Giselle memang gila. Tanpa aba-aba, ia mengecup bibir Noah untuk seperkian detik. Ia mengepalkan kedua tangannya. “Noah aku—” Giselle terbata-bata. “Aku sudah menahannya Nona. Tapi kau yang melewati batas sendiri.” Noah menatap Giselle dalam. “Aku tidak bisa mengendalikan diriku jika kau sendiri yang melewati batasnya.” Noah menarik tengkuk Giselle dan menyatukan bibir mereka. Noah mengusap leher Giselle pelan sembari memperdalam ciuman mereka. Noah dan Giselle memejamkan mata. Giselle begitu terhanyut, bibir Noah mencium bibirnya dengan penuh kelembutan. Hingga tidak sadar kedua tangannya mengalun pada leher bodyguardnya itu. Giselle tersenyum. Tanpa perlu diminta, ia membuka bibirnya untuk memberikan akses lebih pada pria itu untuk menjelajahi mulutnya. “Ah!” desah Giselle yang terdengar tanpa sadar. Hal itu membuat Noah tersadar dan memutuskan untuk berhenti. Kedua matanya bertatapan dengan mata Giselle. Ada ephoria yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Tangannya terangkat,
Pertama kali menutup pintu kamarnya, Noah amat terkejut saat mendapatkan pelukan dari belakang. Dengan gerakan yang amat cepat ia membalikkan tubuh seseorang yang memeluknya dari belakang. Menyergapnya ke tembok—mengunci leher lawan dengan lengannya. Giselle tidak bisa bergerak dan hampir saja kehabisan nafasnya jika saja Noah tidak cepat menyadarinya. “Maaf,” lirih Noah. “Apa yang anda lakukan di sini.” Noah mundur bebarapa langkah menjauhi Giselle. Memberi ruang untuk Giselle mengambil nafas sebanyak mungkin. Giselle mendongak. “Kau ingin membunuhku?”Noah menghela nafas lelah. Ia mengambil duduk di tepi ranjang sembari menatap Giselle yang masih berada di hadapannya. “Kenapa anda di sini? Anda tidak boleh di sini Nona.” Giselle mendekat. Mengambil jarak yang lebih dekat dengan Noah. “Aku ingin bertemu denganmu.” Noah melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11 malam. “Anda bisa berbicara dengan saya besok pagi.” “Aku tidak bisa menunggu lagi, Noah.” Giselle mengikis jarak d
Pagi-pagi sekali Giselle harus bangun dan pergi dari kamar Noah untuk ke kamarnya. Giselle baru saja ingin membuka pintu kamarnya namun sangat terkejut mendengar suara seseorang. “Apa yang terjadi denganmu?” tanya seseorang yang begitu mengejutkan Giselle.Giselle melebarkan mata—namun berusaha setenang mungkin. “Memangnya kenapa dengan diriku?” Jordan mengamati Giselle dari atas hingga bawah. “Memuakkan,” cibirnya tanpa sadar. “Kau sengaja berpakaian seperti itu saat keluar? Kau sengaja menggoda para pria di sini?” Giselle mengernyit. Di belakang Jordan ada beberapa bodyguard yang berjaga. “Memangnya apa urusanmu? Aku yang menggoda di sini, lagipula tidak ada orang luar yang melihat. Kau juga akan menghapus rekaman cctv.”Jordan melangkah lebih dekat. “Kau sungguh berani.” Jordan mendekat dan otomatis membuat Giselle langsung mundur. Sampai akhirnya Giselle harus berhenti saat tubuhnya menyentuh tembok. “Kau tidak boleh membantahku dan harus menuruti semua perintahku. Kau lupa?”
“Tutup pintunya dengan benar,” ucap Giselle sebentar. Bukannya menutup pintu toilet, Noah menarik pinggang Giselle dan mencium wanita itu kembali. Membawa tubuh Giselle memasuki sebuah bilik toilet. Saling memangut dan mencecap bibir satu sama lain. Giselle tidak berdaya berada di dalam kungkungan Noah. Tubuhnya seakan pasra berada di atas pangkuan Noah dengan pinggang yang diusap dengan lembut. Giselle memejamkan mata saat bibir Noah turun ke bawah menjamah lehernya dengan gerakan lambat. “Noah,” panggil Giselle. Noah berhenti sejenak. Ia berhenti dan memandang wajah Giselle sejenak. Menyingkirkan anak rambut yang menurutnya mengganggu. “Bagaimana jika ada orang lain yang memasuki toilet ini?” tanya Giselle pelan. Kedua tangannya masih mengalun di leher Noah. Giselle memandang bibir bawah Noah yang tebal—masih terbayang bagaimana bibir itu membalai bibir dan lehernya. Giselle menggeleng pelan untuk menyadaran diri sendiri. Pikiran kotor itu terus memenuhi isi kepalanya. “Biar
Noah tidka bisa membiarkannya lagi. Ia mendekat—menghalangi pandangan fotografer itu dari Giselle. “Hentikan.” “Kau siapa?” Fotografer itu tersenyum remeh. “Kau hanya bodyguard dan tidak tahu apapun. Aku melakukan pekerjaanku, apa kau tidak mengerti?” “Kubilang berhenti.” Noah menyentuh kerah leher fotografer itu. “Kau bukan melakukan pekerjaan, kau hanya berusaha memuaskan dirimu sendiri. Giselle bukan orang sembarangan—“ Noah mendekat. “Kau bisa hilang jika terus mengusik Giselle.” Fotografer itu berhenti.“Hentikan sampai di sini,” ucap Noah pada Giselle. Giselle mengernyit. “Kenapa?” “Semuanya salah.” “Tapi aku—” “Percaya padaku. Hentikan sampai di sini. Batalkan kontraknya.” Noah melepaskan jasnya kemudian menyampirkan di bahu Giselle. “Ayo pergi.” “Giselle jangan membuat semuanya rumit.” Manajer Giselle datang. “Dua baju lagi dan kita akhiri. Jangan pergi kita harus menyelesaikan pemotretan ini.” Giselle menggeleng. “Aku akan mengirimkan pinalti pembatalan kontrak. Aku
Jordan sempat kaget namun ia menormalkan ekspresinya lagi. Ia mengembangkan senyuman paling manis. Jordan benar-benar memainkan perannya dengan begitu baik. Berjalan menyusuri pasar tradisional yang sempit, kotor dan sedikit bau. Sesekali membalas uluran tangan orang-orang yang berada di pasar. Ternyata orang-orang menyambutnya dengan sangat antusias. Banyak yang meminta foto dengannya—tidak jarang juga menanyakan keberadaan Giselle. Sampai semuanya selesai. Jordan kembali ke mobil. Sesampainya di mobil—ia segera mengusap tangannya. “Benar-benar menjijikkan!” umpat Jordan tidak berhenti. “Bagaimana bisa tangan bau seperti itu berani menyentuhku!” Jordan kembali mengusap tisu basah itu di tangannya. Tidak lupa mengusap pipi kanannya yang tadi sempat dicubit oleh ibu-ibu tadi. “SIALAN!” teriak Jordan tidak terendali. “Cepat jalan!” perintah Jordan pada sopir di depan. Hampir sampai di mansions. Jordan mengepalkan tangannya ketika baru saja mendapat kabar dari seseorang. Jordan me
Naomi berjinjit—mengalunkan kedua tangannya di leher Jordan. Mencium bibir Jordan lebih dulu. Memangut bibir Jordan dengan lihai—kedua kakinya mengalun di pinggang Jordan. Naomi tahu tugasnya. Wanita itu sibuk melepaskan kancing kemeja Jordan. Dengan bibir yang begitu lihai membelai leher Jordan—mengecupnya dan mengigitnya. Hanya ia yang boleh melakukan hal seperti ini pada Jordan. “KAU MILIKKU JORDAN KAU MILIKKU!” teriak Naomi di dalam hati. Jordan membanting tubuh Naomi di atas kasur dengan tidak sabaran. Hanya dalam satu kali tarikan—ia berhasil merobek gaun malam yang digunakan Naomi. “Kau selalu menggunakan pakaian seperti ini setiap malam?” tanya Jordan sembari menindih Naomi. Naomi mengangguk. “Untuk menyambutmu. Aku selalu berharap kau bisa sering ke sini seperti dulu.” Jordan mencengkram pinggang Naomi. “Jangan melakukan hal itu lagi.” Mengusap keringat yang membahasahi dahi Naomi. Sampai akhirnya ia menyentak—meloloskan miliknya ke dalam milik Naomi. Ditengah percintaa
“Santai saja.” Noah mengangguk pelan. “Anda punya hubungan dengan nona Giselle?” tanya Arya. Pria itu tidak seheboh Radit namun cukup terkejut. Selama ini mereka tidak pernah melihat Noah menjalin hubungan dengan perempuan. Namun sekalinya terlihat menjalin hubungan dengan perempuan malah dengan istri orang lain. Istri dari target sendiri malahan. Noah mengangguk. “Aku sudah memberitahunya apa misi kita. Namun aku tidak memberitahu identitas kita.” “Kenapa anda melakukannya?” tanya Arya. Pandangan pria itu sedikit sinis pada Giselle yang masih berdiri dengan bingung menatap mereka. “Aku terpaksa karena Giselle melihat wajah asliku. Daripada dia memberitahukan Jordan tentang hal ini, lebih baik aku memberitahukannya sendiri. Giselle berada di pihak kita. Giselle juga ingin terlepas dari Jordan.” Arya mengangguk dengan paham. Sedangkan Radit memandang Giselle masih tidak percaya. Menutup mulutnya sendiri dengan tangan. “Bagaimana bisa kalian—“ Radit memandang Giselle dan Noah ber
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar