“Devian sudah tidak ada hubungannya dengan Ratna. Devian tidak pernah menginginkan hubungan dengannya. Devian akan menikah dengan Irene.” Devian yang tiba-tiba dipanggil oleh kakeknya untuk membahas lebih lanjut hubungannya dengan Ratna. “Jika kamu tidak menyukainya, kenapa kamu membantunya mengungkap kasusnya? Semuanya salah paham. Keluarga Ratna mengira kamu tergila-gila dengan putrinya. Mereka ingin menjadikan kamu menantunya apapun yang terjadi.” Devian menghela nafas. “Kakek bisa menolaknya. Lagipula Devian membantu Ratna karena ada hubungannya dengan Irene. Pria yang melecehkan Helena adalah calon suami Irene. Devian melakukannya untuk membuat pria itu menjauh dari Irene.” Gamatra menatap cucunya. “Devian tidak ada salahnya menjalin hubungan dengan Ratna. Ada banyak keuntungan yang akan kamu dapatkan setelah menikah dengan wanita itu.” Devian menggeleng. “Devian tidak bisa, kek. Devian akan menikah dengan wanita yang Devian cinta. Devian tidak akan menikah karena terpa
Pernikahan Irene dan Devian dilaksanakan di sebuah gedung. Setelah acara menikah dan saling mengucapkan janji pernikahan, acara selanjutnya adalah resepsi. Banyak undangan yang datang merupakan rekan bisnis Devian. “Nikah juga kalian berdua,” ucap Royce datang dengan seorang wanita cantik. Jangan mengira wanita itu adalah pacar Royce. Karena sejujurnya, Royce hanya menggandeng wanita sembarang untuk menemaninya datang ke pesta agar tidak sendirian. “Makasih ya udah datang.” Irene tersenyum menjabat tangan Royce. “Udah ingat gue kan ya?” tanya Rocye. Irene mengangguk. “Alumni susah bayar kas.” Royce dan Devian kompak tertawa. “Seneng deh Irene ingat gue,” Royce memandang Irene lama. “Makin cantik lagi.” Devian menyipitkan mata. “Bilang sekali lagi.” “Ampun bos.” Royce mengangkat tangannya pertanda menyerah. “Hei!” seorang pria baru datang bersama seorang wanita. Randi yang datang bersama—oh tidak. Itu pasti sahabatnya. Sahabat Randi yang mau saja diajak Randi ke manapun
Devian menggendong tubuh Irene yang kelelahan. menaruh tubuh istrinya itu ke atas kasur dengan hati-hati. Devian mengusap pelan dahi Irene sebelum pergi meninggalkan wanita itu. Irene terbangun dengan tubuh yang begitu lelah. Ia mendengar gemercik dari kamar mandi. Ia berjalan dengan gontai—gaun yang begitu berat masih membalut tubuhnya. Irene berhenti sejenak, sebenarnya ia mengantuk tapi ia harus tetap melepaskan baju ini dari tubuhnya. Irene berjalan pelan namun sayangnya, langkah pelannya masih membuatnya hampir terjatuh. “Akh!” teriak Irene berpegang pada meja.Devian yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung mendekati Irene. “Kenapa?” “Kakiku sakit,” lirih Irene. “Astaga.” Devian membantu Irene berdiri—namun justru Irene kesakitan. “Aku lihat dulu.” Devian menunduk—menyingkap gaun itu. “Kakimu merah, pasti sakit. Harus di bawa ke rumah sakit.” Irene mengerucutkan bibirnya. “Bantu aku ganti baju.” Devian mengerjap pelan. “Bagaimana aku bisa menahannya—” “Harus bisa
1 bulan lamanya pernikahan Irene dan Devian berjalan dengan lancar. Kandungan Irene juga sehat. Setiap pagi Irene akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ya meskipun sarapan yang ia siapkan tidak terlalu mewah. Hanya menu sederhana dan secangkir kopi. Namun pergerakan Irene terhenti saat Tv yang sedang menyala menyiarkan sebuah berita. “Devian Pradana, cucu dari konglomerat Gamatra yang juga digadang-gadang akan menjadi penerus perusahaan kini telah resmi meninggalkan Perusahaan. Devian Pradana telah resmi meninggalkan perusahaan dan memilih jalannya sendiri. Dikabarkan Devian sedang membangun perusahaanya sendiri. Namun belum ada yang tahu bisnis apa yang sedang dibangun oleh Devian.” Irene berhenti. untungnya ia sudah selesai menyiapkan sarapan. “Babe aku sudah menyuruhmu berhenti melakukan ini semua. Lagipula ada bibi yang akan membantu kamu. Kamu tidak perlu repot-repot membuat sarapan lagi.” Devian turun dari tangga. pria itu nampak santai dengan s
“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya seorang wanita yang berada di hadapan Irene. Ya, Irene memang nekad menemui orang lain untuk mengetahui apa yang terjadi. Karena ia mencoba bertanya pada orang tua Devian, Giselle dan Kevin pun belum tahu apa yang terjadi. “Kau yang menawarkan untuk memberitahuku, lebih baik jika kau langsung memberitahuku saja,” balas Irene. “Devian mengundurkan diri karena memilih menikahimu daripada aku.” Ratna tertawa pelan. “Dia melepaskan perusahaan hanya memilihmu. Kau pasti tidak tahu ya sekarang Devian sedang mati-matian membangun bisnis baru. Tentu saja tidak akan semudah itu.” Irene mengernyit. “Kau masih mengejar Devian?” tanyanya. “Setelah berhubungan dengan mantan tunanganku, kau masih mengejar Devian?” Irene seolah menegaskan apa yang sudah Ratna perbuat. Ratna tertawa lagi. “Jika bisa kenapa tidak?” “Aku tidak akan pernah membiarkannya.” Irene berdiri. “Terima kasih sudah memberitahuku. Tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu merebut suam
Devian membalas pelukan istrinya. “Hm.” Menyandarkan dagunya di bahu Irene. “Kenapa berjalan? kamu dari mana?” Irene melepaskan pelukannya. Ia mendongak. “Aku baru saja bertemu dengan Ratna, dia memberitahuku kenapa kamu keluar dari perusahaan. karena kamu menolak menikah dengannya.” Devian menghela. “Irene kenapa kamu menemui perempuan itu?” “Jika aku tidak menemuinya, aku tidak akan tahu apa yang terjadi dengan kamu. Maka dari itu kamu harus memberietahuku apa yang terjadi. Jangan menyimpannya sendiri.” Tangan Irene terangkat mengusap rahang Devian. “Terima kasih sudah memilihku. Terima kasih memilih bertahan denganku. Terima kasih suamiku.” Devian tersenyum. “Aku akan selalu memilihmu. Mau bagaimanapun kondisinya.” Devian menarik Irene ke dalam pelukannya lagi. kali ini pelukan mereka lebih hangat dari sebelumnya. “Aku mencintaimu.” “Aku juga.” Irene mengusap punggun lebar suaminya itu. “Pokoknya jangan terlalu dipikirkan. Kita akan baik-baik saja.” Irene megnangguk
“Bahwa aku akan terus dikendalikan jika aku terus berada di perusahaan. Aku salah saat aku berharap Kakek akan mewariskan perusahaan kepadaku hanya dengan kemampuanku. Untuk mendapatkan perusahaan, aku harus mengorbankan kehidupanku sendiri. Aku harus menikah dengan anak rekan bisnis yang sudah dipilihkan oleh kakek.” Devian mengusap pipi Irene pelan. “Aku tidak bisa. Aku tidak akan pernah melakukan hal itu. Pada akhirnya aku pergi dan ingin mengejar kebahagianku bersama keluarga kita.” Devian membawa tangan Irene ke bibirnya. dikecupnya beberapa kali punggung tangan Irene. “Aku memilihmu dengan segenap hatiku Irene.” Irene mengangguk. “Aku jadi terharu..” Mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata. “Lalu rencana kamu ke depannya? Kamu berencana membangun bisnis apa?” “Bisnis properti dan aku juga ingin mengembangkan toko roti kakek. Bisnis properti milikku sudah berjalan semenjak 1 tahun yang lalu. Tapi aku tiba-tiba berpikir aku ingin menambah bisnisku di makanan. Aku i
“Baiklah-baiklah. Sebentar lagi roti kesukaan kamu matang. Kamu duduk dulu,” ucap Kakek. “Devian kenapa kamu tidak bilang pada kakek? kakek bisa mengirimkannya ke rumah kalian.” Devian menggeleng. “Biar saja kek, dia belum tahu kalau toko ini akan ditutup. Jadi biarkan saja dia datang ke sini untuk yang terakhir kali.” Tak lama berbincang dengan kakeknya, Devian menyusul istrinya yang duduk di samping jendela. Kakek mengangguk. Dari awal Devian dengan kakeknya sudah berbicara tentang toko roti yang akan dibuat skala lebih besar. Yang artinya toko roti yang kecil ini harus segera ditutup untuk membuka toko roti yang lebih besar. “Dulu kamu sering dilihat perempuan di kasir itu.” Irene menunjuk kasir yang berisi seorang wanita. “Aku dulu terkenal. Banyak perempuan yang datang karena ingin bertemu denganku, bukan hanya membeli roti.” Devian mengucapkannya dengan percaya diri sekali. Irene berdecak pelan. “Kamu sengaja tebar pesona. Kamu senang pasti dulu.” Devian menggeleng
Sial sekali, pagi ini Ana harus terlambat karena ayahnya, Royce kesiangan bangun setelah menonton bola dini hari. Royce dan Helena sama saja, suka menonton sampai larut. Sampai-sampai paginya terlambat bangun. “Maaf ya. Dad kesiangan bangun.” Royce memberhentikan mobilnya di depan sekolah. “Pasti kamu dihukum. Tapi gak papa.” Royce mengecup puncak kepala anaknya. “Semangat ya dihukumnya.” “DAD!” teriak Ana yang sungguh kesal. Ia turun tanpa menyalami tangan orang tuanya itu. kemudian berjalan dengan gontai masuk ke sekolah. Maka benar saja. Ia harus dihukum karena terlambat. Untuk siang hari setelah istirahat, ia harus membersihkan lapangan basket yang luasnya melebihi stadion. Ana berjalan ke arah gudang, di sanalah ia mengambil peralatan kebersihan. Namun sayup-sayup saat ia masuk ke dalam gudang. Telinganya harus ternodai oleh suara menjijikkan. Ana membeku di tempatnya berdiri. ~~ “Untuk yang terakhir kali kelas 12 diijinkan untuk mengikuti perlombaan. Karena setelah in
Extra capter Alvaro dewasa International Alexandra school adalah sekolah internasional yang terisi dengan anak-anak orang kaya. Orang tua murid yang berasal dari kaum berjois. Hingga terjadilah sistem kasta yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. “Ana, kak Alvaro itu sangat tampan ya.” Raya menyenggol lengan Ana. Melihat seorang laki-laki yang menggunakan seragam basket itu memasuki koridor sekolah. Laki-laki yang menjadi incaran para perempuan. Alvaro Pradana, putra satu-satunya dan digadang-gadang menjadi penerus dari Devian group. Alvaro Pradana, pemuda yang saat ini menginjak kelas 12. Dengan pesonanya yang mampu meluluhkan seluruh hati perempuan yang ada di sekolah. Mendapat julukan si pemain. Pemain hati perempuan. Namun, ada satu perempuan yang ia hindari. Perempuan yang sedari dulu ia anggap sebagai adiknya. Alvaro bersikap baik dengan Ana. Ana tersenyum. Ia pun menyetujui jika Alvaro memang begitu tampan. “Iya aku setuju—" “Hai adik, minta permennya.” Alvaro
“Ana sangat lucu, Mom.” Alvaro memandang seorang balita yang sedang merangkak. Balita perempuan yang menggemaskan. “Nanti kamu pacaran sama Ana saja ya.” Helena mengusap puncak kepala Alvaro. “Heh!” Irene menyenggol bahu Helena. “Mana ada, masih anak kecil tidak usah berpikir pacar-pacaran.” Alvaro memandang kedua orang yang sedang bertengkar itu sebentar. kemudian mendekati Ana yang sedang bermain dengan sebuah boneka. Alvaro menunduk—mengusap pipi Ana pelan. “Kamu suka bermain boneka?” Alvaro tersenyum. “Lihat-lihat saja.” Helena memandang dua anak yang sedang bermain. Tepatnya, Alvaro yang menjaga Ana. “Alvaro memang menantu idaman.” “Aduh..” Irene menggeleng. “Masih kecil disebut menantu. Helena memang gila.” Irene berdecak pelan. Setelah bermain seharian di rumah Helena, akhirnya Irene pulang juga. Alvaro berada di samping Irene. Sepertinya bocah itu sudah mengantuk tapi ternyata masih berusaha membuka mata. “Tidur saja, Al. Mom akan membangunkan kamu nanti.” Al
Ia membawa barang-barang itu namun dari belakang ada beruang yang terus menempel di tubuhh kecilnya. Bahkan sampai masuk ke dalam kamar, Devain tidak melepaskan pelukannya pada istrinya. “Bagaimana dengan hot wife?” tanya Devian membalikkan tubuh Irene. “Aku tidak suka tubuh kamu dilihat orang lain.” “Tidak ada yang melihat.” Irene mendongak. “Lagipula malam-malam tidak akan ada yang melihat.” Devian berdecak. “Dress seperti ini hanya boleh digunakan di hadapanku. Tidak boleh digunakan di luar.” Mengangkat dagu Irene. Menatap kedua bola mata istrinya itu dengan bola matanya yang tajam. “Baiklah.” Irene mengangguk. “Besok aku akan ke rumah Helena, kamu..” Devian mengusap pinggang Irene. “Saat libur aku ikut. Lusa kan libur. Aku janji tidak akan mengurusi pekerjaan lagi.” “Tapi jika kamu masih mengurusi pekerjaan. Apa yang harus aku lakukan?” “Goda aku. Goda aku dengan tubuhmu yang seksi ini sayangku..” tangan Devian yang nakal sudah bergilya di belakang Dress Irene. “Be
“Bisa.” Devian mengambil satu balon dan melepasnya ke udara. “Waah..” kagum Alvaro melihat balon yang berwarna kuning menyala itu di udara. “Tapi—” Devian menunjuk beberapa anak-anak yang bermain di sekitar mereka. “Apa kamu tidak ingin memberikan balon-balon ini pada mereka? Mungkin saja mereka juga ingin.” Alvaro menatap gerombolan anak-anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alvari memandang anak-anak itu lebih lama, karena menurutnya sedikit berbeda dengannya. “Kenapa?” tanya Devian. “Kamu tidak ingin memberikan balon ini pada mereka?” Alvaro menggeleng pelan. “Tapi, kenapa beberapa dari mereka membawa makanan? Mereka berjualan? Ada yang membawa karung besar juga.” Devian mengangguk. “Mereka sedang bekerja. Sebagian dari mereka membantu orang tua mereka mencari uang dengan berjualan. Kamu ingin membantu mereka?” “Bagaimana caranya Dad?” Devian mengeluarkan dompetnya. “Sebentar.” Mengambil uangnya yang berwarna merah sebanyak 20 puluhan. “Setiap
Beberapa bulan kemudian. “Akhh!!” Teriakan Irene yang terakhir kali. Disusul dengan tangisan seorang bayi. “Selamat bayinya berjenis kelamin laki-laki.” Dokter itu menggendong seorang bayi kecil yang baru saja keluar dari perut Irene. Devian menitikkan air mata. “Hai boy.” Menggendong bayinya dengan hati-hati. “Nama kamu Alvaro Pradana.” Devian tersenyum saling memandang dengan Irene. Tangan yang satunya lagi digunakan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Terima kasih sudah berjuang.” Alvaro Pradana, putra sulung dari pasangan Devian dan Irene. Seorang pengusaha yang sukses. Perusahaan yang memiliki beberapa cabang di luar negeri. Devian mengembangkan bisnisnya sampai ke luar negeri. 5 tahun berlalu, Alvaro tumbuh menjadi anak yang begitu cerdas. Setiap harinya selalu haus bertanya. Diusianya yang menginjak 4 tahun, bocah itu sudah memasuki sekolah. Berbaur dengan anak-anak lain tanpa kesulitan. Hal tersebut membuat Irene tidak berhentinya bangga. “MOM!” teriak Alvaro
“Seorang wanita mencoba melakukan pembunuhan di rumah sakit. Hal itu didasari oleh cinta. Cinta pada seorang pria yang sudah beristri. Cintanya ditolak dan berusaha membunuh istri si pria.” Di layar televisi itu. ditayangkan sebuah kos-kosan kecil. “Wanita itu mengalami stress berat bertahun-tahun. Bisa dilihat dari rumahnya yang begitu kotor dan berserakan sampah. Saat ini polisi masih menyelidiki lebih lanjut kasus ini. namun, sudah dipastikan wanita itu mendapat hukuman penjara.” Klik! Layar dimatikan. Devian masih setia berada di samping istrinya. “Aku gagal lagi. Aku terlambat. Jika aku datang lebih cepat, dia tidak akan menyakiti kamu.” Devian menatap leher Irene yang sudah di olesi salep. Beberapa kali Devian mencium punggung tangan Irene. “Bagaimana Irene?” tanya Helena yang baru saja datang. “Maaf, maaf aku tidak bisa datang lebih cepat.” Devian menghela nafas. “Jalang itu memiliki cara untuk menyakiti Irene.” Helena mengusap punggung tangan Irene. Kedua matanya
“Bye Mom Dad!” Irene menyalami Giselle. Membiarkan mertuanya itu pergi. Setelah kepergian mertuanya, Irene menjadi sendirian dan merasa kesepian. Ia mengambil bungkusan yang berada di atas nakas. katanya sebuah kue buatan Giselle. tapi Irene tidak langsung memakannya. Ia masih takut dan trauma dengan apa yang terjadi. Ia menghela nafas dan berjalan ke arah jendela. menatap pemandangan sebuah taman kecil yang terisi oleh anak kecil. Irene tersenyum. tangannya mengusap perutnya sendiri. “Nanti bermain di taman juga, bersama Mom dan Dad. Sehat-sehat di perut Mom ya.” Irene senang berbicara dengan anaknya. “Permisi, ibu Irene..” panggil seorang suster. Irene menoleh ke belakang. Ia langsung memutar badannya dan mendekat ke arah ranjang. namun ia sudah disuntik beberapa menit yang lalu. Ia mendongak. “Siapa kau?!” Suster itu tersenyum dan membuka maskernya. “Aku akan membunuhmu.” Tangannya mencengkram tangan Irene. Suntik yang hendak disuntikkan itu entah berisi apa. Irene me
“Sayang aku bekerja dulu. Oh ya Mom dan Dad akan ke sini. Aku juga sudah meminta Helena untuk ke sini menemani kamu saat Mom dan Dad pulang.” Devian mengecup dahi Irene pelan. “Oh ya untuk malam hari nanti, aku akan menyuruh beberapa bodyguard berjaga di luar ruangan.” “Tapi—” ucapan Irene terpotong karena Devian yang mengecup bibirnya. “Sudah tidak ada tapi-tapi. Ini demi keselamatan kamu, keselamatan bayi kita.” Devian menunduk. mengecup perut Irene. “Daddy berangkat dulu. Jaga Mommy ya.” Irene memandang kepergian Devian. Ia mengambil ponsel. Menghubungi temannya yang katanya akan menjenguknya [Sebentar ya Irene, aku akan ke sana siang saja. Aku masih bersama Royce. Nanti aku akan ke sana.] Irene melotot. [Pagi-pagi masih bersama Royce. Kalian sedang membuat bayi kan?] [Hehehe Iya!] Helena di kamarnya membalas pesan dari Irene. Ia tertawa pelan dengan pertanyaan Irene. Tapi tebakan temannya itu memang benar. Ia smpai tertawa sendiri. “Siap babe.” Royce memeluk Helena dar