Tubuh itu hilang dalam sekejap dilahap gelap. Daffa yang merasa harus bicara dengannya segera bertindak. Ia meminta nenek dan abahnya masuk terlebih dahulu, karena ia harus mengejar Dea.Kaki pun berlari di jalanan becek."Dea, tunggu! Dea!"Dea mendengar namanya dipanggil, tapi entah karena apa ia jadi tak ingin ditemui untuk saat ini. Dea merasa tak siap menghadapi wajah laki-laki itu. Takut akan semakin dalam jatuh cinta padanya.Sembunyi adalah cara satu-satunya bagi Dea kini bertindak. Ada pos ronda tak jauh dari jalan raya besar, ia berbelok dan sembunyi di belakangnya. Sambil mati-matian menahan sesak di dada, juga rasa yang mau meledak segera. Perasaan muak yang sudah tumbuh dalam benak.Daffa lewat begitu saja tanpa menyadari Dea sembunyi di pos sana. Daffa mengejar, tapi tetap tak terkejar. Akhirnya ia kembali tanpa hasil, dan pulang ke rumah kontrakannya untuk mengurus nenek dan kakeknya.Barulah Dea keluar dari persembunyiannya untuk pergi. Dia memastikan Daffa hilang dulu
GLEGAAAAR!Guntur menyambar dengan ganasnya. Pohon pinang yang tumbuh di pekarangan rumah Pak Jhon tersambar. Dahsyat sekali suaranya sampai semua penghuni rumah terkaget-kaget, terutama Kak Maya. Untungnya kagey dia tak sampai membrojolkan anak.Jangan dulu, lah. Kan, belum waktunya lahir.Lampu mati lagi. Buset, dah Pak Jhon jadi marah-marah. Bukan apa-apa, dia sedang makan. Bikin sambat aja makan jadi tak tuntas gara-gara gelap gulita.Yang diambil bukannya sendok, malah pisau.Kena gigi untungnya, bukan kena bibir apalagi lidah. Ngeri sekali andai salah satu dari itu yang kena."Duh, sialan! Orang lagi makan malah gelap!" Kan, akhirnya Pak Jhon mengumpat kasar. Dia bangkit dari duduknya, kemudian meraba dinding. Niatnya mau cari senter atau HP. Ya, apalah pokoknya yang bisa ia gunakan untuk penerangan.Sayang banget semur jengkol bila ditinggal begitu saja. Padahal sangat menggugah selera, dan lagi pas perut sedang lapar-laparnya."Pak, Bapaaak!" Itu suara Kak Anita. Anak Pak Jhon
Kaki sudah berlari hingga badan jalan raya, masih saja tak tampak sosok Dea Posa. Melirik kanan dan kiri, tetapi yang terlihat hanyalah kendaraan lalu lalang, juga gerimis di tengah kebisingan. Yang akhirnya membuat Daffa sadar bahwa Dea sudah hilang."Mungkin aja dia sudah pergi."Daffa kembali, dan melihat kakek neneknya masih berdiri di depan kosan."Duh, Abah dan Nenek kenapa masih di luar? Bukannya masuk!" Daffa gemas bukan main. Dirinya gegas menari tangan keduanya dan membawa mereka masuk ke dalam rumah.Rumah kontrakan sempit, sih, tapi lumayan bisa dijadikan tempat berteduh yang cukup nyaman, apalagi Daffa ini sejenis manusia yang tak suka rumah berantakan. Makanya dia selalu rajin membersihkannya.Daffa buru-buru masuk ke dalam kamar, lalu memberikan handuk masing-masing pada mereka yang terlihat basah. Meski tidak basah kuyup.Keduanya menerima handuk itu dengan lemas. Masih tak sanggup bicara."Nenek cepetan ganti baju. Bajunya basah gitu. Mana tasnya?" Daffa berusaha menc
Awalnya Daffa mencoba untuk cuek bebek tentang makanan yang seharusnya sudah ada di tangan Dea itu, tapi kenyataannya ia tak bisa secuek yang ia coba. Terbayang-bayang wajah neneknya yang berseri-seri kala membuatnya."Duh, nggak mungkin juga aku balik lagi ke sana. Tambah gencar saja orang nanti bergosip." Daffa bermonolog sendiri.Kini terasa pahitnya menjadi laki-laki yang digemari wanita, dan ia merespons mereka. Jadi timbul gosip di mana-mana bak air hujan yang tumpah-tumpah. Lubang semut saja sampai kebanjiran airnya.'Itulah kenapa aku paling benci berurusan dengan wanita. Cuma semua sudah terlanjur, bukan? Aih nasib, nasib ....'Ujungnya mengeluh pun terasa sia-sia.Daffa mengambil ponsel. Ceritanya mau menghubungi Dea Posa untuk mengatakan soal makanan yang lupa ia berikan. Sudah masuk ke menu chat.Tapi ...."Daffa." Seseorang membuyarkan niatnya. Daffa mendongak mendapati sosok Nadewi sedang berdiri menghadap meja kerjanya.Dia tersenyum manis, tapi sayang sekali kemanisann
Tak pernah Daffa sangka, untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, ia menunggu balasan pesan. Pesan dari siapa lagi jika bukan dari Dea. Berjam-jam sudah Daffa layangkan berpesan-pesan chat, tetapi gadis itu tak kunjung membalas. Sampai hati Daffa bertanya, apakah Dea sedang berusaha menjauhinya sejak gosip tak enak itu merebak macam bau bunga bangkai? Sial sekali memang, Daffa jadi kepikiran terus. Sore ini hujan kembali mau turun. Daffa baru saja pulang. Seperti bisa, dia yang paling akhir kalau soal pulang. Sering lemburnya. Dari kejauhan ia melihat Dea sudah mau naik ke motor Nana. Seketika, entah setan macam apa merasuki, dada Daffa bergemuruh bagaikan angin di tengah badai lautan. Tidak boleh terlewatkan lagi, dia harus datang kepadanya, mengatakan semua penyesalan dan tentang hal-hal yang menyakitinya. Dan tentu ... memberikan makanan yang neneknya buat khusus itu. Mumpung belum basi. Dinyalakannya motor, langsung melesat tancap gas. Beruntung jalanan sedang lenggang. Jika
Tak Dea sangka, Rio akan mengetahuinya karena ia ceroboh salah menyebut nama. Kini Dea dirundung banyak rasa bersalah, lelaki yang mungkin saja tulus padanya ini telah mengetahui faktanya jika ia wanita normal yang mencintai seorang pria, dan pria itu bukan diri Rio, melainkan Daffa. Gugup, takut, semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Dea memilih memalingkan muka dan berkata lagi, "Aku ingin tidur lagi, bisa tinggalkan aku sendiri?" Bukan tega, hanya saja Dea tak siap diberondong lagi oleh pertanyaannya. Tapi ada hal lain yang lebih menakutkan, yaitu tentang bapaknya. Dea sangat takut Rio melaporkan masalah ini kepada Pak Jhon yang galak dan tak ragu mengapungkan pecut ke udara. Meski sesungguhnya tak pernah sekalipun Dea rasakan pecutan itu di mana pun, di bagian tubuhnya. Seumur hidupnya, bahkan saat Pak Jhon ada di puncak kemarahannya. Mata Rio memanas, tangannya mengepal sekuat amarahnya yang kini bergejolak ria, meriak-riak bak debur ombak menghantam karang. Sangat menyak
"Bilang aja, Dea. Kalau kamu nggak bilang, aku bilang ke Bapak." Haih, mainnya main ancam. Dea jadi tak bisa mengatakan apa-apa kalau begini. Sebenarnya tak siap bercerita, tapi karena Kak Anita melindunginya dari Pak Jhon yang pasti bakal ngamuk kalau tahu Dea berkirim pesan dengan Daffa, akhirnya Dea menurunkan egonya dan mulai berkata jujur. "Boleh Dea liat dulu pesannya, Kak?" "Ck, nawar! Pesannya udah aku hapus semua. Juga nomornya. Soalnya bapak mau periksa. Tapi aku foto isi pesannya, dan nomornya kusalin ke HP-ku. Nih." Kak Anita mengembalikan ponsel Dea yang katanya sudah Pak Jhon periksa. Untunglah Kak Anita bertindak tepat, dia berterima kasih tapi hanya dalam hati saja. Tak lama Kak Anita mengeluarkan ponsel miliknya dan membiarkan Dea membaca pesan-pesan Daffa yang bejibun itu. [Bagaimana keadaanmu?] [Semoga lekas membaik.] [Ini pasti karena hujan-PP kemarin itu.] Ada juga beberapa pesan yang telah dia hapus. Entah apa itu, membuat Dea penasaran saja. [Jangan dulu
Alamak, habis sudah tisu angkringan. Gara-gara Dea Posa nangis bombai. Daffa sudah membujuk dengan segala cara agar dirinya berhenti menangis, tetapi hasilnya nihil. Jangankan mampu membuat tangis tu sejenak reda, didengar pun tidak. "Mas, maaf ya." Daffa tersenyum malu ketika pemilik angkringan mengintip di balik gerobaknya, tapi tak lama mas-mas yang itu tersenyum seraya mengangguk. Berpikir jika pasangan yang sedang makan di tempatnya lagi bertengkar. Iya, mas penjualnya mengira jika Dea dan Daffa adalah sepasang kekasih. Mas penjualnya juga berisyarat agar Daffa melanjutkan acara makannya sampai selesai. Tidak memintanya untuk membuat Dea berhenti dari tangisnya. Daffa mengerti, mungkin mas penjualnya sering mengalami hal serupa bila sedang berduaan dengan kaum yang tiba-tiba menangis begini. Daffa akhirnya membiarkan Dea menangis sepuas hati, dan ia pun hanya menunggu Dea mau berhenti sendiri. *** Angin malam melambai-lambai pucuk kepala Dea dan Daffa di sepanjang trotoar me
Hari-hari berlalu begitu saja. Normal seperti yang kemarin-kemarin. Herman masih berusaha sekuat hati mendapatkan Kak Dina serta perhatiannya.Tapi tak kunjung mendapat respons yang baik."Kamu, tuh ngapain, sih setiap hari ngikutin?! Kulapoin kamu ke polisi kalau gini terus, dasar penguntit!" Bahkan Kak Dina mengancam saking gedeknya dengan kelakuan Herman yang ada setiap kali ia keluar rumah.Seperti ketika ia lari pagi, tiba-tiba muncul dan sok akrab. Ketika ia mau makan di luar, tiba-tiba duduk di belakangnya atau di sebelahnya. Sampai hari ini ... malam ini, ketika Kak Dina keluar untuk membeli sesuatu di mart, dia muncul lagi, malah pake sok-sok'an mau ngebayarin barang belanjaannya segala.Kak Dina semakin ilfeel."Nanti kalau pak polisinya nanya kenapa aku menguntit, aku pasti jawab karena Dina cantik," ujar Herman tidak takut sekali. Kalaupun dia beneran dilaporkan, pikirnya tak akan mungkin bisa dipenjara lama-lama. Toh, kesalahannya hanya jatuh cinta. Tak ada sentuhan tanga
"Saya akan hubungi abah dan nenek saya di kampung, Pak. Segera."Malam itu Daffa berpikir bahwa semuanya sudah selesai, dan ia hanya tinggal membawa keluarganya untuk menghadap Pak Jhon. Tak pikiran bahwa akan ada halangan lain sama sekali."Tapi sebelum itu terjadi, kamu harus meluluhkan hati kakak Dea dulu, Dina. Karena saya tak bisa mengizinkan kalian menyeriusi hubungan ini tanpa restu dari semua anak-anak saya."Sampai ketika Pak Jhon berkata begini, Daffa pun terkejut. Dia menatap Dea yang murung. Pantas saja Dea tak seantusias dirinya.Jantung Daffa yang semula berdentum-dentum penuh dengan pukulan cinta itu perlahan tak sesemangat itu lagi. Dirinya merasa lemas lunglai seketika.***Dea Dan Daffa duduk berdua di teras rumah. Saling diam awalnya."Kak Dina beneran nggak mau nerima aku sebagai calon iparnya, ya?" Sampai detik ini ia tak mengerti, apa yang salah dari dirinya sampai kakak Dea yang sulung itu tak mau bahkan hanya sekadar melirik saja.Dea tertunduk tak kalah lesu.
Mentari semakin gencar menyemai cahayanya di jam dua belas siang ini. Panasnya lumayan membakar kulit kepala siapa saja yang ada di bawah cahayanya.Pak Jhon melihat ke luar jendela kaca, menatap betapa indah cuaca hari ini sebab tak mendung seperti kemarin.Pikirnya, mungkin karena hujan sudah puas menghujani bumi semalaman, jadi alam menciptakan cuaca bagus hari ini sebagai gantinya.Hati yang awalnya dipenuhi ragam curiga, prasangka, serta ketakutan itu telah kosong ruang-ruangnya. Semua perasaan semu itu telah lari entah ke mana. Pergi, sejak ia selesai bicara dengan Daffa.***Dea dan Daffa kini sedang bergandengan tangan di pinggir pantai. Tidak dekat airnya, sebab panas. Mereka berjalan-jalan di sepanjang deretan pohon-pohon kelapa.Hari yang cerah, hubungan yang sedikit diberi izin, dua hal itu membuat Dea dan Daffa senang bukan main."Jadi, bapak bilang gitu? Izinkan Mas buat ikut seleksinya?" Antara senang dan resah, keduanya menyatu seperti kopi dan gula.Duh, berbahaya. Ra
Nadewi terhenti ketika melihat Daffa terburu-buru. Ia segera kembali, mengikuti langkah Daffa yang entah mau ke mana. Tapi melihat wajahnya begitu berseri, Nadewi pikir mood Daffa sudah membaik, makanya dia berniat untuk PDKT lagi.Ya ... namanya mental pelakor tak ada urat malunya. Dia akan kembali lagi dan lagi sampai laki orang benar-benar berhasil direbutnya.Namun, ketika melihat apa yang terjadi di luar gedung hotel, niat terselubungnya runtuh sudah.Semua karena Nadewi melihat Dea Posa memeluk Daffa. Tidak, lebih tepatnya mereka berdua saling berpelukan sama-sama."Dasae nggak tahu malu! Nggak tahu tempat! Najis amit-amit ih! Liatnya aja jijik!" umpat kasar Nadewi. Inilah bentuk rasa kecewanya karena berkali-kali melihat Daffa benar-benar hanyut dalam cinta yang Dea beri.Kenapa tidak bisa ke dirinya, sih? Dia cantik dan seksi!Ya, bila dibandingkan dengan Dea, Nadewi unggul. Tapi hanya unggul di badan, tidak di hati dan pikiran. Nadewi terlalu gila untuk bisa menjadi kekasih h
"Ya Allah ... pagi-pagi ada aja yang membuatku mau julid." Daffa ngelus Dada. Lantas masuk kamar mandi. Akhirnya dia cuci muka saja, lalu berdoa kepada Allah untuk mengampuninya karena tidak salat subuh.Meski Daffa niatkan, nanti di-qodho, tetap saja rasa bersalah itu menghantui. Saking tak biasanya Daffa melewatkan waktu salat seperti hari ini.Daffa membenahi koper, bersiap pulang. Semalam ia dan pak camat sudah sepakat akan langsung pulang menjelang siang karena tugas sudah tak ada lagi.Tapi karena pak camat melewatkan satu tanda tangan di dokumen, mungkin waktu pulang tertunda. Daffa akan menunggu.Ketukan di pintu mengejutkan Daffa yang masih mengemas pakaian. Tak lama menyusul suara Pak Ridwan, salah satu rekan yang pak camat ajak juga.Daffa buru-buru meninggalkan aktivitasnya dulu, lalu menghampiri pintu dan membukanya."Daffa, kamu katanya kecelakaan. Apa kamu baik-baik saja?!" Pak Ridwan memang terlihat galak, tapi aslinya perhatian. Daffa tersenyum, memperlihatkan tangann
Malam terasa syahdu dan damai. Entah apa yang terjadi setelah Pak Jhon pingsan, dia tidak ingat. Ingatan terakhirnya hanyalah betapa erat Daffa menggenggam tangannya agar ia tak lepas."Ya Allah, aku telah menzalimi anak sebaik itu," gumam Pak Jhon di tengah sesal yang mengungkungnya.Setelah kejadian yang terjadi, banyak hal yang Pak Jhon ketahui tentang seorang Daffa. Dia memang miskin, tapi tidak dengan akal dan hatinya.Jika kelak Pak Jhon menitipkan Dea padanya, mungkin dia akan menjadi sosok yang tepat untuk menjaga anak bontotnya. Memang benar kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan akan selalu melanda, kadang kesederhanaan pun bila dijalani dengan rasa syukur serta ikhlas, kebahagiaan itu sendiri akan hadir tanpa diminta.Mungkin maksud Dea begitu, hanya saja Pak Jhon selalu dibutakan oleh yang namanya bibit beber bobot. Pria tampan, kaya, berwibawa, berasal dari keluarga jelas dan berpangkat. Selama ini patokan sempurna Pak Jhon begitu adanya. Bukankah itu salah?"Ternyata a
"Bu-bukan begitu, Om. Sa-saya hanya ... aih, ya sedikit—""Dakjaaaaaal! Kamu kurang ajar!" Jelas Pak Jhon murka. Tak ada orang tua yang akan diam saja mengetahui anaknya sudah disentuh pria asing yang bukan pria sah-nya.Pak Jhon melepas kedua sisi perahu yang akhirnya mengakibatkan oleng. Kedua tangan Daffa segera bergerak mencoba menenangkan."Om, tenang dulu. Saya akan jelaskan! Se-semua terjadi begitu saja. Saya mengaku salah, tolong maafkan saya sekali ini saja, saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Sumpah demi Allah!" Ia juga ikut berdiri sekarang, gara-gara takut perahunya terbalik tiba-tiba. Mana hujan belum reda, ombaknya semakin ganas.Wah, kalau sampai nyemplung, untuk selamat rasanya sangat mustahil sekali. Daffa tetap ingin hidup, belum mau mati."Kamu gila?! Terjadi begitu saja?! Bawa-bawa Allah segala! Disambar petir baru tahu rasa!""Haih, Om boleh marah! Boleh memukul saya, tapi tolong jangan sekarang. Sekarang tidak tepat, kita bisa jatuh ke lautan, Om. Saya mo
GLEGAAAR!Hujan kembali turun dari angkasa, menyerbu manusia yang ada di muka bumi, termasuk Dea dan lainnya yang kini masih panik melihat pertikaian antara Pak Jhon dan Daffa.Payung yang Dea kenakan akhirnya tak berguna gara-gara dihantam angin kencang. Melayang, terbang, lalu entah mendarat di mana.Pada akhirnya menunggu hujan reda hanya sia-sia, sebab badan Dea tetap saja basah."Kak Anita! Tolong itu gimana ya Allah!" Dea merangkul kakaknya, tapi Kak Anita pun sama tak tahu harus bagaimana. Dia stres hanya dengan melihat pedang itu bergerak ke kanan dan kiri berusaha menebas Daffa."Telepon polisi!""Jangan Dea! Mau mampus bapakmu masuk sel?!"Ya, pilihan sulit. "Tapi kalau sampai Daffa terluka, bapak tetap akan masuk penjara!" kukuhnya."Ya Allah Dea, masih aja kamu bela pacarmu di saat begini. Iya aku tahu ini sangat menakutkan, aku juga takut bapak melukai anak orang, tapi aku lebih takut bapak kenapa-kenapa. Kecapean aja bisa kumat jantungnya!"Kak Anita melepaskan tangan De
Dea masih memeluk Daffa, erat. Tak peduli Daffa memaksa untuk melepaskannya, Dea tetap tak mau beranjak jauh darinya."Astagfirullah Dea! Ini udah hampir jam sembilan. Kalau kamu nggak pulang, putus kepalamu!" Bukan hanya Dea saja yang Daffa khawatirkan, tapi dirinya sendiri juga. Alamat putus sungguhan kalau anak gadis Pak Jhon tidak diantar pulang sesegera mungkin."Dea nggak mau putus! Kita kawin lari aja gimana?" ucap Dea sekata-kata. Sambil sesenggukan menangis lara."Innalillahi. Kamu ngomong apa?! Buruan lepas ya Allah! Nggak ada, ya kawin lari. Aku tak mau!" tolak Daffa blak-blakan. "Nggak ada pernikahan yang akan langgeng tanpa restu orang tua! Kalau pun ada, pasti rumah tangganya dihantui rasa bersalah dan tak akan bahagia! Sadarlah dan lepaskan Dea!"Melihat jam berdenting begitu cepat membuat Daffa semakin putus asa. Dia seperti prajurit di tengah gempuran bom dan anak panah. Hanya sendirian, tinggal menunggu waktu saja sampai semua buah senjata itu mengenai dirinya.Bersa