Beberapa jam sebelum pasukan kecamatan turun ke lapangan. Pak Camat memang sudah membicarakan soal partisipasi lomba bulan Agustus nanti. Dan ia pun segera mengumumkannya lewat sekretarisnya.Tim pun dibentuk, dan tanpa semua tahu, Pak Camat sudah membuat perjanjian kalau hari ini akan diadakan latihan bersama tim minimarket yang nanti akan menjadi lawannya."Waduh, bakal ada perang dunia dua kalau Dea ketemu Nadewi," celetuk Herman di samping Daffa, seketika laki-laki kalem itu menoleh padanya sinis."Maksudmu?" Dengan nada datar tapi terkesan penuh penekanan, Daffa bertanya. Dia bukan tak tahu apa maksud Herman, hanya saja butuh penjelasan mengapa akan ada perang dunia kalau Dea dan Nadewi bertemu muka? Itu adalah pernyataan terkonyol menurutnya.Herman pun bingung jadinya. Dia serba salah dan merasa malu sendiri sudah sembrono bilang macam-macam. Bibirnya tersenyum sumir, tangan garuk-garuk tengkuk leher."Anu ... soalnya kabar soal kedekatan Mas Daffa sama Nadewi---""Ck!" Daffa k
Suasana heboh itu akhirnya membuat seorang Daffa menoleh ke arah Dea. Pun dengan Nadewi. Pandangan mereka terbaca penasaran sekali, siapa gerangan laki-laki bule menjulang tinggi itu? Macam pohon saja, menjulang.Tentu tanya itu hanya ada dalam hati saja, tidak dalam lisan."Daffa, sepertinya Dea sudah move on, ya dari kamu." Tapi tiba-tiba Nadewi membuka pembahasan tersebut, dan Daffa agak terkejut."Kenapa kamu tiba-tiba ngomongin Dea, sih?" Dari nadanya, harusnya Nadewi berhenti, tapi wanita itu sama sekali tak peduli dan tetap melanjutkan."Soalnya kudengar kemarin kamu nolak dia mentah-mentah, ya?" Diiringi kekeh kecil, Nadewi berkata tanpa beban sambil menoleh ke arah Dea Posa. "Tapi sepertinya dia memang udah move on. Tuh, malah dekat sama cowok baru." Nadewi melanjutkan sambil menunjuk Dea yang kini berjalan beriringan dengan cowok jangkung pirang tersebut.Daffa termenung. Entah kenapa, mendengar Dea sudah move on membuat hatinya serasa terbakar.'Astagfirullah, ada apa denga
Mengharapkan Dea sama saja dengan pungguk merindu bulan. Sesuatu yang sangat mustahil dan sedikit lebih aneh saja. Wanita yang tak menyukai laki-laki ... bila Rio jadi menikah dengannya, akankah dirinya sanggup untuk menjalani cinta sepihak itu?Rio tercenung diam usai dirinya ditinggalkan Dea. Frustrasi, untuk kali pertama diacuhkan begini. Dan ia hanya bisa minum segelas kopi latte saja untuk menghempaskan perasaan jenuh itu."Tapi katanya, orang yang seperti itu masih bisa diselamatkan, kok. Sayang banget kalau dia sampai terjerumus terus-menerus. Ya, aku sebaiknya jangan nyerah. Dia hanya tersesat aja, enggak lebih. Kalau aku terus berusaha dan membuatnya sembuh, kemungkinan besar untuk mendapatkan hati dan raganya akan terjadi, kan?"Laki-laki itu sama sekali tak tahu keputusannya sudah benar atau salah, tapi akhirnya dia tetap akan mengejarnya.Dea pikir Rio sudah menyerah, karena sejak itu, dia tak pernah lagi muncul di sekitar lapangan atau mencari dirinya. Meski kata si Nana,
Gerimis malam ini menjadi saksi bagaimana Rio serta keluarga intinya datang dengan maksud mulia, yaitu meminang anak bungsunya Pak Jhon. Lelaki dengan perawakan jangkung yang sangat memsona itu menginjakkan kaki di teras dengan bungah.Saat sudah ada di dalam, Rio sangat ramah. Seri wajahnya jelas terlihat bahagia. Beberapa kali ia terlihat mencuri pandang kepada Dea yang sejak awal kedatangan keluarganya hanya menunduk lesu.Jangankan mau membalas tatapnya yang penuh akan kekaguman, bicara saja hampir tidak jika bukan karena ditanya duluan. Dari sudut mata Rio, Dea memang sangat penurut sekali pada Pak Jhon sang calon mertua, apa yang ia katakan angguk turut saja. Tapi jauh dari lubuk hati terdalamnya, kasihan juga memaksa anak orang untuk menikah dengannya.'Ternyata benar, masih ada gadis yang bisa menolak pesonaku. Kupikir, karena ketampananku, semua wanita bisa tunduk begitu mudah. Ternyata tidak dengannya. Apa mungkin dia begitu karena suka sesama jenis?' Rio tak jemu memandang
Demi apa pun, Dea ingin memuntahkan segala kecamuk pikiran kacaunya dengan kemarahan, dan ia telah melakukannya sekali, menamparkan sebilah tangannya dengan keras ke pipi Rio dengan kata umpatan kasar."Maaf, aku melakukannya juga untuk kebaikan kamu," ucap Rio penuh sesal di matanya. ia tak tahu Dea akan semarah ini karenanya.Semua telah terlanjur, tak mungkin Rio membatalkan kembali apa yang sudah lidah ucapkan. Dan tekadnya untuk membuat Dea sembuh dari yang namanya penyakit sesama jenis itu semakin kuat."Hah?! Nggak salah? Demi kebaikanku?! Yang ada itu buat kepuasan kamu aja sendiri karena berhasil bikin bapakku setuju! Dasar cowok gila! Kayak nggak ada cewek lain aja!" Dipukulinya dada Rio, masih sambil menangis tersedu.Pukulan dua tangan wanita sekuat apa memangnya? Rio sama sekali tak merasa sakit sama sekali walau Dea terlihat mengeluarkan sekuat tenaganya. Rio membiarkan Dea melakukan itu, dan dirinya hanya diam membisu beribu bahasa.Hingga akhirnya Dea berhenti sendiri,
Dea Posa masih tertawa di depan minimarket dengan sahabatnya, Nana. Sampai ketika Daffa tiba dengan motor maticnya, tawa lepas Dea langsung terhenti kontan.Tak lama Nana yang nyusul berhenti tertawa. Dia mengikuti pandangan Dea ke mana, dan hmm ... saat tahu siapa yang membuat tawa serta keceriaan Dea sirna, Nana langsung merangkul lengannya."Udah, mending sekarang masuk, yuk. Jangan nodai matamu dengan melihat kebucinan pasangan kecamatan itu. Nanti yang ada kamu beneran jadi gila. Lagian sekarang ada Rio yang siap bikin kamu insyaf."Dea menatap Nana dengan gemas. "Jangan bahas insyaf lagi, aku jadi mau ketawa."Sejujurnya berat melangkah meninggalkan pemandangan indah di depan sana, tapi ya sudahlah ... untuk kali ini Dea nyerah. Lagian pasti tak lama setelah itu akan muncul Nadewi, ia yang dianggap Dea si wanita kuyang gara-gara merebut pujaan hatinya lewat jalur camat.Dea berani bersumpah, gedek tingkat dewa kalau ingat bagaimana para pegawai kantor camat itu membeberkan tenta
Salep luka itu Dea gunakan setelah magrib. Saat itu Dea sudah selesai mandi."Sshhh ...." Ia meringis kesakitan karena terlalu dalam menekan permukaan wajahnya.Salep di tangannya itu merupakan benda pertama yang Daffa berikan tanpa Dea minta. Masalahnya Dea masih saja penasaran kenapa tiba-tiba si doi memberikannya? Bukankah dia benci padanya?Arrrgh! Ingin sekali Dea berteriak saking kesalnya tak dapat menemukan alasan itu.Tok Tok Tok!Kegilaan Dea buyar sekejap mata. Dia yang sedang sibuk mengoleskan salep itu kontan mengambil consealer dan mengoleskannya di wajah untuk menyamarkan warna hijau keunguan di pipi."Dea ...." Itu suara Pak Jhon.Hmh! Dea menatap pintu dengan sinis. Kalau ingat lagi dengan raut bahagia Pak Jhon malam kemarin, rasanya Dea masih saja dendam."Ada calon suami kamu datang. Keluar cepetan," suruhnya sambil mengetuk-ngetuk pintu. Uh, untung saja Dea kunci dari dalam, jadi siapa pun tak bisa masuk sembarangan."Calon suami kampret?" gumam Dea. Rio datang mala
Asli, malunya segede gaban. Dea sampai berbalik pergi sambil menutup muka dengan kedua tangannya.'Anjay, bisa-bisanya aku malah ngira mereka lagi ngemis ....' Dea berlari ke seberang sambil membatin. Untung saja dia tidak lupa lirik kanan dan kiri dahulu sebelum nyebrang.Sekali lagi menoleh, saat melihat pasangan lansia itu lagi, entah mengapa ada rasa empati yang amat dalam tak terkendali. Ada ras penasaran yang menjadi-jadi, jika keduanya bukan sedang mengemis, terus lagi apa? Pertanyaan itu menggondok dalam hati.Apalagi saat Dea melihat sepasang lansia itu saling peluk. Aih ... kasihannya Dea Posa.'Ditinggalin aja apa balik lagi, nih?' Dea membatin. Ragu, tapi dia ingin tahu lebih lagi tentang keduanya, mengapa mereka sangat terlihat sedih sekali. 'Atau jangan-jangan mereka baru aja dibuang anak cucunya?'Ih, amit-amit jabang bayi. Dea ngeri sendiri usai menebaknya. Tetapi itu bukan hal tak mungkin, kan? Zaman sekarang banyak anak dan cucu biadab yang menelantarkan orang tua ya
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa