbuatannya pada Jordan.Sejak saat itu akses ke bawah dikunci total sehingga tidak sembarang orang bisa menjangkau ruangan itu. Ia kira Jordan adalah manusia biasa yang memang brengsek, namun Jordan menyembunyikan misteri mengerikan yang Giselle sendiri tidak mau membayangkan.“Nona,” panggil seseorang.Giselle mendongak. Noah mengulurkan tangannya. Baik tidak perlu bertingkah jual mahal. Terima saja—lagipula sikap Noah padanya tidak semata-mata gratis. Noah dibayar untuk menjadi Bodyguardnya.“Jangan ikuti aku lagi—aku akan pergi tidur,” pamit Giselle.“Tunggu. Tapi leher anda akan berbekas jika tidak segera diobati.”Menghela nafas—akhirnya Giselle setuju, memperbolehkan Noah mengobati dirinya. Di samping Mansions ada sebuah taman kecil. Bunga yang di sana tidak terlalu bagus karena jarang terawat. Lalu lampu-lampu penerangan juga hanya sedikit. Juga hanya ada dua bangku yang tersedia.Dengan telaten Noah mengoleskan krim itu di leher Giselle. Tidak ada niatan terselubung melihat betapa mulusnya leher sang nona. Noah memang tulus mengobati Giselle.“Kenapa kau sangat perhatian padaku?” tanya Giselle pelan.“Itu sudah tugas saya.”“Tugas bodyguard hanya menjagaku agar aman. Bukan memperhatikan keadaanku, memberi apa yang kubutuhkan dan mengobatiku saat terluka. Tugasmu tidak sebanyak itu sebagai Bodyguard, Noah.”Noah terdiam. Dari samping ia merasa Giselle mamandangnya sangat intens. “Kau menyukaiku?” tanya Giselle membuat Noah langsung menoleh.“Bukan seperti itu, Nona.” Panik Noah tengah menatap Giselle. Pertama kalinya Noah bertatapan mata dengan majikannya itu. Di bawah sorot lampu yang tidak terlalu terang ini, kecantikan Giselle tidak memudar. Meski rambut acak-acakan, make up yang mulai luntur dan pakaian yang tidak serapi tadi. “Aku hanya bercanda.” Pecah juga tawa Giselle. “Aku tahu—kau tidak mungkin menyukai wanita sepertiku. Aku ini banyak kekurangannya. Aku bukan istri idaman, tidak bisa memasak, cerewet, suka cari ribut, biang masalah, pembawa sial, bar-bar dan apa ya….. kayaknya itu deh.” Giselle hanya tertawa santai saja. Sedangkan Noah tidak suka Giselle yang meredahkan diri seperti itu. “Jangan berpikir seperti itu—Nona. Anda harus percaya diri.” “Aku percaya diri dengan kecantikanku. Tapi selain itu—semuanya 0 %.” “Aku mendengar Nona lulusan kedokteran luar negeri. Nona pasti pintar.” Giselle bertepuk tangan. “Woaah—kau pasti mencari tahu tentangku. Kau ternyata teliti juga.” “Seperti itu.” “Mengenai
“Benarkah? Sepertinya bukan karena Diet. Apa kau Stress akhir-akhir ini?” Giselle tersenyum. “Aku tidak punya alasan untuk Stress kak.” Mengambil lengan Jordan dan memeluknya lembut. “Aku punya Jordan yang selalu mendukungku. Aku hanya diet saja. Banyak pemotretan yang menuntutku harus terlihat tetap langsing.” “Oh… baguslah..” balas Xaviera. Seperti biasa, menantu keluarga Parvis memang selalu mencari celah untuk menyerang saudara iparnya sendiri. Kalau bukan Giselle ya Laura. Giselle berdiri. Ijin ke kamar mandi. Setelah berada di dalam toilet. Ia menatap pantulan dirinya sendiri. Sampai kapan terus berada di situasi kepura-puraan ini. Giselle lelah terus diatur layaknya boneka oleh Jordan. Menatap pantulan dirinya di depan cermin. Benar apa yang dikatakan Xaviera, badannya memang terlihat lebih kurus. Karena apa lagi? Stress, terlalu banyak pikiran. Giselle bahkan tidak bisa makan dengan benar saat bersama Jordan. Mengusap beberapa keringat di dahinya. Giselle kembali menyapuk
“Tapi itu dulu—aku sudah tidak pernah melakukannya lagi. Jangan paksa aku—kali ini kau benar-benar keterlaluan!” Giselle berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah pintu keluar Mansions—namun para pengawal dengan sigap menahannya. Mereka berjajar di depan Giselle dengan kompak. Giselle berdecih, membalikkan badannya. “Apa yang akan kudapat setelah aku melakukannya?” tanya Giselle lantang. Jordan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Apa yang kau inginkan? Uang? Aku akan mentransfermu setelah kau pulang.” “Aku ingin cerai.” Tiga kata yang sangat sakral namun sering diucapkan Giselle pada Jordan. Membuat Jordan marah—sudah menjadi kebiasaannya. Jordan mengepalkan tangannya. “Jangan bersikap seolah aku membutuhkanmu. Aku sudah membelimu. Kau tidak berhak meminta lepas dariku.” Mengambil langakh lebih dekat—Jordan menancapkan kukunya ke pergelangan tangan Giselle. “Pergi dan turuti saja perintahku. Aku akan membayarmu—jangan banyak omong dan semakin membuatku marah.” Merasakan peri
“Aku baik, bagaimana denganmu, Selena?” sembari membalas pelukan selena.“Aku baik—tapi sebenarnya aku terpaksa mengikuti acara ini,” bisiknya pada Giselle. Giselle tertawa. Ia juga mengangguk pelan. “Me too.” Selena adalah anak dari seorang pengusaha yang katanya tahun ini akan mencalonkan sebagai Wali Kota. Jadi Selena seperti Giselle yang diajukan untuk memperkuat citra baik pada keluarganya. Mungkin sebagian dari relawan komunitas juga bertujuan sama. Tapi Giselle juga tidak menampik ada seseorang yang bergabung memang benar-benar ingin berkontribusi membangun masyarakat di pedesaan. Berjumlah 10, semuanya wanita. Ada tiga yang membawa bodyguard seperti Giselle. Untuk mencapai desa yang dimaksud—mereka menempuh perjalanan 3 jam dengan mobil, dilanjut 1 jam perjalanan menggunakan Motor. Setelah sampai, desa setempat menyambut mereka di sebuah balai desa. Mereka diberi arahan agar lebih mudah tinggal di desa selama satu minggu. Karena Desa yang masih terpencil dan letaknya di ba
Hari kedua dan ketiga terlewati dengan aman. Sekarang hari ke-empat. Agenda sekarang adalah penyuluhan tentang pernikahan dini. Nyatanya di kampung ini, banyak pernikahan dibawah umur. Di antara mereka juga banyak yang sudah melahirkan. Setelah melakukan penyuluhan, anggota komunitas akan berkeliling kampung. Memeriksa satu persatu rumah yang berisi oleh ibu muda ataupun ibu hamil. Giselle bersama Selena memasuki sebuah rumah. Di sana ada seorang gadis belia yang baru saja melahirkan. “Umur ibu berapa?” tanya Giselle. Ia membawa sebuah catatan yang nantinya akan diserahkan pada bidan setempat. “16 tahun, dok.” Giselle menatap perempuan itu belia yang nampak kurus. Tubuh yang tidak dirawat, penampilan yang begitu lusuh. “Saya periksa dulu.” Giselle melakukan pemeriksaan pada perempuan itu. “Saya akan beri vitamin. Di minum 3 kali sehari. Jangan sampai telat, karena kamu masih menyusui. Jadi sumber utama bayi ada di kamu.” “Terima kasih, Dok.” Perempuan itu menerima vitamin yang
Pekerjaan bodyguard yang lebih mirip seperti pengasuh. Noah baru saja selesai mandi di malam hari. Untungnya—listrik padam saat ia baru saja selesai. Mendapat pesan dari Giselle membuatnya mendesah lelah. Ia segera keluar saat sudah menggunakan pakaian. Di teras rumah Giselle duduk sendirian sambil memainkan ponsel. “Kenapa tidak tidur di dalam saja?” tanya Noah begitu duduk di samping Giselle. “Jika bisa aku sudah melakukkanya sejak tadi.” Giselle melempar ponselnya ke samping. “Aku tidak tahu harus apa lagi? Di sini tidak ada sinyal. Aku tidak bisa main sosmed. Followerku pasti sudah menunggu kabarku.” ‘Anda tidak sepenting itu.’ Hanya bisa dikatakan di hati. Noah mengambil ponsel Giselle kembali. Menyimpannya di sampingnya. “Dengarkan lagu saja.” “Benar juga. Ada beberapa lagu yang sudah aku unduh.” Giselle mengambil ponselnya kembali. Ia memutar lagu dari Yura Yunita ft Glen Fredly_ Cinta dan Rahasia. Giselle mengibaskan rambutnya. Mulai gerah—walaupun sebenarnya udara kian
“Tidak ada kata malu dalam kecelakaan.” Noah menghela nafas. “Kecelakaan itu dalam bahaya. Jadi tidak ada malu, yang ada takut. Kenapa anda lebih malu daripada takut?” Giselle mengerjapkan mata. Benar juga. Ia tidak takut justru malu. “Apa ini artinya aku memang tidak takut mati? Aku juga tidak keberataan jika aku mati.” Noah berhenti sebentar. “Dengan mati tidak akan selesai. Setelah mati, akan ada kehidupan selanjutnya. Katanya, kehidupan selanjutnya itu ditentukan dari perbuatan kita sekarang.” “Memangnya aku percaya?” Giselle menggeleng. “Aku tidak terlalu percaya dengan hal seperti itu.” “Terserah Nona saja.” Noah menghela nafas berkali-kali. Giselle benar-benar mengujinya. Wanita itu berkali-kali semakin mengeratkan pelukan. Hal itu berdampak pada Noah yang panas dingin. Mungkin juga sudah lama ia tidak berdekatan dengan wanita seperti ini. “Ngomong-ngomong berapa umurmu?” tanya Giselle. “26.” “Sungguh!” Giselle yang lebih seperti orang berteriak. Ia sungguh terkejut deng
“Aku—” Noah semakin mundur. Giselle benar-benar membuatnya kualahan. “Saya hanya bodyguard. Saya bodyguard yang sudah terlatih.” Noah menatap Giselle. “Saya keren bukan? Saya seperti anggota FBI.” Giselle mengerjapkan mata. “Kau terlalu percaya diri.” Noah menatap bangunan tua itu. “Kita harus ke sana. Kita harus memastikan mereka semua baik-baik saja.” “Noah…..” Giselle menghentakkan kakinya ke bawah dengan lelah. “Aku sungguh lelah. Lebih baik menunggu saja di sini. Lagi pula kau sudah menghubungi Jordan. Tidak lama pasti dia akan ke sini. Ayo tunggu saja di sini.” Giselle mengambil duduk di samping pohon. Ia menyandarkan tubuhnya di pohon itu. Ia berharap semua ini hanya mimpi. Setelah ia tidur—ia akan berada di kasur kamarnya. Kemudian berangkat ke pemotretannya. Hampir saja matanya terpejam. Tapi sebuah tarik di tangannya membuatnya kembali tertarik pada kenyataan. “Noah!” jerit Giselle. “Tidak ada waktu.” Noah mendorong Giselle agar berada di depannya. Kedua tangan Noah m
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar