21 ++Jordan mengusap dahi Giselle. “Kau ingin ke mana?” “Aku ingin ke taman.” Giselle tersenyum. “Piknik di taman akan menyenangkan sembari membawa makanana.” “Baiklah. Tapi tunggu aku. Aku akan sebentar.” Jordan menarik tengkuk Giselle dan menciumnya. Awalnya hanya ciuman biasa sampai berubah menjadi lebih menutut dan intens. Jordan menunduk—melepaskan semua kancing piyama yang digunakan oleh Giselle. “Giselle…” lirih Jordan frustasi karena tidak bisa menyentuh wanita itu lebih dalam. Giselle mengepalkan tangannya. “Lakukan sesukamu. Tapi jangan yang ‘itu’ aku akan melakukannya saat aku benar-benar sudah siap.” “Baiklah.” Jordan menunduk. melakukan apa yang diinginkannya. Menyentuh kulit Giselle yang seputih susu. Jemarinya memainkan puncak dada Giselle dengan gemas. Sedangkan bibirnya tidak berhenti membuat tanda di leher Giselle. Ciumannya turun. Membalai dada Giselle dengan sensual. Melepaskan kain terakhir yang menghalanginya menyentuh tubuh bagian atas istrinya. Jordan be
“Jordan aku ke toilet dulu.” Giselle beranjak dari mobil. Mereka sedang berhenti di sebuah area pengisian bensin. Di sisi lain Jordan sibuk dengan tabletnya hingga seseorang meneleponnya. “Halo tuan, segeralah pulang. Di sini terjadi kekacauan. Terjadi penggeledahan oleh polisi.” “Apa?” Jordan mengernyit. “Mereka punya surat perintah?” “Punya tuan.” “Sialan aku akan ke sana.” Jordan menatap toilet. Di sana Giselle tidak kunjung keluar membuatnya kesal. “Satu bodyguard bersama Giselle.” Itu perintah Jordan pada bawahannya sebelum pergi pulang menuju mansionnya sendiri. Sedangkan Giselle yang berada di toilet begitu terkejut saat dibekap dari belakang. Rupanya adalah orang suruhan Noah untuk mengamankan Giselle lebih dahulu. “Tenang Nona, saya suruhan big bos—maksud saya Noah.” Orang itu melepaskan Giselle. “Di depan toilet ada satu bodyguard yang menunggu anda. Kita keluar lewat belakang.” “Tunggu. Kenapa kau melakukan ini semua?” tanya Giselle. “Kami sudah melakukan penggeled
“Badan Intelejen Nasional berhasil mengungkap sindikat Mafia kelas kakap. Jordan Parvis adalah pengusaha di bidang properti dan saham investasi, kini menjadi tersangka atas kasus bisnis ilegal.” “Polisi mengungkap di kediaman Jordan memiliki sebuah ruang penjara bawah tanah. Di sanalah Jordan memenjarakan orang yang dianggapnya musuh. Bisnis ilegal yang dijalankan Jordan berupa pembuatan senjata dan pengedaran obat terlarang.” “Berkat bisnisnya ini kekayaan Jordan bernilai 100 Triliun Rupiah. Diketahui juga, dia mempunyai tabungan luar negeri yang belum diketahui pasti jumlahnya.” Giselle mengusap rambutnya kasar. Ia berada di sebuah Apartemen kecil, yang katanya disiapkan untuknya sebagai tempat tinggal sementara. Giselle sendirian, ia tidak tahu harus apa. Semua orang sepertinya sedang kacau. Sampai ia mendengar pintu di depan berbunyi. Giselle menggenggam tangannya dengan begitu cemas. Takut ada orang lain yang sedang mencarinya. Giselle mengambil sebuah vas bunga. Berjalan de
Giselle tidak bisa menahan senyumnya. Jemarinya menyentuh perut Kevin yang masih terbalut dengan seragam yang begitu tebal. “Aku tidak menyangka, polisi bisa semenarik ini. Apa selama ini aku terlalu acuh pada abdi negara?” Kevin mendengus pelan. “Yang menarik hanya aku. Jangan lihat Polisi lain.” “Oh—” Giselle semakin mengeratkan pelukannya. Mengikuti gerakan Kevin ke manapun pria itu melangkah. “Tapi dulu aku tidak terlalu suka pada Polisi. Aku mendengar banyak berita buruk tentang polisi.” “Tapi—“ ucapan Giselle terhenti saat dengan tiba-tiba Kevin mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di atas pantry. “Diam di sini. Jangan mengekoriku supaya masakannya cepat selesai.” Kevin kembali fokus memasak. Giselle berdecak pelan. Namun pandangannya pada satu titik—punggung pria itu begitu lebar. Pantas saja dirinya betah menyandarkan diri di sana. Giselle tersenyum geli sendiri sambil menggeleng. “Aku tahu apa yang kau pikirkan.” Giselle mengerjapkan mata. “Memangnya apa?” Noah meng
Giselle tersenyum. Mengusap rahang Kevin yang sudah ditumbuhi bulu-bulu halus. Tatapan mereka saling bertemu. Entah siapa yang mulai lebih dahulu—tapi bibir mereka sudah saling bersentuhan. Memangut dengan lembut dan berakhir dengan menuntut. Giselle berusaha melepaskan seragam Kevin yang berlapis-lapis. Melepaskan rompi hingga kancing kemeja pria itu. Kevin menarik Giselle—memojokkan tubuh Giselle di meja. Dengan bibir yang masih bertaut—Kevin menurunkan resleting dress Giselle. “Giselle…” lirih Kevin. Giselle mendongak. “Ya?” Kevin menurunkan ciumannya. Menyentuh jejak itu—berusaha menghilangkan jejak itu dengan sentuhannya. Ia akan memastikan jika mulai sekarang hanya ada dirinya yang akan menyentuh Giselle. “Kevin…” lenguh Giselle saat Kevin menurunkan ciuman sampai atas dadanya. Jemari lentik Giselle menyentuh otot perut Kevin yang terbentuk dengan sempurna.Dress itu sudah berada di lantai. Tubuh Giselle hanya terbalut dengan dalaman berwarna hitam. Kevin menatap tubuh Gise
21++ Hati Giselle menghangat. Seratu persen ia serahkan keperecayaannya pada Kevin. Ia mendekat—mencium bibir Kevin. Mengambil tangan Kevin kemudian diarahkannya ke dadanya yang terbalut dengan kain basah. “Kevin sentuh aku. Hilangkan jejak pria sialan itu dariku.” Giselle membuka matanya. Dengan tatapan yang memohoon ia siap menyerahkan seluruhnya untuk sang pujaan hatinya. “Kau yakin?” tanya Kevin.Giselle mengangguk. “Sentuh aku dan hilangkan batasan itu.” Giselle mengecup pipi kanan Kevin. “Iam yours Kevin.”“Apa kau bilang hm?” Kevin mencium leher Giselle. “Aku milikmu.” Kevin membalikkan posisinya berada di atas Giselle. Kevin kembali mencium bibir Giselle. Jemarinya dengan lihai melucuti kain yang tersisa di tubuh Giselle. Hanya dalam hitungan detik, kain itu sudah terlepas. Kini tubuh Giselle tidak menggunakan sehelai benangpun. Giselle mendongak—kedua tangannya meremas seprai sebagai pelampiasan. Bibir Kevin begitu lihai mempermainkan puncak dadanya. “Dia menyentuhmu s
“Kevin..” Giselle mencengkram bahu Kevin dengan erat. Giselle bisa melihat tubuh mereka di sebuah cermin. Ia bisa melihat belakang tubuh Kevin yang begitu menggairahkan. Pria itu bergerak dengan sensual. Memasukinya dan memainkan ritme yang begitu handal. “KEVIN…” Jerit Giselle saat pelepasan itu menghinggapinya. Tubuh Giselle sedikit bergetar dan perasaannya begitu lega.“Sebentar babe.” Kevin menurunkan tubuh Giselle. Menarik Giselle untuk berputar dan memunggunginya. Giselle bertopang pada meja—membiarkan Kevin lagi-lagi memasukinya. Tubuh mereka sama-sama berkeringat. Suhu AC yang begitu rendah tidak cukup membuat mereka dingin. Mereka sama-sama diliputi api gairah yang menyenangkan. Kedua tangan Kevin menangkup buah dada Giselle yang begitu pas di tangan. Tubuh yang saling menyatu dan berusaha membuat kenikmatan yang tiada tara. Kevin terus mengoyak pertahanan diri Giselle. Jika saja Kevin tidak memegang pinggang Giselle—sudah pasti wanita itu sudah terjatuh. Kaki Giselle sea
21++“Kau tidak suka aku menggodamu?” Giselle berhenti. Namun kedua tangannya masih mengalun di leher Kevin. Kevin menggeleng pelan. “Tentu saja aku suka.”Kevin menatap Giselle lebih lekat. Wanita ini benar-benar menggoda. Giselle hanya menggunakan kaos hitam miliknya. kaos itu hanya mampu menutupi pangkal paha. Sehingga kaki Giselle yang mulus nan jenjang begitu terekspos. “Aku takut melukaimu.” Jemari Kevin bergerak mengusap bibir bawah Giselle. “Kau begitu menggoda dan aku sulit menahan diri untuk tidak menyentuhmu. Maka dari itu—aku menahan diri agar tidak melukaimu.” Giselle tersenyum. “Benarkah? Jadi kau bisa menahan diri tidak menyentuhku?” “Aku akan berusaha.” Kevin tersenyum tipis. “Baiklah kalau begitu. Ayo kita makan.” Giselle bergerak ingin turun dari pangkuan Kevin namun, pria itu lebih dulu mencegahnya. Kevin memasukkan tangannya ke dalam kaos yang digunakan Giselle. Mengusap kulit pinggang Giselle secara langsung. “Kau lebih dulu menggodaku. Maka kau harus bertan
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar