“Dea, kita disuruh berhenti!” teriak Nana masih dengan suara kencangnya.
Kali ini dia berinisiatif berpegangan pada pinggang Dea, tetapi masih saja hampir oleng. Apalagi waktu ketemu polisi tidur, Nana hampir saja tak bisa napas saking takutnya.“Sama siapa?!” Tak kalah berisik Dea menyahut.Takut-takut Nana menoleh, mau tahu siapa yang berteriak menyuruh berhenti.“Heh?!” Mata Nana membulat hampir sempurna ketika melihat dua polantas lagi ngejar di belakang mereka.“Siapa, Na?!” tanya Dea kepo tanpa mau memperlambat laju kendaraannya itu.“Anu, polisi!”“Hah? Anu-nya siapa?!”Ingin sekali Nana getok kepala Dea yang asal jeplak kalau ngomong. Bisa-bisanya si Dea tanya begitu.Yang duduk paling belakang tiup peluit, tapi Dea masih nggak nyadar kalau dia dikejar orang penting. Ampun, dah, kelakuan.“Itu polisi ngejar kita!” Panik, Nana segera laporan ke Dea yang kekurangwarasannya lagi kumat. Tentu saja dengan suara super kencang, takut Dea pas lagi budeg.“Hah? Serius?!” Cewek yang lagi ngebut itu ngintip di kaca spion. Matanya membulat nyaris sempurna karena kaget setengah mati. “Waduh!” Auto tepuk jidat, dong.Dua oknum polisi lalu lintas menyuruh berhenti sekali lagi, raut wajah mereka terlihat amat menyeramkan bagi Dea. Alamak, alamat kena tilang dua cewek itu.Diserang rasa panik, si Dea lupa sudah sama mas ganteng yang lagi dia kejar. Yang sekarang ada dalam otaknya cuma ketakutan akan menerima surat tilang. Belum lagi kena marah si bapak polisi, uang denda, dan sidang nanti. Asem.Segelintir pikiran itu cukup mengganggu konsentrasi Dea. Eh, karenanya motor matic yang dikendarai jadi oleng beneran.“Waduh, Dea! Fokuuus!” Inces Nana jerit-jerit histeris. “Remnya! Rem, Dea! Reeem!” Semakin suaranya tambah berisik, semakin kencang pula pegangan tangan pada pinggang Dea, dan hal itu bikin dia kegelian banget.Boro-boro bisa fokus, Dea malah semakin tak bisa mengendalikan itu kendaraan bertenaga kudanya. Daripada nabrak kendaraan orang, lebih parah kalau nabrak manusia, Dea banting stang motor, belok ke taman kota.“Deaaaa!”“Nanaaa!” Kali ini Dea yang jerit-jerit.Di depan sana ada sepasang muda mudi lagi asyik pacaran, dan si merah malah lempeng aja nggak mau belok.“Wooy! Minggiiir!”Dua sejoli yang kelihatan lagi main kartu remi melirik. Mereka panik tak kira-kira, lupa sudah sama kartu remi di tangan, mereka loncat berlawanan, menghamburkan kertas-kertas permainan itu seraya teriak kayak kesetanan.“Maaf banget buat Mas dan Mbak yang lagi pacaraan!” Dea menerobos, mengacaukan tamasya ala-ala mereka.Pasrah. Nana tutup mata, memohon ampun kepada Tuhan agar seluruh dosa-dosanya diampuni. Serius, Nana takut mati.Di depan ada tumpukan rumput liar, motor itu nyungsep di sana. Dea dan Nana masih hidup dan untung tak mengalami luka serius, tetapi tetap saja bikin tulang belulang terasa nyeri habis jungkir balik.“Nana ....” Dea memanggil dengan kepayahan. Posisinya tengkurap. Dia mangap-mangap, tak lama kemudian bangkit, cari-cari keberadaan temannya itu.“Di sini ...,” lirihnya Nana menyahut.“Wastagah!” Dea buru-buru mendekat kala melihat sahabatnya masuk ke dalam tumpukan rerumputan dengan posisi kepala duluan, alias beneran nyungsep.Priiit! Priiit!Aduh, gawat. Itu duo polisi masih aja rajin ngejar. Alhasil keduanya nyerah dan membiarkan mereka menghukum Dea dan Nana atas kelalaian dalam mengendara.Surat tilang yang sangat tak diinginkan akhirnya terpaksa Dea terima. Kelengkapan surat motor diambil, dan mereka harus datang untuk sidang kalau mau benda penting itu balik ke tangan.Tragisnya nasib mereka.Dea dan Nana pulang ke rumah dengan keheningan. Kali ini Nana yang bawa motor, lajunya super selow.“Na, ngomong dong,” pinta Dea, sebel karena dicuekin dari tadi. Sekarang mereka udah mau sampai ke dekat rumah.“Ogah, lagi ngambek sama kamu. Apes banget pagi-pagi udah dibuat jungkir balik sampe gorenganku pada hilang entah ke mana, dan semua itu cuma gara-gara kamu liat mas yang katamu ganteng itu. Parah.”Katanya ogah, tetapi si Nana malah nyerocos nyalahin Dea. Cewek itu diam, tetapi bukan lagi mikirin kesalahannya, melainkan lagi mikirin si cowok ganteng yang membahana tadi. Aduh, Dea, Dea.“Wah, siapa ya namanya, orang mana, udah beristri apa belum, sih?” gumam Dea. Lupa sudah dia sama Nana dan rasa sebelnya tadi. Dan hal ini tambah bikin sahabatnya geram.“Dea kampreeet!” Saking gemas pengen gampar, Nana pun menjerit tepat di samping daun telinga Dea sebagai pelampiasan.Dea bergidik dan menutup telinganya yang sakit berdengung-dengung. Tanpa Nana berucap lagi, dia pergi masuk ke dalam sambil menghentakkan kaki.“Na, tunggu. Naaa!” Bahkan teriakkannya sama sekali tak berarti. Cuma buang-buang tenaga saja sebab Nana tak ada niat sedikit pun untuk menjawab.Baru saja mau nyusul. Eh, langkahnya terhenti kala satu tangan menariknya. Dan itu adalah Maya, kakak ketiganya.“Ooh, ternyata kamu di sini, ya?” Muka Kak Maya tercetak murka. Dadanya naik turun seakan kemurkaan itu akan segera meledak dari dalam dirinya.Dea memaksakan segurat senyum melengkung lebar, tetapi yang didapat adalah jeweran Kak Maya. Jeweran super dahsyat yang akhirnya membuat dia menjerit kesakitan.“Aduh, aduh! Sakit, Kak!” Sekeras apa pun Dea berusaha melepaskan, jeweran Kak Maya tak bisa lepas saking dahsyatnya.“Sakit?! Sakit, ya?! Nih, kakak tambahin sakitnya biar kamu mikir!” Kak Maya menambahkan tenaga dalam menjewer Dea, dan cewek itu meringis tambah kesakitan.“Aw! Aw! Ampun, Kak May! Sakiit!” Dea mencoba melepaskan diri, tapi ternyata susah.Hal itu menciptakan kegaduhan yang membuat Nana serta Momy Karina keluar dari rumah. Keduanya kaget luar biasa ketika melihat pemandangan seram di depan mata.“Aduh, aduh, May. Kasian Dea. Saya tahu dia salah karena minggat dari rumah, tapi jangan begitu dihukumnya, cukup nasehati saja.” Momy Karina yang tak tega melihat Dea kesakitan begitu pun menegur Kak Maya, tetapi seertinya perempuan itu tak akan mau dengar.“Biarin aja, Tan. Dia kelewatan! Udah kabur nggak bilang-bilang, serumah pada heboh nyariin ternyata dia ngumpet di sini, toh?!”Etdah, masa kabur harus minta izin dulu sama orang rumah. Momy Karina dan Nana menganga mendengar ucapan Kak Maya itu.“Oh, harus izin dulu, ya?” Polosnya si Nana malah tanya begitu. Tambah bodohlah suasana.“Iyalah! Emang kurang ajar! Sekarang gara-gara dia, nih, ya, Bapak ada dalam sel tahanan!” Kak May meledak, memuntahkan segala amarah yang menumpuk dalam dadanya. Dengan mata melotot besar tentunya.“Hah? Sel tahanan?! Maksudnya?!” Tiga orang yang semalam bisa bobo cantik itu kaget bukan kepalang, terlebih Dea. Hampir saja dia jantungan.Duh, kira-kira gimana, ya, nasib si bapak di sana?Setelah mendengar kabar dahsyat yang begitu mengagetkan tiga manusia beda usia di hadapan Kak Maya, mereka pun gegas mengusulkan untuk pergi ke lokasi.Dea, Nana, dan si Momy cantik terpaksa naik angkot karena tidak mungkin bagi mereka naik motor bonceng tiga. Tamat riwayat mereka kalau ketahuan sama polisi lagi.Yang tadi saja sudah bikin bete bin kesel waktu surat-surat kendaraan diambil, apalagi seandainya yang dibawa motornya? Kacau, nanti Dea habis diomelin sama ibu dan anak itu.Waktu masih menunjukan pukul sembilan ketika ketiganya sampai di polsek. Dea disambut oleh tatapan sinis kedua kakaknya, juga Arvan dan sang ibu.“Dea! Kamu nggak apa-apa?! Ada yang luka?!”Buset, Kak Anita langsung menangkup wajah Dea sampai miring-miring, mastiin keadaannya. Karena dia masih mikir kalau adiknya itu baru bebas dari penyekapan.“Aduh, Kak. Ada apa, sih? Aku baik-baik aja. Kalian kenapa, sih?!” Dea melepas tangkupan tangan Kak Anita, dia pun beralih pandang sama cowok ganteng samping mama
Jadi Dea emang serba salah. Ini salah itu salah. Karena dia biangnya bikin masalah.Dea diem aja pas lihat adegan lebay para kakak-kakaknya peluk haru Pak Jhon yang baru dikeluarin dari dalam sel tahanan. Bagi dia, itu seperti tontonan drama ikan terbang.Boro-boro mau ikut-ikutan, dia ogah sendiri dan ceritanya agak sebel atas kelakuan Pak Jhon yang ngerusuh semalam di rumah sang mantan.Momy Karina gemas dan akhirnya dorong itu cewek, suruh samperin Pak Jhon. Berhubung semua terjadi karena dia nggak ngasih tahu kalau Dea semalam minggat ke rumah, Momy Karin jadi ngerasa paling bersalah.“Apa, sih, Momy?!” tanya Dea setengah berbisik. Dia memicingkan matanya saking sebel.“Sana ke bapakmu dan minta maaf.”Yang bener aja? Minta maaf adalah hal tersulit bagi Dea. Harusnya bapaknya yang minta maaf padanya karena sudah menjadi tembok penghalang bagi dia yang lagi cari cinta sejati.Dea dan Momy Karina masih saing adu mulut dalam bisikan, sampe nggak sadar kalau Pak Jhon dan kedua kakakny
Hm ... hanya karena Pak Jhon tidak sabaran untuk mendapat penjelasan dan pengakuan anak bungsunya yaitu Dea, akhirnya yang terjadi adalah, mobil yang dinaiki banyak orang itu oleng dan hampir menabrak pembatas jalan.CKIIIIT!Untungnya Pak Jhon bisa mengendalikan kembali mobilnya dan memilih untuk berhenti. Daripada mati gara-gara ceroboh."Ya Allah, Pak! Hati-hati!" Dea Posa terkaget-kaget sampai mikir apa dia baru saja hampir berurusan dengan malaikat kematian lagi? Aduh ... Dea sampai basah oleh keringat."Gusti, tak kira kita akan mati, Bun." Nana Banana malah nyeplos sekata-kata. Mengilatkam bulatnya mata Pak Jhon dan Momy Karina."Nana! Jangan ngomong gitu!" tegur Momy Karina sambil mencubit pinggang Nana. Nana meringis sakit, dia yang polos hanya nyengir usai meminta maaf bila kata-katanya salah."Iya, untung masih selamat." Dan ganti dengan kalimat ini.'Buset, tahu ini si Nana. Kagak bisa baca situasi lagi genting juga. Mata bapakku sampai mau keluar lompat, tuh.'"Bapak ngga
Pagi menyapa seperti biasa. Hanya suasana saja yang berbeda. Biasanya, saat membuka mata akan ada salah satu kakaknya yang membangunkan dia sambil bawa sapu atau kemoceng. Memaksa bangun.Tapi kali ini tidak, dan Dea merasa ada yang kosong. Dia duduk di tepi ranjang dengan helaan napas lesu tanpa tenaganya.Menoleh ke atas meja samping ranjang.Tak ada gelas berisi susu, tak ada helai roti selai yang biasa sudah nangkring di atas sana. Tambah lesu Dea Posa.Dia hampir berpikir kakak-kakaknya memusuhi karena masalah semalam. Tapi bukan itu aslinya, dia hanya lupa pintu kamar dikunci, jadi tak ada yang bisa masuk ke dalamnya."Hm, pantesan nggak ada yang masuk kasih perhatian, toh pintunya dikonci. Dah, ah buset!" gerutunya mulai membuat bibir macam tengah komat-kamit.Dea membuka pintu. Dan benar saja, roti serta segelas susu sudah berdiri di atas nampan di lantai itu. Seketika mata serasa tengah diciumi irisan bawang, panas dan tak bisa membuat air matanya diam di tempat."Padahal ngg
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sudah mau lupa, eh sidia nampak di depan mata. Alamat kayang Dea Posa, soalnya lelaki dambaannya disangka takdir yang tak bisa dihindari."Bener-bener, deh. Alhamdulillah ...."Dea berjalan centil. Membenarkan anak rambut ke belakang telinga sebelum akhirnya dia jalan lurus menuju dia. Laki-laki tampan membahana bermama Daffa.'Alamak ... semakin dekat semakin kelihatan gantengnya. Buset, dah ciptaan Tuhan sempurna banget.'Lebay. Dea muji berlebihan. Karena pada kenyataannya tak ada manusia yang sempurna di muka bumi, termasuk Daffa sekaligus. Walau benar adanya, wajah Daffa macam patung pahatan, dia ada kurangnya.Daffa bukam orang kaya seperti Dea. Terlahir sederhana, diasuh oleh nenek kakeknya, sebab sejak lahir dia dibuang ditinggalkan kedua orang tua yang dipisahkan oleh meja sidang.Sudahlah, hal itu sungguh memilukan untuk dibahas di bab ini.Daffa melamar kerja di kecamatan dan baru saja diterima. Dia kini jadi anak magang yang banyak penggemarnya
Andai Daffa adalah kumbang, dialah kumbang jenis pemilih. Walau dikata ribuan bunga berbaris di tengah hamparan taman, ia tak akan mau hinggap pada salah satunya walau sebentar."Di mana, ya rumahnya? Apa aku buntuti aja dia, ya?" Dea ngeyel mencari tahu soal Daffa di sosial media, siapa tahu ada jejaknya.Tapi ... bukannya menemukan akunnya satu saja, yang ada malah Dea dilanda kesal bukan main. Daffa sungguh kolot, tak ada sosial media!"Ah! Atau jangan-jangan dia pakai nama lain kalau di facebook? Duh, kok gitu banget sih? Kan, jadi susah nyarinya!"Sedikit dongkol, akhirnya Dea menyerah sebentar, lalu melempar ponsel ke kasur. Dia mendesah berat, sesusah ini, ya mendapatkan hati Daffa? Hati meringis, sebab ini kali pertama dia diabaikan oleh pria."Jangankan mendapatkan hati si mas ganteng, mendapatkan akun sosial medianya aja nggak bisa. Sial banget emang. Dan anehnya, dia tambah memesona aja. Kalau iya ga ada akun sosmed, wah bisa dipastikan kalau dia itu cowok setia."Dea bergu
Jam berdenting di tengah gersangnya waktu tengah hari ini. Belum lagi panasnya matahari menambah panas hawa dalam ruangan di mana Daffa menjalankan tugasnya sebagai pekerja magang kecamatan.Ada AC, tapi tetap tak bisa meredam panasnya ciptaan yang Maha Kuasa.Daffa sedang sibuk-sibuknya menginput data, dia mengerjakan sefokus yang ia bisa. Setelah berhasil lulus kuliah, dan langsung diberi amanah pekerjaan yang lumayan langsung bisa dia jalankan tanpa hambatan, mana mungkin Daffa sia-siakan.Pekerjaan di kota bagai jarum dalam jerami. Ribuan orang berlomba mencari-cari hingga tubuh bercucur peluh. Tapi akhirnya hanya satu yang beruntung mendapatkannya.Katakan Daffa sedang mujur, di saat orang berusaha sampai rela merogoh kantong uang untuk menyogok orang dalam, dia bisa masuk tanpa embel-embel apa pun karena dia memiliki kemampuan. Ini membuktikan bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan uang, meski kenyataannya jaman sekarang hal itu sudah lumrah dilakukan Berbekal restu dan doa,
Bibir merah jambu itu mengerucut tajam, pertanda sebal tengah menguasainya. Bagaimana tidak? Setelah si tampan membahana menyamakannya dengan perempuan lainnya."Hih, enak aja! Dasar si hati batu. Pake bilang nggak suka cewek segala." Berjalan melintas jalan, kembali ke depan toko minimarket.Nana Banana keluar lagi, ngintip dari pintu. Dia sudah curiga ada yang terjadi ketika tadi hilang bagai angin lalu. Kelihatan dari gelagat kesalnya yang begitu jelas."Kamu kenapa, Posa? Misuh-misuh di situ? Tadi kamu ngilang ke mana? Kirain pulang, ternyata balik lagi. Jangan bilang kamu ke kecamatan buat nemuin ayang-ayanganmu itu?" Praduga yang pas sekali dengan kenyataan yang ada.Dea menatap sinis sahabatnya. Sebelum akhirnya ia menjatuhkan diri di kursi itu, lalu menyandar pasrah sembari menghela napas panjang dan mengeluarkannya lagi tak kalah panjang.Ngomong-ngomong, kalimat yang Nana lontarkan persis sekali dengan apa yang Dea lakukan. Dia jadi curiga, jangan-jangan sahabatnya ini punya
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa